Jalan Menuju Mahabbah PROSES MENUJU MAHABBAH

oleh Hasan al-Bashri w.110 H telah ditingkatkan oleh Rabi’ah ke suatu tingkat cinta. Dengan demikian, pada kedua ajaran ini tampak perbedaan dalam dasar pengabdiannya. Jika Hasan al-Bashri berbakti kepada Tuhan karena didorong oleh rasa takut pada azab neraka dan harapan akan surga, maka Rabi’ah jauh dari kedua hal tersebut. Ia berbakti kepada Tuhan karena memang ia cinta kepada Tuhannya dan memang karena Tuhan layak untuk dicintai. Jadi, bagi Rabi’ah cinta kepada Allah merupakan satu-satunya pendorong dalam segala aktivitasnya, bukan lagi karena takut siksa neraka atau nikmat surga, hal ini terungkap dalam syair’a. Tiada lain semuanya karena berlandaskan cinta dan yang dicintai. 10 Karena kecintaan inilah menyebabkan ia senantiasa rindu dan pasrah kepada Allah. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah berhasrat untuk mau menikah dan meminta uluran tangan dari sesamanya. Di dalam jiwanya tidak ada ruang kosong yang tersisa untuk diisi dengan rasa cinta kepada makhluk maupun rasa benci terhadapnya. 11 Untuk mencapai tingkatan yang tinggi, sampai pada tingkat mahabbah dan makrifat, Rabi’ah menempuh berbagai jalan atau tahap-tahap sebagaimana para sufi lainnya. Martabat yang telah dicapainya, tidak hanya dengan meniru atau mengumpulkan ilmu saja, akan tetapi dengan penggemblengan jiwa dan watak. 12 Beragamnya cara seorang calon sufi untuk menuju Tuhan dan kurangnya sumber- sumber otentik mengenai riwayat hidup Rabi’ah ditambah Rabi’ah yang tidak 10 Abdul Halim. “Cinta Ilahi, Studi perbandingan antara al-Ghazali dan Rabi’ah al- Adawiyah.” Tesis S2, Kerja Sama Program Pascasarjana IAIN “Syarif Hidayatullah Jakarta” dengan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995, h. 72. 11 Ibid., h. 74. 12 Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah Hub Al-Illahi: Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah Dan Makrifah Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h.47. menulis sendiri perihal dirinya, menyebabkan banyak penulis yang menyetujui apa yang ditulis oleh para peneliti dan ahli sejarah yang membuat kisah tentang dirinya, dan simbol-simbol yang mengatakan bahwa ia lemah. 13 Banyaknya perbedaan pendapat tentang tahap-tahap jalan menuju Tuhan dan tingkatan-tingkatan apa saja yang telah dilalui oleh Rabi’ah, tapi satu yang pasti adalah Rabi’ah telah sampai kepada apa yang ia cita-citakan yakni ia dapat melihat dan berjumpa dengan Tuhan atau dalam istilah ajaran tasawuf disebut makrifat. Al-Ghazali dalam ihya’ memandang bahwa makrifat datang sebelum mahabbah, tetapi al-Kalabadi dalam al-Ta’aruf menjelaskan bahwa makrifat sesudah mahabbah. Ada pula yang berpendapat bahwa makrifat dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan makrifat menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang rapat antara seorang sufi dengan Tuhan. Mahabbah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk cinta dan makrifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk pengetahuan hati sanubari. Dari literatur yang diberikan tentang makrifat, makrifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. 14 Makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi yang sanggup menerimanya. Makrifat juga bukan hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. 15 13 Sakkakini, Pergulatan Hidup, h. 121. 14 Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 75. 15 Ibid., h. 77.