Awal Mula Kesufian Rabi’ah Al-Adawiyah
nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu. Al- Atik berasal dari suku Qais, dari sinilah ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-
Adawiyah.
26
Tuan yang membeli Rabi’ah memberlakukannya dengan kejam dan bengis, tanpa pandang bulu, bahkan kepada wanita yatim piatu seperti Rabi’ah.
Orang yang pernah jatuh ke tangannya jarang berhasil melepaskan dirinya, ibarat tikus telah berada di bawah cengkraman cakar-cakar kucing yang tajam. Namun
Rabi’ah menghadapi semua cobaan itu dengan segala kekuatan imannya. Kekejaman majikannya tidak menjadikan Rabi’ah putus asa, akan tetapi semakin
memperkokoh imannya. Ia mengisi hari-harinya dengan berbagai macam kesibukan. Jika pada siang hari ia harus bekerja membanting tulang melakukan
berbagai macam pekerjaan yang dibebankan tuannya kepadanya, maka pada malam hari ia mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah. Ia selalu berdoa
kepada Allah dan memohon ampunan serta ridho-Nya. Tidak jarang, dalam doanya ia seolah-olah berbicara langsung dengan Allah sambil air matanya
bercucuran. Dalam doanya kepada Allah, Rabi’ah selalu mencurahkan isi hatinya yang sedang bergejolak: “Oh Tuhanku, aku seorang anak yatim yang teraniaya.
Aku terbelenggu dalam perbudakan. Namun aku akan sabar dan rela menanggung penderitaan yang sedang menimpaku. Namun demikian, aku tidak
kuasa menahan penderitaan yang lebih hebat yang sedang mengganggu perasaan hatiku karena aku masih bertanya-tanya dan masih belum mendapatkan
jawabannya: ‘Apakah Engkau ridho akan aku?’ Sejak saat itu Rabi’ah terus
26
Widad El Sakkakini, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al- Adawiyah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi. Penerjemah Nabil Fethi Safwat dan Zoya Herawati
Surabaya: Risalah Gusti, 1999, h. 122.
berusaha meningkatkan keimanannya, sehingga ia tidak memperdulikan segala penderitaan yang sedang ia hadapi. Ia bagaikan seorang wanita yang sedang
mengarungi alam rohani yang amat luas untuk mencari ampunan dan ridho Allah.
27
Suatu hari, seorang asing datang kepadanya dan melihat Rabi’ah sedang tidak memakai cadar. Lalu laki-laki itu mendekatinya. Rabi’ah meronta-ronta dan
menarik dirinya hingga ia terpeleset dan jatuh. Mukanya tersungkur di pasir panas sambil berkata, “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu,
seorang yatim piatu dan budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, aku hanya ingin ridho-Mu dan
aku sangat ingin mengetahui apakah Engkau ridho terhadapku atau tidak.” Setelah itu ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab
pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang terdekat dengan Allah di dalam surga.”
28
Musibah yang tiada henti semakin mendekatkannya pada Ilahi. Pada suatu malam tuannya terbangun dan mendengar suara rintihan. Dari celah-celah kamar
ia mengintip apa yang dilakukan Rabi’ah. Ia tertegun melihat Rabi’ah sedang bersujud seraya berdo’a, “Ya Tuhanku, Engkau tahu bahwa hatiku selalu
mendambakan-Mu dan benar-benar tunduk pada perintah-Mu. Cahaya mataku mengabdi pada kerajaan-Mu, jika itu terserah pada-Mu, aku tak akan berhenti
menyembah-Mu barang sesaat pun. Namun Engkau telah membuatku tunduk
27
Khamis, Penyair Wanita Sufi, h. 16-17.
28
Smith, Rabi’ah, h. 8-9.
kepada seorang makhluk, oleh karena itu aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.”
Dengan mata kepalanya sendiri tuannya menyaksikan betapa sebuah lentera tanpa rantai tergantung di atas kepala Rabi’ah, sedangkan cahayanya
menyinari seluruh rumah. Setelah melihat peristiwa tersebut, ia merasa takut dan beranjak ke kamar tidurnya, lalu duduk merenung hingga fajar tiba. Esok paginya
ia memanggil Rabi’ah dengan suara lembut dan membebaskannya serta mempersilahkan andai Rabi’ah masih mau tetap tinggal bersamanya. Rabi’ah
memilih untuk meninggalkan rumah tuannya. Dengan kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di masjid-
masjid dan tempat-tempat pengajian agama. Tidak ada sesuatu pun yang dapat memalingkan hidupnya dari mengingat Allah. Dalam masa selanjutnya ia telah
berhasil mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang kerohanian, dan ia selalu melantunkan doa: “Ya Allah aku berlindung dari hal-hal yang memalingkan aku
dari Engkau dan pada setiap hambatan yang akan menghalangi Engkau dari aku.”
29
Dalam hidupnya ia selalu giat beribadah, bertaubat dan menjauhi duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan
kepadanya. Bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
30
Dalam perjalanan selanjutnya Rabi’ah telah memilih hidup zuhud. Selama hidupnya ia tidak pernah menikah, semua lamaran yang ingin meminangnya
ditolak, termasuk lamaran seorang Amir Abbasiyah dari Basrah tahun 145 H,
29
Ismail, Tasawuf, h. 134.
30
Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 114.
yang meninggal pada 172 H yakni Muhammad bin Sulaiman Al-Hasyimi. Ia mengajukan mahar perkawinan sebesar seratus ribu dinar dan menulis surat
kepada Rabi’ah bahwa ia memiliki gaji sebanyak sepuluh ribu dinar tiap bulan dan akan diberikan semuanya kepada Rabi’ah.
31
Cara menolak lamaran amir tersebut dikatakan: “Seandainya engkau memberi warisan seluruh harta
warisanmu, tidak mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah padamu.”
32
Selain Amir Abbasiyah dari Basrah, dikisahkan juga tentang seorang gubernur yang menulis surat kepada rakyat Basrah agar mencarikannya seorang istri.
Seluruh rakyat setuju pada Rabi’ah, dan ketika ia mengajukan lamaran dijawab oleh Rabi’ah, “Penolakan terhadap dunia ini adalah perdamaian, sedangkan
nafsu terhadapnya akan membawa kesengsaraan. Kendalikanlah nafsumu dan jangan biarkan orang lain mengendalikan dirimu. Bagimu, pikirkanlah hari
kematianmu, sedangkan bagiku, Allah dapat memberiku semua apa yang telah engkau tawarkan itu dan bahkan berlipat ganda. Aku tidak suka dijauhkan dari
Allah walaupun hanya sesaat. Karenanya, selamat tinggal.”
33
Menurut kisah lain ada juga ulama besar yang datang kepada Rabi’ah untuk melamarnya. Di antara mereka adalah Abdul Wahid bin Zaid, yang terkenal
dengan kezuhudan dan kesucian hidupnya, seorang ahli ilmu agama, seorang khatib, dan penganjur hidup menyepi bagi siapa saja yang mencari jalan kepada
Tuhan. Rabi’ah menolak lamarannya tersebut dengan mengatakan, “Hai orang yang sangat bernafsu, carilah wanita lain yang juga sangat bernafsu sebagaimana
31
Smith, Rabi’ah, h. 13-14.
32
Ismail, Tasawuf, h. 135.
33
Smith, Rabi’ah, h. 14.
dirimu. Apakah kau melihat ada tanda birahi dalam diriku?”
34
Ada juga sumber lain yang menyebutkan Hasan al-Basri 642M-728M
35
, Malik bin Dinar w.748M
36
, dan Tsabit al-Banani mendatangi rumah Rabi’ah untuk meminangnya. Setelah mereka masuk dan duduk bersama layaknya dalam sebuah
majlis, Hasan mulai membuka pembicaraan dan berkata, “Wahai Rabi’ah, nikah itu merupakan sunnah Rasulullah, untuk itu silahkan engkau memilih salah
seorang di antara kami sebagai calon suamimu.” “Ya baiklah. Namun, aku berhak mengajukan syarat. Selama ini aku
mempunyai beberapa permasalahan, barangsiapa di antara kalian yang mampu memecahkan masalah itu, dialah yang berhak untuk menikahi diriku,” jawab
Rabi’ah. Rabi’ah kemudian mengajukan masalahnya yang pertama kepada Hasan untuk menyelesaikannya.
“Menurut Tuan, kelak di hari Kiamat aku termasuk golongan mana? Apakah aku termasuk golongan yang akan masuk surga atau neraka?”
“Maaf, mengenai masalah ini aku tidak tahu pasti,” jawab Hasan. Lalu Rabi’ah bertanya lagi, “Menurut Tuan, aku ini termasuk manusia yang celaka atau
manusia yang bahagia, ketika Allah menciptakan diriku dalam kandungan ibuku?” “Maaf, itupun aku tidak tahu pasti.” Jawab Hasan. Pertanyaan berikutnya,
“Menurut Tuan, aku termasuk golongan yang mana ketika seseorang diseru nanti, apakah golongan yang diseru “Janganlah kamu gentar dan bersedih”, ataukah
golongan yang akan diseru, “Tidak akan ada rasa gembira bagimu.”
34
Khoir, Kisah-Kisah Pencerahan Sufi, h. 126.
35
Lewis, The Encyclopaedia of Islam, h. 247.
36
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, 1992, h. 799.
“Maaf, hal itupun aku tidak tahu pasti,” jawab Hasan. Selanjutnya, ”Menurut Tuan, kuburanku nanti termasuk taman surga atau galian neraka?”
“Maaf, itu juga aku tidak tahu,” jawab Hasan. Kemudian, “Menurut Tuan, wajahku kelak di hari Kiamat termasuk wajah yang putih berseri ataukah wajah
yang hitam kelam dan bermuram durja.” “Maaf, itu juga aku tidak tahu,” jawab Hasan. Lalu Rabi’ah
menyampaikan pertanyaannya yang terakhir, “Menurut tuan, aku termasuk golongan manakah kelak di hari Kiamat, ketika masing-masing manusia
dipanggil, “Fulan bin fulan bahagia” ataukah dipanggil “fulan bin fulan celaka” “Maaf, aku tidak tahu pasti,” jawab Hasan sambil menahan malu.
Akhirnya sejumlah ulama yang hadir itu pun menangis, dan keluar dari rumah Rabi’ah dengan penuh penyesalan.
37
Semua permasalahn tersebut hanya Allah yang mampu menjawab dan tidak ada seorang pun yang mampu
menjawabnya. Terkadang Rabi’ah menjawab lamaran dengan diplomatis, “Jika aku tetap dalam keadaan prihatin, bagaimana mungkin aku dapat hidup berumah
tangga?” Rabi’ah sadar, bahwa dengan menerima tangan pria lain dalam ikatan pernikahan, hanya akan membuat dia tidak adil terhadap suami dan anak-anaknya,
ia tidak mampu memberikan perhatian kepada mereka, karena seluruh hatinya hanya untuk Allah semata. Rabi’ah tidak menikah bukan semata-mata zuhud
terhadap pernikahan itu sendiri, akan tetapi karena memang ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri.
38
37
Syekh Usman Al-Khaubari, Kisah Cinta Rabi’ah Al-Adawiyah: Mutiara Kearifan Hidup Para Hamba Allah. Penerjemah A. Bahruddin Sholohin Yogyakarta: DIVA Press, 2008,
h. 24-26.
38
Ismail, Tasawuf, h. 135.
Adapun pemikiran Rabi’ah tentang sebuah pernikahan yakni, “Akad nikah adalah hak Pemilik alam semesta. Sedangkan bagi diriku, hal itu tidak ada karena
aku telah berhenti maujud ada dan lepas dari diri. Aku maujud berada dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya.
Akad nikah harus diminta dari-Nya, bukan dariku.”
39
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabi’ah hanya diisi dengan zikir, tilawah dan wirid. Duduknya hanya menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari
kaum sufi yang memohon kebaikan dan fatwanya, hidupnya penuh dengan ibadah kepada Allah hingga akhir hayat.
40
3. Rabi’ah al-Adawiyah dan Sahabat-Sahabatnya Kehidupan Rabi’ah dirasakan sangat bermanfaat bagi sahabat-sahabatnya.
Hal ini dikarenakan kepedulian Rabi’ah terhadap mereka. Perhatiannya yang besar ini dibuktikan dalam sebuah kisah ketika seorang laki-laki datang dan
memohon agar sudilah kiranya Rabi’ah untuk mendoakan dirinya. Permohonan itu dibalas dengan rasa rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turuti perintah
Allah dan berdoalah kepada-Nya, sebab dia akan menjawab semua doa bila engkau memohonnya.”
41
Suatu hari ketika Sufyan as-Sauri w.778161 H mengunjungi Rabi’ah, ia melihat melihat seorang pedagang di pintu dengan wajah merengut. Ia bertanya
apa yang diinginkan. Laki-laki tersebut menjawab: “Aku membawa sekantong penuh uang emas dan dinar untuk kuberikan sebagai hadiah kepada Rabi’ah dan
membantu kebutuhannya. Tetapi aku takut ia menolaknya. Dapatkah anda
39
Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 114-115.
40
Ismail, Tasawuf, h. 136.
41
Smith, Rabi’ah, h. 20.
meyakinkan Rabi’ah untuk menerimanya?” lalu keduanya masuk, dan si pedagang itu memberi Rabi’ah uang. Rabi’ah segera menatap kea rah atas sambil berkata,
“Dia tahu bahwa aku malu untuk meminta apa pun dari dunia ini, bagaimana aku dapat menerimanya sekarang dari seseorang yang tidak ikut memiliki benda ini?”
Pedagang lain datang dengan ribuan uang dirham perak, dan menawarkan sebuah rumah untuk Rabi’ah. Tampaknya pada waktu itu Rabi’ah bisa menerima
desakan laki-laki itu, ia pun pergi ke rumah tersebut. Tidak berapa lama di sana, ia merenungkan dalam tenang dekorasi dan warnanya, seolah-olah ia sepenuhnya
perempuan lain. Tetapi, ia segera beranjak dan memohon maaf atas kekhilafannya, dan Rabi’ah pun mengembalikan rumah itu kepada pemiliknya
sambil berkata, “Aku takut hatiku menjadi terikat pada rumah Anda, dan itu akan mempengaruhi pengabdianku terhadap Hari Pengadilan. Seluruh keinginanku
sepenuhnya hanya untuk memuja Allah.”
42
Sahabat-sahabatnya mencoba untuk tidak pernah melewatkan hari-hari tanpa ucapan-ucapannya, mereka selalu gembira mempelajari dan menerima
petunjuknya, tetapi ia menolak bantuan mereka. Suatu hari Malik bin Dinar w. 748130 H mengunjunginya,
menjumpainya sedang duduk di tikar lusuh di lantai, di dalam rumah yang berlantaikan tanah. Dengan terharu ia berkata, “Wahai Rabi’ah, aku memiliki
temn-teman yang kaya. Jika engkau mengizinkanku meminta sesuatu dari mereka”
42
Sakkakini, Pergulatan Hidup, h. 124.
Rabi’ah menjawab, “Itu hal yang tidak benar wahai Malik. Allah memberiku sebagaimana memberi mereka. Apakah Yang mampu memberi yang
kaya, lupa memberi yang miskin? Jika itu memang cara-Nya, maka kita pun harus mensyukuri bagian kita.”
43