2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pergeseran dalam pelaksanaan pewarisan harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau di
kota Padang? 3. Bagaimana cara penyelesaian sengketa yang terjadi dalam pembagian harta
pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau di kota Padang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap hukum kewarisan dan pola kekerabatan pada masyarakat adat Minagkabau.
2. Untuk mengetahui bagaimana hal tersebut menggeser hukum kewarisan harta pencaharian masyarakat adat Minagkabau.
3. Untuk mengetahui cara penyelesaian sengketa harta pencaharian yang terjadi pada masyarakat adat Minangkabau .
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
a. Secara Teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat memberukan kontribusi dalam bidang ilmu
pengetahuan Hukum Waris, khususnya hukum waris adat terutama yang berhubungan dengan pembagian warisan pada masyarakat Minagkabau
Universitas Sumatera Utara
b. Secara Praktis. Diharapkan penelitian ini kelak dapat dipergunakan manfaatnya untuk dapat
di terapkan dalam pengambilan kebijaksanaan dan pelaksanaan kewarisan, khususnya pada masyarakat adat Minangkabau.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya Universitas Sumatera Utara, yang melakukan penelitian yang berhubungan dengan
adat Minangkabau memang telah ada, tetapi yang melakukan penelitian mengenai pergeseran harta pusaka rendah belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang
pergeseran harta pusaka rendah tersebut, oleh sebab itulah saya melaukan Penelitian dengan judul “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PERGESERAN HUKUM
PEWARISAN HARTA PENCAHARIAN DALAM MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU”. Dengan demikian bahwa penelitian ini adalah asli, untuk itu
penulis dapat mempertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah. F.
Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat
ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum. Dengan itu harus cukup menguraikan
tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada
Universitas Sumatera Utara
unsur hukum. Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya.
Sebuah teori harus diuji dengan menghadapkannya kepada fakta-fakta yang kemudian harus dapat menunjukan kebenarannya.
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan- penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi
atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat
rasional serta harus berkesesuaian dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung dengan adanya fakta yang bersifat emoiris agar dapat diuji kebenarannya.
a. Pengertian Hukum Kewarisan Sebagai salah satu seorang anggota masyarakat, maka kalau kita berbicara
tentang seseorang yang meninggal dunia, arah dan jalan pikiran kita tentu akan menuju kepada masalah warisan. Pada umumnya masyarakat selalu menghendakai
adanya suatu peraturan yang menyangkut tentang warisan dan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal dunia, yakni hukum yang mengatur mengenai masalah-
masalah apakah dan bagaimanakah bermacam-macam hak dan kewajiban-kewajiban yang menyangkut harta kekayaan seseorang pada saat yang bersangkutan meninggal
dunia akan berpindah kepada orang lain yang masih hidup. Seperti kita ketahui bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia ini memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda, selain perbedaan suku bangsa juga adanya perbedaan agama dari inilah keadaan warisan dari
Universitas Sumatera Utara
masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada kekayaan dalam masyarakat
tersebut. R. Subekti beranggapan seperti halnya dengan hukum perkawinan, begitu pula
hukum waris Indonesia beraneka ragam. Disamping hukum waris menurut hukum Adat, berlaku hukum waris menurut agama Islam dan hukum waris menurut Kitab
undang-Undang Hukum Perdata Burgelijk Wetboek
8.
b. Hukum Kewarisan Adat Minangkabau
Adat Minangkabau adalah aturan hidup bermasyarakat di Minangkabau yang diciptakan oleh leluhurnya, yaitu Datuak Perpatieh Nan Sabatang dan Datuak
Katumanggung. Ajaran-ajarannya membedakan secara tajam antara manusia dengan hewan di dalam tingkah laku dan perbuatan, yang didasarkan kepada ajaran-ajaran
berbudi baik dan bermoral mulia sesama manusia dan alam lingkungannya.
9
Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu
10.
: 1. Garis keturunan menurut garis ibu
2. Perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.
8.
R, Subekti, Kaitan Undang-undang Perkawinan Dengan Penyusunan Hukum Waris, dikutip dari Surini ahlan, Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan
Menurut Undang-Undang , Kencana, Jakarta, 2005, Hal 2
9
H. Idrus Hakimy DT Rajo Penghulu, Op cit, hal 13
10 .
Amir MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang buku I, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2003, hal 23
Universitas Sumatera Utara
3. Ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengaman kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.
Namun bila diperhatikan dari sejarah Minangkabau, terlihat bahwa yang memegang kekuasaan, baik dalam lingkungan bawah, tengah maupun atas adalah
tetap laki-laki. Setiap rumah gadang dikepalai oleh tungganai. Dalam lingkungan suku
yang berkuasa adalah penghulu. Dalam lingkungan nagari kekuasaan berada di tangan penghulu puncuk. Dalam lingkungan Minagkabau yang berkuasa adalah Rajo
nan tigo silo . Keseluruhan adalah laki-laki. Dalam Dewan Mentri yang dikenal
dengan Basa Ampek Balai, semuanya juga laki-laki. Demikian pula semua pimpinan nagari yang disebut orang empat jenis juga laki-laki. Dapat dikatakan bahwa seluruh
bentuk kekuasaan di luar rumah tangga, baik yang menyangkut bidang politik atau mewakili keluarga dalam forum umum adalah laki-laki.
11
Ada beberapa bentuk kekuasaan terpegang di tangan perempuan seperti kekuasaan ke dalam di rumah gadang
12
, dalam mengurus harta pusaka dan dalam setiap upacara perkawinan. Namun bila diperhatikan kekuasaan yang dipegang oleh
perempuan tersebut, ternyata bahwa pada umumnya kekuasaan itu mempunyai hubungan yang rapat dengan peranannya dalam kelangsungan keturunan dan tidak
akan menempatkannya pada pusat kekuasaan. Jadi sesungguhnya kedudukan wanita yang dominant di dalam rumah tangga sama sekali tidak memojokkan kaum lelaki.
11
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau
, Jakarta Gunung Agung, 1984, hal 183
12
Rumah gadang adalah rumah bersama, disebut juga “Rumah Adat” dari keluarga besar menurut garis keturunan ibu. Rumah itu terdiri dari beberapa ruang dan tiap-tiap ruang didiami oleh
seorang ibu yang membpunyai beberapa orang anak, sehingga rumah gadang adakalanya mempunyao anggota sampai 80 orang.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan utama sistem matrilineal adalah untuk menunjang tinggi martabat manusia dengan memberikan emansipasi seimbang persamaan hak kepada lelaki
dan perempuan. Seorang perempuan berhak melarang atau menolak kesepakatan- kesepakatan yang diambil di luar sepengetahuannya. Ia juga berhak mengajukan usul-
usul dan saran-saran dalam rapat keluarga, kaum dan nagari. Bahkan dewasa ini kedudukannya telah bertambah kokoh di tengah-tengah masyarakat, mereka juga
mendapat tempat dalam organisasi KAN Kerapatan Adat Nagari
13
Rumah gadang atau rumah besar adalah ciri dari suatu keluarga besar extended family. Kekerabatan matrilineal Minangkabau adalah dalam bentuk
keluarga besar. Oleh karena itu salah satu ciri dari sistem kekerabatan matrilineal Minagkabau ialah adanya rumah gadang.
Pengertian keluarga di Minangkabau adalah kerabat terdiri dari nenek perempuan dan saudara-saudaranya, anak laki-laki dan perempuan dari nenek
perempuan terdiri dari ibu dan saudara laki-laki dan perempuan dan seluruh anak ibu dan anak saudara-saudaranya yang perempuan. Keluarga adalah kesatuan terkecil
dalam unit kekerabatan menurut garis keibuan
14
Nenek moyang dahulu menginginkan supaya keluarga besar itu berada dalam satu tempat tertentu. Karena itulah tempat tinggal dibuat sedemikian rupa supaya
dapat menampung seluruh keluarga besar. Dari rumah itulah diatur segala sesuatu
13
B. Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, pustaka Indonesia, Bukittinggi, 1995, hal 51
14
Sayfnir Abu Nain, Rosnida, Ishaq Thaher, Kedudukuan dan Peranan WanitaDalam Kebudayaan Suku Bangsa Minangkabau
, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998 hal 47
Universitas Sumatera Utara
yang menyangkut dengan kehidupan keluarga. Dalam hal ini rumah gadang bukan hanya dipandang sebagai fisik dalam bentuk tempat tinggal, tetapi juga dari segi pusat
administrasi pemerintahan kerabat matrilineal. Dalam perkembangannya dan kenyataanya rumah gadang mengalami
dilemma. Dalam hal ini semakin berkembangnya anggota keluarga, keadaan rumah gadang tidak lagi dapat menampungnya. Untuk maksud menampung penambahan
anggota ini perlu dibangun rumah baru. Supaya kontrol terhadap anggota yang merupakan salah satu fungsi rumah gadang itu tercapai, rumah baru tersebut harus
disekitar rumah gadang, yaitu tanah pusaka. Hal ini berarti mengurangi areal tanah pertanian yang dapat dijadikan tulang punggung rumah gadang.
15
Hal ini menyebabkan banyaknya masyarakat Minagkabau yang merantau dengan cara berdagang dan karena semakin menyusutnya tanah pusaka, berarti pula
melemahkan fungsi rumah gadang itu sendiri. Pengaruh dari luar daerah mempercepat hilangnya fungsi rumah gadang.
Pengaruh yang dari dalam ialah dari hukum Islam yang menuntut tanggung jawab seorang laki-laki terhadap anak dan istrinya. Pada waktu ini ternyata bahwa
kewajiban utama seseorang laki-laki adalah untuk kehidupan anak dan istrinya. disamping itu urang sumando sudah mempunyai kedudukan yang kuat di rumah
istrinya. Sumando yang sudah menetap yang telah mempunyai kekuasaan di rumah gadang untuk hidup dengan keluarga inti.
15
Amir Syarifudin Op.Cit hal 208
Universitas Sumatera Utara
Sewaktu anggota keluarga sudah berkembang, maka hasil dari harta pusaka, kalau tidak akan kurang dari kebutuhan keluarga, setidaknya tidak akan berlebih
untuk memperkembang harta pusaka yang ada itu. Dalam keadaan demikian, laki-laki dalam keluarga itu berusaha keluar dari lingkungan harta pusaka, dengan begitu
kehidupan ekonomi yang semula berada di sekitar harta pusaka yang sudah ada, bergerak kearah kehidupan yang berada di luar lingkungan harta pusaka, yang
sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka.
Adanya pemisahan harta pencaharian itu dianggap oleh sebagian masyarakat Minangkabau sebagai titik awal dari pemilikan perorangan dalam harta di
Minangkabau. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya pemilikan perorangan tersebut. Diantaranya yang dianggap pokok adalah sistem ekonomi
modern yang menyebabkan seseorang berusaha diluar harta pusaka.
16
Namun dalam hal pemisahan harta pencaharian itu, faktor kesadaran akan tanggung jawab terhadap
anak sebagai pengaruh agama islam lebih menentukan. Adanya pemisahan pemisahan harta pencaharian menyebabkan timbulnya
pengakuan akan adanya hak anak pada harta tersebut. Mula-mula adanya hak anak atas harta pencaharian ayahnya melalui lembaga hibah, kemudian berangsur-angsur
adanya pengesahan formal dari putusan dan kesepakatan bersama para ninik mamak,dan alim ulama dalam pertemuan yang diadakan di Bukit tinggi 1952. dalam
pertemuan itu ditetapkan bahwa harta pusaka diturunkan secara adat dan harta
16
Ibid, hal. 243
Universitas Sumatera Utara
pencaharian dibagi menurut hukum waris Islam. Kesepakatan tahun 1952 itu dikuatkan lagi dalam seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang
pada tahun 1968. Dengan adanya berbagai perubahan tersebut di atas, maka lambat laun system
kewarisan matrilineal akan bergeser dan menjadi sistem kewarisan bilateral. Dimana sistem pewarisan keluarga luas menjadi sistem keluarga inti untuk masalah harta
pusaka rendah. Hukum adat Minangkabau mempunyai asas-asas tertentu dalam kewarisan,
asas-asas itu banyak bersandar kepada sistem kekerabatan, karena hukum kewarisan suatu masyarakat ditentukan oleh struktur kemasyarakatan. Sistem kewarisan
berdasarkan kepada pengertian keluarga karena kewarisan itu adalah peralihan sesuatu baik berwujud benda atau bukan benda dari suatu generasi dalam keluarga
berdasarkan pada perkawinan, karena keluarga tersebut dibentuk melalui perkawinan. Dengan demikian, kekeluargaan dan perkawinan menentukan bentuk sistem
kemasyarakatan.
17
Adat Minangkabau mempunyai pengertian tersendiri tentang keluarga dan tentang cara-cara perkawinan. Dari kedua hal ini muncul ciri khas struktur
kemasyarakatan Minangkabau yang menimbulkan bentuk atau asas tersendiri pula dalam hukum kewarisan. Beberapa asas pokok dari hukum kewarisan Minagkabau
yaitu :
18
17
Iskandar Kamal.,Op Cit, hal 153
18
Amir Syarifuddin, Op Cit hal 231
Universitas Sumatera Utara
1. Asas unilateral adalah hak kewarisan hanya berlaku dalam satu garis kekerabatan dan satu garis kekerabatan disini ialah garis kekerabatan ibu dan
kebawah di teruskan kepada anak cucu melalui anak perempuan. 2. Asas kolektif berarti bahwa yang berhak atas harta pusaka bukanlah ornag
perorangan, tetapi suatu kelompok secara bersama-sama. Berdasarkan asas ini maka harta tidak dibagi-bagi dan disampaikan kepada kelompok-kelompok
penerimanya dalam bentuk kesatuan yang tidak terbagi. 3. Asas keutamaan berarti bahwa dalam penerimaannya harta pusakapenerima
peranan untuk mengurus harta pusaka terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak itu masih ada, maka yang lain belum
akan menerima.
c. Pergeseran Pewarisan Harta Pencaharian Di Lingkungan Adat Minangkabau
1 Pemisahan Harta Pencaharian dari Harta Pusaka. Harta pusaka sebagai unsur pokok dalam organisasi kekerabatan matrilineal
Minangkabau,
19
menurut asalnya diperoleh oleh nenek moyang yang mula-mula mendiami suatu tempat. Di tempat itu mereka mengolah hutan tinggi menjadi tanah
pertanian dan dan perumahan. Pengertian keluarga menurut sistem matrilineal terbatas pada ibu dan anak-
anaknya baik laki-laki atau perempuan berikutnya kebawah bersama anak-anak dari anak perempuannya. Keseluruhannya berada dalam suatu tempat tinggal dalam
19 .
Ibid . hal 260
Universitas Sumatera Utara
bentuk rumah gadang. Harta yang diperoleh oleh ibu asal itu dipergunakan untuk kepentingan seluruh keluarga dalam rumah itu dan menjadi milik bersama bagi
seluruh anggota tersebut. Harta itulah yang disebut harta pusaka. Harta tersebut melekat pada rumah.
Pada waktu kehidupan masih sederhana, tanah pusaka masih banyak dan anggota keluarga belum berkembang, maka kehidupan di rumah itu dapat dibiayai
dengan hasil yang diperoleh dari harta pusaka itu. Setiap laki-laki dewasa di rumah itu berkewajiban untuk memperkembangkan harta pusaka. Usaha pengembangan
dapat ditempuh dengan hasil yang diperoleh dari harta pusaka. Hal tersebut mulanya memungkinkan karena hasil harta pusaka melebihi kebutuhan keluarga itu.
Di samping itu ditempuh pula dengan jalan menaruko tanah ulayat kaum. Dengan demikian terlihat bahwa di tangan suatu keluarga terdapat dua bentuk
harta. Pertama harta yang sudah ada yang diperolehnya sebagai peninggalan generasi sebelumnya di rumah itu. Harta itu disebut harta pusaka dalam arti sebenarnya.
Kedua harta yang didapatnya sendiri melalui hasil usahanya baik secara menaruko menggarap tanah mati atau melalui hasil yang diperoleh dari harta pusaka. Harta
yang demikian kemudian disebut dengan harta pencaharian. Walaupun pada waktu itu telah kelihatan bentuk harta pencaharian, namun harta pencaharian itu masih terkait
secara rapat dengan harta pusaka. Terkaitnya harta pencaharian dengan harta pusaka pada waktu itu adalah
karena seluruh harta pencaharian itu berasal dari harta kaum. Pada bentuknya yang pertama karena modal usaha seluruhnya berasal dari harta pusaka. Pada bentuknya
Universitas Sumatera Utara
yang kedua yaitu hasil teruko, karena diteruko dari tanah ulayat kaum maka berarti modal usahanya juga dari harta pusaka. Itulah sebabnya harta pencaharian yang
diperoleh seseorang pada waktu meninggalnya akan digabungkan ke dalan harta pusaka. Anak kemenakan kemudian mendapatkannya sebagai harta pusaka yang tidak
terpisah dari harta yang diperoleh dari generasi sebelumnya. Dari segi penggunaan, tidak ada perbedaan antara harta yang didapat melalui
pusaka dengan yang didapat melalui usahanya, sendiri. Keduanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Pada bentuknya yang pertama yaitu harta
pusaka,memang digunakan untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Dalam bentuknya yang kedua yaitu harta pencaharian, karena modalnya dari harta pusaka,
maka wajarlah dipergunakan untuk keluarga matrilinealnya. Oleh karena itu tidak ada yang mendorong seseorang untuk membawa harta itu keluar dari lingkungan harta.
kaumnya.
2 0
Sewaktu anggota keluarga sudah berkembang, maka hasil dari harta pusaka tidak lagi mencukupi kebutuhan keluarga. Dalam keadaan demikian,laki-laki dalam
keluarga itu berusaha keluar lingkungan harta pusaka, terutama bila tanah ulayat kaum yang akan diterukopun sudah tidak ada. Dengan begitu kehidupan ekonomi
yang semula berada disekitar harta pusaka yang sudah ada, bergerak kearah kehidupan yang berada diluar lingkungan harta pusaka.
Terpisahnya pengertian Mata pencaharian dari harta pusaka dapat dipastikan berlaku semenjak Islam masuk di Minangkabau. Tetapi karena kuat pengaruh adat
20
Amir Syarifuddin, Op Cit, hal 263
Universitas Sumatera Utara
yang berlaku maka tidak begitu saja harta pencaharian dapat diwariskan kepada anak istri. Anak dan istri hanya sebatas dapat menikmati semasa hidup di surga, karena
sistem perkawinannya semendo. Karena terdorong dari tanggungjawab dari suami, sesuai dengan pengaruh
agama Islam yang mengajarkan agar seorang ayah bertanggungjawab pada anaknya, maka timbul dorongan untuk mengeluarkan hasil usahanya sendiri dari kelompok
harta pusaka. Sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka.
Pepatah adat yang berbunyi: anak dipangku kemenakan dibimbing diperkirakan munculnya sesudah Islam masuk Minangkabau dan mulai timbul
kesadaran untuk membiayai kehidupan anak dan istri, disamping tidak melepaskan tanggungjawab kepada kemenakan. Adanya tugas ganda itu memberatkan
tanggungjawab seorang laki-laki Minangkabau. Selanjutnya timbul gagasan untuk membagi fungsi harta yang dimiliki seseorang sebagaimana tergambar dalam pepatah
adat sebagai berikut:
21
Padang bernama Penjaringan Tempat bertemu rang bertiga
Merurdingkan adat dan lembaga Anak dipangku dengan pencaharian
Kemenakan dibimbing dengan pusaka Orang kampong ditenggang dengan bicara
21
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Bandung: Sumur Bandung, 1980, hal. 124.
Universitas Sumatera Utara
Dari pepatah tersebut diatas, nyata bahwa pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka tersebut hakekatnya adalah pemisahan dalam fungsi dan kegunaan dari
harta. tersebut. Harta pusaka sepenuhnya dipergunakan untuk kepentingan keluarga matrilineal. Dengan pemisahan itu dimaksudkan bahwa dalam harta pencaharian ada
kebebasan pribadi yang berusaha, untuk menggunakan bagi kepentingan pribadi tanpa memerlukan persetujuan atau izin dari pihak keluarga matrilineal.
Terpisahnya harta pencaharian seseorang dari harta pusaka berlaku secara berangsur-angsur dan baru sampai pada tahap akhir dengan adanya pengesahan
formal dari putusan dan kesepakatan bersama para ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai dalam pertemuan yang diadakan di Bukittinggi pada tahun 1952.
Kesepakatan tahun 1952 itu dikuatkan lagi dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tahun 1968.
Dalam hubungannya dengan hak penggunaan harta pencaharian dapat dibagi dua macam. Pertama: Harta pencaharian yang bersumber dari harta pusaka seperti
menggarap tanah pusaka dalam bentuk genggam beruntuk atau menaruko tanah ulayat kaum. Dalam hal ini kebebasan seseorang masih dibatasi oleh kepentingan
kaum, karena bagaimanapun juga hak kaum masih terdapat di dalamnnya. Kedua, harta pencaharian yang tidak bersumber dari harta pusaka seperti yang
diperoleh dari menjual jasa atau hasil penjualan jasa itu. Dalam hal ini kebebasan yang berusaha tidak dibatasi kaum, karena hal keluarga matrilineal sama sekali tidak
terdapat di dalamnya. Kebebasan pribadi berlaku dalam harta pencaharian dalam bentuk terakhir itu.
Universitas Sumatera Utara
Adanya kebebasan pribadi dalam menggunakan harta pencaharian, besar sekali pengaruhnya atas si laki-laki untuk berusaha, karena ia meyakini bahwa apa yang
diperolehnya dari usahanya itu adalah untuk kepentingan sendiri bagi, keluarganya. Segi kelemahan dari kebebasan pribadi dalam harta pencaharian ialah tidak
terjaminnya kelestarian harta itu, karena bila seseorang bebas dalam memamfaatkan harta yang diperolehnya, juga bebas untuk bertindak mengalihkan harta itu, tanpa ada
hak orang lain untuk mengawasinya. Dalam hal menjaga kelestarian harta, sifat kolektif dari harta pusaka, dengan
berlakunya pepatah adat: jual tidak dimakan beli, gadai tidak dimakan sando, sangat menyulitkan untuk melepaskan harta itu keluar lingkungan keluarga, sehingga
harta pusaka dapat bertahan.
22
Walaupun dari segi luas arealnya harta pusaka dapat bertahan, namun dari segi kegunaanya tidak lagi dapat mencukupi bagi kepentingan anggota keluarga. Hal ini
mendorong anggota keluarga mengembangkan usahanya diluar harta pusaka. Kalau dulunya pengembangan harta diluar lingkungan harta pusaka dalam rangka
memperbanyak harta pusaka, maka dengan terpisahnya pengertian harta pencaharian itu, usaha tidak lagi berarti memperluas harta pusaka, tetapi yang jelas
lapangan harta pencaharian- semakin berkembang. Dalam perkembangan selanjutnya terlihat bahwa harta pencaharian lebih berperan dan lebih penting artinya dari harta
pusaka itu sendiri
23
22
Hamka, Adat Minangkabau dan Hukum Pusakanya, Mukhtar Naim ed, Center for Minangkabau Studies: Padang, 1968, hal. 30.
23
Herman Sihombing, Pembinaan Hukum Waris Dan Hukum Tanah Di Minangkabau, Mukhtar Naim ed, Center For Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal 69.
Universitas Sumatera Utara
2. Kerangka Konsepsi
Agar tidak terjadi kesalah fahaman terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam tesis ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai,
yaitu sebagai berikut: Hukum adalah peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau adat yang
dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak : Undang-undang, peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat, ketentuan, kaedah,
patokan keputusan hakim
24
Warisan adalah : soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu ia meninggal dunia akan
beralih kepada orang lain yang meninggal
25
Hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf a adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan tirkah pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan baru dapat berlaku jika
pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat islam merupakan Ibadah.
Hukum waris adat adalah waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang
yang tidak berwujud benda immaterele goerderen dari suatu angkatan manusia generalite kepada turunannya
26
24
Hoetomo, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Mitra Pelajar, Surabaya, Hal 188
25
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, hal 3P
26
zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum waris Di Indonesia, Sinar Grafika, 2008, hal1
Universitas Sumatera Utara
Mengenai pengertian Pusaka Rendah ada beberapa pendapat antara lain menurut Amir M.S dalam bukunya yang berjudul “Adat Minangkabau Pola Dan
Tujuan Hidup Orang Minang” Harta Pusaka Rendah adalah: segala harta hasil pencaharian dari bapak bersama ibu orang tua kita selama ikatan perkawinan,
ditambah dengan pemberian mamak dan tungganai kepada kemenakannya dari hasil pencaharian mamak dan tungganai itu sendiri.
Harta pencaharian yang merupakan penghasilan wanita yang menikah merupakan penghasilan kedua suami istri yang terikat dalam perkawinan dan selama
perkawinan. Bila terjadi perceraian hidup atau karena meninggal dunia maka harta pencaharian wanita tersebut adalah seperdua dari seluruh pengahasilan kedua suami
istri itu . rumusan adat Minagkabau mengenai hal ini adalah : “sekutu di balah, suarang dibagi”
27
Sedangkan menurut Salmi Saleh,S.H dalam bukunya “Minangkabau Menjawab Tantangan Jaman” harta pusaka rendah adalah hasil pencarian mamak
yang diberikan kepada dunsanak atau kemenakannya yang tidak dimaksudkan sebagai harta susuak. Harta pusaka rendah yang diberikan mamak ini bisa dijual
belikan, tetapi tentunya atas persetujuan mamak. Tetapi kalau sudah digabungkan kepada pusaka tinggi, harta pencaharian mamak ini tidak lagi dikatakan sebagai
pusaka rendah, karena dia sudah menjadi pusaka tinggi dan menjadi milik kaum yang diatur secara adat.
27
Amir M.S “Tanya Jawab Adat Minagkabau Hubungan Mamak Rumah Dengan Sumando” Mutiara Sumber Widya,2003,hal 29
Universitas Sumatera Utara
Harta pusaka rendah adalah harta hasil karya atau pencaharian suami istri dalam suatu perkawinan. Seorang laki-laki yang berusaha bersama istrinya dan
mendapatkan harta selama bersuami istri maka harta yang di dapat tersebut mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat adat minagkabau yang disebut
dengan harta pencaharian. Apabila pada suatu waktu perkawinan tersebut terhenti baik karena perceraian atau karena meninggalnya salah satu pihak, maka menurut
norma adat harta peninggalan tersebut dibagi dua, separohnya menjadi hak dari suami atau kemenakannya dalam kaumnya, dan separuh lagi untuk istri maupun anaknya.
28
Jika dilihat dari Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang berkenaan dengan persoalan harta kekayaan suami isteri akan dapat mempunyai
hubungan kewarisn itu termuat dalam pasal 35, 36, dan 37. pasal-pasal itu berbunyi : Pasal 35 : 1 Harta benda yang diperoleh dalam perkawinan menjadi harta bersama.
2 Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36 : 1 Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2 Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
28
Iskandar Kamal, Op Cit, Hal 12
Universitas Sumatera Utara
Pasal 37 : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Jika dilihat menurut UU Nomor 1 tahun 1974 yaitu Undang-undang perkawinan dengan harta pusaka rendah pada masyarakat Minangkabau sejalan
beriringan. Pada penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa harta yang diperoleh pada saat terjadinya perkawinan merupakan harta bersama, dimana pengolahan dan
peruntukannya sama seperti yang diterapkan dalam masyarakat Minagkabau. yaitu harta bersama dikelola oleh para pihak secara bersama, sedangkan harta yang
diperoleh sebelum terjadinya perkawinan dikuasai oleh masing-masing pihak. Jika terjadinya perceraian baik itu cerai hidup ataupun mati pada masyarakat
Minangkabau juga menerapkan harta bersama diwariskan sesuai dengan hukumnya masing-masing.
Masyarakat adalah pergaulan hidup manusia, sehimpunan manusia yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu: orang banyak,
khalayak ramai.
29
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif analisis,
30
karena metode yang digunakan untuk menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian akan menghubungkan
29
Hoetomo, Op Cit, hal 188
30
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, Hal 8, menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang
sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.
Universitas Sumatera Utara
dengan keadaan atau fenomena dalam praktek yang pelaksanaan hukumnya berhubungan dengan pelaksanaan pembagian warisan pada masyrakat adat
Minangkabau. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
empiris. Penggunaan pendekatan yuridis empiris sebagai pendekatan masalah dengan
melihat ketentuan-ketentuan yang ada, untuk melihat bagaimana ketentuan yang mengatur tentang pembagian warisan pada masyarakat adat Minangkabau dan
bagaimana pelaksanaan dari peraturan tersebut dalam kenyataan yang berkembang dalam masyarakat adat Minagkabau.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Kota Padang, dengan pertimbangan bahwa masyarakat di kota padang cukup heterogen jika dilihat dari aspek suku bangsa,
penduduk,pekerjaan dan agama. Disamping itu akses untuk mendapat keadilan melalui pengadilan lebih mudah dimana faktor-faktor tersebut sangat dominan dalam
mempengaruhi sikap dan prilaku masyarakat adat Minangkabau dalam pembagian harta pusaka rendah. Di karenakan kota padang cukup luas dan terdiri dari 11
kecamatan maka dipiilih 3 kecamatan sebagai sampel, yaitu kecamatan Kuranji, kecamatan Naggalo, dan kecamatan Koto tengah.
3. Populasi dan Sampel Penelitian
Yang menjadi sumber dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Minangkabau yang pernah melakukan pembagian harta warisan yang berdomisili di
Universitas Sumatera Utara
Kota Padang. Adapun penarikan sampel dilakukan dengan cara wawancara yaitu dengan menentukan jumlah sampel penelitian sebanyak 15 lima belas orang
masyarakat adat minangkabau dari keseluruhan populasi yang diperkirakan dapat mewakili.
Untuk melengkapi data penelitian, diperlukan tambahan informasi dari nara sumber yaitu orang yang dianggap mengetahui dan berkompeten dengan objek
penelitian sebagai informan yang terdiri dari : 1. Ketua Kerapatan Adat Nagari KAN
2. Wakil Ketua Kerapatan Adat Nagari 3. Ketua Pengadilan Negeri Padang
4. Hakim Pengadilan Negeri Padang
4. Tekhnik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka penulis menggunakan 2 dua metode, yakni :
1. Penelitian Kepustakaan. Library Research Yaitu pengumpulan data skunder baik baik berupa peraturan per Undang-
undangan dan dokumen yang berkaitan dengan objek yang diteliti
31
yang berkaitan dengan pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat adat Minangkabau.
31
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta 1996.
Universitas Sumatera Utara
2. Studi Lapangan Field Research Yaitu pengumpulan data primer yang di peroleh langsung dari informan dan
responden dengan cara menggunakan kuisioner terbuka. Dan untuk melengkapi data- data yang dibutuhkan juga dilakukan wawancara
32
5. Alat Pengumpulan Data
Alat yang dipakai dalam pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : a. Studi dokumen, yaitu mempelajari serta menganalisa bahan pustaka data
sekunder. b. Wawancara, dilakukan secara langsung dengan informan dengan
menggunakan pedoman wawancara interview guide.
6. Analisis Data
Analisa data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang di teliti
33
Untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini semua data primer dan data skunder yang diperoleh
dikumpulkan dan selanjutnya kedua jenis data itu dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis. Sedangkan evaluasi data dilakukan secara kualitatif.
32
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990, menyatakan analisi data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola,
kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat di temukan tema dan dapat di rumuskan hipotesis kerja seperti yang di sarankan oleh data.
33
Heru Irianto dan Burhan Bungin, Pokok-pokok Penting Tentang Wawancara, dalam Burhan Bungin Ed, Metodologi Penelitian Kualitatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 143,
menyatakan wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengontruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak
yaitu pewawancara interviewer yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang di wawancarai interviewee
Universitas Sumatera Utara
Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistimatis dengan menggunakan metode
induktif
34
. dengan metode ini diperoleh kesesuaian antara pelaksanaan pembagian warisan pada masyarakat adat Minangkabau dengan peraturan perundang-undangan
dan peraturan adat yang berlaku. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat digunakan dalam menjawab permasalahan dan tujuan
penelitian.
34
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997 hal 10, menggunakan prosedur induktif yaitu proses berawal dari proposisi-proposisi khusus sebagai hasil
pengamatan dan berakhir pada suatu kesimpulan pengetahuan baru berupa asas umum. Dalam prosedur induktif setiap proposisi itu hanya boleh dianggap benar kalau proposisi itu diperoleh dari
hasil penarikan kesimpulan dari proposisi-proposisi yang berkebenaran empiris.
Universitas Sumatera Utara
BAB II HUKUM YANG HIDUP MENGENAI PEMBAGIAN HARTA PUSAKA
RENDAH DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA PADANG A.
Tinjauan Umum Lokasi Penelitian 1.
Sejarah Kota Padang
Kota padang adalah salah satu kota tertua di pantai barat Sumatera di Lautan Hindia. Menurut umber sejarah pada awalnya sebelum abad ke-17 kota padang
dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minang mengarah ke pantai timur
melalui sungai-sungai besar. Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang yang jeras oleh bangsa asing serta banyaknya peperangan dan
pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera. Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang setelah malaka
ditaklukkan oleh Portugis pada akhir abad ke XVI. Sejak saat itu pantai Tiku, Pariaman dan Inderapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Pagaruyung
berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, pala dan emas.
Kemudian Belanda datang mengincar Padang karena muaranya yang bagus dan cukup besar serta udaranya yang nyaman dan berhasil menguasainya pada tahun
1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari pagaruyung. Tahun 1667 membuat Loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi dan daerah sekitarnya
dikuasai pula demi alasan keamanan.
33
Universitas Sumatera Utara