Musyawarah Mufakat PENYELESAIAN SENGKETA YANG TERJADI DALAM MEMBAGI

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA YANG TERJADI DALAM MEMBAGI

HARTA PUSAKA RENDAH PADA MASYARAKAT MINANGKABAU

A. Musyawarah Mufakat

Sumatera Barat sebagian besar penduduknya adalah etnis Minangkabau, dengan kelompok minoritas suku Tionghoa, Jawa, Batak, Mandailing, dan penduduk dari kepulauan Mentawai. Adat Minang didasarkan atas sistem matrilineal yang juga merupakan dasar bagi lembaga teritorial tradisional yang disebut nagari. Keluarga besar atau keturunan garis matrilineal menguasai tanah, harta kekayaan dan gelar diturunkan kepada garis perempuan. Laki-laki dalam suatu garis nenek moyangadat, disebut mamak, merupakan pelaku formal utama dalam sengketasengketa di antara keturunan segaris. Para mamak tertinggi, yaitu ninik mamak secara bersama-sama merupakan pemangku adat KAN atau LAN yang mengambil keputusan atas sengketa yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat yang lebih rendah dalam masyarakat kaum. Tokoh agama termasuk di antara para ninik mamak, dan oleh sebab itu tidak ada cara lain dalam menyelesaikan sengketa melalui tokoh agama. Etnis minoritas tertentu, misalnya orang keturunan Tionghoa, memiliki mekanisme sendiri dalam penyelesaian sengketa antar mereka. Pemimpin agama mereka ternyata memainkan peran yang lebih penting dalam penyelesaian konflik di antara kelompok ini dibandingkan dengan orang Minangkabau. Pemeluk agama Kristen Protestan dan Katolik memanfaatkan pemimpin gereja untuk 89 Universitas Sumatera Utara melakukan mediasi dalam sengketa keluarga. Namun, dalam sengketa dengan anggota masyarakat Minang, posisi mereka lebih lemah. Pilihan yang ada bagi mereka adalah menggunakan adat Minang atau pengadilan. Oleh sebab itu mereka cenderung menghidari sengketa. Sengketa harta warisan mungkin saja terjadi antar pemilik dalam suatu kaum, antar kaum dalam suatu suku atau antar suatu suku dengan suku lain dalam suatu nagari, hal ini biasanya berhubungan dengan penguasaan harta dan status dari harta. tersebut harta pusaka tinggi atau harta pusaka rendah. Dalam proses Penyelesaian Sengketa harta warisan terutama harta pusaka tinggi dalam masyarakat diterapkan Hukum Acara Perdata Adat yaitu aturan yang dipakai dalam proses peradilan adat untuk mempertahankan dan melaksanakan hukum adat yang berlaku. Ada dua asas yang menjadi inti pembuatan keputusan masyarakat Minangkabau yang diungkapkan dalam pepatah-petitih adat berikut ini: “Kamanakan barajo ka mamak Mamak barajo ka penghuilu Penghulu barajo ka mufakat Mufakat barajo kapado alua Alua barajo kapado mungkin dan patuik Patuik dan mungkin barajo kapado bang Barra itu adalah nan menjadi rajo” Kemenakan beraja ke mamak Mamak beraja ke Penghulu Penghulu beraja ke mufakat Mufakat beraja kepada alur Alur beraja ke yang mungkin dan patut Patut dan mungkin beraja ke yang benar Kebenaran itulah yang menjadi raja 75 75 R. M. Datuak Rajo Penghulu, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya Sri Darma, Padang, 1971, Hal 80, dikutip dari Keebet Von Benda-Beckmann, Goyahnya Tangga Menuju Mufakat Grasindo, Jakarta 2000, Hal 70 Universitas Sumatera Utara Asas pertama, watak yang berjenjang. Dalam proses pembuatan keputusan, seseorang itu tunduk kepada mamaknya dan mamak ini pada gilirannya tunduk pada Penghulunya, demikianlah yang hendak dikatakan dua baris pertama dari pepatah itu. Menurut pepatah lainnya, keputusan hendaknya dibuat pada tingkat serendah mungkin dan hanya bila upaya ini sudah tidak mungkin, masalahnya harus diteruskan satu anak tangga lebih tinggi dan seterusnya sampai menjadi urusan nagari dan kerapatan adat nagari menangani kasus itu. Proses itu dinamakan Bajanjang Naiak- batanggo turun. Namun, keputusan akhirnya harus mendapat persetujuan semua pihak yang terlibat, sampai pada tingkat paling bawah. Mamak Kepala Waris dan Penghulu dari kelompok dimana keputusan dibuat memimpin perundingan dan melanjutkan masalahnya ke tingkat lebih tinggi, bila dianggap perlu Lembaga tertinggi untuk penanganan sengketa adalah Kerapatan Adat Nagari. 76 Penyelesaian sengketa dalam adat dan nagari diupayakan melalui musyawarah dan mufakat. Perempuan tidak mewakili diri sendiri dalam kasus- kasus forum adat. Bahkan laki-laki seringkali diwakili oleh ketua adat mereka. Hal ini menghasilkan keputusan-keputusan yang sangat dipengaruhi oleh posisi politis ketua adat. Juga ada kemungkinan para ketua bertindak lebih sebagai hakim daripada sebagai mediator. 77 76 Karapatan Adat Nagari adalah lembaga kerapatan dari ninik mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat masih memelihara kelestarian adat serta menyelesaikan perselisihan sako dan pusako dalam nagari. Lihat Pasal 1 huruf m Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000, tentang ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari 77 Wawancara Khusus dengan Syamsiri Rajo Basa, Ketua Karapatan Adat Nagari Nanggalo, tanggal 28 Januari 2009, Padang. Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini, Mamak Kepala Waris atau Penghulu harus disokong oleh orang-orang yang dipimpinnya. Semua Keputusan harus dibuat secara musyawarah. 78 Pada tingkat yang lebih rendah para pihak yang langsung terlibat dalam sengketa ikut serta di dalam perundingan-perundingan. Pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi, mereka diwakili oleh Mamak Kepala Waris atau Penghulu. Disamping asas berjenjang, terdapat juga asas persamaan. Setiap keputusan yang sah harus dibuat secara bulat oleh seluruh anggota dari lembaga yang menangani masalah itu, mufakat 79 harus selalu dipenuhi.

B. Tinjauan Mengenai Peradilan Adat Pertama Di Lingkungan Adat