menulis sendiri perihal dirinya, menyebabkan banyak penulis yang menyetujui apa yang ditulis oleh para peneliti dan ahli sejarah yang membuat kisah tentang
dirinya, dan simbol-simbol yang mengatakan bahwa ia lemah.
13
Banyaknya perbedaan pendapat tentang tahap-tahap jalan menuju Tuhan dan tingkatan-tingkatan apa saja yang telah dilalui oleh Rabi’ah, tapi satu yang
pasti adalah Rabi’ah telah sampai kepada apa yang ia cita-citakan yakni ia dapat melihat dan berjumpa dengan Tuhan atau dalam istilah ajaran tasawuf disebut
makrifat. Al-Ghazali dalam ihya’ memandang bahwa makrifat datang sebelum mahabbah, tetapi al-Kalabadi dalam al-Ta’aruf menjelaskan bahwa makrifat
sesudah mahabbah. Ada pula yang berpendapat bahwa makrifat dan mahabbah merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya menggambarkan
keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan Tuhan. Dengan kata lain mahabbah dan makrifat menggambarkan dua aspek dari hubungan rapat yang
rapat antara seorang sufi dengan Tuhan. Mahabbah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk cinta dan makrifat menggambarkan hubungan rapat dalam
bentuk pengetahuan hati sanubari. Dari literatur yang diberikan tentang makrifat, makrifat berarti mengetahui
Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
14
Makrifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi yang
sanggup menerimanya. Makrifat juga bukan hasil pemikiran manusia tetapi bergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan.
15
13
Sakkakini, Pergulatan Hidup, h. 121.
14
Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 75.
15
Ibid., h. 77.
D. Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah
Mahabbah menurut Rabi’ah adalah perasaan kemanusiaan yang amat mulia, amat agung, dan amat luhur. Cinta yang mengatasi hawa nafsu yang
rendah, cinta yang dilandasi oleh rasa iman yang tulus dan ikhlas, sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat manusia menuju Allah.
16
Sikap dan pandangan Rabi’ah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang
langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakar
kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”
17
Dalam beberapa karya Rabi’ah yang berupa puisi, Al-Ghazali mempunyai pendapat tentang makna cinta yang dimaksud oleh Rabi’ah. Adapun dari karya
syair Rabi’ah yang berbunyi: “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa
mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah
bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.” Dan syairnya “Kucintai Engkau lantaran aku cinta, dan lantaran Engkau
patut untuk dicintai, cintakulah yang membuat rindu kepada-Mu, Demi cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku. Janganlah Kau puji aku
lantaran itu, bagi-Mulah segala puji dan puji.”, Al-Ghazali mengomentarinya
16
Ibid., h. 138.
17
Anwar dan Solihin, Ilmu Tasawuf, h. 120.
dengan menyatakan, bahwa mungkin yang dimaksud dengan cinta rindu adalah cinta Allah karena kebaikan dan karunia-Nya kepadanya. Dan cinta karena Dia
layak dicinta yaitu karena keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap baginya. Atau boleh juga cinta rindu dimaksudkan karena hanya Dialah yang
selalu dikenang bukan yang lainnya. Dan cinta karena Dialah yang layak dicinta yaitu karena Allah membuka tabir, sehingga Dia nyata baginya.
18
Suatu proses yang tidak mudah bagi seorang Rabi’ah adalah ketika ia ingin berjumpa dengan Tuhannya. Dalam bab ini dijelaskan tentang langkah-
langkah yang ditempuh oleh Rabi’ah hingga pada akhirnya ia sampai menuju kepada Yang di cintai-Nya. Karena tidak ada urutan yang pasti mengenai proses
jalan menuju mahabbah membuat Penulis banyak memaparkan beberapa pendapat tentang hal ini. Tapi satu yang pasti bahwa Rabi’ah mengawali tahap ini bermula
dari maqam tobat sebagaimana para calon sufi lainnya. Dalam bab ini Penulis juga memasukkan sub bab yang isinya sebuah konsep mahabbah dalam tasawuf
Rabi’ah. Rabi’ah mencintai Tuhannya dengan dua cinta, yakni cinta karena dirinya dan cinta karena Tuhan. Cinta karena dirinya adalah keadaannya
senantiasa selalu mengingat Tuhannya, dan cinta karena Tuhannya adalah karena Tuhannya telah membuka tabir-Nya sehingga ia bisa melihat keindahan Tuhan.
18
Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 124.
BAB IV AKHLAK DALAM PEMIKIRAN
RABI’AH AL-ADAWIYAH
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yang sudah dijadikan bahasa Indonesia; yang diartikan juga sebagai tingkah laku, perangai atau kesopanan.
Kata akhlaq juga merupakan jama’ taksir dari kata khuluq, yang sering juga diartikan dengan sifat bawaan atau tabiat, adat-kebiasaan dan agama.
Sedangkan definisinya, dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar ilmu akhlak, antara lain:
1. Al-Qurtubi menyatakan, “Perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlaq, karena perbuatan tersebut
bersumber dari kejadiannya.” 2. Muhammad bin ‘Ilan al-Sadiqi berpendapat, “Akhlaq adalah suatu pembawaan
yang tertanam dalam diri, yang dapat mendorong seseorang yang dapat mendorong seseorang berbuat baik dengan gampang.”
3. Ibnu Maskawaih mengatakan, “Akhlaq adalah kondisi jiwa yang selalu mendorong manusia berbuat sesuatu, tanpa ia memikirkan terlalu lama.”
4. Abu Bakar Jabir al-Jaziri berkata, “Abu Bakar Jabir al-Jaziri berkata, “Akhlaq adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang dapat
menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela.” 5. Imam al-Ghazali mengatakan, “Akhlaq adalah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa manusia, yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang
45