Pengujian Fraksi n-Heksan Daun Ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) yang Diperangkapkan dalam Matriks Nata Tiourea sebagai Antiinflamasi

(1)

PENGUJIAN FRAKSI n-HEKSAN DAUN RUKU-RUKU

(Ocimum sanctum L.) YANG DIPERANGKAPKAN DALAM

MATRIKS NATA TIOUREA SEBAGAI ANTIINFLAMASI

SKRIPSI

OLEH:

SUCI ANGREINI NASUTION 050804036

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGUJIAN FRAKSI n-HEKSAN DAUN RUKU-RUKU

(Ocimum sanctum L.) YANG DIPERANGKAPKAN DALAM

MATRIKS NATA TIOUREA SEBAGAI ANTIINFLAMASI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

SUCI ANGREINI NASUTION 050804036

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PENGUJIAN FRAKSI n-HEKSAN DAUN RUKU-RUKU

(Ocimum sanctum L.) YANG DIPERANGKAPKAN DALAM

MATRIKS NATA TIOUREA SEBAGAI ANTIINFLAMASI

OLEH :

SUCI ANGREINI NASUTION

050804036

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal : Agustus 2010

Pembimbing I, Panitia Penguji,

(Dr. Kasmirul R. Sinaga, M.S., Apt.)

NIP 195504241983031003 NIP 195409091982011001 (Dr. Karsono, Apt.)

Pembimbing II,

NIP 195504241983031003

(Dr. Kasmirul R. Sinaga, M.S., Apt.)

(Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt.)

NIP 195709091985112001 NIP 195304031983032001

(Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt.)

NIP 194909061980032001 (Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt.)

Medan, Agustus 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP 195311281983031002 (Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.)


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Pengujian Fraksi n-Heksan Daun Ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) yang Diperangkapkan dalam Matriks Nata Tiourea sebagai Antiinflamasi”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua saya, Ayahanda H. Herman Nasution dan Ibunda Hj. Sakdiah Lubis tercinta, serta kepada Abang saya Rifai Achmad Nasution dan Faisan Achmad Nasution atas doa, dorongan dan semangat baik moril maupun materil kepada penulis selama masa perkuliahan hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt. dan Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran, tulus dan ikhlas selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., sebagai Dekan Fakultas Farmasi yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan.


(5)

2. Ibu Dra. Salbiah, M.Si., Apt., sebagai dosen wali yang telah membimbing penulis selama masa pendidikan.

3. Bapak Dr. Karsono, Apt., Ibu Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt., Ibu Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt., sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritikan kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., selaku Kepala Laboratorium Fitokimia dan Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt., selaku Kepala Laboratorium Farmakologi yang telah memberikan fasilitas dan bantuan selama penelitian.

5. Seluruh Staf Pengajar, Pegawai Tata Usaha, Kakak-kakak, Abang-abang dan Teman-teman yang telah membantu selama penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu sangat diharapkan kritikan dan saran yang dapat menyempurnakan skripsi ini.

Medan, Agustus 2010 Penulis,

Suci Angreini Nasution NIM. 050804036


(6)

Pengujian Fraksi n-Heksan Daun Ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) yang Diperangkapkan dalam Matriks Nata Tiourea sebagai Antiinflamasi

Abstrak

Telah dilakukan fraksinasi ekstrak etanol daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) dengan pelarut n-heksan yang bermanfaat sebagai antiinflamasi. Fraksi n-heksan diperangkapkan dalam matriks nata yang memiliki absorptivitas yang tinggi. Pembuatan nata menggunakan air kelapa sebagai media pertumbuhan Acetobacter xylinum dapat dimodifikasi dengan sumber nitrogen yang berbeda seperti tiourea, sehingga memberikan variasi matriks obat yang dapat digunakan sebagai pelepasan diperpanjang.

Simplisia daun ruku-ruku dikarakterisasi, kemudian diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan etanol 80%. Ekstrak etanol yang diperoleh juga dikarakterisasi, selanjutnya difraksinasi dengan n-heksan, diuapkan memakai rotary evaporator dan dikeringkan pada freeze dryer dengan suhu -40oC. Fraksi n-heksan daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) diperangkapkan dalam matriks nata dengan sumber N dari urea (NDC) dan nata dengan sumber N dari tiourea (NT) dengan cara merendam matriks nata ke dalam fraksi n-heksan selama 24 jam lalu dikeringkan kembali pada freeze dryer. Selanjutnya diuji efek antiinflamasi dengan mengukur volume radang pada kaki tikus putih yang diinduksi dengan larutan karagenan 1% menggunakan pletismometer. Pengujian antiinflamasi dibagi menjadi 10 kelompok yaitu kontrol (CMC 0.5%, matriks NDC dan NT), pembanding indometasin (bentuk suspensi, diperangkapkan dalam matriks NDC dan NT) dosis 10 mg/KgBB, fraksi n-heksan daun ruku-ruku (bentuk suspensi, diperangkapkan dalam matriks NDC dan NT) dosis 30 mg/KgBB, 45 mg/KgBB dan 60 mg/KgBB.

Hasil karakterisasi simplisia dan eksktrak etanol daun ruku-ruku meliputi penetapan kadar air, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol, berturut-turut adalah 7.331 dan 14.657 %, 10.608 dan 13.831%, 0.471 dan 2.993%, 6.267 dan 19.396%, 4.784 dan 14.662%. Fraksi n-heksan daun ruku-ruku memiliki efek antiinflamasi dan pemerangkapannya dalam matriks NDC dan NT memberikan pelepasan obat yang diperpanjang. Perbedaan suspensi fraksi n-heksan dengan yang diperangkapkan dalam matriks NT terlihat pada pelebaran puncak % radang dari t180 menjadi t300. Namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara fraksi n-heksan yang diperangkapkan dalam matriks NDC maupun NT. Pemberian fraksi n-heksan daun ruku-ruku dosis 45 mg/KgBB lebih baik dibandingkan dosis 30 dan 60 mg/KgBB (α ≤ 0,05), yang mempunyai efek antiinflamasi sama dengan yang diberikan oleh indometasin. Kata Kunci : daun ruku-ruku, inflamasi, nata de coco, tiourea, pelepasan obat


(7)

Test of n-Hexane Fraction of Ruku-ruku Leaves (Ocimum sanctum L.) That it Trapped into Nata Thiourea Matrice for Antiinflammatory

Abstract

The fractionation ethanol extract of ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) leaves used hexane purpose as anti-inflammatory have been investigated. n-hexane fraction was trapped into nata matrice that has high absorption. Nata matrice was made by coconut water as medium to Acetobacter xylinum growth, and it can modify with a different nitrogen source like thiourea, so it gives variation of drug matrice as prolonged action.

Ruku-ruku leaves simplex was characterized, then it was extracted by used 80% ethanol. Ethanol extract was characterized too and then fractionation with n-hexane, evaporated used rotary evaporator and was dried by freeze dryer temperature -400C. n-hexane fraction of ruku-ruku leaves was trapped into nata with nitrogen source from urea (NDC) and nata with nitrogen source from thiourea (NT) matrice by submergering dried nata matrice into test material for 24 hours and was dried by freeze dryer. The antiinflammatory effect test was done for rats that induced by intraplantar injection of 1% carrageenan with pletismometre. The rats were devided into 10 groups, control (0.5% CMC, NDC and NT matrice), standard (indomethacin suspension and was trapped into NDC and NT matrice) dosage 10 mg/Kg BW, ruku-ruku leaves n-hexane fraction (suspension and was trapped into NDC and NT matrice) dosage 30, 45, and 60 mg/Kg BW.

The result of simplex and ethanol extract ruku-ruku leaves determination consist of water content, total ash, acid insoluble ash, water soluble extract, ethanol soluble extract, respectively are 7.331 and 14.657 %, 10.608 and 13.831%, 0.471 and 2.993%, 6.267 and 19.396%, 4.784 and 14.662%. n-hexane fraction of ruku-ruku leaves used to anti-inflammatory, and it given prolonged action when it was trapped into NDC and NT. The suspension was different with n-hexane fraction trapped into NT, there are prolonged inflammation from t180 become t300. The trapping of n-hexane fraction into NDC and NT matrice gave the prolonged effect, which both of them did not give significance different. The effect at dosage 45 mg/Kg BW was better than 30 and 60 mg/Kg BW (α ≤ 0,05), it was given the same anti-inflammatory effect with indomethacine.

Key words : ruku-ruku leaves, inflammatory, nata de coco, thiourea, prolonged action


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL...i

PENGESAHAN SKRIPSI...iii

KATA PENGANTAR...iv

ABSTRAK...vi

ABSTRACT...vii

DAFTAR ISI...viii

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR GAMBAR...xiii

DAFTAR LAMPIRAN...xiv

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Perumusan Masalah...4

1.3. Hipotesis...4

1.4. Tujuan Penelitian...5

1.5. Manfaat Penelitian...5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...6

2.1. Uraian Tumbuhan ruku-ruku...6

2.1.1 Sinonim...6

2.1.2 Klasifikasi...6

2.1.3 Kandungan dan Khasiat...7


(9)

2.3. Nata de coco...10

2.4. Tiourea...11

2.5. Senyawa Jeratan...12

2.6. Radang (Inflamasi)...13

2.6.1. Mekanisme terjadinya radang...14

2.7. Obat-obat Antiinflamasi...18

2.7.1. Obat Antiinflamasi dari golongan steroid (Glukokortikoid)....18

2.7.2. Obat Antiinflamasi non-steroid...18

2.8. Indometasin...19

BAB III METODE PENELITIAN...21

3.1 Alat dan Bahan...21

3.1.1 Alat-alat yang digunakan...21

3.1.2 Bahan-bahan yang digunakan...21

3.2 Hewan Percobaan...22

3.3 Penyiapan Serbuk Daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L)...22

3.3.1 Pengumpulan sampel...22

3.3.1 Identifikasi tumbuhan...22

3.3.3 Pengolahan sampel ...22

3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak ...23

3.4.1 Penetapan Kadar Air...23

3.4.2 Penetapan Kadar Abu Total………..23

3.4.3 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam...24

3.4.4 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air...24


(10)

3.5 Pembuatan Ekstrak………..26

3.5.1 Pembuatan ekstrak etanol……….26

3.5.2 Pembuatan fraksi n-heksan dari ekstrak etanol...26

3.6 Pembuatan bibit atau starter...27

3.7 Pembuatan nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC)...27

3.8 Pembuatan nata dengan sumber nitrogen dari tiourea (NT)………...28

3.9 Pembuatan Matriks Nata...28

3.10 Penyiapan Bahan Uji, Obat Pembanding dan Kontrol...28

3.10.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5%...28

3.10.2 Penyiapan ekstrak dalam bentuk suspensi...29

3.10.3 Penyiapan pemerangkapan fraksi n-heksan dalam matriks nata...29

3.10.4 Penyiapan Karagenan………...29

3.10.5 Pernyiapan Hewan Percobaan...29

3.11 Prosedur Penggunaan Alat Pletismometer………..30

3.11.1 Pembuatan larutan untuk reservoir………...30

3.11.2 Penyiapan alat………...30

3.11.3 Kalibrasi alat……….30

3.12 Prosedur Pengujian Efek Antiinflamasi………30

3.13 Perhitungan Persen Radang dan Persen Inhibisi Radang………….32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...33

4.1 Hasil Pembuatan Ekstrak Etanol Daun ruku-ruku dan Fraksinasi Memakai Pelarut n-heksan………..…….33

4.1.1 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Daun Ruku-ruku (Ocimum sanctum L.)………...33


(11)

4.2 Hasil Pembuatan Nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC)

dan sumber nitrogen dari tiourea (NT) ………35

4.3 Hasil Uji Antiinflamasi dari Fraksi n-heksan dalam Bentuk Suspensi………35

4.4 Hasil Uji Antiinflamasi Fraksi n-heksan yang Diperangkapkan dalam Matriks nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC)…….39

4.5 Hasil Uji Antiinflamasi Fraksi n-heksan yang Diperangkapkan dalam Matriks nata dengan sumber nitrogen dari tiourea (NT)……43

4.6 Perbandingan Efek Antiinflamasi Fraksi n-heksan dalam Bentuk Suspensi dengan yang Diperangkapkan dalam Matriks NT...47

4.7 Perbandingan Efek Antiinflamasi Fraksi n-heksan yang Diperangkapkan dalam Matriks nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC) dan sumber nitrogen dari tiourea (NT)...48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... ..50

5.1 Kesimpulan... ..50

5.2 Saran... ..50


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Hasil karakterisasi simplisia daun ruku-ruku...33 Tabel 2. Hasil karakterisasi ekstrak etanol daun ruku-ruku...34 Tabel 3. Data persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan

fraksi n-heksan daun ruku-ruku bentuk suspensi...36 Tabel 4. Data persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu

pengamatan fraksi n-heksan daun ruku-ruku bentuk suspensi...38 Tabel 5. Data persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan

fraksi n-heksan dalam matriks NDC...40 Tabel 6. Data persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu

pengamatan fraksi n-heksan dalam matriks NDC...42 Tabel 7. Data persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan

fraksi n-heksan dalam matriks NT...44 Tabel 8. Data persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Bagan mekanisme terjadinya inflamasi...17 Gambar 2. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan

fraksi n-heksan daun ruku-ruku bentuk suspensi...37 Gambar 3. Grafik persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu

pengamatan fraksi n-heksan daun ruku-ruku bentuk suspensi...39

Gambar 4. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan

fraksi n-heksan yang diperangkapkan dalam matriks NDC…………...40 Gambar 5. Grafik persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu

pengamatan fraksi n-heksan yang diperangkapkan dalam

matriks NDC...43 Gambar 6. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan

fraksi n-heksan yang diperangkapkan dalam matriks NT………..44 Gambar 7. Grafik luas daerah di bawah kurva dari persentase radang

terhadap masing-masing fraksi n-heksan yang diperangkapkan

dalam matriks NT...47 Gambar 8. Perbandingan efek antiinflamasi fraksi n-heksan dalam bentuk

suspensi dengan yang diperangkapkan dalam matriks NT...32 Gambar 9. Grafik luas daerah di bawah kurva dari persentase radang

terhadap masing-masing fraksi n-heksan yang diperangkapkan


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1.a Hasil determinasi tumbuhan ruku-ruku...54 Lampiran 1.b Tumbuhan ruku-ruku (Ocimum sanctum L.)...55 Lampiran 2. Nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC) dan sumber

nitrogen dari tiourea (NT) ukuran 1 cm x 1cm...56 Lampiran 3. Alat Pletismometer……….57 Lampiran 4.a Telapak kaki tikus sebelum dan sesudah penyuntikan larutan karagenan 1%...58 Lampiran 5. Flowsheet pembuatan fraksi n-heksan daun ruku-ruku

(Ocimum sanctum L.)...59 Lampiran 6.a Perhitungan karakterisasi simplisia daun ruku-ruku

(Ocimum sanctum L.)...60 Lampiran 6.b Perhitungan karakterisasi ekstrak etanol daun ruku-ruku

(Ocimum sanctum L.)...62 Lampiran 7. Flowsheet pembuatan nata dan pemerangkapannya terhadap

fraksi n-heksan daun ruku-ruku...64 Lampiran 8. Pengujian antiinflamasi dengan Pletismometer (fraksi n-heksan

dalam bentuk suspensi dan yang diperangkapkan dalam

matriks NDC dan NT)...65 Lampiran 9. Contoh perhitungan dosis fraksi n-heksan yang dikonversikan

dengan berat matriks...66 Lampiran 10. Contoh perhitungan persen radang dan persen inhibisi

radang………..67 Lampiran 11. Data pengukuran persen radang dan persen inhibisi radang

pada t (menit) setelah pemberian fraksi n-heksan dalam

bentuk suspensi...68 Lampiran 12. Data pengukuran persen radang dan persen inhibisi radang

pada t (menit) setelah pemberian fraksi n-heksan yang


(15)

Lampiran 13. Data pengukuran persen radang dan persen inhibisi radang pada t (menit) setelah pemberian fraksi n-heksan yang

diperangkapkan dalam matriks NT...84 Lampiran 14.a Hasil ANOVA secara SPSS (fraksi n-heksan dalam

bentuk suspensi)………....92 Lampiran 14.b Hasil uji Duncan (fraksi n-heksan dalam bentuk suspensi)……..93 Lampiran 15.a Hasil ANOVA secara SPSS (fraksi n-heksan

yang diperangkapkan dalam matriks NDC)………97 Lampiran 15.b Hasil Uji Duncan (fraksi n-heksan yang diperangkapkan

dalam matriks NDC)…………....………...98 Lampiran 16.a Hasil ANOVA secara SPSS (fraksi n-heksan

yang diperangkapkan dalam matriks NT)………....……….102 Lampiran 16.b Hasil Uji Duncan (fraksi n-heksan yang diperangkapkan


(16)

Pengujian Fraksi n-Heksan Daun Ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) yang Diperangkapkan dalam Matriks Nata Tiourea sebagai Antiinflamasi

Abstrak

Telah dilakukan fraksinasi ekstrak etanol daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) dengan pelarut n-heksan yang bermanfaat sebagai antiinflamasi. Fraksi n-heksan diperangkapkan dalam matriks nata yang memiliki absorptivitas yang tinggi. Pembuatan nata menggunakan air kelapa sebagai media pertumbuhan Acetobacter xylinum dapat dimodifikasi dengan sumber nitrogen yang berbeda seperti tiourea, sehingga memberikan variasi matriks obat yang dapat digunakan sebagai pelepasan diperpanjang.

Simplisia daun ruku-ruku dikarakterisasi, kemudian diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan etanol 80%. Ekstrak etanol yang diperoleh juga dikarakterisasi, selanjutnya difraksinasi dengan n-heksan, diuapkan memakai rotary evaporator dan dikeringkan pada freeze dryer dengan suhu -40oC. Fraksi n-heksan daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) diperangkapkan dalam matriks nata dengan sumber N dari urea (NDC) dan nata dengan sumber N dari tiourea (NT) dengan cara merendam matriks nata ke dalam fraksi n-heksan selama 24 jam lalu dikeringkan kembali pada freeze dryer. Selanjutnya diuji efek antiinflamasi dengan mengukur volume radang pada kaki tikus putih yang diinduksi dengan larutan karagenan 1% menggunakan pletismometer. Pengujian antiinflamasi dibagi menjadi 10 kelompok yaitu kontrol (CMC 0.5%, matriks NDC dan NT), pembanding indometasin (bentuk suspensi, diperangkapkan dalam matriks NDC dan NT) dosis 10 mg/KgBB, fraksi n-heksan daun ruku-ruku (bentuk suspensi, diperangkapkan dalam matriks NDC dan NT) dosis 30 mg/KgBB, 45 mg/KgBB dan 60 mg/KgBB.

Hasil karakterisasi simplisia dan eksktrak etanol daun ruku-ruku meliputi penetapan kadar air, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol, berturut-turut adalah 7.331 dan 14.657 %, 10.608 dan 13.831%, 0.471 dan 2.993%, 6.267 dan 19.396%, 4.784 dan 14.662%. Fraksi n-heksan daun ruku-ruku memiliki efek antiinflamasi dan pemerangkapannya dalam matriks NDC dan NT memberikan pelepasan obat yang diperpanjang. Perbedaan suspensi fraksi n-heksan dengan yang diperangkapkan dalam matriks NT terlihat pada pelebaran puncak % radang dari t180 menjadi t300. Namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara fraksi n-heksan yang diperangkapkan dalam matriks NDC maupun NT. Pemberian fraksi n-heksan daun ruku-ruku dosis 45 mg/KgBB lebih baik dibandingkan dosis 30 dan 60 mg/KgBB (α ≤ 0,05), yang mempunyai efek antiinflamasi sama dengan yang diberikan oleh indometasin. Kata Kunci : daun ruku-ruku, inflamasi, nata de coco, tiourea, pelepasan obat


(17)

Test of n-Hexane Fraction of Ruku-ruku Leaves (Ocimum sanctum L.) That it Trapped into Nata Thiourea Matrice for Antiinflammatory

Abstract

The fractionation ethanol extract of ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) leaves used hexane purpose as anti-inflammatory have been investigated. n-hexane fraction was trapped into nata matrice that has high absorption. Nata matrice was made by coconut water as medium to Acetobacter xylinum growth, and it can modify with a different nitrogen source like thiourea, so it gives variation of drug matrice as prolonged action.

Ruku-ruku leaves simplex was characterized, then it was extracted by used 80% ethanol. Ethanol extract was characterized too and then fractionation with n-hexane, evaporated used rotary evaporator and was dried by freeze dryer temperature -400C. n-hexane fraction of ruku-ruku leaves was trapped into nata with nitrogen source from urea (NDC) and nata with nitrogen source from thiourea (NT) matrice by submergering dried nata matrice into test material for 24 hours and was dried by freeze dryer. The antiinflammatory effect test was done for rats that induced by intraplantar injection of 1% carrageenan with pletismometre. The rats were devided into 10 groups, control (0.5% CMC, NDC and NT matrice), standard (indomethacin suspension and was trapped into NDC and NT matrice) dosage 10 mg/Kg BW, ruku-ruku leaves n-hexane fraction (suspension and was trapped into NDC and NT matrice) dosage 30, 45, and 60 mg/Kg BW.

The result of simplex and ethanol extract ruku-ruku leaves determination consist of water content, total ash, acid insoluble ash, water soluble extract, ethanol soluble extract, respectively are 7.331 and 14.657 %, 10.608 and 13.831%, 0.471 and 2.993%, 6.267 and 19.396%, 4.784 and 14.662%. n-hexane fraction of ruku-ruku leaves used to anti-inflammatory, and it given prolonged action when it was trapped into NDC and NT. The suspension was different with n-hexane fraction trapped into NT, there are prolonged inflammation from t180 become t300. The trapping of n-hexane fraction into NDC and NT matrice gave the prolonged effect, which both of them did not give significance different. The effect at dosage 45 mg/Kg BW was better than 30 and 60 mg/Kg BW (α ≤ 0,05), it was given the same anti-inflammatory effect with indomethacine.

Key words : ruku-ruku leaves, inflammatory, nata de coco, thiourea, prolonged action


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tanaman obat yang potensial, dimana hasil alam yang paling banyak digunakan sebagai bahan obat adalah tumbuhan, dan telah digunakan dalam kurun waktu cukup lama, hampir seluruh negara di dunia. Walaupun obat-obatan modern berkembang cukup pesat, namun potensi dari tumbuhan obat tetap tinggi karena dapat diperoleh tanpa resep dokter, dapat diramu sendiri, dan tumbuhan obat dapat ditanam sendiri oleh pemakainya (Djauhariya dan Hermani, 2004).

Salah satu tumbuhan yang banyak digunakan sabagai obat adalah daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.), suku Labiatae, merupakan tanaman semak dengan tinggi 30-150 cm, berdaun tunggal, berakar tunggang, batangnya berkayu, mempunyai bulu hijau. Tanaman ini dikenal dengan nama daerah kemangi hutan, lampes (Sunda), uku-uku (Bali), kemangek (Madura), lufe-lufe (Ternate) (Puspita, 2007).

Daun ruku-ruku memiliki kandungan kimia yang sudah diuji sebelumnya, seperti minyak atsiri, alkaloid, glikosida, saponin, flavonoid, triterpenoid, steroid dan tanin (Darmiati, 2007). Menurut Simon and Kerry (2000), senyawa flavonoid, tanin maupun kompleks tanin protein bermanfaat sebagai antiinflamasi. Selain itu oleh Singh dan Majumdar (1999), juga menyebutkan bahwa minyak atsiri dari daun ruku-ruku juga berkhasiat antiinflamasi.


(19)

Radang atau inflamasi merupakan serangkaian perubahan yang kompleks dalam jaringan akibat cedera (Guyton, 1995). Ciri khas inflamasi adalah kemerahan (rubor), panas (kalor), pembengkakan (edema), nyeri (dolor), dan gangguan fungsi jaringan (fungsio laesa) (Kee dan Evelyn, 1996).

Berdasarkan mekanisme kerjanya obat-obat antiinflamasi dibagi dua golongan yaitu steroid dan non steroid. Pemakaian obat-obat tersebut mempunyai efek samping seperti iritasi gastrointestinal, kerusakan ginjal, diare, sakit kepala, depresi, pankreatitis dan lain-lain (Katzung, 2002).

Oleh Piluharto (2003), nata de coco telah dimanfaatkan sebagai penghantar obat untuk tujuan pelepasan obat terkontrol. Kemampuannya dalam memerangkapkan bahan obat diharapkan dapat menurunkan efek samping dari penggunaan obat-obat yang dapat mengiritasi lambung.

Berbagai penelitian ilmiah mencoba menggantikan air kelapa dengan bahan lain seperti sari buah nenas dan sari buah pisang, yang dikenal dengan nata de soya dan nata de pina. Namun air kelapa menjadi pilihan utama karena kaya akan kandungan nutrisi dan protein, dan telah dikenal sebagai minuman kesehatan yang disebut dengan nata de coco (Anonim, 2008).

Dalam pembuatan nata diperhatikan faktor-faktor yang mendukung pertumbuhan Acetobacter xylinum, diantaranya ketersediaan nutrisi seperti karbon dan nitrogen, derajat keasaman, temperatur dan ketersediaan oksigen. Ketersediaan nutrisi selain berasal dari air kelapa juga dapat ditambahkan gula pasir, sedangkan sumber nitrogen dapat diperoleh dari protein, ekstrak yeast, urea, ammonium sulfat maupun ammonium fosfat. Nitrogen diperlukan dalam pembentukan protein yang penting pada pertumbuhan sel dan pembentukan


(20)

enzim. Kekurangan nitrogen menyebabkan sel kurang tumbuh dengan baik dan menghambat pembentukan enzim yang diperlukan sehingga proses fermentasi dapat mengalami kegagalan atau tidak sempurna. Di samping itu perlu diperhatikan derajat keasaman dengan pH optimum 4,3 pada suhu kamar dan kebutuhan oksigen tercukupi (Anonim, 2007 ; Anonim, 2008).

Frans (2007) telah memanfaatkan matriks nata de coco untuk memerangkapkan fraksi n-heksan daun ruku-ruku menghasilkan pelepasan obat diperpanjang. Nata de coco dibuat dengan menggunakan air kelapa sebagai media pertumbuhan Acetobacter xylinum dan sumber nitrogen dari urea.

Pada penelitian ini, selain memanfaatkan air kelapa sebagai media pertumbuhan Acetobacter xylinum juga menggunakan sumber nitrogen lain yaitu tiourea, yang merupakan senyawa mirip dengan urea. Senyawa organik ini

mengandu

Tiourea berupa hablur putih yang larut dalam air maupun etanol (DepKes, 1995). Kandungan nitrogen di dalam tiourea diharapkan dapat memberikan variasi bentuk nata.

Berdasarkan hal di atas, penulis melakukan penelitian terhadap aktivitas antiiflamasi pada fraksi n-heksan daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) yang diperangkapkan pada matriks nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC) dan sumber nitrogen dari tiourea (NT) yang diharapkan dapat memberikan pelepasan obat diperpanjang.


(21)

1.2Perumusan Masalah

1. Apakah fraksi n-heksan daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) dalam bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC) dan sumber nitrogen dari tiourea (NT) mempunyai efek antiinflamasi terhadap radang buatan yang diinduksi dengan karagenan pada telapak kaki tikus putih.

2. Apakah terdapat perbedaan efek antiinflamasi fraksi n-heksan daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) dalam bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC) dan sumber nitrogen dari tiourea (NT) jika diberikan secara oral pada tikus putih.

1.3 Hipotesis

1. Fraksi n-heksan daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) dalam bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC) dan sumber nitrogen dari tiourea (NT) mempunyai efek antiinflamasi terhadap radang buatan yang diinduksi dengan karagenan pada telapak kaki tikus.

2. Fraksi n-heksan daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) dalam bentuk suspensi maupun yang diperangkap dalam matriks nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC) dan sumber nitrogen dari tiourea (NT) memberikan efek yang berbeda jika diberikan secara oral pada tikus putih.


(22)

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui adanya efek antiinflamasi dari fraksi n-heksan daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) dalam bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC) dan sumber nitrogen dari tiourea (NT) terhadap radang buatan yang diinduksi dengan karagenan pada telapak kaki tikus putih.

2. Untuk mengetahui perbedaan efek fraksi n-heksan daun daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) dalam bentuk suspensi dengan yang diperangkapkan dalam matriks nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC) dan sumber nitrogen dari tiourea (NT) yang diberikan secara oral pada tikus putih.

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian dari fraksi n-heksan daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengobatan radang dan pemerangkapannya dalam matriks nata tiourea dapat digunakan sebagai penghantar obat yang bertujuan sebagai pelepasan obat diperpanjang.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Tumbuhan Ruku-ruku

Tumbuhan ruku-ruku merupakan tumbuhan semak, tingginya 30 cm sampai 150 cm. Berakar tunggang, batangnya berkayu, bercabang dan mempunyai bulu (Puspita, 2007). Daunnya berwarna hijau smpai hijau kecoklatan, bau aromatik, khas dan rasa agak pedas. Helain daun bentuk jorong memanjang, pangkal daun tumpul sampai membundar dan tulang daun menyirip. Panjang daun 2,5 cm sampai 7,5 cm dan lebar 1 cm sampai 2,5 cm (DepKes, 1995).

2.1.1. Sinonim

Sinonim dari tumbuhan ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) adalah Ocimum tenuiflorum L., Ocimum americanum L. (O. canum Sims), Ocimum gratissimum L., Ocimum basilicum L. (Anonim, ), dengan nama daerah lute (Maluku), lampes (Sunda), Kemangi (Jawa), kemangek (Madura), uku-uku (Nusa Tenggara dan Bali), lufe-lufe (Ternate) (Puspita, 2007).

2.1.2. Klasifikasi

Menurut Sharma (1993) dan Tjitrosoepomo (2002), tumbuhan ruku-ruku dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Subkelas : Sympetalae Bangsa : Tubiflorae


(24)

Suku : Labiatae Marga : Ocimum

Spesies : Ocimum sanctum L.

2.1.3. Kandungan dan Khasiat

Tumbuhan ruku-ruku mengandung minyak atsiri (1% golongan estragol, linalool, eugenol, cineole, methyl chavicol dan sejumlah kecil methyl cinnamate, serta golongan terpen lainnya), flavonoid (apigenin, luteolin, orientin, vicenin) triterpenoida seperti asam urolic, alkaloid, glikosida, saponin, dan tanin (Ganasoundari, 1997). Selain itu juga mengandung asam lemak seperti stearat, palmitat, oleat, linoleat dan linolenat (Ntezurubanza, et al., 1985), mineral-mineral seperti Zn, Mn dan Na juga ditemukan pada tumbuhan ruku-ruku (Samudralwar, 1996).

Berdasarkan kandungan kimianya, tumbuhan ruku-ruku dapat mengobati gangguan pada bronkus, lambung, hati, saluran pernafasan dan saluran pencernaan, selain itu juga mengobati penyakit diabetes mellitus. Sebagai obat luar, masyarakat umumnya menggunakan daun ruku-ruku sebagai anthelmentik, antiinflamasi, gangguan pada kulit, antipiretik terutama untuk demam akibat malaria (Sethi, et al., 2004).

Berkaitan dengan penelitian saya, kandungan kimia dari tumbuhan ruku-ruku seperti triterpenoida, flavonoid dan tanin dapat bermanfaat sebagai antiinflamasi. Sesuai dengan penelitian Simon dan Kerry (2000) yang menyatakan bahwa senyawa kimia seperti flavonoid (golongan flavon atau flavonol) dan tanin dalam bentuk bebas dan kompleks tanin-protein berkhasiat sebagai antiinflamasi.


(25)

2.2. Metode ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan menggunakan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemisahan senyawa dan pemilihan cara ekstraksi yang tepat (Anonim, 2000).

Salah satu metode ekstraksi adalah maserasi, yang berasal dari bahasa Latin macerare, yang artinya merendam. Dalam proses maserasi, simplisia yang akan diekstraksi ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar dan ditutup rapat (Ansel, 1989). Maserasi dilakukan menggunakan cairan penyari, dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Kemudian zat aktif akan larut karena adanya perbedaaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, larutan yang lebih pekat akan didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara laritan di luar sel dengan di dalam sel (Anonim, 2000). Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana, dapat digunakan untuk sampel bertekstur lunak dan tidak tahan pemanasan. Sedangkan kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras (Dinda, 2008).

Metode ekstraksi lainnya yaitu sokhletasi yaitu penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan


(26)

penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini adalah pelarut yang digunakan lebih sedikit, dapat digunakan untuk sampel bertekstur lunak dan tidak tahan pemanasan langsung. Kerugiannya yaitu akibat pelarut yang didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas (Dinda, 2008).

Selain itu dikenal juga metode ekstraksi lainnya yaitu perkolasi. Penyarian zat aktif dilakukan dengan cara serbuk simplisia dimaserasi selama 3 jam, kemudian simplisia dipindahkan ke dalam bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui simplisia tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampai keadan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh karena gravitasi, kohesi, dan berat cairan di atas dikurangi gaya kapiler yang menahan gerakan ke bawah. Perkolat yang diperoleh dikumpulkan, lalu dipekatkan. Metode ini dapat digunakan untuk sampel bertekstur keras. Kerugian dari metode ini adalah kontak antara sampel padat tidak merata sehingga selama proses perkolasi tidak melarutkan komponen secara efisien (Dinda, 2008).

Refluks juga merupakan metode ekstraksi. Penarikan komponen kimia yaitu dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali menuju labu alas bulat, akan menyari kembali sampel yang berada pada labu alas


(27)

bulat, demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai penyarian sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4 jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan. Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk sampel bertekstur keras. Sedangkan kerugiannya yaitu tidak dapat digunakan untuk sampel yang tidak tahan pemanasan dan dibutuhkan jumlah pelarut yang banyak (Dinda, 2008).

2.3. Nata de coco

Nata de coco merupakan selulosa yang dibentuk oleh bakteri Acetobacter xylinum yang memanfaatkan air kelapa sebagai media pertumbuhannya, dengan kandungan kalori rendah, kadar serat 2,5 %, dan memiliki kadar air 98 %. Nata de coco menghasilkan selulosa bakteri yang identik dengan selulosa tanaman, tetapi selulosa yang dihasilkan lebih murni dibandingkan selulosa tanaman yang mengandung lignin dan hemiselulosa (Klemm et al, 2001). Serat yang ada dalam selulosa bakteri tersebut sangat penting dalam proses fisiologis, bahkan dapat membantu para penderita diabetes dan memperlancar pencernaan makanan, oleh karena itu dapat dipakai sebagai sumber makanan (Anonim, 2009).

Nata de coco menghasilkan selulosa bakteri yang identik dengan selulosa tanaman, tetapi selulosa yang dihasilkan lebih murni dibandingkan selulosa tanaman yang mengandung lignin dan hemiselulosa (Klemm et al, 2001)

Nata de coco juga merupakan alernatif sumber selulosa yang bermanfaat sebagai adsorban pada adsorpsi kromium(III) dalam medium air dalam rangka pencarian metode yang efektif untuk menghilangkan logam berat. Ion logam tersebut telah menyebabkan masalah kesehatan dalam kehidupan manusia dan


(28)

hewan. Salah satu logam berat tersebut adalah ion kromium yang dapat meyebabkan kerusakan ginjal, hati, sistem imunitas, dan kulit (dermatitis). Pemanfaatan nata de coco sebagai alternatif bahan baku selulosa memiliki beberapa keuntungan, yaitu pemanfaatan limbah buangan air kelapa, dan bersifat biodegradable yaitu dapat diuraikan oleh mikroba (Afrizal, 2007).

2.4. Tiourea

Struktur tiourea hampir serupa dengan urea, bersifat sebagai basa berasam satu; merupakan serbuk hablur, tidak berwarna, larut dalam air dan tidak larut dalam alkohol,mempunyai titik lebur 176-1800 C. Tiourea sering dipakai sebagai zat pembawa dalam pembentukan dispersi padat dalam formulasi obat, karena kesanggupannya membentuk kristal Channel complex atau kompleks clathrates (Aiache dan Devissaquet, 1993).

Pada pembuatan nata de coco secara komersial sering dipakai ammonium sulfat, amonium fosfat atau urea sebagai sumber nitrogen. Redpath dan kawan-kawan menunjukkan bahwa spektra NMR dari kristal urea dan tiourea adalah sesuai, dengan protonasi pada atom oksigen atau atom sulfur. Tiourea biasanya digunakan sebagai obat anti tiroid. Senyawa ini dioksidasi oleh kelenjar tiroid peroksidase dengan adanya iodium atau iodida dan hidrogen peroksida membentuk formamidin disulfida (NH2(NH)CSSC(NH)NH2). Formamidin disulfida ini tidak stabil dan terdekomposisi pada pH diatas 3,0 membentuk sianamida, sulfur dan tiourea (Ziegler, 2003).


(29)

Kesuma (2004) telah melakukan sintesis senyawa benzoiltiourea dengan melakukan reaksi asilasi antara salah satu gugus amina dari tiourea dengan gugus benzoil dari benzoil klorida. Menurut Siswandono (2000), senyawa hasil sintesis mempunyai aktivitas yang lebih baik sebagai senyawa penekan sistem saraf pusat bila dibandingkan dengan senyawa induknya, sebab terjadi peningkatan sifat lipofilik dan elektronik sehingga aktivitas senyawanya meningkat.

2.5. Senyawa Jeratan

Senyawa jeratan terbentuk karena adanya interaksi bahan makromolekuler dan bahan obat. Penjeratan/pemerangkapan hanya terjadi jika makromolekul sebagai molekul tuan rumah merupakan molekul beruang rongga besar yang ke dalamnya dapat dijerat molekul bahan aktif sebagai molekul tamu. Ukuran ruang rongga menentukan jumlah bahan aktif yang dapat dijerat. Struktur molekul bahan aktif yang berperan sebagai molekul tamu juga menentukan apakah pemerangkapan mungkin terjadi.

Ada 3 jenis senyawa jeratan yaitu : 1. Senyawa jeratan kisi

Pada senyawa jeratan kisi molekul tamu dijerat dalam rongga kisi kristal molekul tuan rumah. Molekul yang dapat dijerat adalah molekul panjang, tidak bercabang atau bercabang sedangkan molekul berukuran besar tidak dapat dijerat.

2. Senyawa jeratan molekul

Molekul tamu diperangkap dalam ruang rongga yang terbentuk melalui penimbunan molekul-molekul tuan rumah.


(30)

3. Senyawa berisi

Pembentukan untuk senyawa jenis ini harus terjadi pembengkakan makromolekul yang relatif sukar larut. Molekul tamu akan dijerat dalam ruang yang terjadi karena pembengkakan makromolekul (Voigt, 1994).

2.6. Radang (Inflamasi)

Inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh sebagai respon jaringan terhadap pengaruh-pengaruh merusak baik bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh. Ketika proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vascular dimana cairan elemen-elemen darah, sel darah putih (leukosit) dan mediator kimia berkumpul pada tempat cedera jaringan atau infeksi. Oleh tubuh melalui proses inflamasi berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada tempat cedera dan mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan (Kee dan Evelyn, 1996).

Proses terjadinya inflamasi ini dapat diamati secara makroskopis dari tanda-tanda utama inflamasi yaitu :

a. Kemerahan (rubor)

Kemerahan terjadi pada tahap pertama dari inflamasi, darah terkumpul pada daerah cedera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh seperti kinin, prostaglandin dan histamin.

b. Pembengkakan (tumor)

Pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi. Plasma merembes ke dalam jaringan interstial pada tempat cedera. Kinin mendilatasi arteriol, meningkatkan permeabilitas kapiler.


(31)

c. Peningkatan panas (kalor)

Panas pada tempat inflamasi dapat disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah dan mungkin juga karena pirogen (substansi yang menimbulkan demam) yang mengganggu pusat pengatur panas pada hipotalamus.

d. Nyeri (dolor)

Nyeri disebabkan oleh pembengkakan dan pelepasan mediator-mediator kimia tertentu seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang syaraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakobatkan peningkatan tekanan lokal yang juga dapat menimbulkan rasa nyeri.

e. Gangguan fungsi jaringan (fungsio laesa)

Gangguan fungsi jaringan disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri yang mengurangi mobilitas pada daerah cedera.

Gejala-gejala ini merupakan akibat dari gangguan aliran darah yang terjadi akibat kerusakan jaringan pembuluh darah, gangguan keluarnya plasma darah ke dalam ruang ekstrasel akibat meningkatnya permeabilitas kapiler dan perangsangan reseptor nyeri (Mutschler, 1999).

2.6.1. Mekanisme terjadinya radang

Proses terjadinya inflamasi dapat dibagi dalam dua fase : 1. Perubahan vaskular

Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah. Perubahan aliran darah


(32)

karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan aliran darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah. Akibatnya bagian tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih akan berkumpul di sepanjang dinding pembuluh darah dengan cara menempel. Dinding pembuluh menjadi longgar susunannya sehingga memungkinkan sel darah putih keluar melalui dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi serangan benda-benda asing Mansjoer, 1999).

2. Pembentukan cairan inflamasi

Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan. Pembengkakan menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).

Mediator Radang

Banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator inflamasi diantaranya adalah histamin, bradikinin, kalidin, serotoin, prostaglandin dan leukotrien. Histamin merupakan mediator pertama yang dilepaskan dari sekian banyaknya mediator lain dan segera muncul dalam beberapa detik yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler (Mansjoer, 1999).

Histamin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor histamin di sel. Ada 4 jenis reseptor histamin yang telah diidentifikasi, yakni: Reseptor Histamin H1. Reseptor ini ditemukan di jaringan otot, endotelium, dan sistem syaraf pusat.


(33)

Bila histamin berikatan dengan reseptor ini, maka akan mengakibatkan vasodilatasi, bronkokonstriksi, nyeri, gatal pada kulit. Reseptor ini adalah reseptor histamin yang paling bertanggungjawab terhadap gejala alergi. Reseptor Histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Reseptor Histamin H3, jika reseptor ini aktif akan menyebabkan penurunan penglepasan neurotransmitter, seperti histamin, asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin. Reseptor Histamin H4 Paling banyak terdapat di sel basofil dan sumsum tulang. Juga ditemukan di kelenjar timus, usus halus, limfa, dan usus besar. Perannya sampai saat ini belum banyak diketahui. Beberapa fungsi pengaturan di dalam tubuh juga telah ditemukan berkaitan erat dengan kehadiran histamin. Histamin dilepaskan sebagai neurotransmitter. Aksi penghambatan reseptor histamin H1 (antihistamin H1) menyebabkan mengantuk. Pasien penderita schizophrenia ternyata memiliki kadar histamin yang rendah dalam darahnya. Hal ini mungkin disebabkan karena efek samping dari obat antipsikotik yang berefek samping merugikan bagi histamin, contohnya quetiapine. Ditemukan pula bahwa ketika kadar histamin kembali normal, maka kesehatan pasien penderita schizophrenia tersebut juga ikut membaik (Anonim, 2009).

Asam arakhidonat merupakan prekursor dari sejumlah besar mediator inflamasi. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil yang sebagian besar berada dalam bentuk fosfolipid membran sel. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis, maka enzim fosfolipase A2 diaktivasi untuk mengubah fosfolipida tersebut menjadi asam arakhidonat.


(34)

Sebagai penyebab inflamasi, prostaglandin (PG) bekerja lemah, berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan secara lokal seperti histamin, serotinin, atau leukotrien. Prostaglandin mampu menginduksi vasodilatasi pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat pada terjadinya nyeri, inflamasi dan demam (Mansjoer, 1999).

Gambar 1. Bagan mekanisme terjadinya inflamasi (Katzung, 2002).

Rangsangan

Gangguan membran sel

Fosfolipida Dihambat

kortikosteroid

Asam arakhidonat

Fosfolipase

Lipooksigenase Siklooksigenase

Leukotrien

LTB4 LTC4/D4/E4 Prostaglandin Tromboksan Prostasiklin

Atraksi/ aktivasi fagosit

Perubahan permeabilitas vaskuler, kontriksi bronchial,

peningkatan sekresi

Modulasi leukosit

Inflamasi

Bronkospasme, kongesti, penyumbatan mukus


(35)

2.7 Obat-obat antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi adaah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara, yaitu menghambat pembentukan mediator radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang maupun menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan utama yaitu golongan steroida dan non-steroida (Katzung, 2002).

2.7.1. Obat Antiinflamasi dari Golongan Steroid (Glukokortikoida)

Efek antiinflamasi golongan steroid (glukokortikoid) berhubungan dengan kemampuan untuk merangsang biosintesis protein lipomodulin, yang dapat menghambat kerja enzimatik fosfolipase A2 sehingga mencegah pelepasan mediator seperti asam arakhidonat dan metabolitnya seperti prostaglandin (PG), leukotrien (LT), tromboksan dan prostasiklin. Glukokortikoid dapat memblok jalur siklooksigenase dan lipooksigenase, sedangkan AINS hanya memblok enzim siklooksigenase. Contoh senyawa yang termasuk dalam kelompok ini adalah kortison, hidrokortison, deksametason, prednison dan sebagainya (Kee dan Evelyn, 1996).

2.7.2 Obat Antiinflamasi Non-Steroida (AINS)

AINS merupakan kelompok obat-obat yang bekerja dengan aktivitas menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin menjadi terganggu. AINS cocok digunakan untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan kekakuan sendi (Kee dan Evelyn, 1996).


(36)

Contoh senyawa yang termasuk dalam kelompok ini adalah :

1. Turunan asam salisilat, contoh : aspirin, diflusinal, sulfasalazin, olsalazin 2. Turunan para-aminofenol, contoh : asetaminofen

3. Indol dan asam indene asetat, contoh : indometasin, sulindak, etodolak 4. Asam heteroalil asetat, contoh : tolmetin, diklofenak, ketorolak

5. Asam arilpropionat, contoh : ibuprofen, naproksen, feniprofen, ketoprofen 6. Asam antranilat (fenamat), contoh : asam mefenamat, asam meklofenamat 7. Asam enolat, contoh : oksikam (piroksikam, tenoksikam), pirazolidin

(fenilbutazon, oksifentatrazon) (Foye, 1996).

2.8 Indometasin

Indometasin mulai dikenal pada tahun 1963 dimana lebih efektif daripada aspirin atau AINS lainnya dan di laboratorium merupakan penghambat sintesis prostaglandin yang terkuat. Indometasin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral, waktu paruh dalam plasma selama 4–5 jam. Dosis antiinflamasi yang dianjurkan adalah 50-70 mg tiga kali sehari. Efek samping indometasin pada dosis terapi meliputi gangguan saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare ulser, pendarahan lambung dan pankreatitis. Juga menyebabkan pusing, depresi, rasa binggung, halusinasi, agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. Karena toksisitasnya, indometasin tidak dianjurkan diberikan pada anak-anak, wanita hamil, penderita gangguan psikiatri dan penderita penyakit lambung (Wilmana, 1995; Singh dkk., 1996).

Pada dosis yang lebih tinggi, paling sedikit sepertiga dari pasien bereaksi terhadap indometasin dan memerlukan penghentian pengobatan. Efek-efek


(37)

samping gastrointestinal bisa meliputi nyeri perut, diare, pendarahan gastrointestinal dan pankreatitis. Sakit kepala dialami oleh 15-25% pasien dan bisa dikaitkan dengan pusing, kebingungan dan depresi. Pemakaian indometasin harus dihindari pada pasien dengan polip hidung atau angioedema, pada pasien-pasien ini asma bisa terpicu (Katzung, 2002).


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian meliputi penyiapan sampel, pengumpulan sampel, identifikasi dan pengolahan sampel, pembuatan ekstrak etanol dengan cara maserasi dan pembuatan fraksi n-heksan dari ekstrak etanol, pembuatan nata de coco dan nata tiourea, pembuatan matriks nata de coco dan nata tiourea, pemerangkapan fraksi n-heksan oleh matriks nata de coco dan matriks nata tiourea serta pengujian efek antiinflamasi dianalisis variansi serta uji duncan untuk melihat perbedaan yang bermakna pada setiap perlakuan.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, wadah plastik, neraca kasar (Ohaus), neraca analitik (Sartorius), neraca hewan (GW-1500), heater, oven listrik (Fisher Scientific), penangas air (Yenaco), lemari pendingin (Sanyo), rotary evaporator (Heidolph vv-2000), inkubator (Gallenkamp), laminar air flow, freeze dryer (Modulyo, Edward, serial No. 3985), termometer, jangka sorong, spuit, oral sonde, pletismometer (Ugo Basile Cat. No. 7140).

3.1.2 Bahan-bahan yang Digunakan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.), stater Acetobacter xylinum, gula pasir, urea, tiourea, air kelapa, asam asetat 25%, NaOH, etanol (hasil destilasi), n-heksan, akuades, karagenan, indometasin, CMC.


(39)

3.2 Hewan Percobaan

Hewan pecobaan yang digunakan adalah tikus putih galur Wistar dengan berat badan 150-200 g sebanyak 30 ekor, dibagi dalam 10 kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus.

3.3 Penyiapan Serbuk Daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.)

Penyiapan serbuk daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) meliputi pengumpulan sampel, identifikasi, pengolahan sampel.

3.3.1 Pengumpulan sampel

Sampel yang digunakan adalah daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) yang masih segar, yang diambil dari Kecamatan Medan Amplas. Pengumpulan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain.

3.3.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Bogor.

3.3.3 Pengolahan sampel

Daun ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) yang telah dikumpulkan sebanyak 10 Kg, dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan, kemudian dikeringkan di udara terbuka dan terlindung dari cahaya matahari. Setelah kering, daun diserbuk dan diperoleh serbuk daun ruku-ruku sebanyak 2,753 Kg. Serbuk daun ruku-ruku disimpan di dalam wadah kering dan terlindung dari cahaya matahari.


(40)

3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak

Pemeriksaan karakterisasi simplisia dan ekstrak meliputi penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut dalam asam, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol.

3.4.1 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluena). Cara Kerja : toluena sebanyak 200 ml dan air suling sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam labu alas bulat, didestilasi selama 2 jam. Toluena didinginkan selama 30 menit dan volume air dalam tabung penerima dibaca. Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 gram sampel yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).

Prosedur penetapan kadar air untuk ekstrak sama dengan penetapan kadar air untuk simplisia.

3.4.2 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak lebih kurang 2 sampai 3 g simplisia ditimbang seksama, dimasukkan dalam krus porselen yang telah dipijar dan ditara, kemudian


(41)

diratakan. Krus dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu total dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

Penetapan kadar abu total untuk ekstrak yaitu dengan menimbang 2 sampai 3 g ekstrak secara seksama, dimasukkan dalam krus porselen yang telah dipijar dan ditara, lalu diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan hingga arang habis, selanjutnya didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu total dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

3.4.3 Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Abu yang telah diperoleh dari penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 ml asam klorida 2 N selama 5 menit. Bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijarkan hingga bobot tetap kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (DepKes, 1995).

Prosedur penetapan kadar abu tidak larut asam untuk ekstrak sama dengan penetapan kadar abu tidak larut asam untuk simplisia. Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 ml asam klorida 2 N selama 5 menit. Bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijarkan hingga bobot tetap kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

3.4.4 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air

Sebanyak 5 g simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1000 ml) dalam labu


(42)

bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot konstan. Kadar sari yang larut di dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (DepKes, 1995).

Penetapan kadar sari larut dalam air untuk ekstrak yaitu dengan menimbang 5 g ekstrak, lalu dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1000 ml) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot konstan. Kadar sari yang larut di dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

3.4.5. Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol

Sebanyak 5 g simplisia yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot konstan. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (DepKes, 1995).

Prosedur penetapan kadar sari larut dalam etanol untuk ekstrak sama dengan penetapan kadar sari larut dalam etanol untuk simplisia, yaitu 5 g ekstrak


(43)

dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot konstan. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

3.5 Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak meliputi pembuatan ekstrak etanol dengan cara maserasi dan pembuatan fraksi n-heksan dari ekstrak etanol.

3.5.1 Pembuatan ekstrak etanol

Sebanyak 500 gram serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah gelas berwarna gelap dan ditambahkan pelarut etanol 80% sampai serbuk terendam sempurna. Ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya matahari sambil sering diaduk, kemudian diperas dan disaring. Ampas ditambahkan cairan penyari sampai terendam. Ditutup dan disimpan di tempat yang terlindung dari cahaya matahari. Dibiarkan selama 2 hari sambil sering diaduk, kemudian diperas dan disaring. Dilakukan perlakuan yang sama sampai pelarut tidak berwarna. Seluruh filtrat digabungkan dan diuapkan menggunakan rotary evaporator pada temperatur ± 40 oC sampai diperoleh ekstrak kental, kemudian dipekatkan dengan freeze dryer pada suhu -40oC selama ± 24 jam.

3.5.2 Pembuatan fraksi n-heksan dari ekstrak etanol

Ekstrak pekat etanol yang diperoleh ditambahkan dengan akuades, lalu dipartisi dengan n-heksan secara berulang sampai lapisan n-heksan jernih.


(44)

Hasilnya digabungkan dan diuapkan dengan rotary evaporator pada temperatur ± 40 oC sehingga diperoleh fraksi n-heksan kental, kemudian dipekatkan dengan freeze dryer pada suhu -40oC selama ± 24 jam.

3.6 Pembuatan bibit atau starter

Sebanyak 1 liter air kelapa dibiarkan hingga kotorannya mengendap dan disaring menggunakan kain kasa. Air kelapa direbus di atas api yang besar hingga mendidih. Selama perebusan, air kelapa diaduk. Setelah mendidih selama ± 15 menit, ditambahkan urea sebanyak 5 g, gula pasir sebanyak 200 g, dan asam cuka 25% hingga larutan ini memiliki pH 4. Diaduk hingga larutan tercampur merata. Dalam keadaan masih panas, dituang larutan tersebut ke dalam wadah yang steril. Setelah dingin, ditambahkan biakan murni sebanyak 200 ml. Ditutup wadah dengan aluminium foil yang steril. Disimpan di ruang inkubasi dan dibiarkan selama 2 minggu. Setelah 2 minggu, di permukaan media akan terbentuk lapisan berwarna putih. Berarti, starter sudah jadi dan siap digunakan (Warisno, 2004).

3.7 Pembuatan nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC)

Sebanyak 1 liter air kelapa dibiarkan hingga kotorannya mengendap dan disaring menggunakan kain kasa. Air kelapa direbus di atas api yang besar hingga mendidih. Selama perebusan, air kelapa diaduk. Setelah mendidih selama ± 15 menit, ditambahkan urea sebanyak 5 g, gula pasir sebanyak 100 g, dan asam cuka 25% hingga larutan ini memiliki pH 4. Diaduk hingga larutan tercampur merata. Dalam keadaan masih panas, dituang larutan tersebut ke dalam wadah yang steril (Warisno, 2004).


(45)

Setelah dingin, ditambahkan biakan murni sebanyak 100 ml. Ditutup wadah dengan aluminium foil yang steril. Disimpan di ruang inkubasi selama 2 minggu.

3.8 Pembuatan nata dengan sumber nitrogen dari tiourea (NT)

Sebanyak 1 liter air kelapa dibiarkan hingga kotorannya mengendap dan disaring menggunakan kain kasa. Air kelapa direbus di atas api yang besar hingga mendidih. Selama perebusan, air kelapa diaduk. Setelah mendidih selama ± 15 menit, ditambahkan tiourea sebanyak 6,337 g, , gula pasir sebanyak 100 g dan asam cuka 25% hingga larutan ini memiliki pH 4. Diaduk hingga larutan tercampur merata. Dalam keadaan masih panas, dituang larutan tersebut ke dalam wadah yang steril. Setelah dingin, ditambahkan biakan murni sebanyak 100 ml. Ditutup wadah dengan aluminium foil yang steril. Disimpan di ruang inkubasi selama 2 minggu.

3.9 Pembuatan Matriks Nata

NDC dan NT dicuci dengan NaOH 0,2 N kemudian dibilas dengan akuades hingga bersih dan ditiriskan. Masing-masing nata dipotong dadu dengan ukuran 1 cm x 1 cm x 1 cm. Dikeringkan pada freeze dryer selama ± 24 jam.

3.10 Penyiapan Bahan Uji, Obat Pembanding dan Kontrol 3.10.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5%

Sebanyak 0,5 g CMC ditimbang, lalu taburkan di atas air panas pada lumpang yang telah direnda air panas sebelumnya, dibiarkan sampai mengembang


(46)

lalu digerus sampai homogen, ditambahkan air sampai 100 ml.

3.10.2 Penyiapan ekstrak dalam bentuk suspensi

Fraksi n-heksan daun ruku-ruku dibuat dengan konsentrasi 3 mg/ml dalam bentuk suspensi menggunakan CMC 0,5% dengan dosis pemberian 30, 45 dan 60 mg/Kg BB. Obat pembanding indometasin dibuat dalam bentuk suspensi CMC 0,5% dengan dosis pemberian 10 mg/Kg BB. Kontrol negatif yang digunakan adalah suspensi CMC 0,5%.

3.10.3 Penyiapan pemerangkapan ekstrak dalam matriks nata

Masing-masing matriks NDC dan NT ditimbang. Kemudian direndam dalam ekstrak yang telah dilarutkan dalam n-heksan selama 24 jam untuk hasil perendaman yang optimal. Kemudian nata tersebut ditiriskan dan dikeringkan pada freeze dryer selama ± 24 jam. Juga dilakukan prosedur yang sama untuk pemerangkapan obat pembanding indometasin yang dilarutkan dalam etanol.

3.10.4 Penyiapan Karagenan

Sebanyak 50 mg karagenan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 5 ml, dicukupkan dengan larutan infus NaCl kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam (Gupta, 2006).

3.10.5 Pernyiapan Hewan Percobaan

Dua minggu sebelum pengujian dilakukan hewan percobaan harus dipelihara dan dirawat dengan sebaik-baiknya pada kandang yang mempunyai ventilasi baik dan selalu dijaga kebersihannya. Hewan yang sehat ditandai dengan pertumbuhan normal dan suhu badan normal (Ditjen POM, 1979).


(47)

3.11 Prosedur Penggunaan Alat Pletismometer (Ugo Basile Cat No. 7140) 3.11.1 Pembuatan larutan untuk reservoir

Sebanyak 2 sampai 3 ml campuran senyawa pembasah (ornano imbibente BBC. 97) yang telah tersedia dalam kemasan standar dimasukkan dalam labu tentukur 1 liter, ditambahkan 0,4-0,5 g NaCl, dicukupkan dengan akuades hingga 1 liter.

3.11.2 Penyiapan alat

Larutan yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam reservoir yang telah dirangkai pada alat, kemudian diisi sel dengan memutar kepala katup kira-kira 45o ke sebelah kiri atau kanan sesuai dengan posisi reservoir itu dihubungkan, dialirkan beberapa kali dengan memutar kepala katup untuk menghindari gelembung udara. Batas larutan diatur sampai mendekati garis merah bagian atas sel. Alat dihidupkan maka tampilan grafik akan menyala dan menunjukkan logo Basile. Alat dihangatkan ± 2-3 menit.

3.11.3 Kalibrasi alat

Dari menu utama ditekan F1 maka akan ditampilkan angka 0 secara otomatis kemudian ditekan kembali F1 yang akan menunjukan angka 0,5 ml, ditekan kembali tombol F1 yang akan menunjukkan angka 1,0; 2,0; 4,0; 8,0 ml. setelah itu dipilih probe kalibrasi (1 ml) dan tekan F2 untuk konfirmasinya. Probe volum dimasukkan ke dalam sel, ditunggu hingga beberapa detik hingga nilai yang ditunjukkan stabil. Alat siap digunakan untuk pengukuran kaki tikus.

3.12 Prosedur Pengujian Efek Antiinflamasi

Sebelum pengujian, tikus dipuasakan selama 18 jam dengan tetap diberi air minum. Tikus dikelompokkan menjadi 10 kelompok dimana dalam


(48)

masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus, yaitu I. Kontrol (CMC 0,5%, matriks NDC dan NT), II. Pembanding indometasin (dalam bentuk suspensi, yang diperangkapkan pada matriks NDC dan NT) dosis 10 mg/Kg BB), III. Fraksi n-heksan (dalam bentuk suspensi, yang diperangkapkan pada matriks NDC dan NT) dosis 30, 45, 60 mg/Kg BB.

Pada hari pengujian, masing-masing hewan ditimbang dan pada sendi kaki kiri diberi tanda sebagai batas pengukuran. Volume kaki kiri tikus diukur dengan cara mencelupkannya ke dalam sel pletismometer yang berisi cairan khusus yang telah disiapkan sebelumnya sampai batas pada kaki kiri tikus berada pada garis batas atas sel. Pedal ditahan dan dicatat angka pada monitor sebagai volume awal (Vo). Setiap tikus diberikan suspensi fraksi n-heksan secara oral ataupun nata yang mengandung fraksi n-heksan sesuai dengan kelompoknya. Satu jam kemudian, masing-masing telapak kaki kiri tikus disuntik secara intraplantar dengan larutan karagenan 1%. Setelah setengah jam dilakukan pengukuran volume kaki kiri tikus dengan prosedur sama seperti untuk mengukur Vo. Perubahan volume cairan yang terjadi dicatat sebagai volume telapak kaki tikus (Vt). Pengukuran dilakukan setiap selang waktu 30 menit selama 6 jam. Setiap kali pengukuran larutan sel tetap diadkan sampai garis tanda atau garis merah bagian atas sel dan pada menu utama ditekan tombol 0 (zero) serta kaki tikus dikeringkan sebelumnya.

Volume radang adalah selisih volume telapak kaki tikus setelah dan sebelum disuntik karagenan. Pada waktu pengukuran, volume cairan harus sama setiap kali pengukuran, tanda batas kaki tikus harus jelas, kaki tikus harus tercelup sampai batas yang dibuat.


(49)

3.13 Perhitungan Persen Radang dan Persen Inhibisi Radang

Dimana : Vt = Volume radang setelah waktu t Vo = Volume awal kaki tikus

Dimana : a = Persen radang rata-rata kelompok kontrol

b = Persen radang rata-rata kelompok bahan uji dan pembanding

Persen Radang x100%

V V V

o o t

=

Persen Penghambatan Radang x100%

a b

a


(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah tumbuhan ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) dari suku Labiatae dapat dilihat pada lampiran 1.a (hal. 54).

4.1 Hasil Pembuatan Ekstrak Etanol Daun ruku-ruku dan Fraksinasi Memakai Pelarut n-heksan

Ekstraksi dilakukan secara maserasi dengan pelarut etanol 80% dimana diharapkan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya dapat tersari. Lalu difraksinasi dengan pelarut n-heksan. Hasil dari 1000 gram serbuk diperoleh ekstrak kering etanol 109 gram dan ekstrak kering n-heksan sebanyak 36,2 gram.

4.1.1 Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Daun Ruku-ruku

Untuk mengetahui apakah simplisia yang dipakai memenuhi syarat dan dapat dipakai sebagai bahan obat, maka dilakukan uji karakterisasi terhadap simplisia dan ekstrak.

Tabel 1. Hasil Karakterisasi Simplisia Daun Ruku-ruku

Karakterisasi simplisia Hasil (%) Persyaratan Menurut MMI Edisi VI 1995 (%)

Kadar air 7.331 < 10

Kadar abu total 10.608 Tidak lebih dari 13 Kadar abu tidak larut dalam asam 0.471 Tidak lebih dari 1

Kadar sari larut dalam air 6.267 Tidak kurang dari 5 Kadar sari larut dalam etanol 4.784 Tidak kurang dari 3.5

Menurut Ditjen POM (2000), Standarisasi suatu simplisia merupakan pemenuhan terhadap persyaratan sebagai bahan dan menjadi penetapan nilai untuk berbagai parameter produk. Simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai


(51)

bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia). Hasil karakterisasi simplisia daun ruku-ruku telah memenuhi persyaratan menurut Materia Medika Indonesia Edisi VI 1995.

Tabel 2. Hasil Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Ruku-ruku Karakterisasi Ekstrak Hasil (%)

Kadar air 14.657

Kadar abu total 13.831 Kadar abu tidak larut dalam asam 2.993

Kadar sari larut dalam air 19.396 Kadar sari larut dalam etanol 14.662

Hasil karakterisasi ekstrak etanol daun ruku-ruku diharapkan dapat menjadi acuan sebagai standarisasi dalam pemenuhan persyaratan ekstrak etanol daun ruku-ruku untuk menjadi bahan baku obat. Hal ini disebabkan belum ada persyaratan yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan.

Beberapa karakterisasi yang dilakukan masing-masing memberikan tujuan sehingga diharapkan memenuhi persyaratan sebagai bahan obat. Penetapan kadar air memberikan batasan kandungan air yang masih dapat ditolerir dari sampel untuk menjaga stabilitasnya, sebab air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba dan jamur. Senyawa-senyawa anorganik dari sampel juga perlu diperhatikan untuk dapat mengetahui kandungan logam-logam seperti Mg, Ca, Fe dan Pb. Besarnya kandungan logam yang tidak larut dalam asam dapat membahayakan kesehatan, seperti silika atau pasir yang berasal dari pengotoran. Oleh sebab itu dilakukan penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam. Selain itu juga dilakukan penetapan kadar sari untuk mengetahui kandungan senyawa kimia terutama untuk senyawa yang larut dalam air maupun etanol.


(52)

4.2 Hasil pembuatan nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC) dan sumber nitrogen dari tiourea (NT)

Pembuatan NDC dan NT menggunakan bakteri Acetobacter xylinum dari 1 liter air kelapa menghasilkan NDC basah 610 gram dengan ketebalan 13 mm. Sedangkan pada pembuatan NT menghasilkan 254 gram NT basah dengan ketebalan 4,8 mm.

Hasil pengeringan NDC basah yang telah dipotong bentuk dadu (1cm x 1cm) dengan berat 1,04 gram diperoleh 0,014 gram NDC kering, dan NT basah yang telah dipotong bentuk dadu dengan berat dari 0,230 g basah diperoleh 0,010 gram NT kering.

4.3 Hasil Uji Antiinflamasi dari Fraksi n-heksan dalam Bentuk Suspensi

Pengujian efek antiinflamasi dilakukan dengan menggunakan alat Pletismometer Ugo Basile Cat No. 7140 (lampiran 3, hal. 57), dengan pengukuran berdasarkan hukum Archimedes yaitu bila suatu benda yang dimasukkan ke dalam zat cair akan memberikan gaya atau tekanan ke atas sebesar volume yang didesak atau dipindahkan. Pemilihan metode ini karena pelaksanaannya sederhana, cepat, dapat diamati dengan jelas dan radang yang terjadi dapat diukur secara kuantitatif juga dapat dihitung secara statistik.

Induksi radang dilakukan secara kimia menggunakan larutan karagenan 1% sebanyak 0,1 ml yang disuntikkan pada telapak kaki tikus secara intraplantar. Pembentukan radang oleh karagenan menghasilkan radang yang akut dan tidak menyebabkan kerusakan jaringan, meskipun radang dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur berkurang setelah 24 jam. Responnya terhadap obat antiinflamasi lebih peka dibandingkan iritan lainnya (Juheini, 1990).


(53)

Persentase radang rata-rata merupakan selisih volume telapak kaki tikus setelah waktu tertentu dikurangi volume telapak kaki tikus awal dan dinyatakan dalam bentuk persen. Hasil pengukuran persentase radang yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 2.

Tabel 3. Data persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan fraksi n-heksan

daun ruku-ruku (FHRK) bentuk suspensi Waktu

(menit)

Perlakuan

K ± SD I ± SD O1 ± SD O2 ± SD O3 ± SD

30 17,88 ± 1,04 5,56 ± 0,56 6,35 ± 0,39 6,04 ± 0,38 6,16 ± 0,36 60 21,05 ± 0,96 12,79 ± 1,79 14,69 ± 0,44 13,16 ± 0,72 14,10 ± 0,65 90 24,52 ± 1,19 14,46 ± 1,56 16,51 ± 0,41 16,10 ± 0,35 16,46 ± 0,43 120 32,01 ± 1,24 19,30 ± 1,01 22,07 ± 0,44 21,13 ± 0,50 21,56 ± 0,66 150 36,24 ± 1,68 21,05 ± 0,32 28,06 ± 0,33 21,75 ± 0,38 24,65 ± 0,79 180 43,10 ± 1,42 26,37 ± 0,63 33,51 ± 0,78 27,87 ± 0,51 30,77 ± 0,59 210 47,22 ± 0,79 22,59 ± 0,97 28,26 ± 0,72 26,26 ± 0,68 27,25 ± 0,89 240 51,20 ± 1,07 14,25 ± 1,34 22,30 ± 1,31 19,90 ± 0,58 21,74 ± 0,52 270 46,27 ± 1,08 10,80 ± 1,22 20,86 ± 0,88 14,87 ± 0,45 17,28 ± 0,52 300 44,44 ± 0,93 8,76 ± 0,31 16,85 ± 0,94 12,01 ± 0,55 15,01 ± 1,16 330 39,63 ± 0,78 5,94 ± 0,18 13,62 ± 0,32 10,61 ± 0,52 12,69 ± 0,75 360 36,08 ± 0,86 3,00 ± 0,32 11,05 ± 0,48 9,06 ± 0,44 10,30 ± 0,43 Keterangan : K = Kontrol, I = Indometasin, O1 = FHRK dosis 30 mg/KgBB,

O2 = FHRK dosis 45 mg/KgBB, O3 = FHRK dosis 60 mg/KgBB, SD = Standard Deviasi

Tabel 3 memperlihatkan bahwa persentase radang rata-rata tertinggi pada kelompok kontrol adalah 51,2 % pada perlakuan 240 menit (t240) dan menjadi 36,08 % setelah perlakuan t360. Persen radang rata-rata tertinggi suspensi indometasin adalah 26,37 % pada perlakuan t180 dan menjadi 3,00 % setelah perlakuan t360. FHRK dosis 30 mg/Kg BB adalah 33,51 % pada perlakuan t180 dan menjadi 11,05 % setelah perlakuan t360. FHRK dosis 45 mg/Kg BB adalah 27,87 % pada perlakuan t180 dan menjadi 9,06 % setelah perlakuan t360. FHRK dosis 60


(54)

mg/Kg BB adalah 30,77 % pada perlakuan t180 dan menjadi 10,3 % setelah perlakuan t360.

Hal ini menunjukkan bahwa suspensi FHRK dosis 30 mg/KgBB, 45 mg/KgBB dan 60 mg/KgBB memberikan efek penurunan radang pada telapak kaki tikus, namun efek yang diberikan lebih kecil dari suspensi indometasin. Jika dilihat perbandingan ketiga dosis, maka FHRK dengan dosis 45 mg/KgBB memiliki efek antiinflamasi yang lebih besar bila dibandingkan dengan FRK dosis 30 mg/KgBB dan 60 mg/Kg BB.

Gambar 2. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan fraksi n-heksan daun ruku-ruku bentuk suspensi

Keterangan : FHRK = Fraksi n-heksan Daun Ruku-ruku

Persentase radang kaki tikus yang lebih kecil menunjukkan bahwa suspensi indometasin dan suspensi FHRK mampu menekan peradangan pada tikus yang disebabkan karagenan. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi n-heksan daun ruku-ruku memiliki efek antiinflamasi. Sesuai dengan hasil skrining fitokimia yang menyatakan bahwa tumbuhan ruku-ruku mengandung minyak


(55)

atsiri, alkaloid, glikosida, saponin, flavonoid, dan tanin. Dinyatakan oleh Simon and Kerry (2000) bahwa senyawa-senyawa seperti flavonoid dan tanin memiliki efek antiradang.

Berdasarkan hasil analisis variansi (ANOVA) menunjukkan perbedaan yang signifikan (α ≤ 0,05) antar kelompok perlakuan t30 sampai t360 dengan harga F hitung > F tabel (lampiran 14.a, hal. 92). Ini menunjukkan semua jenis perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap radang telapak kaki tikus.

Selanjutnya untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki pengaruh sama atau berbeda antara satu dengan lainnya dilakukan uji Duncan (lampiran 14. b, hal. 93). Uji ini dilakukan untuk menilai seluruh pasangan rataan perlakuan.

Persentase penghambatan radang rata-rata dapat dihitung dari persentase radang rata-rata telapak kaki tikus. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4 dan grafiknya dapat dilihat pada Gambar 3.

Tabel 4. Data persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu pengamatan

FHRK bentuk suspensi. Waktu

(menit)

Perlakuan

I O1 O2 O3

30 68,91 64,46 66,22 65,53

60 39,20 30,20 37,45 33,02

90 41,00 32,69 34,36 32,87

120 39,71 31,06 33,98 32,64

150 41,91 22,57 39,98 31,98

180 38,81 22,25 35,34 28,61

210 56,02 40,16 44,40 42,30

240 72,18 56,45 61,13 57,54

270 76,66 54,92 67,87 62,64

300 80,20 62,08 72,99 66,23


(56)

Keterangan : I = Indometasin, O1 = FHRK dosis 30 mg/KgBB,

O2 = FHRK dosis 45 mg/KgBB, O3 = FHRK dosis 60 mg/KgBB Pada gambar di bawah ini terlihat bahwa FHRK dengan dosis 30 mg/KgBB, 45 mg/KgBB dan 60 mg/KgBB sudah memberikan efek penurunan radang mulai dari 30 menit pertama. FHRK dengan dosis 45 mg/KgBB memberikan persentase penghambatan radang paling besar dibandingakan dosis 30 mg/KgBB dan 60 mg/KgBB. Selain itu dosis 45 mg/KgBB juga memberikan efek penekanan radang yang mendekati suspensi indometasin sebagai kontrol positif.

Gambar 3. Grafik persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu

pengamatan fraksi n-heksan bentuk suspensi. Keterangan : FHRK = Fraksi n-heksan Daun Ruku-ruku

4.4 Hasil Uji Antiinflamasi Fraksi n-heksan yang Diperangkapkan dalam matriks nata dengan sumber nitrogen dari urea (NDC)

Pemerangkapan fraksi n- heksan ke dalam matriks memberikan hasil yang berbeda dalam pelepasan zat aktifnya. Hasil pengukuran persentase radang dari fraksi n-heksan daun ruku-ruku dan indometasin yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 4.


(57)

Tabel 5. Data persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan fraksi n-heksan yang diperangkapkan dalam matriks NDC

Waktu (menit)

Perlakuan

K ± SD I ± SD O1 ± SD O2 ± SD O3 ± SD

30 18,02 ± 0,09 9,66 ± 0,56 12,11 ± 0,47 10,33 ± 0,53 11,34 ± 0,63 60 23,45 ± 0,48 13,19 ± 0,86 19,15 ± 1,28 16,29 ± 0,39 17,75 ± 0,55 90 26,57 ± 0,75 13,73 ± 0,57 22,04 ± 0,59 20,77 ± 0,59 21,42 ± 0,62 120 32,37 ± 0,89 19,54 ± 0,47 24,98 ± 0,87 22,42 ± 0,49 22,80 ± 0,70 150 39,34 ± 0,71 20,06 ± 0,49 28,50 ± 0,89 24,53 ± 0,46 26,67 ± 0,62 180 43,80 ± 1,73 24,65 ± 0,39 30,20 ± 2,46 27,52 ± 0,94 29,04 ± 0,94 210 49,03 ± 2,43 27,83 ± 0,93 32,43 ± 1,66 29,57 ± 0,71 30,40 ± 0,47 240 50,98 ± 0,72 28,89 ± 0,87 34,79 ± 3,49 30,48 ± 0,55 32,15 ± 0,64 270 47,10 ± 1,37 29,95 ± 2,45 35,49 ± 3,99 31,07 ± 0,98 33,11 ± 1,77 300 43,80 ± 1,74 20,78 ± 0,51 37,09 ± 0,92 33,46 ± 0,39 35,44 ± 0,66 330 39,13 ± 0,76 13,72 ± 0,62 27,59 ± 1,01 23,93 ± 0,46 25,73 ± 0,43 360 36,62 ± 0,63 7,59 ± 0,56 20,05 ± 0,47 14,52 ± 0,68 16,20 ± 0,53 Keterangan: K = Kontrol, I = Indometasin, O1 = FHRK NDC dosis 30 mg/KgBB,

O2 = FHRK NDC dosis 45 mg/KgBB,O3 = FHRK NDC dosis 60 mg/KgBB, SD = Standard Deviasi

Gambar 4. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan fraksi

n-heksan yang diperangkapkan dalam matriks NDC Keterangan : FHRK = Fraksi n-heksan Daun Ruku-ruku


(58)

Tabel 5 memperlihatkan bahwa persentase radang rata-rata tertinggi pada kelompok kontrol NDC adalah 50,98 % pada perlakuan t240 dan menjadi 36,62 % setelah t360. Persen radang rata-rata tertinggi indometasin NDC adalah 29,95 % pada perlakuan t270 dan menjadi 7,59 % setelah perlakuan t360. FHRK NDC dosis 30 mg/Kg BB adalah 37,09 % pada perlakuan t300 dan menjadi 20,05 % setelah perlakuan t360. FHRK NDC dosis 45 mg/Kg BB adalah 33,46 % pada perlakuan t300 dan menjadi 14,52 % setelah perlakuan t360 menit. FHRK NDC dosis 60 mg/Kg BB adalah 35,44 % pada perlakuan t300 menit dan menjadi 16,2 % setelah perlakuan t360. Ini menunjukkan bahwa ketiga dosis FHRK NDC memberikan efek antiinflamasi. Dosis 45 mg/KgBB memberikan efek yang tidak jauh berbeda dengan dosis 60 mg/KgBB dalam menurunkan peradangan, namun memberikan efek antiinflamasi yang lebih baik dibandingkan dosis 30 mg/KgBB. Hasil ANOVA menunjukkan perbedaan yang signifikan (α ≤ 0,05) antar kelompok perlakuan t30 sampai t360 dengan harga F hitung > F tabel (lampiran 15.a, hal. 97).

Selanjutnya untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki pengaruh sama atau berbeda antara satu dengan lainnya dilakukan uji Duncan (lampiran 15.b, hal. 98). Uji ini dilakukan karena percobaan memerlukan penilaian terhadap seluruh pasangan rataan perlakuan yang mungkin dan jumlah perlakuan yang besar. Diperoleh bahwa dosis 45 mg/KgBB tidak berbeda signifikan dengan 60 mg/KgBB dan berbeda signifikan dengan dosis 30 mg/KgBB dari perlakuan t30 sampai perlakuan t270.

Gambar 4 dapat dilihat profil grafik diperpanjang, dengan waktu tercapainya puncak yang lebih lama yaitu pada menit 300. Salah satu bahan makanan yang dapat digunakan sebagai penghantar obat untuk tujuan pelepasan


(1)

(Ocimum sanctum L.)

1. Penetapan kadar air

Kadar air = x 100 %

Volume awal (ml) Volume akhir (ml) Berat ekstrak (g) Kadar air (%)

1.7 2.5 5.005 15.984

2.5 3.2 5.003 13.991

3.2 3.9 5.001 13.997

Rata – rata = = 14.657 %

2. Penetapan kadar abu total

Kadar abu total = × 100 %

Berat ekstrak (g) Berat abu (g) Kadar abu total (%)

6.001 0.836 13.931

6.002 0.829 13.812

6.000 0.825 13.750

Rata – rata =

= 13.831 %

3. Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Kadar abu tidak larut asam =

×

100 %

Berat abu (g) Berat abu tidak larut asam (g) Kadar abu tidak larut asam (%)

0.417 0.123 29.496

0.420 0.127 30.238

0.419 0.126 30.072

Rata – rata = = 29.935 %


(2)

Kadar sari larut air =

×

×

100% B.cawan kosong (g) B.cawan + sari (g) B.simplisia (g) Kadar sari larut air (%)

62.001 62.194 5.000 19.300

65.847 66.045 5.001 19.796

27.787 27.978 5.002 19.092

Rata – rata = = 19.396 %

5. Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Kadar sari larut etanol =

×

×

100%

B.cawan kosong (g) B.cawan + sari (g) B.ekstrak (g) Kadar sari larut etanol (%)

62.001 62.139 5.000 13.800

65.847 66.001 5.003 15.390

27.787 27.935 5.001 14.797

Rata – rata = = 14.662 %


(3)

fraksi n-heksan daun ruku-ruku

Lampiran 8. Pengujian antiinflamasi dengan Pletismometer (fraksi n-heksan

Air Kelapa 1 L

dipanaskan sampai mendidih

ditambahkan urea 5 g untuk NDC, 6.337 g untuk tiourea ditambahkan gula pasir 100 g

ditambahkan asam asetat sampai pH 3-4 dimasukkan dalam wadah steril

didinginkan dalam ruang steril ditambahkan stater 100 ml

ditutup wadah agar tidak terkontaminasi diinkubasi selama 2 minggu

dinetralkan dengan NaOH 0.2 N dan akuades Nata

dipotong dadu (1 cm x 1 cm)

dikeringkan pada freeze dryer (-400C) Nata kering

direndam dalam larutan jenuh fraksi n-heksan daun ruku-ruku selama 24 jam

dikeringkan pada freeze dryer (-400C)

Nata mengandung fraksi n-heksan daun ruku-ruku


(4)

dalam bentuk suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks NDC dan NT)

Dipuasakan selama 18 jam

Disiapkan bahan uji (ekstrak n-heksan dosis 30, 45 dan 60 mg/Kg BB), pembanding (indometasin) dosis 10 mg/Kg BB yang telah diperangkapkan dalam matriks NDC dan NT

Ditimbang berat badan tikus

Ditandai sendi kaki kiri sebagai batas pengukuran volume kaki Diukur volume kaki kiri sebagai volume awal (Vo)

Diberikan bahan uji bentuk matriks Dibiarkan selama 1 jam

Disuntikkan secara intraplantar sebanyak 0,1 ml larutan karagenan

Diukur volume kaki tikus setiap ½ jam selama 6 jam

Lampiran 9. Contoh Perhitungan Dosis Fraksi n-heksan yang Dikonversikan dengan Berat Matriks

Tikus


(5)

1. Perhitungan dosis fraksi n-heksan yang diberikan dalam bentuk suspensi Diketahui : Berat tikus = 180 g

Dosis pemberian = 30 mg/Kg BB

Konsentrasi suspensi ekstrak = 3 mg/ml

Maka : Dosis yang dibutuhkan = 30 mg/Kg x 0,180 Kg = 5,4 mg

Suspensi yang diberikan =

= 1,8 ml 2. Perhitungan konversi dosis dengan berat matriks

Diketahui : Berat tikus = 180 g

Dosis pemberian = 30 mg/Kg BB

Maka : Ekstrak yang diperlukan = 30 mg/Kg x 0,180 Kg = 5,4 mg

Dari hasil orientasi diperoleh bahwa 10 mg matriks mampu memerangkapkan 100 mg ekstrak, sehingga diperoleh berat matriks (x) :

100 10 4 ,

5 =

x

100 10 4 , 5 x

x=

54 , 0

=

x mg

Lampiran 10. Contoh Perhitungan Persen Radang dan Persen Inhibisi

5,4 mg 3 mg/ml


(6)

Radang

1. Persen Radang

Dimana : Vt = Volume radang setelah waktu t Vo = Volume awal kaki tikus Misalnya diketahui : Vt = 0,050

Vo = 0,045

Persen radang 100%

045 , 0 045 , 0 050 , 0 x − = = 11,111%

2. Persen Inhibisi Radang

Dimana : a = Persen radang rata-rata kelompok kontrol

b = Persen radang rata-rata kelompok bahan uji dan kontrol positif Misalnya diketahui : a = 31,50

b = 12,56

Persen inhibisi radang 100%

50 , 31 56 , 12 50 , 31 x − =

= 60,13 % Persen radang x100%

V V V o o t − =

Persen inhibisi radang x100%

a b a− =