Fenomena Komunikasi Antarpribadi Dosen Pembimbing Dan Mahasiswa Dalam Bimbingan Skripsi (Studi Kasus Kecemasan Berkomunikasi dan Ketidakpastian Pada Mahasiswa FISIP USU)

(1)

FENOMENA KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DOSEN PEMBIMBING DAN MAHASISWA DALAM BIMBINGAN SKRIPSI

(Studi Kasus Kecemasan Berkomunikasi dan Ketidakpastian Pada Mahasiswa FISIP USU)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh:

TABITA SILITONGA 070904085

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Fenomena Komunikasi Antarpribadi Dosen Pembimbing dan Mahasiswa dalam Bimbingan Skripsi Suatu Studi Kasus Kecemasan Berkomunikasi dan Ketidakpastian Pada Mahasiswa FISIP USU.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis interaksi komunikasi antarpribadi, memahami kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing, serta faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya fenomena kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam pengalaman interaksi komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi.

Dengan menggunakan metode penelitian studi kasus yang menggunakan berbagai sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis, penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif yang menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini menggunakan teori kecemasan berkomunikasi dan pengurangan ketidakpastian dalam komunikasi antarpribadi. Pada penelitian ini melibatkan 17 informan yang berasal dari enam departemen di FISIP USU dengan tingkat kecemasan dan ketidakpastian sangat tinggi, moderat, dan rendah pada tahap penunjukan, tahap masukan, maupun tahap personal komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam proses bimbingan skripsi.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa interaksi komunikasi antarpribadi mahasiswa dengan dosen pembimbing belum efektif karena sebagian besar mahasiswa kurang membuka diri terhadap dosen pembimbingnya, kurang berempati, lebih melihat pada perbedaan daripada persamaan karakter dirinya dengan dosen pembimbing, serta kurang memberikan penghargaan positif tanpa syarat terhadap dosen pembimbingnya. Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan juga ditemukan bahwa faktor penyebab kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa terhadap dosen pembimbing dalam interaksi komunikasi antarpribadinya adalah faktor internal mahasiswa yakni persepsi negatif informan terhadap karakter dan metode bimbingan dosen pembimbing.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Bapa Surgawi yang selalu setia memampukan penulis hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Bapa yang selalu setia dalam suka dan duka penulis, yang selalu membuka jalan saat tiada jalan ditemukan penulis. Terimakasih Bapa terkasih.

Penulisan skripsi dengan judul “Fenomena Kecemasan Berkomunikasi

dan Ketidakpastian Mahasiswa dalam Interaksi Komunikasi Antarpribadi dengan Dosen Pembimbing dalam Bimbingan Skripsi” ini bertujuan untuk

memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi penulis dalam memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini merupakan hasil dari ilmu yang peneliti peroleh selama mengikuti proses perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan hasil penelitian yang peneliti peroleh selama di lapangan, buku-buku perpustakaan, kajian literatur, serta internet.

Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Ir. J. Silitonga dan T.Tobing, untuk kasih sayang dan didikan yang sangat berharga dan tidak ternilai, terkhusus ucapan terima kasih untuk mama tersayang atas doa, air mata, senyuman, dan semangat mama yang sangat


(4)

penulis banggakan, dr.Fridameria Silitonga, Immanuel Silitonga, Pashima Uli Silitonga, Jonas Silitonga.

Dan dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Fatmawardi Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi serta Ibu Dra. Dayana Manurung selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi atas segala dukungan dan dorongan yang menambah semangat penulis.

3. Bapak Drs. Hendra Harahap, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang penulis hormati. Penulis sangat bersyukur atas seorang dosen pembimbing yang luar biasa seperti Bapak. Ucapan terima kasih yang terdalam atas kesabaran Bapak dalam membimbing dan mendukung penulis sampai skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D selaku Dosen Wali penulis atas dukungan dan kasih sayang seperti orang tua yang diberikan kepada penulis .

5. Bapak Pdt. Ony Unitly dan keluarga


(5)

7. Seluruh dosen dan Staf Pengajar yang telah mendidik dan membimbing penulis sejak semester awal hingga penulis menyelesaikan perkuliahan.

8. Kak Icut, Kak Maya,dan Kak Ros atas bantuan dan keceriaan yang menginspirasi penulis.

9. Herbin Rajagukguk,S.Sos dan Emma Violita Pinem,S.Sos atas persahabatan yang tidak dapat dibandingkan dengan orang lain.

10.Mama Mian atas ketegaran dan kekuatan seorang mama yang peneliti kagumi, serta Natasia Simangunsong,S.Sos yang menjadi teman ceria peneliti.

11.Bapak dan Ibu Simatupang yang telah menginspirasi penulis akan kasih dan harapan orangtua yang tinggi, serta Perdana Tua Simatupang yang dewasa dan sayang sama teman-temannya terutama kepada keluarganya.

12.Bapak dan Ibu Silalahi atas kasih sayang dan didikan orangtua yang luar biasa, serta Firman dan Christina Natalina Silalahi yang luar biasa. Setiap ajaran dan kasih sayang Bapak dan Ibu tidak sia-sia karena anak-anak Bapak dan Ibu sungguh telah menjadi kebanggaan dan kebahagiaan setiap orang.

13.Lindawati Simbolon yang spesial bagi semua orang dan Romi Commando Girsang atas setiap kekritisan yang super keren

14.Kelompok Kecil Infokatif, kak Rohani dan Jeng Karona Sitepu yang menjadi kelompok doa penulis.


(6)

15.Surya Sihombing,S.Sos dan Andrye Christian,S.Sos atas bantuan yang luar biasa mengagumkan bagi penulis, serta Fernandez dan Dodi

16.Villya, Roria, Isa atas setiap dukungan yang diberikan kepada penulis.

17.Minat Brontak yang menjadi sahabat diskusi penulis selama kuliah.

18.Kubu Doa FISIP USU atas setiap doa yang dipanjatkan. Terus berdoa untuk kampus kita.

19.Teman-teman penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu terkhusus Grace, Fazario, Suci, Kumari, Astri, Inggit, Anggi, Angga, Yohana, Setya, Ropenta, Mardiandi.

20.Adik penulis Irwan Sitinjak, Vizabinka dan Melisa

21.Setiap informan yang luar biasa atas informasi yang sangat membantu dalam pengumpulan data skripsi ini. Skripsi ini menjadi berguna karena informasi yang kalian berikan. Semoga hasil usaha kita bermanfaat bagi mahasiswa lain.

Penulis menyadari bahwa penulisan ini jauh dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik sangat dibutuhkan dalam perbaikan skripsi ini. Terima Kasih.

Medan, Agustus 2011

Penulis


(7)

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

ABSTRAKSI

KATA PENGANTAR………. i

BAB I PENDAHULUAN……… 1

I.1 Latar Belakang Masalah……….. 1

I.2 Perumusan Masalah……….. 8

I.3 Pembatasan Masalah………. 9

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 10

I.4.1 Tujuan Penelitian……….. 10

I.4.2 Manfaat Penelitian……… 11

I.5 Kerangka Teori……….. 11

I.5.1 Komunikasi Antarpribadi………. 11

I.5.2 Communication Apprehension………. 12

I.5.3 Teori Pengurangan Ketidakpastian……….. 13

I.6 Kerangka Konsep……….. 13

I.7 Operasionalisasi Konsep……… 14

I.8 Defenisi Operasional……….. 16

BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Antarpribadi……… 21

II.1.1 Defenisi dan Peranan Komunikasi Antarpribadi……….. 21

II.1.2 Peranan Ciri dan Sifat Komunikasi Antarpribadi……….. 25

II.1.3 Fungsi dan Keampuhan Komunikasi Antarpribadi……… 30

II.1.4 Konsepsi Diri dalam Komunikasi Antarpribadi……….... 31

II.1.5 Persepsi Interpersonal………. 32


(8)

II.2.1 Ciri Communication Apprehension……… 36

II.2.2 Perilaku Cemas……….. 39

II.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Berkomunikasi….. 41

II.3 Teori Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory)….. 43

II.3.1 Ketidakpastian komunikasi……… 43

II.3.2 Asumsi Teori Pengurangan Ketidakpastian……….. 47

II.3.3 Aksioma Teori Pengurangan Ketidakpastian……… 49

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metodologi Penelitian……… 53

III.1.1 Metodologi Kualitatif……… 53

III.1.2 Studi Kasus……….... 55

III.2 Lokasi dan Subjek Penelitian……….. 60

III.2.1 Lokasi Penelitian……… 60

III.2.2 Subjek Penelitian……… 63

III.3 Teknik Pengumpulan Data……… . 65

III.4 Teknik Analisis Data……….. 67

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Proses Pengumpulan Data………. 69

IV.2 Tahapan Analisis Data……… 70

IV.3 Hasil Pengamatan……… 71

IV.4 Pembahasan………. 182

BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan……… 192

V.2 Saran……….. 193

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Fenomena Komunikasi Antarpribadi Dosen Pembimbing dan Mahasiswa dalam Bimbingan Skripsi Suatu Studi Kasus Kecemasan Berkomunikasi dan Ketidakpastian Pada Mahasiswa FISIP USU.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis interaksi komunikasi antarpribadi, memahami kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing, serta faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya fenomena kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam pengalaman interaksi komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi.

Dengan menggunakan metode penelitian studi kasus yang menggunakan berbagai sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis, penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif yang menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini menggunakan teori kecemasan berkomunikasi dan pengurangan ketidakpastian dalam komunikasi antarpribadi. Pada penelitian ini melibatkan 17 informan yang berasal dari enam departemen di FISIP USU dengan tingkat kecemasan dan ketidakpastian sangat tinggi, moderat, dan rendah pada tahap penunjukan, tahap masukan, maupun tahap personal komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam proses bimbingan skripsi.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa interaksi komunikasi antarpribadi mahasiswa dengan dosen pembimbing belum efektif karena sebagian besar mahasiswa kurang membuka diri terhadap dosen pembimbingnya, kurang berempati, lebih melihat pada perbedaan daripada persamaan karakter dirinya dengan dosen pembimbing, serta kurang memberikan penghargaan positif tanpa syarat terhadap dosen pembimbingnya. Berdasarkan hasil analisis dan pengamatan juga ditemukan bahwa faktor penyebab kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa terhadap dosen pembimbing dalam interaksi komunikasi antarpribadinya adalah faktor internal mahasiswa yakni persepsi negatif informan terhadap karakter dan metode bimbingan dosen pembimbing.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Keberhasilan tidak hanya dinilai dari hasil akhir, tetapi proses. Banyak orang yang mendapatkan hasil yang baik tanpa menjalani proses yang baik dan benar. Proses yang baik dan benar hampir selalu melalui perjalanan yang panjang, sukar, dan berliku-liku. Namun proses inilah yang menjadi pembelajaran terpenting dalam membangun karakter dan hanya orang-orang yang memiliki karakter yang berkualitas yang benar-benar mau bertahan dan dapat melalui proses tersebut.

Demikianlah skripsi, karangan ilmiah yang diwajibkan sebagai bagian dari persyaratan pendidikan akademis (KBBI), dikatakan berhasil tidak hanya dilihat dari nilai akhir yang diberikan pada bobot 6 SKS saja. Jika keberhasilan skripsi hanya dilihat dari nilainya saja, maka integritas bukanlah harga yang harus dimiliki.

Skripsi dikatakan berhasil saat peneliti mengerti dan memahami tujuan dan manfaat dari dilakukannya penelitian. Skripsi dikerjakan bukan untuk mendapatkan nilai A pada mata kuliah skripsi, bukan pula sekedar memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana seperti yang selalu tertera pada sampul depan skripsi. Tujuan penulisan skripsi adalah agar mahasiswa dapat berpikir logis, analitis dan ilmiah dalam menguraikan dan membahas suatu permasalahan


(11)

dan menuangkan hasil pemikiran dan penelitian tersebut secara sistematis dan terstruktur (http://www.Infoskripsi.com).

Skripsi adalah bukti integritas mahasiswa, implementasi ilmu yang telah diperoleh di perguruan tinggi, karya tertinggi mahasiswa S1 yang melibatkan rasa dan karsa serta kemampuan intelijen dan emosional mahasiswa. Sebagai bukti integritas serta implementasi teoritis akhir mahasiswa, skripsi bermanfaat untuk memberikan dedikasi kepada masyarakat dengan seluruh ilmu yang diperoleh mahasiswa selama di perguruan tinggi. Manfaat ini juga tertera dalam tridarma perguruan tinggi yakni pengabdian kepada masyarakat. Untuk manfaat inilah, proses yang baik dan benar adalah kunci keberhasilan skripsi.

Hasil akhir baik berupa nilai memuaskan, sangat memuaskan, maupun pujian dan pengakuan dari orang-orang adalah bonus dari proses yang telah dilalui dengan baik dan benar. Namun, sangat disayangkan banyak mahasiswa yang lupa, pura-pura lupa, atau memang tidak lupa karena sama sekali tidak mengerti manfaat skripsi pada kodratnya. Skripsi dipandang sebagai beban dan halangan besar yang harus dilewati secepat mungkin agar bisa maju, bukan lagi sebagai dedikasi terbaik yang sudah seharusnya diberikan kepada masyarakat pada akhir pengabdian seorang mahasiswa. Proses tidak lagi berharga bahkan hampir tidak terlintas dalam benak mahasiswa. Yang dipikirkan mahasiswa hanyalah cara paling instan dan mulus untuk selesai sampai bab akhir. Yang lebih memalukan lagi, mahasiswa menginginkan cara termudah dengan nilai tertinggi, waktu tercepat, dan pujian dari banyak orang tanpa mempedulikan nilai guna penelitiannya bagi masyarakat. Inilah produk sarjana yang diproduksi perguruan


(12)

dengan kalimat penutup ‘Jangan lupakan almamater’ dengan bangga didistribusikan ke masyarakat untuk memajukan nama bangsa dan negara.

Yang menjadi pertanyaannya adalah ‘Mengapa ini semua bisa terjadi?’ dan ‘Mengapa hal ini bisa tergilas dari pandangan dunia pendidikan disaat semua birokrat pendidikan berlomba-lomba untuk memperbaiki kualitas pendidikan institusinya?’ Salah satu hal yang sangat berkaitan dengan proses pengerjaan skripsi yang mengikutsertakan mahasiswa dan perguruan tinggi adalah bimbingan skripsi.

Bimbingan skripsi makna dasarnya adalah bimbingan dalam proses skripsi. Beberapa proses dalam pengerjaan skripsi antara lain mahasiswa yang tidak fokus pada judul penelitiannya, bingung terhadap latar belakang masalah, kurang mengerti terhadap teori-teori yang akan digunakan, kurang memahami metodologi penelitian, bahkan sering kali timbul masalah saat mengumpulkan data, kesulitan dalam menganalisis data, dan kerumitan dalam membahas data secara sistematis dan terstruktur dan berbagai hal lainnya dalam proses penyelesaian skripsi yang tidak hanya menguji kecerdasan intelijen mahasiswa namun menguji kecerdasan emosional mahasiswa juga. Dengan adanya kondisi seperti ini, bimbingan skripsi adalah metode yang tepat untuk mencapai hasil maksimal dan berkualitas dari hasil penelitian ilmiah mahasiswa.

Sebenarnya bimbingan skripsi memiliki peran penting dalam proses pengerjaan skripsi. Namun peran itu kurang dianggap penting oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bimbingan skripsi hanya dilihat sebagai formalitas, seperti tempat persetujuan dari dosen pembimbing untuk melangkah ke bab berikutnya.


(13)

Seharusnya pemaknaan seperti ini adalah penghinaan bagi dosen pembimbing karena ilmu yang dimiliki serta perannya sebagai pembimbing bukan hanya sekedar berguna untuk paraf saja. Sayangnya, dosen pembimbing juga kurang menyadari atau seolah-olah tidak menyadari keberadaan mahasiswa yang kurang memahami tujuan penulisan skripsi.

Berhasil atau tidaknya skripsi adalah tanggung jawab dari mahasiswa yang melakukan penelitian tersebut. Namun keberhasilan skripsi juga dipengaruhi oleh lingkungan mahasiswa. Ketika motivasi internal mahasiswa dalam proses penyusunan skripsi menurun, motivasi eksternal dari lingkungan sangat dibutuhkan. Dan dosen pembimbing skripsi adalah bagian dari lingkungan mahasiswa tersebut. Dengan kata lain, keberhasilan skripsi juga merupakan tanggung jawab dosen pembimbing yang notabene adalah utusan dari perguruan tinggi agar secara langsung membimbing mahasiswa.

Dosen pembimbing skripsi mempunyai peran membimbing mahasiswa agar mahasiswa memahami etika penelitian ilmiah terutama yang menyangkut plagiarisme dan sikap ilmiah, menetapkan masalah penelitian, menelusuri literatur, menyusun usul penelitian, mampu menerapkan teknik presentasi yang baik, mampu menulis skripsi, mampu melakukan ujian lisan saat mempertanggungjawabkan hasil pengerjaan skripsinya di hadapan dosen penguji (http://www.eng.unri.ac.id). Oleh sebab itu, peranan dosen pembimbing saat bimbingan skripsi sangatlah penting dalam mendukung mahasiswa dalam penelitian dan proses pengerjaan skripsinya. Melalui bimbingan skripsi, dosen pembimbing skripsi bertanggung jawab untuk membimbing mahasiswa sehingga


(14)

dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi, serta menghasilkan skripsi yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat.

Namun fenomena yang ditemukan adalah penyebab kecemasan yang dialami mahasiswa tingkat akhir bukan hanya karena kerumitan proses penelitian ilmiah yang akan dihadapi, tetapi juga karena kekhawatiran mahasiswa terhadap dosen yang membimbing mahasiswa dalam bimbingan skripsi serta terhadap metode bimbingan skripsi dosen tersebut. Mahasiswa mengalami ketidakpastian terhadap karakter dosen yang akan membimbing mereka. Mahasiswa mengharapkan untuk dibimbing oleh dosen tertentu yang sesuai dengan karakternya dan merasa cemas jika mendapatkan dosen pembimbing yang di kalangan mahasiswa telah mendapatkan label ’kejam, kaku, perfeksionis, sangat mendominasi, dan banyak permintaan’.

Kecemasan dan ketidakpastian yang dialami mahasiswa berpengaruh terhadap interaksi komunikasi antarpribadi mahasiswa dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi. Dalam proses bimbingan skripsi, semua mahasiswa selalu mengalami kecemasan dan ketidakpastian. Namun yang menjadi perhatian adalah tidak semua mahasiswa dapat mengatasi kecemasan dan ketidakpastiannya dalam bimbingan skripsi.

Salah satu contoh mahasiswa yang tidak mampu mengatasi kecemasan dan ketidakpastian dalam dirinya adalah mahasiswa yang memohon kepada departemen untuk mengganti dosen pembimbingnya saat dia mengetahui dosen pembimbingnya adalah seorang dosen yang tidak sesuai dengan karakternya. Mahasiswa ini dikatakan tidak dapat mengatasi kecemasan dan ketidakpastiannya


(15)

karena dia memutuskan untuk tidak melakukan interaksi komunikasi dengan dosen pembimbingnya. Kecemasan dan ketidakpastian yang sangat tinggi dan tidak dapat diatasi membuat individu membatasi dirinya berkomunikasi dengan individu lainnya.

Kecemasan dan ketidakpastian jika tidak dapat diatasi oleh mahasiswa, maka akan mengalami peningkatan. Kecemasan dan ketidakpastian yang semakin meningkat dapat menghambat komunikasi antarpribadi dosen pembimbing dan mahasiswa dalam bimbingan skripsi.

Salah satu kelebihan komunikasi antarpribadi yaitu komunikasi antarpribadi selalu dimulai dari proses hubungan yang bersifat psikologis dan proses tersebut mengakibatkan keterpengaruhan diantara individu-individu pelaku komunikasi antarpribadi. Proses komunikasi yang bersifat psikologis ini yang menyebabkan komunikasi antarpribadi sangat berperan terhadap psikologi individu-individu pelaku komunikasi. Komunikasi antarpribadi dapat mempengaruhi kognitif, afektif, dan behavioral khalayaknya.

Interaksi dosen pembimbing dengan mahasiswa dalam bimbingan skripsi memerlukan peranan komunikasi antarpribadi yang dapat mempengaruhi kognitif, afektif, dan behavioral mahasiswa dalam menyelesaikan skripsinya. Peranan dosen pembimbing diharapkan mampu mengurangi permasalahan yang akan dialami mahasiswa dalam proses pengerjaan skripsi, namun terdapat kondisi riil dimana dosen pembimbing skripsi menjadi salah satu permasalahan bagi mahasiswa dalam proses pengerjaan skripsinya. Mahasiswa merasa khawatir bila akan bertemu dengan dosen pembimbingnya dan mengalami kecemasan


(16)

berkomunikasi saat bimbingan skripsi. Bahkan kekuatiran tersebut membuat mahasiswa menjadikan atau menganggap hal yang wajar bila bimbingan skripsi hanya sebagai pertemuan untuk persetujuan tiap bab, bukan untuk berdiskusi atau mendapatkan pengarahan dari dosen pembimbing.

Pada penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa yang sedang melakukan bimbingan skripsi di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU. Pemilihan lokasi penelitian di FISIP USU dilakukan karena pada fakultas inilah ditemukan beberapa kasus kecemasan mahasiswa dalam interaksi komunikasi dengan dosen dalam bimbingan skripsi dikarenakan dosen pembimbing skripsi yang tidak sesuai dengan harapan mahasiswa. Bila melihat pada salah satu tujuan komunikasi antarpribadi adalah untuk memelihara hubungan yang bermakna dengan orang lain, maka yang menjadi pertanyaannya adalah bagaimana kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam interaksi komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi, serta bagaimana komunikasi antarpribadi yang terjadi antara dosen pembimbing dengan mahasiswa dalam bimbingan skripsi di FISIP USU. Penelitian ini setidaknya dapat membantu dalam memperoleh pengetahuan mengenai bagaimana selama ini subjek penelitian membangun komunikasi antarpribadinya dan sejauhmana hal ini berpengaruh terhadap proses penyelesaian dan hasil tugas akhir mahasiswa tersebut.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti fenomena kecemasan berkomunikasi dan ketidakpastian mahasiswa dalam interaksi komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi pada mahasiswa FISIP USU.


(17)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah interaksi komunikasi antarpribadi dosen pembimbing skripsi dan mahasiswa dalam bimbingan skripsi?

- Apakah persepsi mahasiswa terhadap dosen pembimbingnya dalam bimbingan skripsi?

- Apakah mahasiswa terbuka untuk berdiskusi dan berinteraksi dengan dosen pembimbingnya?

- Apakah mahasiswa merasakan perasaan capek, marah, sedih, atau senang dosen pembimbingnya?

- Apakah mahasiswa menilai dosen pembimbingnya secara positif? - Apakah terdapat kesamaan antara mahasiswa dengan dosen

pembimbing?

2. Bagaimanakah kecemasan berkomunikasi dan ketidakpastian mahasiswa dalam pengalaman interaksi komunikasi mereka dengan dosen pembimbing dalam tahap penunjukan, perkenalan, dan personal bimbingan skripsi?

- Apakah mahasiswa merasa antusias atau cemas dalam tahap penunjukan, perkenalan, maupun tahap personal selama proses bimbingan skripsi?


(18)

- Apakah kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa meningkat atau menurun dari satu tahap menuju tahap selanjutnya selama proses bimbingan skripsi?

3. Faktor-faktor apakah yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya fenomena kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam pengalaman interaksi komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi?

I.3. Pembatasan Masalah

Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah.

Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti oleh peneliti adalah:

1. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan studi kasus sebagai metode riset peneliti.

2. Yang menjadi perhatian peneliti adalah kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam interaksi komunikasi dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi.

3. Penelitian dilakukan di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

4. Penelitian terbatas pada mahasiswa S1 Reguler yang sedang mengerjakan tugas akhir dan melakukan bimbingan skripsi.


(19)

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan sudah pasti mempunyai tujuan yang akan dicapai. Adapun tujuan penelitian ini antara lain:

1. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interaksi komunikasi antarpribadi dosen pembimbing skripsi dan mahasiswa dalam bimbingan skripsi.

2. Penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena kecemasan berkomunikasi dan ketidakpastian mahasiswa dalam pengalaman interaksi komunikasi mereka dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi.

3. Penelitian ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya fenomena kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam pengalaman interaksi komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi.

I.4.2. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi.


(20)

b. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarpribadi sebagai bagian dari ilmu komunikasi.

c. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi antarpribadi dalam bimbingan skripsi yang terjadi di sekitar kita.

I.5. Kerangka Teori

I.5.1. Komunikasi Antarpribadi

Kehidupan manusia ditandai dengan pergaulan di antara manusia dalam keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, tempat bekerja, organisasi sosial dan lain sebagainya. Semua ditunjukkan tidak saja pada derajat suatu pergaulan di dalam lingkungan, komunikasi, frekuensi pertemuan, jenis relasi mutu dari interaksi-interaksi di antara mereka tetapi juga terletak pada seberapa jauh keterlibatan di antara mereka satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Menurut Lasswell dalam bukunya ”The Structure and function of Communication

in Society”, cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab

pertanyaan sebagai berikut: who, says what, in which channel, to whom, with what

effect (Rakhmat, 2002).

Ciri khas komunikasi interpersonal ini ialah sifatnya dua arah atau timbal balik (two ways traffic communication). Di dalam komunikasi interpersonal, komunikator dan komunikan saling berganti fungsi. Menurut Joseph A.Devito, ciri komunikasi antarpribadi yang efektif adalah keterbukaan (openness), empati


(21)

(empathy), dukungan (supportiveness), rasa positif (positiveness), kesetaraan (equality). (Liliweri, 1991:13)

I.5.2 Communication Apprehension

Tingkat kecemasan ataupun ketakutan individu yang berkaitan dengan komunikasi yang sedang atau yang akan dilakukan dengan orang lain dinamakan dengan Communication Apprehension (CA). CA merupakan perilaku yang biasa dan normal karena setiap individu mengalaminya, namun tidak semua individu dapat mengatasi hal ini sehingga dapat mengganggu komunikasi individu tersebut dengan orang lain.

Patterson dan Ritts dalam penelitiannya mengemukakan beberapa parameter yang menunjukkan komunikator mengalami kecemasan sosial dan komunikasi. Menurut mereka kecemasan sosial dan komunikasi memiliki aspek fisik, aspek tingkah laku, serta aspek kognitif.

Terkait dengan pemikiran negatif, Patterson dan Rits mengemukakan: ”Negative thinking can lead to anxious self-perception that keeps a person from

considering all of the information and cues in the environment”. (Pemikiran

negatif menyebabkan seseorang menjadi terlalu khawatir dengan dirinya sendiri sehingga ia harus memperhitungkan segala informasi dan gejala yang muncul dari lingkungan di sekitarnya). Hal ini menyebabkan proses dan pengolahan informasi yang normal terganggu yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk menarik diri dari lingkungannya. (Morrisan, 2010:9)

Joseph A. Devito (Devito, 2001:81-82) menuliskan faktor-faktor yang meningkatkan kecemasan berkomunikasi, antara lain:

a. Derajat Evaluasi b. Subordinate status

c. Degree of conspicuousness d. Degree of unpredictability e. Degree of dissimilarity f. Prior success and failures


(22)

I.5.3. Teori Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory)

Teori pengurangan ketidakpastian atau Uncertainty Reduction Theory (URT) pertama sekali dikembangkan oleh Berger dan Calabrese pada tahun 1975. Tujuan Berger dan Calabrese dalam membangun teori ini adalah untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian antara orang-orang yang baru saling mengenal yang terlibat dalam percakapan. Teori pengurangan ketidakpastian membahas proses dasar bagaimana kita memperoleh pengetahuan mengenai orang lain melalui interaksi komunikasi. (Morissan, 2010: 86)

Berger dan Calabrese menuliskan tujuh aksioma ketidakpastian, yakni: a.ketidakpastian tinggi, mendorong komunikasi verbal

b.pernyataan nonverbal rendah, ketidakpastian tinggi

c.ketidakpastian tinggi mendorong pencarian informasi rendah d.ketidakpastian tinggi, keintiman komunikasi rendah

e. ketidakpastian tinggi, resiprositas tinggi f.kesamaan mengurangi ketidakpastian g.ketidakpastian tinggi, kesukaan rendah (Morrisan, 2010:93)

I.6. Kerangka Konsep

Prof. Dr. H.M. Burhan Bungin mengartikan konsep sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama ( Bungin, 2001:73)

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai serta


(23)

perumusan kerangka konsep merupakan bahan yang dicapai serta perumusan kerangka konsep merupakan bahan yang akan menuntun dalam merumuskan hipotesis penelitian (Nawawi, 1995:40).

Maka konsep operasional yang akan diteliti adalah:

Kecemasan Berkomunikasi dan Ketidakpastian Mahasiswa dalam Komunikasi Antarpribadi dengan Dosen Pembimbing dalam Bimbingan Skripsi

I.7. Operasionalisasi Konsep

Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka konsep operasional tersebut dijadikan acuan untuk memecahkan masalah. Agar konsep operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, maka dioperasionalkan sebagai berikut:

Konsep Operasional Operasionalisasi Konsep

Komunikasi Antar Pribadi Mahasiswa Bimbingan dan Dosen Pembimbing Skripsi

1.Komunikasi antarpribadi yang efektif

a. Keterbukaan (Openness) b. Empati (Empathy)

- Turut merasakan perasaan orang lain

- Terlibat aktif melalui ekspresi wajah dan gerak

c. Dukungan (Supportiveness)

- Situasi yang terbuka untuk mendukung berlangsungnya komunikasi efektif.

d. Rasa positif (Positiveness)

- Penilaian positif komunikator pada komunikan


(24)

- Sikap positif karena suasana yang menyenangkan

e. Kesamaan (Equality)

- Memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokrasi

- Mengkomunikasikan

penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pendapat. Faktor Pengaruh dan Eksplorasi

Komunikasi Antarpribadi

1. Uncertainty Reduction Theory

a.ketidakpastian tinggi, mendorong komunikasi verbal

b.pernyataan nonverbal rendah, ketidakpastian tinggi

c.ketidakpastian tinggi mendorong pencarian informasi rendah

d.ketidakpastian tinggi, keakraban komunikasi rendah

e.ketidakpastian tinggi, resiprositas tinggi

f.kesamaan mengurangi ketidakpastian g.ketidakpastian tinggi, kesukaan

rendah

2. Communication Apprehension a.Parameter kecemasan berkomunikasi

- Aspek fisik

- Aspek tingkah laku - Aspek kognitif

b.Faktor-faktor yang meningkatkan kecemasan berkomunikasi

- Derajat Evaluasi - Subordinate status


(25)

- Degree of unpredictability - Degree of dissimilarity - Prior success and failures

- Lack of communication skills and experience

I.8 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan penjabaran lebih lanjut tentang konsep yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep. Definisi operasional adalah suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara mengukur variabel-variabel. Definisi operasional juga merupakan suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yamg akan menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1995: 46).

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Komunikasi Antar Pribadi Dosen Pembimbing Skripsi dan Mahasiswa Bimbingan

a. Keterbukaan (Openness)

Keterbukaan dosen pembimbing dalam menerima mahasiswa tersebut sebagai seseorang yang akan dibimbingnya, dan keterbukaan mahasiswa menerima dosen sebagai pembimbingnya. Serta keterbukaan untuk saling memberikan informasi yang membantu penyelesaian tugas akhir.


(26)

b. Empati

Sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk konsep diri yang positif dan meningkatkan motivasi mahasiswa.

c. Dukungan (Supportiveness)

Perhatian dan kepercayaan dosen pembimbing terhadap mahasiswa bimbingannya.

d. Rasa positif

Perasaan dan pikiran yang positif serta optimis akan kemampuan mahasiswa bimbingannya baik IQ maupun EQ.

e. Kesamaan (Equality)

Memberi pengertian bahwa dosen pembimbing menerima mahasiswa bimbingannya, dan sebaliknya.

2. Faktor pengaruh dan eksplorasi komunikasi antarpribadi

a. Uncertainty Reduction Theory

- ketidakpastian tinggi, mendorong komunikasi verbal

Ketidakpastian tinggi pada tahap masukan/ tahap perkenalan, mendorong peningkatan komunikasi verbal antara dosen pembimbing dan mahasiswa.


(27)

Pada tahap awal interaksi komunikasi antarpribadi dalam bimbingan skripsi, ketika ungkapan nonverbal meningkat maka tingkat ketidakpastian menurun.

- ketidakpastian tinggi mendorong pencarian informasi rendah

Ketidakpastian yang tinggi pada mahasiswa terhadap dosen pembimbing akan meningkatkan upaya untuk mencari informasi mengenai perilaku dosen pembimbing.

- ketidakpastian tinggi,keintiman komunikasi rendah

Tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam hubungan dosen pembimbing skripsi dan mahasiswa menyebabkan turunnya tingkat keintiman isi komunikasi.

- ketidakpastian tinggi, resiprositas tinggi

Semakin sedikit informasi yang diberikan oleh mahasiswa maka dosen pembimbing akan melakukan hal yang serupa, dan sebaliknya.

- kesamaan mengurangi ketidakpastian

Kesamaan antara dosen pembimbing skripsi dan mahasiswa akan mengurangi ketidakpastian.

- ketidakpastian tinggi, kesukaan rendah

Ketidakpastian yang meningkat antara dosen pembimbing skripsi dan mahasiswa akan mengurangi perasaan tertarik.


(28)

b. Communication Apprehension

- Parameter kecemasan berkomunikasi

1. Aspek fisik

Kecemasan berkomunikasi yang terlihat dari fisik individu seperti denyut jantung atau wajah yang memerah karena malu

2. Aspek tingkah laku

Kecemasan berkomunikasi yang terlihat dari tingkah laku individu seperti penghindaran dan perlindungan diri.

3. Aspek kognitif

Kecemasan berkomunikasi yang dapat dilihat dari kerangka berpikir individu seperti terlalu fokus pada diri sendiri (self-focus) serta timbulnya pemikiran negatif.

- Faktor-faktor yang meningkatkan kecemasan berkomunikasi

1. Derajat Evaluasi

Semakin tinggi mahasiswa merasa dirinya sedang dievaluasi, maka kecemasan akan semakin meningkat.

2. Subordinate status

Saat mahasiswa merasa bahwa dosen pembimbing memiliki pengetahuan yang jauh lebih luas dari mahasiswa bahkan mahasiswa


(29)

tidak dapat mengejarnya, maka kecemasan berkomunikasi akan semakin meningkat.

3. Degree of conspicuousness

Semakin mencolok seorang mahasiswa, maka kecemasan berkomunikasi akan semakin tinggi.

4. Degree of unpredictability

Semakin banyak situasi tak terduga, maka semakin besar tingkat kecemasan.

5. Degree of dissimilarity

Saat mahasiswa merasakan sedikit persamaan, maka akan terjadi kecemasan berkomunikasi.

6. Prior success and failures

Keberhasilan atau kegagalan mahasiswa di satu situasi dalam bimbingan skripsi akan berpengaruh terhadap respon mahasiswa pada bimbingan selanjutnya.

7. Lack of communication skills and experience

Kurangnya kemampuan dan pengalaman mahasiswa akan menyebabkan kecemasan berkomunikasi, terutama jika mahasiswa tidak berusaha untuk meningkatkan kemampuannya.


(30)

BAB II

URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Antarpribadi

II.1.1 Definisi dan Peranan Komunikasi Antarpribadi

Terdapat beberapa definisi komunikasi antarpribadi menurut beberapa ahli, diantaranya adalah:

a. Menurut Joseph A.Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication

Book (Devito, 1989:4), komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan

penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of

sending and receiving messages between two persons, or among a small group of persons, with some effect and some immediate feedback).

b. Menurut Rogers dalam Depari, komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi.

c. Tan mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi tatap muka antara dua orang atau lebih. (Liliweri, 1991: 12)

Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menimbulkan efek tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh komunikator. Efek yang ditimbulkan oleh komunikasi dapat diklasifikasikan pada:


(31)

1. Efek kognitif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, dipersepsi oleh komunikan atau yang berkaitan dengan pikiran dan nalar/rasio. Dengan kata lain, pesan yang disampaikan ditujukan kepada pikiran komunikan.

2. Efek afektif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang dirasakan atau yang berhubungan dengan perasaan. Dengan kata lain, tujuan komunikator bukan saja agar komunikan tahu tapi juga tergerak hatinya.

3. Efek konatif, yaitu perilaku yang nyata yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, kebiasaan, atau dapat juga dikatakan menimbulkan itikad baik untuk berperilaku tertentu dalam arti kita melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik (jasmaniah).

Dalam buku Komunikasi Antarpribadi, Alo Liliweri mengutip pendapat Joseph A.Devito mengenai ciri komunikasi antarpribadi yang efektif, yaitu:

a. Keterbukaan (openness)

Kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi. Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada komunikannya. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya. Memang ini mungkin menarik, tetapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebalikanya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut dan wajar.

Aspek kedua mengacu pada kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan komunikan yang menjemukan. Bila ingin komunikan bereaksi terhadap apa yang komunikator ucapkan, komunikator dapat memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.


(32)

Aspek ketiga menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran dimana komunikator mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang diungkapkannya adalah miliknya dan ia bertanggung jawab atasnya. b. Empati (empathy)

Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Berbeda dengan simpati yang artinya adalah merasakan bagi orang lain. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang sehingga dapat mengkomunikasikan empati, baik secara verbal maupun non-verbal.

c. Dukungan (supportiveness)

Situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif. Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung. Individu memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan bukan strategik. d. Rasa Positif (positiveness)

Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.

e. Kesetaraan (equality)

Komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan meminta kita untuk memberikan penghargaan positif tak bersyarat kepada individu lain.

(Liliweri, 1991: 13)

Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Proses saling mempengaruhi ini merupakan suatu proses bersifat psikologis dan karenanya juga merupakan permulaan dari ikatan psikologis antarmanusia yang memiliki suatu pribadi.


(33)

Dalam komunikasi antar pribadi, Joseph Luft menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui dan tidak mengetahui tentang dirinya, maupun orang lain. Hal ini digambarkan dalam Johari Window (Jendela Johari) yakni:

I

OPEN AREA

Known by ourselves and known by others

II BLIND AREA

Known by others but not known by ourselves

III

HIDDEN AREA

Known by ourselves but not known by others

IV

UNKNOWN AREA

Not known by ourselves and not known by others

Berdasarkan konsep tersebut, tingkah laku manusia dapat digambarkan secara skematis seperti terlihat pada skema di atas.

Bidang I, yakni Bidang Terbuka (Open Area) menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seseorang disadari sepenuhnya oleh yang bersangkutan, juga oleh orang lain, yang berarti terdapat keterbukaan, dengan lain perkataan tidak ada yang disembunyikan kepada orang lain.

Bidang II, yakni Bidang Buta (Blind Area) menggambarkan bahwa kegiatan seseorang diketahui oleh orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak menyadari apa yang ia lakukan.

Bidang III, yakni Bidang Tersembunyi (Hidden Area) yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seseorang disadari sepenuhnya olehnya, tetapi tidak


(34)

dapat diketahui oleh orang lain. Ini berarti bahwa orang seperti itu bersikap tertutup.

Bidang IV, adalah Bidang Tak Dikenal (Unknown Area). Bidang ini menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang tidak disadari oleh dirinya sendiri dan tidak diketahui oleh orang lain. (Liliweri, 1991)

Berdasarkan definisi Devito, maka komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang terjadi secara dialogis, dimana saat seorang komunikator berbicara maka akan terjadi umpan balik dari komunikan sehingga terdapat interaksi. Dalam komunikasi dialogis, baik komunikator maupun komunikan, keduanya aktif dalam proses pertukaran informasi yang berlangsung dalam interaksi.

II.1.2 Peranan, Ciri dan Sifat Komunikasi Antarpribadi

Johnson menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia, yakni:

1. Komunikasi antarpribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Perkembangan kita sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin meluasnya ketergantungan kita pada orang lain. Diawali dengan ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi semakin luas dengan bertambahnya usia kita. Bersamaan proses itu, perkembangan intelektual dan sosial kita sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi kita dengan orang lain.


(35)

2. Identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar maupun tidak sadar kita mengamati, memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Kita menjadi tahu bagaimana pandangan orang lain itu tentang diri kita. Berkat pertolongan komunikasi dengan orang lain kita dapat menemukan diri, yaitu mengetahui siapa diri kita sebenarnya.

3. Dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain dan realitas yang sama. Tentu saja pembandingan sosial semacam itu hanya dapat kita lakukan lewat komunikasi dengan orang lain.

4. Kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, terlebih orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan (significant figures) dalam hidup kita. Bila hubungan kita dengan orang lain diliputi berbagai masalah, maka tentu kita akan menderita, merasa sedih, cemas, frustrasi. Bila kemudian kita menarik diri dan menghindar dari orang lain, maka rasa sepi dan terasing yang mungkin kita alami pun tentu akan menimbulkan penderitaan, bukan hanya penderitaan emosional atau batin, bahkan mungkin juga penderitaan fisik. (Supratiknya, 2003: 9-10)

Dari beberapa definisi komunikasi harus ditinjau manakah ciri-ciri yang menunjukkan perbedaan yang khas antara komunikasi antarpribadi dengan bentuk


(36)

komunikasi yang lain. Reardon mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi mempunyai paling sedikit enam ciri, yaitu:

1.Komunikasi antarpribadi dilaksanakan karena adanya berbagai faktor pendorong

2.Komunikasi antarpribadi berakibat sesuatu yang disengaja maupun tidak disengaja

3.Komunikasi antarpribadi kerapkali berbalas-balasan

4.Komunikasi antarpribadi mensyaratkan adanya hubungan (paling sedikit dua orang) antarpribadi

5.Komunikasi antarpribadi suasana hubungan harus bebas, bervariasi, dan adanya keterpengaruhan

6.Komunikasi antarpribadi menggunakan berbagai lambang yang bermakna

Dari berbagai sumber di atas, maka Alo Liliweri menyimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Komunikasi antarpribadi biasanya terjadi secara spontan dan terjadi sambil lalu saja

2. Komunikasi antarpribadi tidak mempunyai tujuan terlebih dahulu

Kebanyakan komunikasi antarpribadi tidak mempunyai satu tujuan yang diprogramkan terlebih dahulu, seperti pertemuan di ruang perpustakaan kemudian merencanakan belajar bersama, saling mengajak makan bersama setelah bertemu di rumah makan. Namun bisa saja komunikasi antarpribadi


(37)

telah dijanjikan dan mempunyai tujuan terlebih dahulu, namun konteksnya berbeda dengan komunikasi kelompok.

3. Komunikasi antarpribadi terjadi secara kebetulan di antara peserta yang tidak mempunyai identitas yang jelas.

4. Komunikasi antarpribadi mempunyai akibat yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

5. Komunikasi antarpribadi seringkali berlangsung berbalas-balasan

6. Komunikasi antarpribadi menghendaki paling sedikit melibatkan hubungan dua orang dengan suasana yang bebas, bervariasi, adanya keterpengaruhan

7. Komunikasi antarpribadi tidak dikatakan sukses jika tidak membuahkan hasil

8. Komunikasi antarpribadi menggunakan lambang-lambang bermakna

(Liliweri, 1991: 13-19)

Komunikasi antarpribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang lika-liku hidup pihak lain, pikiran dan pengetahuannya, perasaannya, maupun menanggapi tingkah laku seseorang. Mereka yang sudah saling mengenal secara mendalam memiliki interaksi komunikasi yang lebih baik daripada yang belum mengenal. Kesimpulannya bahwa jika hendak menciptakan suatu komunikasi antarpribadi yang lebih bermutu maka harus didahului dengan suatu keakraban.

Bagaimanapun juga suatu batasan pengertian yang benar-benar baik tentang komunikasi antarpribadi tidak ada yang memuaskan semua orang. Semua


(38)

batasan arti sangat tergantung bagaimana kita melihat dan mengetahui perilakunya. Dengan kata lain tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan antara dua orang dapat digolongkan komunikasi antarpribadi. Ada tahap-tahap tertentu dalam interaksi antara dua orang haruslah terlewati untuk menentukan komunikasi antarpribadi benar-benar dimulai.

Ada tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua orang merupakan komunikasi antarpribadi. Sifat-sifat komunikasi antarpribadi itu adalah:

1. Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan nonverbal

2. Komunikasi antarpribadi melibatkan pernyataan atau ungkapan yang spontan

3. Komunikasi antarpribadi tidaklah statis melainkan dinamis

4. Komunikasi antarpribadi melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi dan koherensi (pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya)

5. Komunikasi antarpribadi dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik

6. Komunikasi antarpribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan

7. Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya bidang persuasif (Liliweri, 1991:30-31)


(39)

II.1.3 Fungsi dan Keampuhan Komunikasi Antarpribadi

Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi antarpribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan. Alasannya adalah komunikasi antarpribadi umumnya berlangsung secara tatap muka (face-to-face). Oleh karena itu individu (komunikator) dengan individu (komunikan) saling bertatap muka, maka terjadilah kontak pribadi (personal contact); pribadi komunikator menyentuh pribadi komunikan. Ketika komunikator menyampaikan pesan, umpan balik berlangsung seketika (immediate feedback); komunikator mengetahui pada saat itu tanggapan komunikan terhadap pesan, ekspresi wajah, dan gaya bicara komunikator. Apabila umpan baliknya positif, artinya tanggapan komunikan menyenangkan komunikator, sehingga komunikator mempertahankan gaya komunikasinya; sebaliknya jika tanggapan komunikan negatif, komunikator harus mengubah gaya komunikasinya sampai berhasil.

Oleh karena keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan itulah maka bentuk komunikasi antarpribadi acapkali dipergunakan untuk melancarkan komunikasi persuasif (persuasive

communication) yakni suatu teknik komunikasi secara psikologis manusiawi yang

sifatnya halus, luwes berupa ajakan, bujukan atau rayuan. (Effendy, 2003:61)

Adapun fungsi komunikasi antarpribadi ialah berusaha meningkatkan hubungan insan (human relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain. Melalui komunikasi antarpribadi, individu dapat


(40)

berusaha membina hubungan yang baik dengan individu lainnya, sehingga menghindari dan mengatasi terjadinya konflik-konflik di antara individu-individu tersebut. (Cangara, 2005:56)

II.1.4 Konsepsi Diri dalam Komunikasi Antarpribadi

Konsep diri adalah pandangan dan perasaan individu tentang dirinya. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep diri yang positif, ditandai dengan lima hal, yaitu: yakin akan kemampuan mengatasi masalah; merasa setara dengan orang lain; menerima pujian tanpa rasa malu; menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat; mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubah. Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi antarpribadi, yaitu:

a. Nubuat yang dipenuhi sendiri. Karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Bila seseorang mahasiswa menganggap dirinya sebagai orang yang rajin, ia akan berusaha menghadiri kuliah secara teratur, membuat catatan yang baik, mempelajari materi kuliah dengan sungguh-sungguh, sehingga memperoleh nilai akademis yang baik.

b. Membuka diri. Pengetahuan tentang diri kita akan meningkatkan komunikasi, dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi dekat pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman-pengalaman dan gagasan baru.


(41)

c. Percaya diri (self confidence). Keinginan untuk menutup diri, selain karena konsep diri yang negatif timbul dari kurangnya kepercayaan kepada kemampuan sendiri. Orang yang kurang percaya diri akan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi. Ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Orang yang aprehensif dalam komunikasi disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri. Tentu tidak semua aprehensi komunikasi disebabkan kurangnya percaya diri; tetapi di antara berbagai faktor, percaya diri adalah yang paling menentukan. Untuk meningkatkan percaya diri, menumbuhkan konsep diri yang sehat menjadi perlu seperti yang dikatakan Maxwell Maltz, seorang tokoh Psikosibernetik, ”Believe in yourself and you’ll succeed”

d. Selektivitas. Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apa kita bersedia membuka diri (terpaan selektif), bagaimana kita mempersepsi pesan (persepsi selektif), dan apa yang kita ingat (ingatan selektif). (Rakhmat, 2005: 104-109)

II.1.5 Persepsi Interpersonal

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory stimuli). Persepsi interpersonal adalah persepsi individu pada individu lainnya.


(42)

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi interpersonal, antara lain:

1. Faktor Situasional

a. Deskripsi Verbal

Deskripsi individu secara verbal mengenai sifat individu lainnya ditentukan dari rangkaian katanya. Sifat individu yang pertama kali diucapkan komunikator akan mengarahkan penilaian komunikan selanjutnya.

b. Petunjuk Proksemik

Proksemik adalah studi tentang penggunaan jarak dalam menyampaikan pesan. Jarak yang dibuat individu dalam hubungannya dengan orang lain menunjukkan tingkat keakraban di antara mereka. Individu cenderung mempersepsi orang lain dengan melihat jarak mereka saat berkomunikasi dengan dirinya.

c. Petunjuk Kinesik

Persepsi yang dipengaruhi oleh gerakan orang lain. Terdapat beberapa ungkapan yang mencerminkan persepsi kita tentang orang lain dari gerakan tubuhnya, antara lain: membusungkan dada (sombong), menundukkan kepala (merendah), berdiri tegak (berani), bertopang dagu (sedih), menadahkan tangan (bersedih).


(43)

Petunjuk wajah menimbulkan persepsi yang dapat diandalkan. Di antara berbagai petunjuk nonverbal, petunjuk wajah adalah yang paling pentig dalam mengenali perasaan persona stimuli.

e. Petunjuk Paralinguistik

Paralinguistik adalah cara bagaimana individu mengucapkan lambang-lambang verbal. Jika petunjuk verbal menunjukkan apa yang diucapkan, petunjuk paralinguistik mencerminkan bagaimana mengucapkannya seperti tinggi-rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal (dialek), dan interaksi (perilaku ketika melakukan komunikasi).

f. Petunjuk Artifaktual

Petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan (appearance) sejak potongan tubuh, kosmetik yang dipakai, baju, pangkat, badge, dan atribut-atribut lainnya. Bila kita mengetahui bahwa seseorang memiliki satu sifat (misalnya, cantik atau jelek), kita beranggapan bahwa ia memiliki sifat-sifat tertentu (misalnya,periang atau penyedih); ini disebut halo effect. Bila kita sudah menyenangi seseorang, maka kita cenderung melihat sifat-sifat baik pada orang itu dan sebaliknya.

2. Faktor Personal yakni faktor yang berasal dari individu-individu pelaku komunikasi, antara lain:

a. Pengalaman

Pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu lewat proses belajar formal. Pengalaman kita bertambah juga melalui


(44)

rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi. Inilah yang menyebabkan seorang ibu segera melihat hal yang tidak beres pada wajah anaknya atau pada petunjuk kinesik lainnya. Ibu lebih berpengalaman mempersepsi anaknya daripada bapak. Ini juga sebabnya mengapa kita lebih sukar berdusta di depan orang yang paling dekat dengan kita.

b. Motivasi

Proses konstruktif yang banyak mewarnai persepsi interpersonal juga sangat banyak melibatkan unsur-unsur motivasi.

c. Kepribadian

Dalam psikoanalisis dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subjektif secara tidak sadar. Orang melempar perasaan bersalahnya pada orang lain. Maling teriak maling adalah contoh tipikal dari proyeksi. Pada persepsi interpersonal, orang mengenakan pada orang lain sifat-sifat yang ada pada dirinya, yang tidak disenanginya. Sudah jelas, orang yang banyak melakukan proyeksi akan tidak cermat menanggapi persona stimuli, bahkan mengaburkan gambaran sebenarnya. Sebaliknya, orang yang menerima dirinya apa adanya, orang yang tidak dibebani perasaan bersalah, cenderung menafsirkan orang lain lebih cermat. Begitu pula orang yang tenang, mudah bergaul dan ramah cenderung memberikan penilaian positif pada orang lain.


(45)

II.2 COMMUNICATION APPREHENSION II.2.1 Ciri Communication Apprehension

Istilah communication apprehension (rasa malu, keengganan berkomunikasi, ketakutan berbicara di depan umum, dan sikap pendiam) merujuk pada perasaan takut atau kecemasan dalam interaksi komunikasi. Individu tersebut akan mengembangkan perasaan-perasaan negatif dan memprediksikan hal-hal negatif saat terlibat dalam interaksi komunikasi. Individu merasa takut melakukan kesalahan dan akan dipermalukan. Individu tersebut akan merasa keuntungan apapun yang bertambah dari keterlibatan berkomunikasi akan sebanding dengan rasa takut. Individu yang memiliki ketakutan komunikasi yang tinggi, interaksi komunikasi tidak akan sebanding dengan rasa takut yang timbul. (DeVito, 2001:80)

Terdapat tiga kategori sifat komunikator yang paling menarik dan paling sering dibahas dalam literatur komunikasi yaitu : sifat mementingkan diri sendiri, sifat berdebat, dan sifat cemas. (Morissan, 2010:7-9)

a. Sifat mementingkan diri sendiri

Dalam literatur psikologi terdapat istilah conversational narcissism untuk menggambarkan sifat komunikator yang cenderung mementingkan diri sendiri. Narcisism berarti mencintai diri sendiri (self-love). Istilah ini dikemukakan oleh Anita Vengelisti dan rekan yang mengartikannya sebagai the tendency to

be self-absorbed in conversation (kecenderungan untuk menjadikan diri


(46)

cenderung untuk mengajak lawan bicaranya untuk membahas mengenai dirinya sendiri. Sifat mementingkan diri sendiri merupakan sifat yang dimiliki seseorang yang menginginkan orang lain membicarakan dirinya. Komunikator dengan sifat ini cenderung untuk menonjolkan dirinya sebagai pihak yang paling penting. Ia cenderung untuk mengontrol arah percakapan serta menginginkan orang lain membahas mengenai dirinya. Mereka juga cenderung tidak sensitif atau tidak responsif terhadap epentingan pihak lain.

b. Sifat berdebat

Komunikator memiliki sifat suka berdebat (argumentativeness) jika ia memiliki kecenderungan untuk suka melibatkan diri dalam percakapan yang membahas topik kontroversial. Komunikator dengan sifat ini cenderung bersifat tegas dalam mengemukakan pandangannya terhadap suatu hal. Ia akan menyatakan dukungannya terhadap pandangan yang dianggapnya benar dan sebaliknya ia akan mengkritik pandangan yang tidak sesuai. Dominick Infante melakukan penelitian mengenai sifat komunikator yang argumentatif ini. Menurutnya sifat komunikator yang argumentatif memberikan kontribusi positif karena sifat ini dapat mendorong komunikator dan lawan bicaranya untuk saling belajar, membantu melihat pandangan pihak lain, meningkatkan kredibilitas, serta memperbaiki kemampuan berkomunikasi. Komunikator yang argumentatif cenderung memiliki sikap percaya diri dan tegas. Namun demikian, tidak semua orang percaya diri memiliki sifat argumentatif. Dengan kata lain, orang perlu memiliki percaya diri untuk dapat mengemukakan pandangannya. Namun demikian, sangatlah mungkin orang tetap memiliki percaya diri tanpa harus mengemukakan pandangannya sendiri. Menurut Infante, sifat komunikator


(47)

yang argumentatif juga memiliki aspek negatif jika komunikator mengucapkan kata-kata yang agresif dan sikap permusuhan.

c. Sifat Cemas

Sebagian orang pernah merasa gugup atau cemas ketika berkomunikasi. Banyak penelitian telah dilakukan terkait dengan masalah kecemasan dalam berkomunikasi. Penelitian yang paling populer adalah yang dilakukan oleh James McCroskey, yang menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang pernah mengalami kecemasan berkomunikasi. Namun ada kalanya kecemasan itu bersifat berlebihan sehingga menjadi tidak normal.

Kecemasan berkomunikasi yang tinggi merupakan kecenderungan untuk mengalami kecemasan dalam waktu yang relatif lama dan dalam berbagai situasi yang berbeda. Dalam hal ini seseorang menderita karena merasa sangat cemas ketika ia harus berkomunikasi sehingga ia ingin bahkan akan menghindari berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini menyebabkan orang bersangkutan tidak dapat bersosialisasi dalam masyarakat.

Kecemasan berkomunikasi merupakan bagian dari konsep yang lebih besar dalam konsep-konsep psikologi seperti: penghindaran sosial (social

avoidance), kecemasan sosial (social anxiety), kecemasan interaksi (interaction anxiety), dan sifat malu (shyness) yang secara umum disebut dengan kecemasan


(48)

Joseph A. DeVito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book (DeVito, 2001: 80) menuliskan kecemasan berkomunikasi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Kecemasan berkomunikasi yang muncul dalam diri seseorang (trait

apprehension). Keadaan cemas ini muncul tanpa memperhatikan situasi khusus.

Ketakutan muncul dalam situasi komunikasi diadik, kelompok kecil, berbicara di depan umum, maupun komunikasi massa.

2. Kecemasan yang timbul karena situasi sosial yang menyebabkan seseorang tidak mampu menyampaikan pesannya secara jelas (state apprehension). Keadaan takut, akan terlihat jelas, khusus untuk situasi komunikasi tertentu. Devito mencontohkan individu yang mungkin takut saat berbicara di depan umum tetapi tidak saat komunikasi diadik, atau individu yang merasakan kecemasan berkomunikasi saat proses wawancara namun tidak ada kecemasan saat berbicara di depan umum. Kecemasan yang timbul karena situasi sosial ini sangatlah umum; keadaan ini dialami banyak orang saat berada dalam situasi tertentu.

II.2.2 PERILAKU CEMAS

Kecemasan dapat menyebabkan penurunan frekuensi , kekuatan, dan ketertarikan dalam interaksi komunikasi pada individu sehingga individu memiliki keengganan dalam berkomunikasi. Kecemasan yang tinggi menghindari situasi komunikasi; namun saat individu didorong untuk berpartisipasi, individu tersbut akan berkomunikasi sesedikit mungkin. Individu-individu yang mengalami kecemasan yang tinggi akan merasa kurang puas dengan pekerjaan mereka, mungkin karena mereka kurang berhasil dalam membangun hubungan-hubungan


(49)

interpersonal. Semua perilaku ini tidak mengartikan bahwa kecemasan terjadi pada orang yang tidak bahagia. Kebanyakan individu yang cemas telah belajar atau dapat belajar untuk menangani kecemasan berkomunikasi mereka. (DeVito, 2001:80)

Burgoon (dalam Infante et. al, 1990:146) dalam penelitiannya menemukan beberapa aspek yang memberi kontribusi terhadap munculnya ketidakinginan individu untuk berkomunikasi dengan orang lain, yaitu:

1. Alienasi sosial, persoalan ini terjadi ketika seseorang tidak mampu mengadopsi nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan. Individu tersebut dalam kesehariannya masih mengembangkan perasaan gelisah (insecurity), isolasi, dan perasaan tidak mempunyai kekuasaan (powerlessness).

2. Introversi. Apa yang dimaksud sebagai introversi merupakan aspek lain yang memberi kontribusi terhadap ketidakinginan seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena orang yang mempunyai sifat tertutup (introvert) tidak menempatkan komunikasi sebagai medium interaksi yang penting; dan karenanya komunikasi tidak cukup dibutuhkan oleh individu yang berkepribadian tertutup.

3. Harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan satu bagian dari sindrom ketidakinginan untuk berkomunikasi, karena individu yang mempunyai harga diri yang rendah akan merasa khawatir orang lain memberi reaksi negatif kepadanya. Akibatnya, ia kurang termotivasi untuk berkomunikasi karena ia merasa tidak bisa untuk melakukannya.


(50)

Menurut Patterson dan Ritts kecemasan sosial dan komunikasi memiliki parameter seperti:

1.aspek fisik seperti denyut jantung atau wajah yang memerah karena malu

2.aspek tingkah laku, seperti penghindaran dan perlindungan diri

3.aspek kognitif, seperti terlalu fokus pada diri sendiri (self-focus) serta timbulnya pemikiran negatif.

Dari ketiga parameter tersebut maka aspek kognitif dinilai sebagai yang paling dominan. Hal ini berarti kecemasan sosial dan komunikasi sebagian besar berkenaan dengan bagaimana cara kita berpikir mengenai diri kita terkait dengan situasi komunikasi yang tengah dihadapi. (Morissan, 2010:9)

II.2.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECEMASAN BERKOMUNIKASI

Penelitian telah mengidentifikasi beberapa faktor yang meningkatkan kecemasan dalam berkomunikasi. Faktor-faktor ini dapat membantu untuk meningkatkan pemahaman dalam mengendalikan kecemasan berkomunikasi kita, antara lain:

a. Derajat Evaluasi

Semakin tinggi individu merasa dirinya sedang dievaluasi, maka kecemasan akan semakin meningkat.


(51)

Saat individu merasa bahwa orang lain memiliki kemampuan komunikasi yang lebih baik atau pengetahuan yang jauh lebih luas darinya, maka kecemasan berkomunikasi akan semakin meningkat.

c. Degree of conspicuousness

Semakin menonjol seorang individu, maka kecemasan berkomunikasi akan semakin tinggi. Inilah alasan mengapa orang yang berpidato di antara khalayak ramai, akan lebih cemas dibandingkan mereka yang berbicara dalam sebuah kelompok kecil.

d. Degree of unpredictability

Semakin banyak situasi tak terduga, maka semakin besar tingkat kecemasan.

e. Degree of dissimilarity

Saat individu merasakan sedikit persamaan dengan teman bicaranya, maka individu tersebut akan merasakan kecemasan berkomunikasi.

f. Prior success and failures

Keberhasilan atau kegagalan individu di satu situasi dalam bimbingan skripsi akan berpengaruh terhadap respon individu pada situasi berikutnya.

g. Lack of communication skills and experience

Kurangnya kemampuan dan pengalaman mahasiswa akan menyebabkan kecemasan berkomunikasi, terutama jika mahasiswa tidak berusaha untuk meningkatkan kemampuannya.(DeVito, 2001:81-82)


(52)

II.3 TEORI PENGURANGAN KETIDAKPASTIAN (UNCERTAINTY REDUCTION THEORY)

II.3.1 Ketidakpastian Komunikasi

Ketika kita bertemu dan terlibat dalam percakapan dengan orang yang belum kita kenal maka biasanya banyak pertanyaan yang muncul di kepala kita mengenai orang tersebut, dan kita tidak memiliki jawaban pasti atas berbagai pertanyaan tersebut. Kita mengalami ketidakpastian, dan karenanya kita mencoba untuk mengurangi ketidakpastian tersebut melalui interaksi komunikasi.

Menurut Berger, orang mengalami periode yang sulit ketika menerima ketidakpastian sehingga orang cenderung membuat perkiraan terhadap perilaku orang lain, dan karenanya ia akan termotivasi untuk mencari informasi mengenai orang lain itu. Upaya untuk mengurangi ketidakpastian merupakan salah satu dimensi penting dalam upaya membangun hubungan (relationship) dengan orang lain.

Ketika kita berkomunikasi, menurut Berger, kita membuat rencana untuk mencapai tujuan kita. Kita merumuskan rencana bagi komunikasi yang akan kita lakukan dengan orang lain berdasarkan tujuan dan informasi yang telah kita miliki. Semakin besar ketidakpastian maka kita akan semakin berhati-hati, kita akan semakin mengandalkan data yang kita miliki. Jika ketidakpastian itu semakin besar maka kita akan semakin cermat dalam merencanakan apa yang akan kita


(53)

lakukan. Pada saat kita merasa sangat tidak pasti mengenai orang lain maka kita mulai mengalami krisis kepercayaan terhadap rencana kita sendiri dan kita mulai membuat berbagai rencana cadangan atau rencana alternatif lainnya dalam hal kita memberikan respon pada orang lain. (Morrisan, 2010: 87-89)

Daya tarik dan keinginan berafiliasi yang ada pada diri individu memiliki hubungan positif dengan upaya mengurangi ketidakpastian. Misalnya, ungkapan nonverbal seseorang dapat mengurangi ketidakpastian orang lain, dan pengurangan ketidakpastian dapat meningkatkan ungkapan nonverbal. Tingkat ketidakpastian yang tinggi akan menciptakan jarak, sebaliknya ketidakpastian yang rendah akan cenderung bersifat menyatukan. Ketika komunikator menemukan kesamaan dengan lawan bicaranya, maka ketertarikan di antara mereka akan meningkat dan kebutuhan mereka untuk mendapatkan lebih banyak informasi justru berkurang.

Seringkali, perilaku orang lain dapat mengurangi ketidakpastian yang kita rasakan, dan kita tidak merasakan kebutuhan untuk mendapatkan informasi tambahan. Hal ini khususnya benar dalam hal keterlibatan kita terbatas hanya pada situasi tertentu dan kia sudah memiliki seluruh informasi yang dibutuhkan untuk memahami perilaku orang lain pada situasi itu. Namun pada situasi yang berbeda, kita merasakan kebutuhan yang semakin besar untuk mendapatkan lebih banyak informasi mengenai orang bersangkutan, misalnya, situasi yang menunjukkan orang lain itu memiliki perilaku yang tidak normal, adanya harapan kita akan bertemu lagi dengan orang lain itu pada waktu yang akan datang, atau adanya harapan pertemuan itu akan menimbulkan keuntungan atau kerugian. Tiga


(54)

kondisi inilah yang akan mendorong orang untuk berupaya mendapatkan lebih banyak informasi mengenai orang lain.

Morrisan (2010: 86) mengutip tulisan Stephen Little John dan Karen Foss yang memberikan contoh sebagai berikut Misalkan, Anda mempekerjakan seorang tukang batu untuk memperbaiki rumah Anda yang rusak, Anda mungkin tidak memiliki kebutuhan besar untuk mengetahui mengenai orang yang Anda pekerjakan itu karena hubungan Anda dan dia bersifat sementara dan akan segera berakhir setelah pekerjaannya selesai. Anda tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Sebaliknya, jika si tukang batu melihat Anda memasang papan reklame bertuliskan ”rumah dikontrakkan” di depan rumah Anda dan ia mengatakan mengenal seseorang yang sedang mencari rumah untuk disewa maka Anda secara tiba-tiba termotivasi untuk mengentahui lebih banyak mengenai diri si tukang batu dan juga orang yang akan menyewa rumah Anda itu. Secara khusus Anda akan tertarik untuk mengurangi dua ketidakpastian yaitu:

a. Ketidakpastian perkiraan (predictive uncertainty) yaitu agar Anda memiliki ide lebih baik mengenai apa yang Anda harapkan dari perilaku seseorang, dalam hal ini si tukang batu dan orang yang akan menyewa rumah Anda itu.

b.Ketidakpastian penjelasan (explanatory uncertainty) agar Anda dapat memahami lebih baik kemungkinan perilaku seseorang. Dalam hal ini, misalnya, Anda dapat memahami perilaku orang yang akan menjadi penyewa rumah Anda.

Berger dan Calabrese percaya bahwa orang yang terlibat dalam percakapan untuk pertama kalinya akan membuat perkiraan terhadap lawan bicara


(55)

dalam upaya untuk memahami pengalaman komunikasi mereka. Dalam percakapan antara orang yang belum saling kenal para pihak yang berinteraksi termotivasi untuk memperkirakan dan mencari penjelasan apa yang terjadi pada pertemuan awal mereka. Dalam hal ini, Richard West dan Lynn H.Turner dalam buku Introducing Communication Theory mendefinisikan perkiraan (prediction) sebagai kemampuan untuk memperkirakan pilihan perilaku yang akan dipilih dari sejumlah pilihan yang ada pada diri seseorang atau rekan bicara. (the ability to forecast the behavioral options likely to be chosen from a range of possible option available to onseself or to a relational partner). Penjelasan (explanation) adalah serangkaian upaya untuk melakukan interpretasi makna tindakan yang telah lalu dalam suatu hubungan. (to interpret the meaning of past actions in a relationship). Kedua konsep ini, yakni prediksi dan penjelasan, menjadi dua komponen utama dalam proses pengurangan ketidakpastian. (Morrisan, 2010: 87)

Berger dan Calabrese menyatakan bahwa komunikasi adalah instrumen untuk mengurangi ketidakpastian terhadap lawan bicara yang baru dikenal. Pada gilirannya, ketidakpastian yang berkurang akan menciptakan kondisi yang kondusif bagi berkembangnya hubungan interpersonal. Dalam hal ini, percakapan pertama dengan orang yang tidak dikenal akan menghasilkan dua kategori ketidakpastian:

1.ketidakpastian kognitif (cognitive uncertainty) mengacu pada derajat ketidakpastian mengenai kepercayaan atau sikap seseorang. Komentar yang diberikan lawan bicara yang tidak dikenal mengenai diri kita atau mengenai apa yang kita kenakan akan menimbulkan interpretasi; apa maksud ucapan orang itu


(56)

yang sebenarnya? Apakah saya harus peduli dengan ucapannya? Pertanyaan ini merupakan bentuk ketidakpastian kognitif.

2.ketidakpastian perilaku (behavioral uncertainty) berkenaan dengan seberapa jauh perilaku dapat diperkirakan pada situasi tertentu. Pada umumnya orang mengetahui bagaimana berbicara dan berperilaku dengan orang yang belum dikenal seperti bersikap basa-basi, namun jika lawan bicara mengungkapkan hal-hal yang sifatnya personal mengenai dirinya (self disclosure) pada pertemuan pertama atau sebaliknya menunjukkan sifat tidak peduli dengan lawan bicara maka terjadilah ketidakpastian perilaku. Orang akan mengalami ketidakpastian kognitif atau ketidakpastian perilaku atau keduanya baik sebelum, selama, dan setelah berinteraksi. (Morrisan, 2010: 88)

II.3.2 Asumsi Teori Pengurangan Ketidakpastian

Teori pada umumnya dibangun di atas asumsi yang menggambarkan pandangan para pendirinya, tidak terkecuali teori pengurangan ketidakpastian yang memiliki sejumlah asumsi, yakni:

1. Individu mengalami ketidakpastian dalam komunikasi interpersonal dengan orang yang belum dikenalnya. Asumsi ini menyatakan bahwa individu sering kali menghadapi ketidakpastian dalam hubungannya dengan orang lain karena harapan yang muncul selalu berbeda dalam setiap komunikasi interpersonal.

2. Ketidakpastian merupakan situasi yang tidak disukai yang dapat menimbulkan stres secara kognitif. Asumsi ini menyatakan bahwa ketidakpastian merupakan keadaan yang tidak disukai, dengan kata lain butuh energi yang cukup besar


(57)

yang melibatkan emosi dan psikis untuk tetap berada dalam kondisi yang tidak pasti.

3. Ketika dua orang yang tidak saling kenal terlibat percakapan, maka mereka berupaya untuk mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan prediktabilitas yaitu kemampuan untuk membuat perkiraan terhadap pihak lainnya. Asumsi ini menyatakan ketika orang bertemu dengan orang lain yang tidak dikenalnya maka muncul perhatian terhadap dua hal: mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan prediktabilitas. Untuk meningkatkan prediktabilitas orang perlu mencari informasi dengan menyampaikan pertanyaan kepada orang yang baru dikenalnya itu. Ketidakpastian berkurang dengan semakin banyaknya waktu yang tersedia untuk melakukan interaksi. Orang mulai membuka dirinya ketika berbagai pertanyaan yang diajukan telah berhasil mengurangi ketidakpastian secara signifikan.

4.Komunikasi interpersonal merupakan proses perkembangan yang terjadi melalui sejumlah tahapan perkembangan, yakni:

a. Tahap masukan. Menurut Berger dan Calabrese, secara umum, kebanyakan orang memulai interaksi pada tahap masukan yang didefinisikan sebagai tahap permulaan interaksi dengan orang asing.

b. Tahap Personal. Setelah tahap masukan, individu akan pindah ke tahap personal yakni tahap dimana para peserta yang melakukan interaksi berkomunikasi secara lebih spontan dan mulai mengungkapkan informasi yang bersifat lebih individual. Tahap personal dapat saja terjadi pada awal


(58)

perkenalan, tetapi kemungkinan lebih besar terjadi setelah beberapa kali interaksi.

c. Tahap Keluaran, yaitu tahap dimana individu mengambil keputusan apakah mereka akan melanjutkan interaksi pada masa yang akan datang atau tidak.

5.Komunikasi antarpribadi merupakan alat utama dalam pengurangan ketidakpastian. Kita menyadari bahwa komunikasi antarpribadi merupakan fokus dari Uncertainty Reduction Theory (URT) dan karenanya asumsi ini sebagai sesuatu yang sudah jelas. Komunikasi antarpribadi dapat terjadi jika terpenuhinya sejumlah prakondisi yaitu keterampilan mendengarkan, tanggapan nonverbal yang mendukung, dan bahasa yang sama.

6. Jumlah dan sifat informasi yang dimiliki seseorang berubah sepanjang waktu. Asumsi ini menekankan pada waktu, sekaligus fokus pada fakta bahwa komunikasi antarpribadi berkembang secara bertahap. Interaksi awal merupakan elemen penting dalam proses perkembangan hubungan interpersonal.

7.Perilaku orang dapat diperkirakan sebagaimana ketentuan hukum alam. Perilaku manusia diatur oleh prinsip-prinsip yang bersifat umum atau universal sebagaimana aturan hukum alam. Walaupun terdapat beberapa pengecualian, namun pada umumnya orang berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip yang bersifat umum itu. (Morrisan, 2010: 89-91)


(59)

Dalam membangun teorinya,Berger dan Calabrese menggunakan sejumlah aksioma sehingga teori pengurangan ketidakpastian ini sering disebut teori yang dibangun berdasarkan aksioma yang disimpulkan dari hasil riset atau penelitian yang pernah dilakukan sebelumnmya atau berdasarkan logika akal sehat (common

sense).

Berger dan Calabrese melalui teorinya mengajukan sejumlah aksioma atau sering juga disebut dengan istilah preposisi. Suatu aksioma tidak memerlukan pembuktian karena pernyataan itu sendiri merupakan bukti. Pernyataan atau aksioma yang dikemukakan Berger dan Calabrese masing-masing menunjukkan adanya hubungan antara ketidakpastian yang merupakan konsep sentral teori dengan sejumlah konsep lainnya. Hubungan itu dapat bersikap positif atau negatif. Dalam hal ini terdapat tujuh aksioma sebagai berikut:

1. Ketidakpastian yang tinggi pada tahap masukan mendorong peningkatan komunikasi verbal di antara orang yang tidak saling mengenal. Peningkatan komunikasi verbal pada akhirnya akan mengurangi tingkat ketidakpastian, dan manakala ketidakpastian terus menurun jumlah komunikasi verbal meningkat. Dua orang yang tidak saling mengenal perlu berbicara lebih banyak agar mereka menjadi lebih pasti satu sama lainnya. Ketika mereka sudah saling mengetahui mereka akan lebih banyak berbicara satu sama lainnya. Dalam hal ini, terdapat hubungan negatif antara ketidakpastian dan komunikasi verbal.

2. Pada tahap awal interaksi, ketika ungkapan nonverbal meningkat maka tingkat ketidakpastian menurun. Penurunan ketidakpastian akan mendorong peningkatan ungkapan nonverbal. Jika dua orang yang tidak saling mengenal


(60)

menunjukkan komunikasi nonverbal yang baik maka mereka akan semakin pasti satu sama lainnya. Kepastian yang lebih besar akan mendorong peningkatan komunikasi nonverbal satu sama lainnya. Dalam hal ini terdapat hubungan antara ketidakpastian dan komunikasi nonverbal.

3. Ketidakpastian yang tinggi akan meningkatkan upaya untuk mencari informasi mengenai perilaku orang lain. Ketika tingkat ketidakpastian menurun maka pencarian informasi perilaku menurun. Pernyataan ini menunjukkan adanya hubungan positif antara ketidakpastian dan pencarian informasi.

4. Tingkat ketidakpastian tinggi dalam suatu hubungan menyebabkan turunnya tingkat keakraban isi komunikasi. Tingkat ketidakpastian yang rendah menghasilkan tingkat keakraban yang tinggi. Tingkat keakraban tinggi ditandai dengan keterbukaan para pihak untuk mengungkapkan informasi. Pernyataan ini menunjukkan hubungan negatif antara ketidakpastian dan tingkat keakraban.

5. Tingkat ketidakpastian tinggi menghasilkan tingkat resiprositas tingggi. Tingkat ketidakpastian rendah menghasilkan tingkat resiprositas rendah. Kedua pernyataan menunjukkan hubungan positif. Dua orang yang baru pertama kali terlibat dalam percakapan akan cenderung meniru satu sama lainnya. Adapun yang dimakasud dengan resiprositas adalah jika salah satu pihak hanya menyediakan sedikit informasi mengenai dirinya maka pihak lainnya akan melakukan hal serupa. Semakin banyak orang berbicara satu sama lainnya semakin besar kepercayaan mereka untuk membuka informasi dirinya kepada orang lain.


(61)

6. Kesamaan akan mengurangi ketidakpastian sedangkan perbedaan akan meningkatkan ketidakpastian. Pernyataan ini menunjukkan hubungan negatif. Dua orang yang belum saling kenal tetapi sama-sama menjadi anggota suatu organisasi menunjukkan adanya kesamaan, namun keduanya mungkin memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut memberikan kontribusi terhadap tingkat ketidakpastian.

7. Ketidakpastian yang meningkat akan mengurangi perasaan tertarik dalam berinteraksi sebaliknya penurunan ketidakpastian menghasilkan peningkatan ketertarikan. Pernyataan menunjukkan hubungan negatif antara ketidakpastian dengan rasa suka atau tidak suka. (Morrisan, 2010: 92)

Tabel 1. Aksioma Teori Pengurangan Ketidakpastian

Konsep Utama Konsep Terkait Hubungan

Ketidakpastian meningkat Komunikasi verbal menurun

Negatif

Ketidakpastian meningkat Pernyataan nonverbal menurun

Negatif

Ketidakpastian meningkat Pencarian informasi menurun

Negatif

Ketidakpastian meningkat Keakraban komunikasi menurun

Negatif

Ketidakpastian meningkat Resiprositas menurun Positif Ketidakpastian meningkat Kesamaan menurun Negatif Ketidakpastian meningkat Kesukaan menurun Negatif Sumber: Morrisan.M.A, Psikologi Komunikasi


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif dan

Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press.

Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan

Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Cangara, Hafied. 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Creswell, John W. 1994. Research Design,Qualitative &Quantitative Approaches. California: SAGE Publications.

Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry And Research Design: Choosing

Among Five Traditions. London: SAGE Publications.

DeVito, Joseph A. 1989. The Interpersonal Communication Book, Fifth Edition. New York: Harper & Row Publishers.

DeVito, Joseph.A. 2001. The Interpersonal Communication Book, Ninth Edition. NYC: Longman.

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Infante, Dominick A. et. Al. 1990. Building Communication Theory. Illinois: Waveland Press.

Kriyantono, Rachmat. 2009. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana.

Liliweri, Alo. 1991. Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta: Citra Aditya Bakti.

Morissan. 2010. Psikologi Komunikasi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM Press.

Rakhmat, Djalaludin. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Sendjaja, Sasa Djuarsa. 2003. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka.


(2)

Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.

Supratiknya,A. 2003. Komunikasi Antarpribadi Tinjauan Psikologis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sumber lain:

http://www.infoskripsi.com diakses pada tanggal 14 Oktober 2010 http://www.eng.unri.ac.id diakses pada tanggal 14 Oktober 2010

http:// www.usu.ac.id/ilmu-sosial-dan-ilmu-politik.html diakses pada tanggal 14 Oktober 2010


(3)

(4)

PEDOMAN WAWANCARA

KARAKTERISTIK INFORMAN:

Nama :

Jenis Kelamin :

Departemen :

Angkatan :

Nama Dosen Pembimbing : Tanggal Wawancara :

PERTANYAAN WAWANCARA

1. Berapa kali Anda sudah bimbingan skripsi?

A. PRAPERKENALAN

2. Bagaimana perasaan Anda saat mengetahui siapa dosen pembimbing Anda? (antusias atau cemas) (CA)

3. Bagaimana persepsi awal Anda terhadap dosen pembimbing Anda? (P) 4. Apakah Anda memiliki pertanyaan dan ketidakpastian mengenai dosen

pembimbing Anda? Apa sajakah pertanyaan Anda? (URT) B. TAHAP MASUKAN (AWAL)

5. Apa yang Anda diskusikan saat pertama kali berkenalan/bimbingan dengan dosen pembimbing Anda?

6. Bagaimana perasaan Anda pada tahap ini? (aspek fisik, perilaku, kognitif)

(CA)

7. Bagaimana persepsi Anda terhadap dosen pembimbing Anda? (P)

8. Setelah selesai, apakah ketidakpastian Anda terhadap dosen pembimbing meningkat atau menurun? Mengapa?(URT)

C. TAHAP PERSONAL

9. Apa yang Anda diskusikan pada bimbingan kedua ini?

10.Bagaimana perasaan Anda pada tahap ini? (anthusiasm or anxiety, aspek fisik, perilaku, kognitif) (CA)

11.Bagaimana persepsi Anda mengenai dosen pembimbing Anda pada tahap ini? (P)


(5)

12.Setelah selesai, apakah ketidakpastian Anda terhadap dosen pembimbing meningkat atau menurun? Mengapa? (URT)

CA (Communication Apprehension)

13.Apakah Anda merasa dievaluasi saat bimbingan skripsi?

14.Apakah Anda merasa pengetahuan dosen pembimbing sangat tinggi sehingga Anda sulit mengerti?

15.Apakah saat bimbingan skripsi, Anda merasa diri Anda terlihat mencolok? 16.Apakah terdapat situasi tidak terduga saat bimbingan skripsi?

17.Apakah Anda pernah mengalami kegagalan saat bimbingan skripsi? 18.Bagaimana kemampuan komunikasi Anda saat bimbingan skripsi?

19.Masalah apa yang paling signifikan yang Anda hadapi saat bimbingan skripsi?

20.Apakah yang Anda lakukan untuk mengatasi masalah tersebut?

URT (Uncertainty Reduction Theory)

21.Sejauhmana frekuensi bimbingan skripsi Anda?

22.Bagaimana komunikasi Anda dengan dosen pembimbing Anda?

23.Sejauhmana tingkat pencarian informasi Anda dalam bimbingan skripsi? 24.Sejauhmana tingkat keintiman komunikasi Anda dengan dosen

pembimbing?

KAP (Komunikasi Antarpribadi)

25.Apakah Anda memberikan ruang dalam diri Anda untuk berinteraksi, berdiskusi, berargumentasi dengan dosen pembimbing Anda?

26.Apakah Anda merasakan perasaan (senang, sedih, lelah, marah, dsb) dosen pembimbing Anda saat bimbingan skripsi?

27.Sejauhmana keterbukaan Anda terhadap dosen pembimbing Anda saat bimbingan skripsi?

28.Apakah dosen pembimbing Anda mendukung Anda? Bagaimana?

29.Bagaimana suasana bimbingan skripsi Anda? (menyenangkan atau menegangkan)

30.Apakah terdapat persamaan dan perbedaan antara Anda dengan dosen pembimbing Anda ? Bagaimana Anda menyikapinya?

P (Persepsi)

31.Apa penilaian Anda mengenai diri Anda dalam hubungan sosial Anda? (karakter diri, introvert/ekstrovert, self disclosure)

32.Apa penilaian Anda mengenai karakter dosen pembimbing Anda? Deskripsikan


(6)

33.Menurut Anda, bagaimana penilaian dosen pembimbing Anda terhadap Anda?


Dokumen yang terkait

Persepsi Mahasiswa Tentang Donor Darah (Studi Etnografi tentang Persepsi Mahasiswa FISIP USU tentang Donor Darah)

16 157 111

Persepsi Mahasiswa Komunikasi FISIP USU Terhadap Proses Komunikasi Dalam Bimbingan Skripsi (Studi Deskriptif Kuantitatif Mengenai Persepsi Mahasiswa Komunikasi FISIP USU Terhadap Proses Komunikasi Dalam Bimbingan Skripsi)

4 95 99

Persepsi Mahasiswa Terhadap Standar Jurnalistik Citizen Journalism (Studi Deskriptif Tentang Persepsi Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP USU Angkatan 2008, 2009, dan 2010 Terhadap Standar Jurnalistik Artikel Tentang Tewasnya Osama Bin Laden di WWW.K

6 41 112

Fenomena Plagiat Dengan Memanfaatkan Situs Google Pada Mahasiswa FISIP USU “ (Studi Kasus pada Skripsi Mahasiswa Departemen Sosiologi)

12 257 57

Pemberitaan Terorisme dan Sikap Mahasiswa (Studi Korelasional tentang hubungan antara Pemberitaan Terorisme di tvOne dan Sikap Mahasiswa FISIP USU)

0 25 181

Pemberitaan ISIS dan Sikap Mahasiswa (Studi Korelasional Tentang Hubungan Antara Pemberitaan ISIS di TV One dan Sikap Mahasiswa FISIP USU)

0 25 117

Studi Kasus Persepsi Mahasiswa Tentang Komunikasi Nonverbal Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU

0 65 257

Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi Mahasiswa dan Dosen Pembimbing dalam Proses Penyusunan Skripsi (Studi Kasus pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2007-2009 FISIP UNILA

8 64 70

Analisis Kualitatif Kecemasan Berkomunikasi Mahasiswa Dengan Dosen Pembimbing Dalam Proses Bimbingan Skripsi

0 0 7

Persepsi Mahasiswa Komunikasi FISIP USU Terhadap Proses Komunikasi Dalam Bimbingan Skripsi (Studi Deskriptif Kuantitatif Mengenai Persepsi Mahasiswa Komunikasi FISIP USU Terhadap Proses Komunikasi Dalam Bimbingan Skripsi)

0 1 14