Riwayat Hidup BIOGRAFI RABI’AH AL-ADAWIYAH

kelalaianmu.” 2 Ayah Rabi’ah terbangun dan menangis, ia lalu bangkit dari tempat tidurnya dan langsung menulis surat serta mengirimkannya kepada Amir melalui pembawa surat pimpinan itu. Ketika Amir telah selesai membaca surat itu, ia berkata: “Berikan dua ribu dinar kepada orang tersbut sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepadanya dan katakana padanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan jenggotku. 3 Rabi’ah lahir sekitar tahun 99H717M 4 dengan nama lengkap Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al-Qaisiyah di suatu perkampungan dekat kota Basrah Irak dan wafat di kota itu pada tahun 185H801M. 5 Mengenai kelahirannya ada juga yang menyebut tahun 714. Hal ini dikarenakan sangat gelapnya kehidupan orang tuanya pada saat ia dilahirkan. 6 Di tengah-tengah kota Basrah yang penuh dengan kekayaan, Rabi’ah tumbuh di sebuah rumah yang terpencil dengan keluarga yang menderita kelaparan dan kemiskinan. Walaupun keadaan yang secara lahiriah serba kekurangan akan tetapi Rabi’ah kaya akan iman dan takwa. Rabi’ah telah banyak mengambil pelajaran agama, qana’ah dan wara’ dari sang ayah. Rohaninya pun 2 Asep Usman Ismail, dkk., Tasawuf Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2005, h.132-133. 3 Margaret Smith, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan. Penerjemah Jamilah Baraja Surabaya: Risalah Gusti,1997, h. 8. 4 Margaret Smith, “Rabi’a al-‘Adawiyya al-Kasiyya” dalam The Encyclopaedia Of Islam New Edition, ed. CE Bosworth vol. viii Leiden: E.J. Brill, 1995, h. 354-356. 5 Rosihon Anwar dan Mukhtar Solohin, Ilmu Tasawuf Bandung: CV.Pustaka Setia, 2007, h. 119. 6 Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 112-113. mulai berkembang, sehingga ia sangat gemar membaca Al-Quran. Dia telah membaca dan menghafalnya dengan penuh khusyuk serta memahami maknanya dengan penuh yakin dan iman yang mendalam. 7 Diceritakan bahwa Rabi’ah telah hafal Al-Quran pada usia sepuluh tahun. Kecepatan Rabi’ah dalam menghafal Al-Quran dapat dimaklumi, karena ia sangat suka menghafal. Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang shaleh yang penuh zuhud. Ayahnya menghendaki agar anaknya terpelihara dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik, yang dapat menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya, dan dapat menyekat kesempurnaan bathiniyahnya. Maka Rabi’ah sering dibawa ayahnya ke sebuah musholla di pinggiran kota Bashrah. Di tempat inilah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan Sang Khalik. 8 Sejak kecil, Rabi’ah sudah terbiasa menggantungkan semua harapannya kepada dirinya sendiri. Ia sangat memahami kondisi ekonomi orang tuanya, sehingga dia tidak pernah merasa menuntut banyak terhadap orang tuanya. Ia selalu menerima apapun yang diberikan padanya. Pada masa kanak-kanak Rabiah telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya dan hal ini tidak menjadikannya asing dengan kemiskinan dan penderitaan, ia tidak merasa canggung bekerja dari pagi hingga sore untuk menyambung hidupnya. 9 Kini Rabi’ah hidup bersama dengan tiga saudara perempuannya. Ia meneruskan pekerjaan ayahnya dengan menyebrangi orang di sungai Dijlah 7 Semait, 100 Tokoh, h. 477. 8 Ismail, Tasawuf, h. 133. 9 Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 113. dengan sampannya. Hal ini ia lakukan secara terus-menerus hingga pada akhirnya ia dikenal dengan nama Rabi’ah al-Adawiyah. 10 2. Latar Belakang Pendidikan Non Formal Rabi’ah al-Adawiyah dari Basrah adalah seorang sufi wanita yang pertama kali memperkenalkan konsep mahabbah dalam bidang tasawuf. Seorang penyair ‘Attar menulis, “Posisi Rabi’ah sangat unik, sebab dalam kaitannya dengan Tuhan dan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu ketuhanan tidak ada bandingannya. Dia sangat dimuliakan oleh semua pelaku sufi besar pada masanya, dan otoritas kesufiannya tidak diragukan lagi di kalangan sahabat-sahabatnya.” Dialah salah satu di antara sufi yang tidak mengikuti tokoh-tokoh sufi terkemuka lainnya, dan menerima otoritas mereka di dalam masalah religius, jadi tidak seperti umumnya para sufi yang lain, bahkan nampaknya dia tidak pernah belajar di bawah bimbingan Shaykh atau pembimbing spiritual manapun, namun Rabi’ah mencari sendiri berdasarkan pengalaman langsung kepada Tuhan. 11 Ia tidak pula meninggalkan ajaran secara tertulis langsung dari tangannya sendiri, melainkan ajarannya dikenal melalui para muridnya dan baru ditulis setelah beberapa lama setelah wafatnya. 12 Abdul Qadir Jailani w.1166M, membagi para pencari Tuhan kepada dua kelompok. Pertama, mereka yang mencari seorang guru untuk memberi pengajaran kepada mereka jalan yang menuju kepada Tuhan, untuk menjadi perantara antara 10 Semait, 100 Tokoh, h. 478. 11 Margaret Smith, Mistisisme Islam Dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhannya. Penerjemah Amroeni Dradjat Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, h. 277. 12 Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 115. mereka dan Tuhan, dan kelompok ini tidak akan menerima bukti kebenaran apapun di mana mereka tidak mengikuti jejak langkah Nabi sebelumnya. Kedua, mereka yang dalam pencariannya menapaki jalan, dengan tidak mengikuti berbagai jalan yang dilalui makhluk Tuhan lainnya, karena Tuhan telah membersihkan hati mereka dari segala sesuatu selain memusatkan hati mereka semata-mata kepada Tuhan. Dari pembagian kelompok ini, Abdul Wahid memasukkan Rabi’ah al-Adawiyah ke dalam kelompok yang kedua. 13 Rabi’ah tidak pernah mengecap manisnya sekolah ataupun pergi ke rumah guru untuk belajar menjadi seorang sufi, tetapi kemasyhurannya telah sampai menjangkau Eropa. Para sarjana Barat seperti Margaret Smith, Masignon, dan Nicholson sangat kagum akan sejarah hidup wanita shaleh ini. Buah renungan Rabi’ah kaya akan ilmu yang mendalam sehingga para sarjana sangat menaruh minat untuk meneliti buah pikirannya. Maha suci Allah yang telah membalas keimanan dan ketakwaan seorang hambanya yang bernama Ismail. Ismail adalah seseorang yang miskin harta tapi kaya akan rasa cinta dan syukur kepada Tuhannya. Ia tidak bisa memberikan anak perempuannya sebuah pendidikan yang layak karena keterbatasan ekonomi. Tapi hal ini tidak membuat ia pasrah, justru semua ilmu yang ia miliki ia amalkan bersama dengan anaknya, dengan cara sering mengajak Rabi’ah pergi ke musholla. Ia tanamkan segala hal-hal baik dan terpuji dalam diri Rabi’ah hingga Rabi’ah memiliki hati yang suci dan bersih. Warisan inilah yang menjadi bekal Rabi’ah hingga Rabi’ah bisa dikenal sebagai tokoh sufi. Al-Mahabbah cinta 13 Smith, Mistisisme Islam, h. 277-278. murni kepada Tuhan merupakan puncak tasawuf Rabi’ah. Sungguh banyak syair- syair sufistik gubahannya yang berisi ungakapan cinta kepada Allah. Bahkan gubahan syairnya itu, kemudian dalam kehidupan sufi lainnya, seperti Ibnu al- Farij, al-Hallaj, Jalaluddin al-Rumi, dll, digunakan kembali dalam hidup sufistik mereka. 14 3. Syair-Syairnya Rabi’ah tidak meninggalkan ajaran secara tertulis langsung dari tangannya sendiri, melainkan ajarannya dikenal melalui para muridnya dan baru ditulis beberapa lama setelah wafatnya. 15 Sepanjang perjalanan hidupnya, Rabi’ah telah banyak melahirkan karya-karya yang berupa syair yang sangat melegenda. Di antara syairnya yang terkenal adalah: “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat- Mu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.” Dalam syairnya yang lain, Rabi’ah mengatakan: “Kucintai Engkau lantaran aku cinta, dan lantaran Engkau patut untuk dicintai, cintakulah yang membuat rindu kepada-Mu, Demi cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku. Janganlah Kau puji aku lantaran itu, bagi-Mulah segala puji dan puji.” 16 Ada juga syairnya yang menyatakan: “Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadirat-Mu. Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau.” 17 14 Noer Iskandar Al-Barsany, Tasawuf, Tarekat Dan Para Sufi Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, h. 143. 15 Suryadilaga, Miftahus Sufi, h. 115. 16 Nata, Akhlak Tasawuf, h. 216. 17 Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 74. Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah kerapkali menyampaikan: “Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain diri-Mu. Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di hadirat-Mu.” Cinta Rabi’ah kepada Tuhan begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya: “Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu. Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.” 18 Terkadang kecintaan Rabi’ah terhadap Allah mampu menjadikannya tak merasakan kehadiran dirinya sendiri, karena kehadirannya bersama Allah sebagaimana yang diungkapkannya dalam pernyataannya berikut ini: “Aku menjadikan-Mu sebagai perkataan dalam hatiku, ragaku semata- mata hanya untuk zat yang menghendaki dudukku, ragaku adalah untuk zat yang duduk dengan riang gembira. Dan kekasih hatiku, bergembira dalam benakku.” Rabi’ah mempunyai bait-bait syair lainnya yang menunjukkan kedalaman arti cinta terhadap Tuhan, yaitu: “Aku mencintai-Mu melalui dua kecintaan: cinta hawa hasrat dan cinta karena Engkau adalah zat yang berhak mendapatkan itu. Zat yang aku cintai dengan kecintaan hawa akan membuatku mengingat-Nyadan melupakan selain-Nya. Sedangkan cinta karena engkau adalah zat yang berhak untuk dicintai. Maka bukakanlah tirai, sehingga aku bisa melihat- Mu. Tak ada puji terhadapku atas semua itu. Namun puji syukur hanya kepada-Mu atas semua itu.” 19 Sewaktu fajar menyingsing, Rabi’ah berkata: 18 Anwar dan Solihin, Ilmu Tasawuf, h. 122. 19 Al-Taftazani, Tasawuf Islam, h. 104. “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah siap menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia. Ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi kemahakuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri aku hayat. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.” 20 Rasa rindu Rabi’ah pada kekasihnya, selalu terungkap dalam bentuk syair- syair sehingga banyak syair yang tercipta yang sarat dengan makna. Di antaranya: Ya Allah jika kelak di hari kiamat Engkau memasukkanku di neraka, aku akan ungkapkan rahasia sehingga neraka akan lari dari sisiku selama 1000 tahun. Ya Allah kepada musuh-musuh-Mu berikan apa saja yang mereka inginkan di dunia ini, berikan kepada wali-Mu apa saja di akhirat nanti. Akan tetapi..bagiku..cukuplah Engkau semata. Ya Allah apa pun yang Engkau karuniakan kepadaku di dunia berikanlah kepada musuh- musuh-Mu. Dan apa pun yang Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu. 21 Rabi’ah pernah berkata pada sahabatnya: Saudaraku-saudaraku, khalwat merupakan ketenangan dan kebahagiaan. Kekasih selalu di hadapanku tak mungkin aku mendapat pengganti-Nya. Cinta-Nya pada makhluk cobaan bagiku. Dialah tujuan hidupku, oh, hati yang ikhlas oh, tumpuan harapan Berilah jalan untuk meredam keresahanku. Oh Tuhan sumber kebahagiaan dan hidupku pada-Mu saja kuserahkan hidupdan keinginan. Kupusatkan seluruh jiwa ragaku demi mencari ridha-Mu. Apakah harapanku akan terwujud? 22 Kalimat di atas memberi isyarat bahwa Rabi’ah sebenarnya khawatir atas perhatian kekasih yang dicintainya terhadap makhluk yang lain. Cinta Tuhan kepada semua makhluk dianggapnya sebagai ujian. Hal itu menandakan bahwa di dalam diri Rabi’ah terdapat perasaan cemburu pada yang lainnya. 23 20 Anwar dan Solihin, Ilmu Tasawuf, h. 122-123. 21 Ismail, Tasawuf, h.139. 22 Ibid., h. 141. 23 Mufidul Khair, Kisah-Kisah Pencerahan Sufi Yogyakarta: Sketsa, 2010, h. 173.

B. Awal Mula Kesufian Rabi’ah Al-Adawiyah

1. Kondisi Agama Sekitar abad hijrah kedua muncul, Irak telah menjadi sebuah pusat kota yang mewah, dan Basrah juga telah menjadi kota yang penuh kemajuan. Di sana terdapat rumah yang disediakan untuk hiburan dan permainan nafsu. Gedung- gedung dan istana-istana telah dipenuhi dengan wanita-wanita lacur, bahkan penyelewengan hidup telah meratai semua lapangan kehidupan dan masyarakat umumnya. Di samping semua ini, terdapat beberapa golongan dari para mu’minin yang bertakwa, dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, mencari jalan mereka untuk mengasingkan diri dan menetap jauh-jauh dari manusia. Di dalam pondok-pondok yang bersebaran di merata kota Basrah itu, tanpa dipandang oleh siapapun. Di sanalah, di dalam sebuah pondok yang kecil, terpisah jauh dari pondok-pondok lainnya, ada seorang fakir yang tidak mempunyai apa-apa menetap di sana. Pekerjaannya menyeberangkan orang atau penumpang di dalam sebuah sampan antara dua tebing Dijlah. Orang ini sangat bertakwa, tersingkir dari sifat duniawi, dan rohaninya penuh dengan keimanan, ia tidak pernah lelah beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai al-Abid, yakni orang yang banyak beribadah. 24 Al-Abid yang dimaksud di sini adalah Ismail yang merupakan seorang ayah dari Rabi’ah. Kota Basrah yang menjadi kota segala bangsa dan aliran, telah menjadi ajang pertentangan antara satu aliran dengan aliran yang yang lain. Di kota ini 24 Semait, 100 Tokoh, h. 476. terdapat pengikut Khawarij dan pengikut Syi’ah. Jika terjadi pemberontakan atau kerusuhan-kerusuhan antara penduduk kota Basrah, maka sudah dapat dibayangkan penguasa Bani Umayyah tidak akan berpangku tangan membiarkan berkobarnya pertentangan atau pertumpahan darah di antara pengikut-pengikut macam aliran itu. Peristiwa yang menyedihkan ini banyak terjadi pada abad kedua Hijriah. Seolah-olah Allah hendak menghukum manusia yang selalu ingin berbuat onar, dan menimbulkan perpecahan. Sejak itu kota Basrah mengalami berbagai bencana alam, seperti kekeringan akibat kemarau panjang. Kota yang pada mulanya makmur dan berkembang, sekarang menjadi kota yang dilanda kemiskinan dan bencana alam. Tentu saja yang paling menderita dalam suasana yang serba sulit ini adalah kaum miskin. Rabi’ah dan saudara-saudaranya tidak luput dari penderitaan ini. Hingga pada akhirnya Rabi’ah dan ketiga saudaranya terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mulai berkelana ke berbagai daerah untuk mencari hidup. Dalam pengembaraan ini, dikisahkan bahwa Rabi’ah terpisah dari ketiga saudaranya dan tinggalah Rabi’ah seorang diri. Dalam keadaan seperti ini Rabi’ah jatuh ke tangan perampok yang kemudian dijual sebagai hamba sahaya dengan harga enam dirham. 25 2. Dari Budak Menjadi Seorang Sufi Setelah dijual oleh perampok seharga enam dirham, Rabi’ah menjalani hari-harinya sebagai budak atau hamba sahaya pada suatu keluarga yang berasal dari kaum Mawali Al-Atik, yang masih ada hubungannya dengan Bani Adwa, dan 25 Khamis, Penyair Wanita Sufi, h. 15-16. nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu. Al- Atik berasal dari suku Qais, dari sinilah ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al- Adawiyah. 26 Tuan yang membeli Rabi’ah memberlakukannya dengan kejam dan bengis, tanpa pandang bulu, bahkan kepada wanita yatim piatu seperti Rabi’ah. Orang yang pernah jatuh ke tangannya jarang berhasil melepaskan dirinya, ibarat tikus telah berada di bawah cengkraman cakar-cakar kucing yang tajam. Namun Rabi’ah menghadapi semua cobaan itu dengan segala kekuatan imannya. Kekejaman majikannya tidak menjadikan Rabi’ah putus asa, akan tetapi semakin memperkokoh imannya. Ia mengisi hari-harinya dengan berbagai macam kesibukan. Jika pada siang hari ia harus bekerja membanting tulang melakukan berbagai macam pekerjaan yang dibebankan tuannya kepadanya, maka pada malam hari ia mengisi waktunya dengan beribadah kepada Allah. Ia selalu berdoa kepada Allah dan memohon ampunan serta ridho-Nya. Tidak jarang, dalam doanya ia seolah-olah berbicara langsung dengan Allah sambil air matanya bercucuran. Dalam doanya kepada Allah, Rabi’ah selalu mencurahkan isi hatinya yang sedang bergejolak: “Oh Tuhanku, aku seorang anak yatim yang teraniaya. Aku terbelenggu dalam perbudakan. Namun aku akan sabar dan rela menanggung penderitaan yang sedang menimpaku. Namun demikian, aku tidak kuasa menahan penderitaan yang lebih hebat yang sedang mengganggu perasaan hatiku karena aku masih bertanya-tanya dan masih belum mendapatkan jawabannya: ‘Apakah Engkau ridho akan aku?’ Sejak saat itu Rabi’ah terus 26 Widad El Sakkakini, Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al- Adawiyah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi. Penerjemah Nabil Fethi Safwat dan Zoya Herawati Surabaya: Risalah Gusti, 1999, h. 122.