Kewarisan Masyarakat Suku Domo Ditinjau Dari Kewarisan Islam
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ADLUL ALGHOFIQI NIM: 1112044100006
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1438 H / 2016 M
(2)
(3)
(4)
(5)
vi
KATA PENGANTAR
محرلا نمرلا ه مسب
هتارب و ه ةمر و ميلع ماسلا
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan berbagai macam nikmat, rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis kirimkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa berjuang dengan ikhlas untuk menyebarkan dakwah Islam kepada seluruh makhluq hingga saat ini.
Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana strata 1 (S.1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, skripsi merupakan bentuk pengamalan ilmu yang penulis dapat selama menimba ilmu di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang penulis persembahkan untuk seluruh umat. Membahas dan menyusun skripsi ini bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan ‘azam yang kuat, ikhtiar yang sungguh-sungguh dan doa yang tulus.
Penulis banyak mendapatkan motivasi, petunjuk dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
(6)
vii
1. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Abdul Halim, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Bapak Arip Purkon, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.
3. Ibu Dr. Isnawati Rais selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu ikhlas dan sabar untuk memberikan arahan, bimbingan dan koreksi yang sangat berharga dan berarti dalam penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. H. A. Djuaini Syukri, Lc., M.Ag. selaku penguji I dan Ibu Hj. Hotnidah Nasution, S.Ag., M.A. selaku penguji II yang telah memberikan arahan dan membimbing kepada penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
5. Narasumber, Bapak Muhammad Tamrin, Papa, Mama, Bapak Sawir, Datuk H. Khaidir, Bapak Makmur Hendrik, Bang Dalis, Etek Seri yang telah memberikan doa dan informasi berkenaan dengan materi skripsi yang penulis tulis.
6. Ibu Dr. Hj. Azizah selaku dosen pembimbing akademik yang telah memperhatikan dan memberikan arahan kepada penulis semasa menjalankan kewajiban sebagai seorang mahasiswa serta arahan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
7. Para dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mencurahkan ilmunya dengan ketulusan dan mendidik
(7)
viii
penulis khususnya dan kepada seluruh mahasiswa umumnya semasa menimba ilmu di universitas ini.
8. Papa tersayang, Muhammad Tamrin, dan Mama tercinta, Murniati, sujud ta’zhim dan abdi Fiqi kepada Papa dan Mama. Yang senantiasa mencurahkan kasih sayang kepada penulis. Tak dapat diungkapkan apa saja yang telah mereka berikan kepada penulis dengan keikhlasan yang tinggi, semangat mereka dalam mendidik penulis dan adik-adik penulis agar menjadi anak yang shaleh/ah. Tak dapat penulis balas seluruh jasa mereka, penulis hanya mampu berdoa kepada Allah SWT, mudah-mudahan Papa dan Mama senantiasa mendapatkan cinta, kasih sayang serta keridhaan Allah SWT. Aamiin.
9. Adik-adik penulis, Adlul Ayatullah dan Adlul Finy Rahma atas semangat dan motivasi serta doa yang kalian berikan kepada penulis. Mudah-mudahan kita dijadikan anak yang shaleh dan shalehah yang akan menjadi bibit amal untuk papa dan mama kita. Aamiin.
10. Seluruh keluarga besar penulis di manapun berada. Doa, dorongan dan nasehat yang kalian berikan kepada penulis menjadi cambuk semangat penulis dalam menimba ilmu.
11. Seluruh lapisan masyarakat Pasir Putih, Desa Buluh Cina atas doa, motifasi dan informasi yang sangat barmanfaat bagi penulis.
12. Seluruh guru penulis, baik itu guru di TPA Masjid Nurul Islam Pasir Putih, guru-guru SDN Negeri 012 Desa Baru, asatis Pondok Pesantren Dar El Hikmah Pekanbaru atas ilmu dan didikan yang ikhlas sehingga
(8)
ix
penulis dapat mencicipi salah satu nikat Allah yang besar, yakni ilmu pengetahuan.
13. Seluruh Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Dar El Hikmah Pekanbaru (IKAPDH) dan seluruh keluarga besar Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI) Banten, Ilka, bang Riko, bang Icksan (cobro), bang TQ, bang Jefri, bang Notok, Rahmad, Miko, Khaidir, Umi, Ridha, dan kawan-kawan lainnya yang besar tak dapat disebut gelar dan yang kecil tak dapat disebut nama tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas apa yang telah kalian berikan kepada penulis. Kekeluargaan yang kita buat dalam organisasi ini menjadi dorongan, semangat dan modal yang besar bagi penulis di perantauan ini dalam menimba ilmu. Untuk adek-adekku di IKAPDH dan SEMARI, terus semangat dalam menimba ilmunya, ikhlas dan syukur jangan dilupakan, semoga kita semua menjadi bibit bangsa yang berharga dan berguna bagi masyarakat. Walaupun kita jauh dari orang tua dan keluarga, namun di IKAPDH dan atau SEMARI ini kita ciptakan kekeluargaan yang tak kalah hangatnya sebagai salah satu bekal kita di perantauan ini.
14. Seluruh sahabat dan teman-teman penulis di manapun dan dari manapun. Pelajaran hidup dan motivasi dari kalian penulis ambil sebagai i’tibar bagi penulis dalam meniti kehidupan ini terkhusus Diana Nurini Lystia, S.Pd. atas kesabaran dan ketulusan memberikan
(9)
x
semangat dan motivasi kepada penulis selama menimba ilmu di Madrasah Aliyah hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Penulis mendoakan semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan kepada seluruh pihak atas segala yang telah diberikan kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini dan semoga apa yang telah penulis tuangkan dalam skripsi ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi pribadi penulis dan bagi seluruh umat sehingga menjadi tabungan amal bagi penulis dan menjadi salah satu modal penulis untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal
‘Aalamiin.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
و ه ةمر و ميلع ماسلا و
هتارب
Ciputat, Oktober 2016 M Muharram 1438 H
(10)
v ABSTRAK
Adlul Alghofiqi. NIM 1112044100006. Kewarisan Suku Domo Ditinjau Dari Kewarisan Islam. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tangerang Selatan, 1438 H / 2016 M, xii + 93 halaman + 19 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman masyarakat terhadap kewarisan Islam serta penerapan kewarisan Islam dalam kewarisan suku Domo. Dalam kewarisan suku Domo, anak perempuan mendapat bagian yang lebih dari pada anak laki-laki, hal ini jelas berseberangan dengan kewarisan Islam yang memberikan bagian lebih kepada anak laki-laki. Ahli waris yang berhak menerima warisan dalam kewarisan suku Domo jika seluruh ahli waris hidup adalah anak pewaris saja. Ahli waris yang lainnya terhijab oleh anak. Hal ini juga merupakan perbedan yang besar dengan kewarisan Islam. Untuk itu, penulis perlu meneliti kewarisan suku Domo ini yang secara keseluruhan mereka adalah muslim, sehingga di satu sisi mereka memiliki kewajiban untuk menjalankan kewarisan Islam sebagai seorang muslim dan kewarisan adat sebagai masyarakat yang beradat.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum empiris dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Teknik pengumpulan data dengan mewawancara para pihak yang memiliki peran dalam kewarisan suku Domo, dimana para narasumber dalam penelitian ini adalah pemuka adat, alim ulama dan masyarakat suku Domo di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar-Riau.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat suku Domo secara umum terhadap kewarisan Islam sangat terbatas. Penerapan kewarisan Islam dalam kewarisan suku Domo terdapat dalam musyawarah para ahli waris yang diberitahukan oleh tokoh agama bagian yang mereka dapat dalam kewarisan Islam. Selain itu kewarisan Islam digunakan secara utuh ketika ahli waris memilih untuk menggunakan kewarisan Islam dan ketika tidak tercapai kata mufakat dalam musyawarah para ahli waris.
Kata Kunci : Masyarakat Suku Domo, Kewarisan Adat Suku Domo, Kewarisan Islam.
Pembimbing : Dr. Hj. Isnawati Rais, M.A. Daftar Pustaka : Tahun 1938 s.d Tahun 2015
(11)
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... ... v
KATA PENGATAR ... vi
DAFTAR ISI ... ... xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian ... 8
E. Review Studi Terdahulu ... 11
F. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II : TINJAUAN UMUM KEWARISAN ISLAM A. Pengertian Kewarisan ... 14
B. Dasar Hukum Kewarisan ... 18
C. Rukun dan Syarat Kewarisan ... 22
D. Sebab-Sebab dan Penghalang Kewarisan ... 27
E. Macam-Macam Ahli Waris dan Hak Masing-Masing... 32
BAB III : SUKU DOMO DI KECAMATAN SIAK HULU KABUPATEN KAMPAR-RIAU DAN SISTEM KEWARISANNYA A. Profil Suku Domo ... 44
B. Sosial Budaya dan Adat Istiadat Suku Domo... 49
C. Gambaran Umum Kewarisan Suku Domo ...56
BAB IV : TINJAUAN KEWARISAN ISLAM TERHADAP KEWARISAN SUKU DOMO A. Pemahaman dan Penerapan Kewarisan di Masyarakat Suku Domo ... 74
(12)
xii
B. Kewarisan Masyarakat Suku Domo Ditinjau dari Kewarisan Islam ... 81
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 88 B. Saran-Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 91
(13)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Proses kehidupan manusia di muka bumi ini dimulai dengan ia dilahirkan dari rahim ibunya, kemudian ia hidup dan kemudian meningga dunia. Seluruh proses kehidupan tersebut membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungan tempat ia dilahirkan, hidup dan meninggal dunia.1 Kematian
merupakan suatu hal yang pasti kedatangannya. Allah SWT. berfirman dalam Alquran:
لةَقِئ
ٓاَذ ٖسۡفَن لُ
ِتۡوَم
ۡ
لٱ
َۡلِإ ملث
َ ولوَعۡجلر تَا
(
وبكنعلا
ت
:
۷۵
)
Artinya: Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan. (Q.S. al-Ankabut: 57)
Kematian seorang manusia tersebut membawa pengaruh dan akibat hukum kepada dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban bagi orang lain (fardhu kifayah) terhadap dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. 2
Kematian tersebut juga menimbulkan akibat hukum yang lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan hukum yang menyangkut hak para keluarganya
1
Suparman Usman dan Yusuf Somawanita, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), cet. II, h. 1.
2
(14)
2
terhadap harta peninggalannya. Bahkan masyarakat dan negara (baitul mal)3 pun
dalam keadaan tertentu mempunyai hak atas harta peninggalan tersebut.4 Hal ini
dalam Islam dikenal dengan kewarisan atau mawaris.
Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban orang lain terhadap harta peninggalan tersebut sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang dijelaskan dan diatur dalam ilmu kewarisan atau mawaris. Jadi kewarisan itu dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-perturan hukum yang mengatur bagaimana caranya pengurusan hak-hak dan kewajiban terhadap harta peninggalan orang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya.5
Kewarisan merupakan ilmu yang sangat penting dalam Islam. Hal ini disebabkan kewarisan ini menjelaskan cara penyaluran harta peninggalan orang yang meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya. Selain itu kewarisan juga mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan antar ahli waris dalam memperebutkan bagian dari harta penginggalan tersebut.6
Allah SWT telah menetapkan pembagian harta peninggalan dalam kewarisan dengan hikmah dan ilmu-Nya, Dia telah menentukan bagian di antara para ahli dengan sebaik-baik pembagian, sesuai dengan tuntunan hikmah-Nya yang sangat tinggi dan rahmat-Nya yang menyeluruh serta ilmu yang mencakup
3
Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan. Lihat Pasal 171 KHI.
4
Suparman Usman dan Yusuf Somawanita, Fiqh Mawaris, h. 1.
5
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), h.3.
6
Djedjen Zainuddin dan Mundzier Suparta, Pendidikan Agama Islam Fikih, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2008), cet. I, h. 103.
(15)
segala sesuatu, Dia menjelaskan demikian itu dengan penjelasan yang sempurna, maka datanglah ayat-ayat dan hadis-hadis tentang waris yang meliputi segala sesuatu yang mungkin terjadi terkait dengan pembagian harta warisan, tetapi di antara ayat-ayat itu ada yang terang dan jelas maksudnya yang dapat dipahami oleh setiap orang, dan sebagiannya ada yang membutuhkan perhatian dan perenungan yang mendalam.7
Kewarisan di Indonesia selain dikenal kewarisan yang berasal dari syari’at
Islam, dikenal juga kewarisan lain, yaitu kewarisan yang berasal dari hukum adat bangsa Indonesia dan kewarisan yang berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) yang terdapat pada Buku II.8 Kewarisan yang berasal dari syariat
Islam membagikan harta peninggalan pewaris kepada yang berhak menerimanya, yakni para ahli waris. Para ahli waris tersebut telah ditentukan oleh Allah SWT dalam Alquran dan juga sunnah Nabi. Untuk membagi harta peninggalan tersebut, Allah SWT telah menjelaskan dalam Alquran dan sunnah Nabi dengan bagian yang telah ditentukan jumlahnya (dzawil furudh), yakni 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3, maupun yang tidak disebutkan secara jelas bagiannya (ashabah). Kewarisan yang berasal dari KUH Perdata (BW) memiliki dua cara untuk membagi harta peninggalan, yakni menurut undang-undang tersebut dan menurut wasiat dari pewaris. Dalam pembagiannya tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, kewarisan yang berasal dari adat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang dianutnya. Berbeda dengan kewarisan Islam dan BW,
7
Abu Najiyah Muhaimin, Ilmu Waris Metode Praktis Menghitung Warisan dalam Syariat Islam, (Tegal: Ash-Shaf Media, 2007), cet. I, h.1.
8
(16)
4
yang termasuk dalam warisan bukan hanya harta materiil, namun juga yang non-materiil.9
Kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat Islam, siapapun dan di manapun ia berada. Walaupun demikian, kewarisan Islam ini dapat terpengaruh oleh corak kehidupan masyarakat di suatu daerah, seperti adat istiadat dan kebiasaan masyarakat. Pada dasarnya pengaruh tersebut semestinya merupakan pengaruh yang terbatas dan tidak dapat melampaui garis-garis pokok dari ketentuan kewarisan Islam. Pengaruh tersebut dapat juga terjadi pada bagian-bagian yang berasal dari ijtihad atau pendapat para ahli hukum Islam.10
Sistem kekerabatan yang terdapat dalam setiap adat istiadat atau suku ini sedikit-banyaknya mempengaruhi pemahaman dan penerapan masyarakat terhadap sistem kewarisan dalam masyarakat tersebut. Masyarakat asli Indonesia tidak hanya terdapat satu sistem kekerabatan/ kekeluargaan saja, melainkan di berbagai daerah terdapat berbagai macam sistem kekerabatan yang dapat dimasukkan dalam tiga golongan, yaitu:
1. Sifat kebapakan (patriarchaat), 2. Sifat keibuan (matriarchaat), dan 3. Sifat kebapak-ibuan (parental). 11
9
Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat Di Indonesia (Sistem Kekerabatan, Perkawinan dan Pewarisan Menurut Hukum Adat), (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2015), h. 116.
10
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet. VIII, h.1.
11
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. I, h. 40-41.
(17)
Masyarakat Indonesia memiliki berbagai ragam suku di berbagai daerah. Hal ini tidak terkecuali pada masyarakat yang berada di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau yang merupakan salah satu bagian masyarakat Indonesia yang memiliki adat istiadat atau suku tersendiri. Salah satu suku yang ada di masyarakat Kecamatan Siak Hulu adalah suku Domo. Menurut mereka suku ini merupakan suku asli yang berasal dari daerah Kampar. Suku Domo merupakan suatu suku yang berada dalam rumpun Melayu.
Sistem kekerabatan yang dianut oleh suku Domo ini adalah sistem kekerabatan yang bersifat keibuan (matriarchaat). Sistem kekerabatan ini sedikit-banyaknya mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya serta mempengaruhi sistem hukum yang berlaku di dalamnya. Selain itu, sistem kekerabatan tersebut juga memiliki pengaruh yang dapat dikatakan cukup besar terhadap sistem kewarisannya. Dalam kewarisan menurut adat suku Domo ini dapat dilihat bahwa anak perempuan mendapatkan suatu pengkhususan dalam pembagian harta peninggalan orang tuanya.
Suku Domo menetapkan agama Islam sebagai agama yang harus diyakini oleh seluruh lapisan masyarakat suku Domo. Dalam ketentuannya, seseorang yang dilahirkan dari darah suku Domo dapat dikatakan masyarakat suku Domo jika ia memeluk agama Islam. Walaupun sebagian orang telah hidup turun temurun di Riau, sehingga boleh dibilang orang asli Riau, tetapi jika mereka tidak
(18)
6
beragama Islam, maka mereka belum diakui sebagai orang Melayu pada umumnya dan belum diakui sebagai masyarakat suku Domo khususnya.12
Masyarakat suku Domo merupakan masyarakat yang beragama Islam, dengan demikian, maka mereka mempunyai dua kewajiban sekaligus dalam hal kewarisan. Pertama, mereka berkewajiban untuk menjalankan kewarisan Islam sebagai seorang muslim. Kedua, mereka memiliki kewajiban untuk menjalankan kewarisan adat sebagai masyarakat yang beradat dan hidup dalam lingkungan yang beradat. Sementara itu, kewarisan adat suku Domo di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar-Riau memiliki beberapa perbedaan dengan kewarisan Islam, diantaranya adalah: Pertama, pembagian harta warisan dilakukan ketika kedua orang tua telah meninggal dunia, jika salah satu orang tua meninggal dunia, harta peninggalan belum dapat dibagikan. Harta tersebut dibagikan jika kedua orang tua telah meninggal dunia. Kedua, penetapan pembagian harta warisan dengan pembagian berupa harta benda, rumah tua/ pusaka dan tanah satu bidang diberikan kepada anak perempuan (jika sendiri) atau anak perempuan paling bungsu (jika lebih dari satu).
Dari pemaparan di atas, penulis merasa perlu untuk mengangkat kepermukaan permasalahan tersebut dalam skripsi ini dengan memberi judul:
“KEWARISAN MASYARAKAT SUKU DOMO DITINJAU DARI
KEWARISAN ISLAM”
12
(19)
B. PEMBATASAN MASALAH DAN RUMUSAN MASALAH
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membatasi penulisan pada tata cara pembagian kewarisan menurut adat suku Domo ditinjau dari kewarisan Islam.
2. Rumusan Masalah
Dari pembatasan permasalahan pada skripsi ini, penulis merumuskan permasalahan-permasalahan yang dinilai oleh penulis diperlukan dalam penelitian skripsi ini. Rumusan masalah tersebut ialah:
a. Bagaimana pemahaman masyarakat suku Domo di Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar-Riau terhadap kewarisan Islam dan penerapannya?
b. Bagaimana kewarisan suku Domo ditinjau dari kewarisan Islam?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk meneliti pemahaman masyarakat suku Domo di Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar-Riau terhadap kewarisan Islam. b. Untuk meneliti kewarisan suku Domo ditinjau dari kewarisan
(20)
8
2. Manfaat Penilitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Menambah pemahaman secara bagi penulis tentang pemahaman masyarakat suku Domo di Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau terhadap kewarisan Islam dan sistem penerapan kewarisan Islam dalam kewarisan adat suku Domo di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.
b. Sebagai tambahan literatur di perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum tentang kewarisan yang berkaitan dengan kewarisan adat suku Domo dan kewarisan Islam.
c. Sebagai kontribusi pemikirin bagi Lembaga Adat Kampar (LAK) dan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau.
d. Menambah wawasan keilmuan bagi pelajar, mahasiswa dan masyarakat tentang kewarisan adat Melayu dan kewarisan Islam.
D. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris, yakni suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk menganalisa hukum yang dilihat sebagai perilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dalam aspek kemasyarakatan.
(21)
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif adalah penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis dari sumber-sumber yang diperoleh. Lalu dianalisi lebih lanjut kemudian diambil suatu kesimpulan. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Tailor seperti yang dikuti oleh Lexy J. Maleong yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.13
3. Jenis Data Penelitian
a. Data Primer : Adapun data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara para sumber yang dirasa berkompeten dan ahli dalam permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
b. Data Sekunder : Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, perundang-undangan, artikel dan sebagainya yang berkenan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan data
a. Wawancara : Wawancara merupakan sumber bukti yang esensial bagi studi kasus, karena studi kasus umumnya berkaitan dengan urusan kemanusiaan. Urusan kemanusiaan ini harus diintrepertasikan pada wawancara yang akan dilakukan terhadap responden, dan para
13
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), h.3.
(22)
10
responden yang mempunyai informasi dapat memberikan keterangan-keterangan penting dengan baik kedalam situasi yang berkaitan.14
Wawancara yaitu melakukan tanya jawab secara langsung kepada orang yang ahli dalam bidang hukum adat, khususnya adat suku Domo di Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar, Provinsi Riau secara tatap muka antara penulis dengan narasumber guna mendapatkan informasi-informasi yang berkenaan dengan permasalah yang diangkat dalam penelitian ini.
b. Studi Kepustakaan : Studi kepustakaan (Library Research) yaitu metode yang digunakan untuk mengumpulkan serta menganalisa data yang diperoleh dari literatur-literatur yang berkenaan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berupa buku, artikel dan sebagainya.
5. Lokasi dan Waktu Penelitian a. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti pada daerah Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Penulis mengambil lokasi ini dikarenakan lokasi tersebut merupakan salah satu lokasi yang suku aslinya adalah suku Domo. Selain itu juga memiliki bahasa daerah yang dikuasai dan dipahami secara baik oleh penulis sehingga akan mempermudah proses pengambilan data.
14
Robert K. Yin, Studi Kasus Desaindan Metode, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 11.
(23)
b. Waktu Penelitian
Adapun waktu penelitian yang penulis lakukan dimulai pada bulan April 2016.
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2012.
E. REVIEW STUDI TERDAHULU
Untuk mendukung materi dalam penulisan skripsi ini, berikut akan dikenalkan beberapa penelitian terdahulu, diantaranya:
Sripsi Pembahasan Persamaan dan Perbedaan
Zasri Mali, Sistem Kewarisan Adat
Melayu Rokan
Hulu (Analisis Sosiologis dan Hukum Islam), 2008
Dalam skripsi ini menitikberatkan
penelitiannya dari segi sosiologis dan hukum Islam. Mengkaji macam-macam harta dalam
pernikahan dan
pembagian harta warisan menurut adat Melayu di
Persamaan dengan skripsi ini adalah sama-sama membahas tentang kewarisan adat yang berada di Provinsi Riau. Sedangkan perbedaannya adalah selain pada perbedaan tempat penelitian, juga terdapat pada perbandingan yang diteliti. Dalam skripsi
(24)
12
Kabupaten Rokan Hulu yang ditinjau dengan menggunakan kewarisan Islam.
Zasri Malik tersebut hanya membahas tentang
macam-macam harta dalam
perkawinan dan pembagian harta warisan saja, namun dalam skripsi ini membahas pemahaman masyarakat suku Domo tentang kewarisan Islam serta penerapannya dalam kewarisan adat suku Domo di
Kecamatan Siak Hulu,
Kabupaten Kampar, Riau dengan melihat dari macam-macam ahli waris, waktu pembagian harta warisan, tata cara pembagian harta warisan dan besar bagian yang diterima oleh ahli waris.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Agar dalam penulisaan skripsi ini menjadi terarah, penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut:
(25)
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini, dimuat tentang latar belakang, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM SISTEM KEWARISAN ISLAM
Dalam bab dua ini, penulis akan membahas secara umum tentang pengertian kewarisan,dasar hukum kewarisan,rukun dan syarat kewarisan, sebab-sebab dan penghalang kewarisan, serta macam-macam ahli waris dan hak masing-masing dalam Kewarisan Islam.
BAB III SUKU DOMO DI KECAMATAN SIAK HULU KABUPATEN KAMPAR-RIAU DAN SISTEM KEWARISANNYA
Dalam bab ini penulis akan menggambarkan secara umum profil suku Domo di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar-Riau, sosial budaya dan adat-istiadat suku Domo serta gambaran umum kewarisan suku Domo.
BAB IV TINJAUAN KEWARISAN ISLAM TERHADAP
KEWARISAN SUKU DOMO
Dibahas mengenai pemahaman dan penerapan kewarisan di masyarakat suku Domo serta sistem kewarisan suku Domo ditinjau dengan hukum Islam.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini, akan dipaparkan jawaban dari rumusan masalah, kesimpulan dan saran.
(26)
14 BAB II
TINJAUAN UMUM SISTEM KEWARISAN ISLAM A. PENGERTIAN KEWARISAN
Kewarisan dalam Bahasa Indonesia merupakan rangkaian kata dasar waris dengan awalan ke dan akhiran an yang secara etimologi berarti mendapat warisan.1 Kata waris itu sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu dari kalimat :
ل (
–
ل
ل ēي
–
ل
لا (
–
ل
ا ا
هóæف(لđعبل&افل$æملهيال تا
2ل
Artinya : “Waratsa, yaritsu, wartsan, irtsan. Yaitu memindahkan harta seseorang kepada orang lain sesudah seseorang meninggal dunia.”
Mawaris adalah bentuk jamak dari kata “Mirats” yang artinya “harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia”. Sedangkan menurut istilah ialah
Ilmu untuk mengetahui orang-orang yang berhak menerima warisan, orang-orang yang tidak berhak menerimanya, bagian masing-masing ahli waris dan cara
pembagiannya.”3
Kita dapat melihat pengertian dari kewarisan dalam Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam:
Yang dimaksud dengan :
a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
1
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1961), h. 1148.
2Luis Ma’luf,
Al-Munjid, (Beirut: Darul Masyrik, Libanon, tt), h. 895.
3
(27)
Kewarisan merupakan aturan-aturan atau norma-norma hukum yang mengatur atau menetapkan harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi-bagi kepada para ahli waris dari generasi ke generasi berikutnya, baik berupa harta kekayaan yang bersifat materiil maupun immateriil melalui cara dan proses peralihannya.4
Kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan ini disebut dengan berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam dikenal beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam, seperti faraid, fikih mawaris, dan hukm al-waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi, karena perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Kata lazim dipakai adalah faraid. Kata ini dipakai oleh an-Nawawi dalam kitab fikih Minhaj al-Thalibin. Oleh al-Mahalliy dalam komentarnya atas Matan Minhaj disebutkan alasan penggunaan kata tersebut :
Lafaz faraid merupakan jama’ (bentuk plural) dari lafaz faridhah yang mengandung arti mafrudahah, yang sama artinya dengan muqaddarah, yaitu suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di dalam ketentuan waris Islam yang
terdapat dalam Alqur’an, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan
dibandingkan bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan faraidh.5
Dengan demikian penyebutan faraid didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris.
4
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Aditama, 2010). h. 56.
5
(28)
16
Dalam literatur hukum di Indonesia digunakan pula beberapa nama yang keseluruhannya mengambil dari bahasa Arab, yaitu waris, warisan, pusaka, dan
hukum kewarisan. Yang menggunakan nama hukum “waris” memandang kepada
orang yang berhak menerima harta warisan, yaitu yang menjadi subjek dari hukum ini. Adapun yang menggunakan nama warisan memandang kepada harta warisan yang menjadi objek dari hukum ini. Untuk maksud terakhir ini ada yang memberi nama “pusaka”, yaitu nama lain yang dijadikan objek dari warisan, terutama yang berlaku di lingkungan adat Minangkabau.6
Dalam istilah hukum yang baku digunakan kata kewarisan, dengan mengambil
kata asal “waris” dengan tambahan awal „ke’ dan akhiran „an’. Kata “waris” ini
sendiri dapat berarti orang yang mewarisi sebagai subjek dan dapat pula berarti
proses. Dalam arti pertama mengandung arti „hal ihwal orang yang menerima
harta warisan” dan dalam arti kedua mengandung arti “hal ihwal peralihan harta
dari yang mati kepada yang masih hidup.” Arti yang terakhir ini digunakan dalam istilah hukum.
Disebut dengan ilmu mawaris karena dalam ilmu ini dibicarakan hal-hal yang berkenaan dengan harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia. Dinamakan ilmu faraidh karena dalam ilmu ini dibicarakan bagian-bagian tertentu yang telah ditetapkan besarnya bagi masing-masing ahli waris. Kedua istilah tersebut prinsipnya sama yaitu membicarakan tentang segala sesuatu yang
6
(29)
berkenaan dengan tirkah (harta peninggalan) orang yang meninggal.7 Hukum waris adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.8
Fiqih mawaris kadang-kadang disebut juga dengan istilah al-faraidh bentuk jamak dari kata fard, artinya kewajiban dan atau bagian tertentu. Apabila dihubungkan dengan ilmu, menjadi ilmu faraidh, maksudnya ialah
ñ حت سملىعلñكرالñ س لñي يكلهبل!ēعيلمع
Artinya : “Ilmu untuk mengetahui cara membagi harta peninggalan
seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang berhak menerimanya.”
Atau dalam pengibaratan lain :
æهمل ا(لللبيğل(لñكراليل حل) لللصخلæملæهل!ēعيل æسحال(له ال ملđعاو
9Atinya : “Beberapa kaidah yang terpetik dari fiqh dan hisab, untuk dapat mengetahui apa yang secara khusus mengenai segala yang mempunyai hak terhadap peninggalan si mati, dan bagian masing-masing waris dari harta
peninggalan tersebut.”
Faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan kepada suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’. Sedangkan ilmu faraidh oleh sebagian faraidhiyun (ahli ilmu faraid) didefenisikan dengan :
“Ilmu yang berpautan dengan pembagian harta peninggalan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan
untuk setiap pemilik hak pusaka.”10
7
Djedjen Zainuddin dan Mundzier Suparta, Pendidikan Agama Islam Fikih, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2008), cet. I, h. 102.
8
Suwardi, Rahman Hendra, dkk, Hukum Adat Melayu Riau, (Pekanbaru: Alaf Riau, 2011), h. 56.
9
Ibnu Rusyd, Bidayatu al-Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Imami, 2002), Juz. III, h. 379.
10
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: SinarGrafika, 2009), h. 8.
(30)
18
‘Ilmul Miraats adalah kaidah-kaidah fiqih dan perhitungan yang dengannya
diketahui bagian setiap ahli waris akan peninggalan mayit. Sebagian ulama mendefinisikan bahwa ilmu mirats (
ارم
) adalah ilmu tentang pokok-pokok fiqihdan hisab yang dengan itu diketahui apa yang menjadi hak khusus setiap orang yang berhak dari peninggalan mayit. Ini lebih umum dari pada ahli waris, sebab mencakup wasiat, utang, dan sebagainya.11
Penggunaan kata “hukum” di awalnya mengandung arti seperangkat aturan yang mengikat, dan penggunaan kata “Islam” di belakang mengandung arti dasar
yang menjadi rujukan. Degan demikian, dengan segala titik lemahnya, hukum kewarisan Islam itu dapat diartikan dengan : “Seperangkat aturan yang tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunah Nabi tentang hal ihwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan
diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.”12
B. DASAR HUKUM KEWARISAN ISLAM
1. Al-Quran
a. QS. An-Nisa’/4: 7
ل¼ۡ ٱ.(ل 0&ا. 0ِٰ.و¼
ٱل .#.ē.تلæ 01مل ٞبي0ğ.ل0ء3æ .س01نل0.(ل.&و/ب.ē¼ ¼ۡ ٱ.(ل0&ا.0ِٰ.و¼ ٱل.#.ē.تلæ 01مل ٞبي0ğ.ل0$æ.ج01ēل01
ل . /ُ.كل ¼(ٱل/ه¼ۡ0مل . لæ 0مل .&و/ب.ē¼
لæ 7ض( /ē¼ ملæ7بي 0ğ.
ل:لءæسنا(
٧
)
ل
Artinya : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan karib-kerabatnya; dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari
11
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 340.
12
(31)
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan.”13
b. QS. An-Nisa’/4: 11
/ه.ل.فل 0 ¼ي.ت.ن¼ث ٱل ."¼و.فل7ء3æ .س0ل /كل&
æ.فل 0 ¼ي.ي.ث ¼ۡ ٱل01ظ.حل / ¼ث0مل 0ē.كذ0لۖ¼ /ك0đٰ . ¼(ٱل3 0يل /َ ٱل/ /ُي 0صو/ي
ِ
ل ¼ò. .َل&
ِ
ا.(ل ۖ.#.ē.تلæ.ملæ.ث/ل/ثل
ل.#.ē.تلæ 0مل / /đس ٱلæ. / ¼ه01مل 6đ0حٰ.(ل 01 /ك0ل0ه¼ي.و.ب 0ۡ.(ل /ف ¼ğ01ن
ٱلæ.ه.ل.فل7 .đ0ح
ٰ.(
ل
ل3ۥ/ه.ث0 .(.(ل ٞ.ِ.(لۥ/َل / .يل¼مل&ِæ.فل
ٞ.ِ.(لۥ/.َل.&.َل&
ا
ِ
ل ¼(ٱل3æ. 0هل 0ِو/يل 6ñي 0ص.(ل 0đ¼ع.بل ½ 0مل / /đس ٱل0ه01م 0ِ.فل ٞ .و¼خِال3ۥ/.َل .&.َل&ِæ.فل
/ث/لث ٱل0ه01م 0ِ.فل/ها.و.بٱ
ل .َل¼ /ك/ؤ3æ.ن¼بٱ.(ل¼ /ك/ؤ3 .َا.ءلۗ- ¼ي.
ل/ّٱل .&(/ ¼đ.ó
لæ7م0 .حلæ+م0ل.عل .& .َل .َ ٱل&
الۗ0َ ٱل . 01مل7ñ .ضي0ē.فل æ7ع¼ . ل¼ /ُ.ل / .ē¼ ٱل¼م
ِ
ل:لءæسنا(
١١
)
Artinya: “Allah mensyari’atkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Mahabijaksana.”14
c. QS. An-Nisa’/4: 12
ل 0مل /ع/بē ٱل/ /ُ.ل.فل ٞ.ِ.(ل /ه.ل .& .َل&
ِæ.فل ٞ.ِ .(ل /هل / .يل ¼مل&ِال¼ /ُ/جٰ.(¼ٱل .#.ē.تلæ.مل /ف ¼ğ0ل¼ /ُ. .(
ل6ñي 0ص.(ل 0đ¼ع.بل ½ 0مل . ¼ك.ē.تلæ
ل ٞ.ِ .(ل¼ /ُل / .يل¼مل&ِال¼/ُ¼ك.ē.تلæ 0مل/ع/بē
ٱل /ه. .(ل 6 ¼ي. ل¼(ٱل3æ. 0هل.ي 0صو/ي
ل
ل0đ¼ع.بل ½ 01مل /ُ¼ك.ē.تلæ 0مل / / ث ٱل /ه.ل.فل ٞ.ِ.(ل¼ /ُ.ل .& .َل&
ِ
æ.ف
ل01 /ك0ل.فل ٞò¼خٱل ¼(ٱل, ٱل3ۥ/.َ.(لٞٱ.ē¼م ٱل0(ٱل+ .َٰ . .كل / .و/يل ٞ /ج. ل .& .َل&
ِ
ا.(لۗ6 ¼ي. ل ¼(ٱل3æ. 0هل.&و /صو/óل6ñي 0ص.(
ل / /đس ٱلæ. / ¼ه01مل 6đ0حٰ.(ل
ل¼كٱل2ا3و/ .َل&
æ.ف
ِ
ل7ñي 0ص.(ل 613æ .ض/مل . ¼ر.غل - ¼ي. ل ¼(ٱل3æ. 0هل ٰ .َو/يل6ñي 0ص.(ل0đ¼ع.بل ½ 0مل 0ث/لث ٱل 0يل/ء3 .َ. /ُل ¼م/ه.فل . 0ِٰ. ل 0مل . .ُ
لۗ0َ ٱل . 01مل
لٞم0ل.حل,م0ل.عل /َ ٱ.(
ل:لءæسنا(
١١
)
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka
13
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 12.
14
Departemen Agama RI, Mushaf Al-qurán dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Pustaka Al-Kautsar, 2009),h. 78.
(32)
20
istrimu) mempunyai anak وmaka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu ada mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya15 dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah; dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.16
d. QS. An-Nisa’/4: 33
ل 0مل . 0ِ ٰ.و.ملæ.ن¼ل.ع.جل 61 /ك0 .(
ل.فل¼ /ُ/نٰ . ¼يٱل ¼ .đ. .عل . ي0َ ٱ.(ل .&و/ب.ē¼ ¼ۡ ٱ.(ل 0&ا. 0ِٰ.و¼
ٱل .#.ē.تلæ
ل
ل 01 /لل ٰ .ى.عل .& .َل .َ
ٱل&
ال ¼م/ .ُي 0ğ.ل¼ /ۡو/óæ
ِ
لا+đي0ه .شل 6ء ¼ .َ
ل:لءæسنا(
٣٣
)
Artinya : “Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah
Maha Menyaksikan segala sesuatu.”17
2. Al-Hadits
Hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisan diantaranya:
a. Hadis Ibnu Abbas:
æبعل بال ع
ل
:
ل
مسل(لهيلعلهلىصلهل$وس ل$æ
ل
ل:
ل æتكلىعلĠئاē ال هاليبل$æمالاو س ا
له
)مسملها( (
18
15
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 342.
16
Departemen Agama RI, Mushaf Al-qurán dan Terjemahannya, h. 78.
17
Departemen Agama RI, Mushaf Al-qurán dan Terjemahannya, h. 83.
18
Abu Husain Muslim Ibnu Al-Hajjaj Al-Husyairy Al-Naisabury, Shahih Muslim,
(33)
Artinya : “Dari Ibnu Abbas berkata : Rasulullah SAW bersabda : Bagilah harta warisan di antara ahli waris sesuai ketentuan Kitabullah.” (H.R. Muslim). b. Hadis Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat Tirmidzi:
$æ لمسل(لهيلعلهلىصلينال&4ٱلاهعلهلي لđي ل بلñمæس4ٱل ع
ل
لَل(لēفاالمسمال ē يلَل:
مسمالēفاا
ل
Ēمرالها( (
*
)
19
Artinya : “Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi SAW. Bersabda : Seorang muslim tidak mewarisi harta orang nonmuslim dan orang nonmuslim pun tidak
dapat mewarisi harta orang muslim.”(H.R. Tirmidzi).
3. Ijtihad Para Ulama
Meskipun Alqur’an dan hadis sudah memberikan ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam Alqur’an maupun hadis.20
Contoh: Status saudara-saudara yang mewarisi bersama-sama dengan kakek.
Di dalam Alqur’an hal ini tidak dijelaskan. Yang jelas hanyalah status saudara
-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama dengan anak laki-laki yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak mendapat apa-apa lantaran terhijab, kecuali dalam masalah kalalah21 maka mereka mendapat bagian.
Menurut pendapat kebanyakan sahabat dan imam-imam mazhab yang mengutip pendapat Zaid bin Tsabit, saudara-saudara tersebut mendapatkan pusaka secara muwasamah(tawar menawar, negosiasi) dengan kakek.22
19
Abu Isa al-Tirmidziy, al-Jami’u al-Shahih IV, (Kairo: Mustafa al-Babiy, 1938), h. 432.
20
Ahmad Azar Basyir, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 9.
21
Seseorang mati namun tidak mempunyai ayah dan keturunan. Lihat Pasal 182 KHI.
22
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 10.
(34)
22
C. RUKUN DAN SAYARAT KEWARISAN
1. Rukun Kewarisan
Kewarisan dapat terjadi jika rukun- rukun waris terpenuhi. Bila ada salah satu dari rukun- rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi kewarisan.
Kewarisan Islam memiliki 3 macam rukun, yakni:
a) Muwarrits (pewaris)
Muwarits (pewaris) yaitu orang yang meninggal dunia baik meninggal dunia secara haqiqi atau karena putusan hakim dinyatakan mati berdasarkan beberapa sebab. Harta peninggalan yang ditinggalkan berhak dipusakai oleh orang lain.23
Kewarisan juga dijelaskan dalam Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam:
”Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam
atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan pengadilan, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan ”.
b) Warits (ahli waris)
Warits (ahli waris) ialah orang-orang yang bisa memperoleh warisan dari seseorang yang meninggal dunia. Ahli waris dapat dilihat dari dua segi; Pertama, dari segi kelamin, yaitu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kedua, dari segi haknya atas warisan, yaitu terdiri dari dzawil furudh (ahli waris yang mempunyai bagian tertentu) dan ashabah (alwi waris yang tidak ditentukan bagiannya dengan kadar tertentu).
23
(35)
Sedangkan menurut Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam disebutkan :
“Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Menurut hukum Islam, ahli waris adalah orang-orang yang berhak mendapatkan harta peninggalan si mati, baik disebabkan adanya hubungan kekerabatan dengan jalan nasab atau pernikahan, maupun sebab hubungan hak perwalian dengan muwarrits.24
c) Mauruts (harta waris)
Mauruts (harta warisan) menurut Islam adalah segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dan harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya; sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’ berhak diterima oleh ahli warisnya.25
Pasal 171 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :
“Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”.
Dapat disimpulkan bahwa harta warisan ialah apa yang ditinggalkan oleh pewaris, dan terlepas dari segala macam hak orang lain di dalamnya.
24
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung : PT Al-Ma’arif, 1975), h. 36.
25
(36)
24
Pengertian harta warisan dalam rumusan seperti ini berlaku dalam kalangan ulama Hanafiyah.26
Ulama fikih lain mengemukakan rumusan yang berbeda dengan yang dirumuskan di atas. Bagi mereka warisan itu ialah segala apa yang ditinggalkannya pada waktu meninggalnya, baik dalam bentuk harta atau hak-hak.27
Bila diperhatikan rumusan yang dikemukakan ulama selain Hanafi sebagaimana disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa menurut mereka tidak berbeda antara harta warisan dan harta peninggalan. Namun kalau diperhatikan dalam pelaksanaan selanjutnya, bahwa sebelum harta peninggalan itu dibagikan kepada ahli waris harus dikeluarkan dahulu wasiat dan utangnya, sebagaimana dituntut Allah SWT dalam ayat 11 dan 12 surat
an-Nisa’. Dengan demikian, maka jelas bahwa dua kelompok ulama tersebut
hanya berbeda dalam perumusan, sedangkan yang menyangkut substansinya sama saja.28
Dalam pembahasan di atas telah dinyatakan bahwa harta yang menjadi harta warisan itu harus murni dari hak orang lain di dalamnya. Di antara usaha memurnikan hak orang lain itu ialah dengan mengeluarkan wasiat dan membayarkan utang pemilik harta. Hukum yang mengenai pembayaran utang dan wasiat itu dapat dikembangkan kepada hal dan kejadian lain sejauh di
26
Ibnu Abidin, Hasyiyatul Radd al-Mukhtar, (Mesir: Mustafa al-babiy, 1966), cet. VI, h. 759
27
Hasanin Makhluf Muhammad, al-Mawaritsu fi al-Syari’st al-Islamiyah, (Majelis al-A’lali Syuun al-Diniyah, 1971), h. 11.
28
(37)
dalamnya terdapat orang yang meninggal; di antaranya ongkos penyelenggaraan jenazah sampai kuburan; termasuk biaya pengobatan waktu sakit yang membawa kepada kematiannya.29
2. Syarat Kewarisan
Untuk membuktikan warisan, disyaratkan tiga hal; matinya orang yang mewariskan, hidupnya orang yang mewarisi dan mengetahui arah kekerabatan.
a. Matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang mewariskan harus dibuktikan, bisa secara haqiqi, hukmi, atau taqdiri dengan cara menganalogikan orang-orang yang mati.30
Mati haqiqi adalah tidak adanya kehidupan, adakalanya dengan melihat, seperti seseorang disaksikan telah meninggal, diberitakan telah meninggal, atau dengan suatu bukti.31 Mati haqiqi (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang
yang semula nyawa itu sudah berujud ada padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.32
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), yaitu suatu kematian disebabkan adanya putusan hakim, baik pada hakikatnya orang yang bersangkutan masih hidup maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati.33
29
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. IV, h. 208.
30
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 349.
31
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 349.
32
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 62.
33
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 62.
(38)
26
Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan hukmy, tetapi semata-mata berdasarkan dengan keyakinan yang kuat.34
Mati taqdiri adalah menyamakan seseorang dengan orang-orang yang telah mati, dalam perkiraan (taqdiri). 35
b. Hidupnya orang yang mewarisi : Hidupnya orang yang mewarisi setelah kematian orang yang mewariskan harus terwujud juga, bisa dengan kehidupan hakiki dan tetap atau disamakan dengan orang-orang yang masih hidup dengan perkiraan (taqdiri).36
Hidup haqiqi adalah hidup yang stabil, tetap pada orang yang disaksikan setelah matinya orang yang mewarisi.
Taqdiri adalah hidup yang tetap karena diperkirakan.
c. Mengetahui arah warisan. Ketiadaan halangan – yaitu tiadanya halangan warisan – bukanlah syarat warisan. Syarat hanyalah dua hal pertama. Sebagaimana dinyatakan oleh Undang-Undang Mesir, di mana dalam pasal dua hanya dinyatakan dua syarat pertama saja.37
34
Moh. Muhibbin, dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, h. 62.
35
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 350.
36
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 350.
37
(39)
D. SEBAB-SEBAB DAN PENGHALANG KEWARISAN 1. Sebab-Sebab Terjadinya Kewarisan
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam sebab seseorang itu mendapat warisan dari si mayit dapat diklasifikasikan sebagai berikut :38
a. Hubungan perkawinan
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan istri. Kriteria suami istri tetap saling mewarisi disamping keduanya telah melakukan akad nikah secara syah menurut syariat, juga antara suami istri belum terjadi perceraian ketika salah seorang dari keduanya meninggal dunia.39
Adapun kedudukan istri-istri yang dicerai raj’i40 dan suami lebih berhak untuk merujuknya (perceraian pertama dan kedua) selama masa iddah41, maka iapun berhak menerima warisan.42
b. Hubungan kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara pewaris dengan ahli waris yang disebabkan oleh faktor kelahiran. Dalam kedudukan hukum Jahiliyah, kekerabatan menjadi sebab mewarisi adalah terbatas pada laki-laki yang telah dewasa, kaum perempuan dan anak-anak tidak mendapat bagian. Setelah
38
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999,) h. 53.
39
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), h. 29.
40
Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah. Lihat Pasal 118 KHI.
41
Masa Iddah adalah masa menunggu bagi perempuan yang dicerai oleh suaminya, baik karena cerai hidup/cerai mati. Lihat Pasal 153 KHI.
42
(40)
28
Islam datang merevisi tatanan Jahiliyah, sehingga kedudukan laki-laki dan perempuan sama dalam mewarisi, tak terkecuali pula anak yang masih dalam kandungan.
Adapun dasar hukum kekerabatan sebagai ketentuan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama :
ا . 0ِا.و 2ال .#.ē.تلæ. 10مل ,ب2ي 0ğ.ل 0$لæ.ج10ēل0
ل0&
ل
لæ 0مل .& 2و/ب.ē2 ل.َ2ا.(ل 0 ل . 0ِا.و 2ال .#.ē.تلæ. 10مل ,ب2ي 0ğ.ل
æ .س01نل0 .(ل .& 2و/ب.ē2 ل.َ2ا.(
ِ
ل/ه2ۡ0مل .
ل./ُ.ك2(ل.ا
سنا(لæ +ض 2( /ē2 .مل/æب2ي 0ğ.ل
ءæ
ل
ل:
۷
(
Artinya : “Bagi anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya baik sedikit atau banyak
menurut yang telah ditentukan”. (QS. An-Nisa’/4: 7)
ل.(
: æ óَا(لهل 0 لæ.ت0كل 0ِل -Ġ2ع.ب0بلىل(2ل.ال2م/ه /ض0ع.يل0%لæ.ح2 .َ2ا2و/ 2(ل/ا
ل
۷۷
(
Artinya : “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya di dalam kitab Allah”. (QS.
An-Nisa’/4: 78)
c. Hubungan memerdekakan budak (al-Wala’)
Al-Wala’ adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan
hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong, namun sepertinya sebab hubungan memerdekakan budak ini jarang dilakukan atau malah tidak ada sama sekali.
Adapun para fuqaha membagi hubungan wala’ menjadi 2 bagian :
1. Walaaul ‘Itqi atau hubungan antara yang memerdekakan (mu’tiq)
(41)
bahwa walaaul ‘itqi merupakan sebab menerima pusaka, hanya golongan Khawarij yang tidak membenarkan hal itu.
2. Walaaul Muwalah, yaitu hubungan yang disebabkan oleh sumpah setia.
Menurut golongan Hanafiyah dan Syi’ah Imamiyah dipandang sebagai sebab
mewarisi, sedang menurut jumhur ulama tidak termasuk.43
Adapun bagian orang yang memerdekakan budak (hamba sahaya) adalah 1/6 harta peninggalan. Namun kondisi modern ini, dengan tidak adanya hamba sahaya, maka secara otomatis hubungan al-wala’pun dihapus.
Selain hal-hal yang menyebabkan adanya hak untuk mewarisi, maka sebaliknya pula ada beberapa yang menghalangi seseorang untuk menerima warisan. Adapun hal-hal yang menghalangi seseorang mendapatkan warisan dalam hukum Islam adalah sebagai berikut : 1) Karena halangan kewarisan dan 2) karena adanya kelompok keutamaan dan hijab.44
d. Hubungan agama (sesama Islam)
Jika orang Islam meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris, baik karena hubungan kerabat, pernikahan maupun wala’, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk kepentingan kaum muslimin. Itulah yang disebut dengan hubungan agama dalam waris-mewarisi.
Rasulullah SAW bersabda :
م
ل
#ēت
ل
َæم
ل
هتث ولف
ل
اا(
ل
ا(
لم
ل
ا(َ
لَ
ل(
ها(
ل
đما
ل,
وبا
ل
(ا
ل
ىæسنا(
)
45ل
43Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, h. 33.
44
Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, h. 53.
45
(42)
30
Artiya : “Barangsiapa yang meninggalkan harta (warisan) maka itu adalah hak milik para ahli warisnya, dan aku (Rasul) adalah ahli waris dari orang yang tidak punya ahli waris." (HR Ahmad, Ibnu Majah, At Tirmidzi).
Yang dimaksud Rasulullah menjadi ahli waris adalah bahwa Rasulullah itu menerima dan menyalurkan kepada kaum muslimin, atau digunakan untuk kemaslahatan umat Islam.
2. Penghalang Kewarisan
a. Pembunuhan
Islam adalah agama yang sangat menjunjung prinsip kemanusiaan sehingga secara tegas melarang adanya pembunuhan. Dalam kaitannya dengan hak waris mewarisi, maka orang yang membunuh pewaris tidak mendapat hak mewarisi dari pewaris tersebut. Hal ini terdapat dalam hadits Rasul SAW :
مس(لهيلعلهلىصللهل$وس ل$æ
:
لاوفل ا(لَل يلمل&5ا(لءَلل óæ للسي
لهي 5ال æنال ē 4ٱلهث
æåيشل óæ ال ēيلَ(
)
(لكملها(
ēمل علđما
(
46
Artinya : “Rasulullah bersabda: “Pembunuh (yang membunuh pemebri
warisan) tidak memiliki hak sedikitpun (untuk mewarisi). Jika ia (pemberi warisan) tidak meninggalkan pewaris maka yang berhak mewarisinya adalah orang yang paling dekat (hubungan keluarga) dengannya, dan pembunuh itu
tidak mewarisi sesuatu”(H.R. Malik dan Ahmad dari „Umar).
Adapun mengenai jenis pembunuhan yang menjadi penghalang kewarisan, diantara fuqaha terjadi perbedaan pendapat. Jenis-jenis pembunuhan disini ada lima, yaitu pembunuhan secara hak dan tidak berlawanan hukum, pembunuhan dengan sengaja dan terencana (tanpa adanya hak), mirip disengaja (seperti sengaja), dan pembunuhan khilaf.
46
(43)
b. Beda agama
Beda agama menjadi penghalang mewarisi yaitu apabila ahli waris atau muwarrits salah satunya non muslim.
Dasar hukumnya :
$æ لمسل(لهيلعلهلىصلينال&4ٱلاهعلهلي لđي ل بلñمæس4ٱل ع
ل
لَل(لēفاالمسمال ē يلَل:
مسمالēفاا
ل
)*Ēمرالها( (
47
Artinya : “Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi SAW. Bersabda : Seorang muslim tidak mewarisi harta orang nonmuslim dan orang nonmuslim pun tidak
dapat mewarisi harta orang muslim.”(H.R. Tirmidzi).
Nabi pun telah mempraktekkan pembagian warisan dimana perbedaan agama menjadi penghalang mewarisi, yaitu pembagian waris dari Abu Thalib. Adapun yang menjadi pertimbangan apakah antara ahli waris dan muwarrits beda agama atau tidak adalah pada saat muwarrist meninggal.
c. Pembudakan (al-‘Abd)
Bukan karena status kemanusiaannya sehingga perbudakan menjadi penghalang mewarisi, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya. Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Firman Allah SWT :
ل:ل حنا(ل - 2ْ . شل .ى.ع/ ل0đ2 .ي.َ +َ2و/ل2 .ملا+đ2ب.عل+ا.ث.ملهل . . .َ
۷۵
(
Artinya : “Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun
47
(44)
32
d. Berlainan negara
Berlainan negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila antara ahli waris dan muwarristnya berdomisili di negara yang berbeda kriterianya. Apabila kedua negara tersebut muslim, maka tidak menjadi penghalang mewarisi. Mayoritas ulama berpendapat bahwa meskipun negaranya berbeda tapi apabila sama-sama negara muslim, maka tidak menjadi masalah.
E. MACAM-MACAM AHLI WARIS DAN HAK MASING-MASING
Ahli waris dapat di lihat dari dua segi; Pertama, dari jenis kelamin, yaitu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Kedua, dari segi hak atas warisan, yaitu terdiri dari dzawil furudh dan ashabah.48
1. Ahli Waris Laki-laki
Ahli waris laki-laki terdiri dari : a. Bapak,
b. Kakek (ayahnya bapak) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki, c. Anak laki-laki,
d. Cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki,
e. Saudara laki-laki kandung, f. Saudara laki-laki seayah, g. Saudara laki-laki seibu,
h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung,
48
Djedjen Zainuddin dan Mundzier Suparta, Pendidikan Agama Islam Fikih, cet. I, h. 108.
(45)
i. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah,
j. Paman sekandung (saudara laki-laki bapak sekandung), k. Paman sebapak (saudara laki-laki seayah),
l. Anak laki-laki paman sekandung, m. Anak laki-laki paman seayah, n. Suami, dan
o. Laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya. 49
2. Ahli Waris Perempuan
Ahli waris perempuan terdiri dari : a. Ibu,
b. Nenek dari pihak ibu terus ke atas,
c. Nenek dari pihak bapak (tidak terus ke atas), d. Anak perempuan,
e. Cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki,
f. Saudara perempuan sekandung, g. Saudara perempuan seayah, h. Saudara perempuan seibu, i. Istri, dan
j. Perempuan yang memerdekakan hamba sahaya. 50
49
Djedjen Zainuddin dan Mundzier Suparta, Pendidikan Agama Islam Fikih, cet. I, h. 109.
50
Djedjen Zainuddin dan Mundzier Suparta, Pendidikan Agama Islam Fikih, cet. I, h. 109.
(46)
34
Apabila semua ahli waris perempuan masih hidup, maka yang berhak menerima warisan adalah :
a. Anak perempuan, b. Ibu, dan
c. Nenek.
Apabila semua ahli waris baik yang laki-laki maupun yang perempuan masih ada (hidup), maka yang berhak menerima warisan adalah :
a. Anak laki-laki, b. Anak perempuan, c. Ayah,
d. Ibu, dan e. Suami/ istri. 51
3. Ahli Waris dengan Bagian Tertentu
Di dalam Alquran dan hadis Nabi disebutkan bagian-bagian tertentu dan disebutkan pula ahli-ahli waris dengan bagian tertentu itu. Bagian tertentu ini di dalam Alquran yang disebut furudh adalah dalam bentuk angka pecahan yaitu 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Para ahli waris yang mendapatkan menurut angka-angka tersebut dinamai ahli waris dzawil furudh.52
Ahli waris yang mendapatkan bagian yang telah ditetapkan tersebut sebagai berikut :
51
Djedjen Zainuddin dan Mundzier Suparta, Pendidikan Agama Islam Fikih, h. 110.
52
(47)
a. 1/2, diberikan kepada :
1) Anak perempuan tunggal, apabila tidak ada anak laki-laki, 2) Cucu perempuan tunggal, apabila tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki,
b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, c) Anak perempuan.
3) Saudara perempuan kandung tunggal, apabila tidak ada ahli waris: a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, d) Bapak,
e) Kakek dari bapak.
4) Saudara perempuan sebapak tunggal, apabilal tidak ada ahli waris : a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, d) Cucu perempuan dari anak laki-laki, e) Saudara laki-laki kandung,
f) Saudara perempuan kandung, g) Bapak,
h) Kakek dari pihak bapak.
5) Suami, apabila tidak ada ahli waris : a) Anak laki-laki,
(48)
36
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, d) Cucu perempuan dari anak laki-laki. b. 1/3, diberikan kepada :
1) Ibu, apabila tidak ada ahli waris : a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, d) Cucu perempuan dari anak laki-laki,
e) Dua orang saudara atau lebih : baik laki-laki maupun perempuan, baik saudara sekandung, sebapak, maupun seibu. 2) Dua orang saudara atau lebih seibu, baik laki-laki maupun
perempuan, apabila tidak ada ahli waris : a) Anak laki-laki,
b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, d) Cucu perempuan dari anak laki-laki, e) Bapak,
f) Kakek dari pihak bapak, c. 1/4, diberikan kepada :
1) Suami, apabila ada ahli waris : a) Anak laki-laki,
(49)
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, d) Cucu perempuan dari anak laki-laki. 2) Istri, apabila tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki, b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, d) Cucu perempuan dari anak laki-laki. d. 1/6, diberikan kepada :
1) Bapak, apabila ada ahli waris : a)Anak laki-laki,
b)Anak perempuan.
c)Cucu alki-laki dari anak laki-laki, d)Cucu perempuan dari anak laki-laki. 2) Ibu, apabila ada ahli waris :
a) Anak laki-laki, b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, d) Cucu perempuan dari anak laki-laki,
e) Dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, baik sekandung, sebapak maupun seibu.
3) Nenek, dari pihak ibu atau bapak, apabila tidak ada ahli waris : a) Ibu,
(50)
38
4) Cucu perempuan dari anak laki-laki, apabilal tidak ada ahli waris : a. Anak laki-laki,
b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki, c. Anak perempuan lebih dari seorang.
5) Saudara perempuan sebapak, baik seorang atau lebih, dengan syarat bersamanya ada seorang saudara perempuan sekandung. Itu pun apabila tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki, b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, d) Cucu perempuan dari anak laki-laki, e) Saudara laki-laki kandung,
f) Saudara laki-laki sebapak.
6) Saudara seibu tunggal, baik laki-laki maupun perempuan apabila tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki, b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, d) Cucu perempuan dari anak laki-laki, e) Bapak,
f) Kakek dari pihak bapak.
e. 1/8, diberikan kepada istri, apabila ada salahs seorang ahli waris : 1) Anak laki-laki,
(51)
2) Anak perempuan,
3) Cucu laki-laki dari anak laki-laki, 4) Cucu perempuan dari anak laki-laki. f. 2/3, diberikan kepada :
1) Dua orang anak perempuan atau lebih, apabila tidak ada anak laki-laki,
2) Dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada ahli waris :
a) Anak laki-laki, b) Anak perempuan,
c) Cucu laki-laki dan anak laki-laki, d) Saudara laki-laki kandung, e) Bapak,
f) Kakek dari pihak bapak. 53
4. Ahli Waris dengan Bagian yang Tidak Ditentukan.
Dalam kewarisan Islam, di samping terdapat ahli waris dengan bagian yang ditentukan atau dzawil furudh yang merupakan kelompok terbanyak, terdapat pula ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan secara furudh, baik dalam Alquran maupun dalam hadis Nabi. Mereka mendapatkan seluruh harta dalam kondisi tidak adanya ahli waris furudh atau sisa harta setelah dibagikan terlebih dahulu kepada dzawil furudh yang ada. Mereka mendapat bagian yang tidak ditentukan; terbuka, dalam arti dapat banyak atau sedikit, atau tidak ada sama sekali.
53
(52)
40
Dasar hukum dari ahli waris dengan bagian terbuka ini adalah firman Allah dalam surat an-Nisa’/4 ayat 11 dan 176. Dalam ayat 11 disebutkan adanya hak kewarisan anak laki-laki, namun berapa haknya secara pasti tidak dijelaskan. Bila ia bersama dengan anak perempuan, yang disebutkan hanyalah perbandingan perolehannya yaitu seorang laki-laki sebanyak hak dua orang anak perempuan. Dapat dipahami dari ketentuan tersebut bahwa bila anak laki-laki bersama dengan anak perempuan, maka mereka mendapatkan seluruh harta bila tidak ada ahli waris lain atau mereka akan mendapatkan seluruh harta yang tersisa bila ada ahli waris lain yang berhak; kemudian hasil mereka peroleh dibagi dengan perbandingan 2:1. Hal demikian berlaku pula bila anak dari pewaris hanyalah anak laki-laki saja.
Dalam ayat ini juga disebutkan hak ibu sebesar 1/3 bila ahli warisnya hanya ibu dan ayah saja. Ayah disebutkan sebagai ahli waris, namun bagiannya tidak dijelaskan. Dengan disebutkannya bagian ibu yaitu 1/3; sedangkan yang menjadi ahli waris hanyalah ayah dan ibu saja, dapatlah dipahami bahwa hak ayah adalah sisa dari bagian yang diambil oleh ibu, yaitu 2/3.
Dalam ayat 176 disebutkan hak kewarisan saudara laki-laki dan saudara perempuan. Adapun saudara perempuan disebutkan furudh-nya yaitu 1/2 bila sendiri dan 2/3 bila dua orang atau lebih; sedangkan saudara laki-laki sama sekali tidak dijelaskan bagiannya, kecuali hanya bandingannya dengan saudara perempuan yaitu dua banding satu. 54
54
(53)
5. Ashabah
Adanya keturunan ahli waris yang mendapat bagian seluruh harta atau sisa secara pembagian terbuka, yang pada umumnya adalah laki-laki, dikembangkan kepada ahli waris laki-laki yang lain yang tidak disebutkan dalam Alquran atau hadis Nabi. Anak laki-laki dikembangkan kepada cucu laki-laki; ayah dikembangkan kepada kakek atau kepada paman dan seterusnya anak paman; saudara dikembangkan kepada anak saudara; hingga komplitlah kerabat dalam garis laki-laki.
Kelompok kerabat garis laki-laki ini dalam penggunaan bahasa Arab disebut ashabah. Oleh karena yang berhak atas seluruh harta atau sisa harta itu menurut ahlussunnah pada dasarnya adalah laki-laki, maka untuk selanjutnya kata ashabah itu digunakan untuk ahli waris yang berhak atas seluruh harta atau sisa harta setelah diberikan kepada ahli waris dzawil furudh. Karena dalam bentuk kewarisan seperti ini tidak ada bagian yang tertentu selain dari bandingan bahwa laki-laki memperoleh bagian dua kali perempuan dalam pembagian anak atau saudara, maka pembagian di sini adalah secara rata-rata.
Ashabah terbagi menjadi 3 macam :
a. Ashabah binafsi
Ashabah binafsi adalah menerima sisa harta karena dirinya sendiri, bukan karena sebab lain. Ahli waris yang termasuk dalam ashabah binafsi ini adalah semua ahli waris laki-laki kecuali saudara laki-laki seibu. Mereka adalah :
(1)
keponakan atau anak-cucu, maka ninik mamaklah yang memimpin seluruh masyarakat suku Domo yang ada, dalam istilah adat disebut mangampuong atau baungguok, guna mencari dana untuk membantu anak-keponakan melaksanakan acara berdoa/ pesta, terutama membantu dalam boghe bapompek-ompek, piti bauang-uang (beras seperempat-perempat, uang berupiah-rupiah). Itulah yang dibentuk oleh ninik mamak kepada anak-keponakan-cucu dan suku selama ini. Itu yang ada dalam kampung halaman kita.
13.Pertanyaan : Bagaimana ketentuan adat tentang kewarisan dalam suku Domo?
Jawaban : Dalam ketentuan kewarisan adat suku Domo disebut dengan membagi harta pusaka. Membagi harta pusaka setelah ayah dan ibu meninggal dunia dan hanya kakak-beradik yang hidup baik perempuan maupun laki-laki. Uma sociek kobun sabidang (Rumah yang satu kebun yang satu bidang) diberikan kepada anak perempuan yang paling kecil. Jika ada harta yang lain, baik itu tanah, kebun karet atau kebun sawit, barulah anak yang lain mendapatkannya. Anak yang paling tua sebagai wali waris, yang laki-laki, yang akan membagikan harta warisan ayah dan ibunya kepada adik-adiknya. Itulah yang datuk ketahui tentang kewarisan dalam adat suku Domo.
14.Pertanyaan : Apakah pedoman masyarakat dalam sistem kewarisan adat suku Domo?
Jawaban : Pedoman kewarisan masyarakat suku Domo adalah ketentuan masyarakat (suku Domo) itu tadi, setelah harta itu dibagi kepada anak perempuan atau kepada anak laki-laki, disitulah ketentuan harta ahli warisnya. Berapa yang didapat anak laki-laki, berapa pula yang didapat anak perempuan. Itu yang datuk tahu dalam pembagian harta yang didalam adat suku Domo disebut pusako. Adat dibawa agama juga dibawa sehingga adat dan agama merupakan hal yang sejalan dan sejajar. 15.Pertanyaan : Peranan apa yang Bapak berikan sebagai pemuka adat
kepada masyarakat dalam menjalankan hukum waris?
Jawaban : Dalam ketentuan adat, ninik mamak memberikan pembelajaran dan penjelasan kepada ahli waris dalam pembagian harta waris, harta waris ibu dan ayah, ayah meninggal dan ibu juga telah meninggal dunia. Anak pertama disebut sebagai wali waris. Ninik mamak membawa pemuka masyarakat untuk membagi harta warisan yang akan dibagikan oleh wali waris tersebut.
16.Pertanyaan : Siapa saja yang menjadi ahli waris dalam kewarisan adat suku Domo?
Jawaban : Didalam ketentuan adat yang menjadi ahli waris adalah satu orang anak atau dua orang anak atau lima orang anak (anak), anak tertua disebut wali waris. Disitulah ketentuannya yang membagi harta warisan kepada ahli waris adalah wali waris yaitu anak yang paling tua. Anak itulah yang memegang dan membagikan harta warisannya. Harta
(2)
ayah atau harta ibunya, setelah ayah dan ibunya meninggal dunia diberikan kepada wali warisnya.
17.Pertanyaan : Bila tidak mempunyai keturunan, diberikan kepada siapa warisan tersebut?
Jawaban : Menurut ketentuan adat, seorang ibu atau ayah tidak memiliki keturunan sementara harta warisannya banyak, atau ayah ibu meninggal anakpun terlebih dahulu meminggal, maka dicarilah anak yang satu ayah. Kalau tidak ada anak yang satu ayah, maka dicari saudara dari garis ayah, didalam adat disebut sanak bapak. Tetap ada. Tidak mungkin tidak ada. Jadi yang pertama sekali jika tidak ada sekandung, maka anak bawaan ayah, jika tidak ada maka jatuh kepada saudara ayah.
18.Pertanyaan : Kapankah dan dimana pembagian harta warisan diberikan kepada ahli waris?
Jawaban : Menurut hukum adat yang berasal dari datuk yang cerdas mamak yang pandai, pembagian harta pusaka dilakukan pada hari kamis kelima yang didalam istilah adat disebut tompu basaghang. Setelah acara doa bersama pada hari kamis kelima, maka berkumpullah pemuka adat dan pemuka agama untuk menentukan pembagian harta ahli warisnya. Selepas kamis yang kelima menurut ketentuan adat di desa-desa.
19.Pertanyaan : Mengapa ketentuan kewarisan suku Domo tidak menetapkan besarnya bagian ahli waris sesuai bagian yang ditetapkan
Jawaban : Besar tidaknya menurut ketentuan adat atau agama, jika banyak hartanya maka banyak pula bagian yang dia dapat, jika sedikit hartanya maka dapat bagian yang kecil. Jadi tidak disamakan/ dipatokkan. Kalau disamakan juga dalam istilah kampung disebut kayu di dalam imbo samo tenggi indak ado angin nan kan lalu do (jika kayu di dalam hutan sama tinggi maka angin tidak akan bisa lewat). Jadi harta ini tidak dapat ditentukan. Jika kecil tetap dibagi sama kecil yang besar tetap dibagi sama besar. Itu menurut ketentuan adat.
20.Pertanyaan : Bagaimanakah penerapan kewarisan hukum Islam dalam ketentuan kewarisan adat suku Domo?
Jawaban : Dalam suku Domo ketentuan adat dengan agama berlandaskan pada adat basondi ka syarak syarak basondi kitabullah. Jadi ketentuan adat basondi ka syarak syarak basondi kitabullah, disitulah ketentuan adat dengan agama sama.
21. Pertanyaan : Bagaimana masyakat memahami sistem kewarisan hukum agama Islam dan adat?
Jawaban : Ilmu agama dan adat agar dapat dipahami oleh masyarakat anak-keponakan, setiap bulan atau setiap tahun diadakan musyawarah ninik mamak dengan anak kepenakan di balai adat. Di situlah ninik mamak memberi petunjuk adat dan petunjuk agama kepada anak-cucu dan anak-kepenakan, adik atau kakak.
(3)
WAWANCARA DENGAN MUHAMMAD TAMRIN
ALIM ULAMA MASYARAKAT SUKU DOMO DI DESA BULUH CINA KECAMATAN SIAK HULU KABUPATEN KAMPAR-RIAU
1. Pertanyaan : Bagaimana sistem kewarisan adat suku Domo?
Jawaban : Cara kewarisan adat suku Domo itu yang ada di sini adalah kekerabatan dan kekeluargaan. Dimana ahli waris itu baumbuok dan berunding untuk mencari kata mufakat sehingga sama-sama merasa senang, merasa puas. 2. Pertanyaan : Apakah pedoman masyarakat dalam sistem kewarisan adat suku
Domo?
Jawaban : Yang dijadikan pedoman dalam suku Domo tentunya aturan adat itu sendiri yang telah dibuat secara turun-temurun dari nenek moyang kita dahulu sampai saat ini. Sebagai mana kata pepata, nan la pase dek baikuik, nan la losuo dipakai.
3. Pertanyaan : Peranan apa yang Bapak berikan sebagai tokoh agama kepada masyarakat dalam menjalankan hukum waris?
Jawaban : Peranan kami selaku tokoh agama ini tentunya adalah menyampaikan, menyampaikan cara-cara yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Islam. Tetapi cara mana yang dipakai oleh mereka itu, apakah adat atau agama, itu tergantung kepada mereka itu sebagai ahli waris.
4. Pertanyaan : Siapa saja yang menjadi ahli waris dalam kewarisan adat suku Domo?
(4)
Jawaban : Orang yang menjadi ahli waris dalam adat suku Domo ini terutama tentulah anak yang meninggat itu. Kemudian orang tua, saudara ayah yang sedarah. Itulah orangnya.
5. Pertanyaan : Bila tidak mempunyai keturunan, diberikan kepada siapa warisan tersebut?
Jawaban : Jika yang meninggal itu tidak ada anaknya, tentu diberikan ke orang tuanya. Itupun jika orang tua masih hidup. Jika tidak juga, maka harta warisan diberikan kepada saudaranya dari pihak ayah yang sedarah tadi.
6. Pertanyaan : Kapankah dan dimana pembagian harta warisan diberikan kepada ahli waris?
Jawaban : Biasanya harta warisan ini dibagi jika ayah dan ibunya telah meninggal. Tempatnya di rumah soko atau rumah tuo. Jika tidak juga, maka di rumah saudaranya yang dituakan. Jika tidak juga, maka dibalai adat. Itu dikerjakan setelah terjadi pula atau sesudah bilang aghi namanya kalau di sini, itu selepas hari kamis yang kelima atau istilahnya tungku basaghang.
7. Pertanyaan : Mengapa ketentuan kewarisan suku Domo tidak menetapkan besarnya bagian ahli waris sesuai bagian yang ditetapkan hukum Islam?
Jawaban : Sebab karena sudah menjadi ketentuan adat itu seperti itu. Dimana adat ini ‘kan sudah ada sejak nenek moyang kita dahulu. Yang pengambilan suku ini diambil dari suku ibunya. Jika ibunya suku Domo, maka anaknyapun suku Domo. Dari sana sudah terlihat oleh kita, dikembangkan dan
warisan ini, anak perempuan yang benar-benar diperhatikan. Maka uma nan sabua tana nan sabidang diberikan kepada anak perempuan. Tentu timbul pertanyaan, bagaimana jika anak perempuan ini lebih dari satu orang? Harta itu diberikan kepada anak perempuan yang bungsu atau yang paling kecil. Itupun ada ketentuannya. Maksud rumah itu adalah uma tuo atau uma pusako atau rumah peninggalan orang tua. Tanah atau kebun yang sebidang ini adalah lahan untuk berkebun. Atau berladang padi yang paling besarnya, lebih kurang 1 hektar (ha) tanah biasanya. Lebih dari itu dibagikan kepada ahli waris yang lainnya, dimana sibungsu tadipun mendapakan juga sama banyaknya.
8. Pertanyaan : Bagaimanakah penerapan kewarisan hukum Islam dalam ketentuan kewarisan adat suku Domo?
Jawaban : Diterapkannya hukum Islam ini dalam kewarisan adat suku Domo ini adalah apabila cara kekerabatan dan kekeluargaan tidak lagi mendapatkan kata mufakat, atau sebagai mana kata pepata adat, kok kusik ndak bisa slosai, kok nan kowuo ndak bisa jonie, maka diselesaikan secara hukum Islam. Sesuai juga kata adat yang berlandaskan mengatakan, adat basondin syarak, syarak basondin Kitabullah. Namun, sepanjang pengetahuan dan kejadian selama ini, di sini belum ada dijumpai yang tidak mengikuti aturan adat
9. Pertanyaan : Bagaimana masyakat memahami sistem kewarisan hukum Islam dan adat?
Jawaban : Cara masyarakata memahami kewarisan hukum Islam di kampung ini melalui pengajian atau ceramah agama yang disampaikan oleh ustad-ustad, alim ulama, yang diadakan di suwou ataupun di masjid. Ditambah lagi oleh
(5)
WAWANCARA DENGAN SUMISSRI
AHLI WARIS YANG TELAH MENDAPATKAN HARTA WARISAN SECARA KEWARISAN ADAT SUKU DOMO
1. Pertanyaan : Bagaimana sistem kewarisan adat suku Domo?
Jawaban : Kewarisan adat suku Domo di kampung kami (Pasir Putih) yaitu jatuh kepada anak perempuan yang paling kecil. Misalnya seperti ibuk sekarang ini mempunyai tiga orang anak, anak yang pertama laki-laki, anak yang kedua dan anak yang bungsu adalah perumpuan, maka harta warisan diberikan kepada anak perempuan bungsu contohnya uma ciek tana sabidang atau ada sedikit-banyaknya harta di dalam rumah itu jatuh kepada anak bungsu. Jika masih ada sisa yang ditinggalkan (harta warisan) baik itu seidit atau banyak, maka harta warisan tersebut dibagi rata atau dibagi tiga. Anak yang bungsu masih mendapatkan sebagian harta warisan tersebut. itulah adat suku Domo di kampung ibuk. Banyak bagian untuk anak perempuan, terutama anak paling bungsu.
2. Pertanyaan : Bagaimana masyakat memahami sistem kewarisan secara hukum Islam dan adat?
Jawaban : Kewarisan hukum Islam, seperti anak-anak kami sekarang ini, didapat olehnya di bangku pendidikan agama seperti dari TPA, MDA. Untuk yang tua-tua didapat dari pengajian-pengajian atau mengikuti majelis taklim atau ceramah-ceramah agama yang diadakan di masjid atau mushallah. Kewarisan adat itu dari nenek moyang kami, atau pemuka masyarakat yang diajarkan kepada anak-kemenakan, anak-cucu secara turun-temurun.
3. Pertanyaan : Siapa saja yang menjadi ahli waris dalam kewarisan adat suku Domo?
(6)
Jawaban : Yang wajib menjadi ahli waris dalam suku Domo yaitu anak kandung, anak yang saamak saayah. Itu yang wajib mendapatkan ahli waris. 4. Pertanyaan : Jika tidak mempunyai keturunan, kepada siapakah harta warisan
itu diberikan?
Jawaban : Jika seandainya tidak ada keturunan, misalnya seperti ibu mungkin punya harta sedikit tetapi tidak mempuyai keturunan, tidak punya anak, ahli waris tadi jatuh kepada pihak ayah. Ini disebabkan pihak ayah itulah yang wajib karena sedarah. Itulah sepengetahuan ibuk.
5. Pertanyaan : Kapankah dan dimana pembagian harta warisan diberikan kepada ahli waris?
Jawaban : Pembagian harta warisan dibagi setelah bilang aghi istilahnya di kampung kami, kalau kami di sini bilang aghi itu setiap hari kamis. Jadi jumlah kamis itu adalah lima kali, sehingga jatuhlah kepada hari kamis yang terakhir yaitu kamis yang kelima. Pada saat itulah dibagikan harta warisan tersebut yang pembagiannya dilakukan di rumah ahli waris.
6. Pertanyaan : Apakah pedoman masyarakat dalam sistem kewarisan adat suku Domo?
Jawaban : Ketentuan yang dipegang oleh nenek mamak yang ditetapkan secara turun-temurun sampai kapada anak-cucu. Tidak bisa diganggu gutat lagi. 7. Pertanyaan : Mengapa ketentuan kewarisan suku Domo tidak menetapkan