Cinta AKHLAK DALAM PEMIKIRAN

keikhlasan yang ada dalam kata itu, serta gentian yang akan diperoleh dari Allah dari pelaksanaan kecintaan tersebut. 11

D. Hakikat Keimanan

Diceritakan, bahwa suatu hari Sufyan Tsauri berkata kepada Rabi’ah: “Pada tiap-tiap akidah terdapat sebuah syarat, dan pada tiap-tiap keimanan terdapat sebuah hakikat. Oleh karena itu, apa hakikat keimananmu?.” Maka Rabi’ah berkata: “Aku menyembah-Nya bukan karena takut akan api neraka dan juga bukan karena suka akan surga-Nya sehingga aku bagaikan seorang pedagang yang takut kerugian. Aku menyembah-Nya tak lain karena kecintaan dan kerinduanku terhadap-Nya. Dan diceritakan pula, bahwa ia berkata dalam munajatnya: “Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, maka bakarlah aku dengan api neraka Jahanam. Dan jika aku menyembah-Mu karena menginginkan surga, maka halangilah aku untuk mencapainya. Namun jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku terhadap-Mu, maka jangan Engkau halangi aku untuk melihat keindahan-Mu yang abadi.” 12

E. Rendah Diri dan Riya

Mengenai rendah diri, Rabi’ah mempunyai pemikiran sebagai berikut: “Aku tak pernah menganggap sedikit pun amal perbuatan yang muncul dari diriku.” Jahid meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Bayan wa Tabyin, 11 Al-Taftazani, Tasawuf Islam, h. 106. 12 Ibid., h. 103-104. bahwa ia berkata kepada Rabi’ah: “Apakah engkau sama sekali tidak pernah beranggapan, bahwa engkau akan mendapatkan balasan dari amal perbuatanmu itu?.” Maka Rabi’ah berkata: “Aku takut sekali jika setiap sesuatu dikembalikan kepadaku.” Begitu pula perkataannya tentang riya’ pamer: “Sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.” Rabi’ah tidak suka memperlihatkan amal perbuatannya di hadapan manusia. 13 Ia selalu menganjurkan keikhlasan dalam setiap perbuatan baik dan melarang perbuatan yang sifatnya riya. Menurutnya, bahwa orang yang salah adalah orang yang selalu menyembunyikan kesalahannya, maka seharusnya berbuat baik juga harus disembunyikan. 14 Akhlak dalam pemikiran Rabi’ah termasuk kategori akhlak yang baik, di antaranya meliputi: tobat, ridho, cinta, hakikat keimanan, rendah diri dan riya. Ia selalu mengajarkan akhlak yang baik kepada setiap teman atau sahabat yang bertanya kepadanya. Setiap perkataan Rabi’ah pasti akan selalu diingat, dan dilaksanakan dalam kehidupan sahabat-sahabatnya. Perkataan maupun pemikiran Rabi’ah akan menjadi suatu kenangan yang tak ternilai harganya di mata teman dan sahabatnya. 13 Ibid., h. 101-102. 14 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, h. 126.

BAB V KESIMPULAN

Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah adalah satu di antara sufi besar dalam sejarah Islam. Dia adalah sosok wanita yang istimewa karena namanya senantiasa tertulis bersama dengan jajaran nama-nama sufi lainnya dalam setiap karya biografi para wali. Bukan hanya istimewa di mata penulis, dia juga seorang wanita tangguh. Ia mampu melewati hari-harinya yang penuh dengan keterbatasan ekonomi keluarga dengan penuh keikhlasan tanpa mengeluh sedikit pun. Meskipun ia seorang yang serba kekurangan dari segi materi, namun tidak mudah bagi Rabi’ah untuk menerima dan meminta bantuan kepada makhluk. Ia yakin dan percaya bahwa Allah yang akan mencukupi segala kebutuhan sehari-harinya. Dan satu hal yang membuat penulis kagum akan jati diri Rabi’ah adalah yakni ia mampu menjaga hatinya hanya untuk mencintai Allah sampai akhir hayatnya, walaupun banyak laki-laki yang hendak meminangnya namun semua itu ia tolak lantaran ia tidak mampu untuk membagi cintanya. Selain itu Rabi’ah juga sanggup menjaga statusnya sebagai seorang gadis atau perawan hingga ajal menjemput tanpa ikatan sebuah pernikahan. Tentu saja dalam hal mampu menjaga hawa nafsunya ini membuat kepribadian Rabi’ah patut dan layak untuk dicontoh oleh semua orang terutama bagi kaum hawa. Penulis merasa ingin sekali bahwa nantinya akan ada dan lebih banyak lagi penulisan tentang penulisan sejarah Rabi’ah al-Adawiyah. Penulis menghimbau kepada masyarakat umum, khususnya calon dan ahli sejarah, calon 53