bangkit lalu keluar. Ketika mereka menutup pintu terdengar suara Rabi’ah mengucapkan syahadat, lalu dijawab oleh suara: “Wahai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya, maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Al-
Quran surat al-Fajr ayat 27-30. Jiwa yang datang telah berpulang ke rahmatullah untuk menikmati
kehidupan abadi. Sesuai dengan pesan Rabi’ah, pembantu dan sahabatnya yang setia, Abdah mengapaninya dengan jubah dan selendang dari bulu yang selalu
dipakainya. Rabi’ah telah tiada, namun ia telah meninggalkan kenang-kenangan yang penuh dengan nilai yang luhur.
Rabi’ah telah membukakan jalan menuju ma’rifah Illahi, sehingga ia menjadi teladan bagi orang-orang yang menuju jalan Allah itu seperti Sufyan as-
Sauri w. 778161H
48
, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan Malik bin Dinar. Teladan yang ditinggalkan Rabi’ah masih terus hidup sepanjang masa bagi orang-orang
yang menuju jalan Allah.
49
Rabi’ah al-Adawiyah wafat pada tahun 185 H 801 M dan dimakamkan di kota kelahirannya yakni di Basrah. Banyak ulama mengatakan bahwa kelahiran
Rabi’ah di dunia, dan lalu meninggalkannya ke alam lain, ia tidak pernah menginginkan sesuatu yang lain kecuali ta’zim hanya kepada Allah, dan ia tidak
pernah menginginkan apa pun atau berdoa kepada Allah, “Berilah aku ini atau
48
Nasution, Ensiklopedi, h. 865.
49
Khamis, Penyair Wanita Sufi, h. 80-82.
tolong lakukan ini untukku” dan sedikit pula ia meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.
50
Warisan yang telah ditinggalkan dan dapat menjadi panutan dan tuntunan kita yang masih ada di dunia adalah salah satu kelebihan yang dimiliki Rabi’ah
yakni kemampuan ilmunya sangat memadai, termasuk ilmu batin yang menjadikan dirinya sebagai sufi yang memiliki beberapa karamah. Karena itu, ia
termasuk Wali Allah. Perasaan cinta Ilahi yang didapatkan oleh Rabi’ah dalam perjalanan tasawufnya, tidak ada sahabat al-Suffah yang pernah mengalaminya,
maka ini juga termasuk ciri khas perkembangan tasawuf yang dialami oleh Tabi’in di akhir abad I dan II H.
51
Sejarah perjalanan hidup Rabi’ah yang diwarnai dengan lika-liku kehidupan sekitarnya tidaklah mudah membuat Rabi’ah menjadi seorang yang
pantang menyerah. Kesungguhan dan keikhlasan dalam beribadah yang disertai iman dan takwa yang kuat itu akhirnya mampu mengantarkan Rabi’ah untuk
bertemu dengan Tuhan. Suatu usaha yang membuahkan hasil, karena penulis sulit membayangkan betapa pedihnya saat ia harus menjalani hari-harinya dengan
keterbatasan ekonomi, sebagai budak, menjadi yatim piatu saat masih kanak- kanak dan terpisah dengan saudaranya saat remaja. Tapi siapa sangka bahwa
akhirnya Rabi’ah akan menjadi seorang yang dikenal di negerinya bahkan dalam sejarah Islam.
Sebagian umurnya ia habiskan bersama dengan murid, teman dan sahabatnya. Setelah wafatnya Rabi’ah, sungguh mereka semua sangat kehilangan
50
Smith, Rabi’ah, h. 51.
51
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II: Pencarian Ma’rifah Bagi Sufi Klasik dan Penemuan Kebahagiaan Batin Bagi Sufi Kontemporer Jakarta: Kalam Mulia, 2010, h. 126-127.
suatu sosok yang patut diteladani akhlaknya. Para murid dan sahabatnya tentu pasti akan selalu mengingat dan mengenang Rabi’ah baik dari segi kepribadian,
ajaran, pemikiran dan syair-syairnya.
BAB III PROSES MENUJU MAHABBAH
DALAM PEMIKIRAN RABI’AH AL-ADAWIYAH
A. Pengertian Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, kecintaan atau cinta yang
mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd benci. Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wadud,
yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya,
seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja terhadap pekerjaannya.
Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat juga berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi
dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan. Kata mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham
atau aliran dalam tasawuf. Dalam hal ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan.
1
Menurut bahasa, kata mahabbah berkisar pada lima perkara:
1
Nata, Akhlak Tasawuf, h. 207-208.
35
1. Putih dan cemerlang, seperti kata hababul-asnan yang berarti gigi yang putih cemerlang.
2. Tinggi dan tampak jelas, seperti kata hababul-ma’i wa hubabuhu, yang berarti banjir karena air hujan yang deras.
3. Teguh dan tidak tergoyahkan, seperti kata habbal-ba’ir, yang berarti onta yang sedang menderung dan tidak mau bangkit lagi.
4. Inti dan relung, seperti kata habbatul-qalbi, yang berarti relung hati. 5. Menjaga dan menahan, seperti kata hibbul-ma’i lil-wi’a’, yang berarti air yang
terjaga di dalam bejana.
2
Mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain adalah yang berikut:
1. Memeluk kepatuhan Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya 2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi, yaitu Tuhan.
3
Menurut al-Sarraj mahabbah mempunyai tiga tingkat: 1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama-
nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
2. Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang
dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan
2
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Madarijus Salikin Pendekatan Menuju Allah Penjabaran Konkrit “Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1998, h. 353.
3
Nata, Akhlak Tasawuf, h. 209.
demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan diri dari dialog itu. Cinta tingat
kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu
pada-Nya. 3. cinta orang yang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini
timbul karena tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri
yang mencintai.
4
Ketiga tingkat mahabbah tersbut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya
melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri fana dan sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal baqa dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini
tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah. Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa
mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai Tuhan masuk ke dalam diri yang dicintai.
Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
5
Sedangkan cinta dalam bahasa Arab disebut al-Hubb dalam dunia sufi termanifesfasi dengan istilah al-Mahabbah. Mahabbah adalah perasaan kedekatan
dengan Tuhan melalui cinta. Dengan demikian, orang yang telah mencapai tingkat
4
Nasution, Falsafat Dan Mistisisme, h. 70-71.
5
Nata, Akhlak Tasawuf, h.210-211.