BAB IV AKHLAK DALAM PEMIKIRAN
RABI’AH AL-ADAWIYAH
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yang sudah dijadikan bahasa Indonesia; yang diartikan juga sebagai tingkah laku, perangai atau kesopanan.
Kata akhlaq juga merupakan jama’ taksir dari kata khuluq, yang sering juga diartikan dengan sifat bawaan atau tabiat, adat-kebiasaan dan agama.
Sedangkan definisinya, dapat dilihat dari beberapa pendapat pakar ilmu akhlak, antara lain:
1. Al-Qurtubi menyatakan, “Perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlaq, karena perbuatan tersebut
bersumber dari kejadiannya.” 2. Muhammad bin ‘Ilan al-Sadiqi berpendapat, “Akhlaq adalah suatu pembawaan
yang tertanam dalam diri, yang dapat mendorong seseorang yang dapat mendorong seseorang berbuat baik dengan gampang.”
3. Ibnu Maskawaih mengatakan, “Akhlaq adalah kondisi jiwa yang selalu mendorong manusia berbuat sesuatu, tanpa ia memikirkan terlalu lama.”
4. Abu Bakar Jabir al-Jaziri berkata, “Abu Bakar Jabir al-Jaziri berkata, “Akhlaq adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang dapat
menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela.” 5. Imam al-Ghazali mengatakan, “Akhlaq adalah suatu sifat yang tertanam dalam
jiwa manusia, yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang
45
dilakukan; tanpa melalui maksud untuk memikirkan lebih lama. Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan terpuji menurut ketentuan rasio dan
norma agama, dinamakan akhlaq baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan buruk, maka dinamakan akhlaq buruk.”
Dalam diri setiap manusia, terdapat potensi dasar yang dapat mewujudkan akhlak baik dan buruk, tetapi sebaliknya pada dirinya juga dilengkapi dengan
rasio pertimbangan pemikiran dan agama yang dapat menuntun perbuatannya, sehingga potensi keburukan dalam dirinya dapat ditekan, lalu potensi kebaikannya
dapat dikembangkan. Karena itu, sejak lahir manusia harus diberi pendidikan, bimbingan dan kebiasaan baik untuk merangsang pertumbuhan dan
perkembangannya. Bahkan agama dan ilmu pendidikan memberikan konsep dan teori tentang perlunya ada proses pendidikan yang berlangsung, tatkala kedua
orang tuanya baru mencari jodoh. Konsep manusia yang ideal dalam Islam, adalah manusia yang kuat iman
dan takwanya. Ketika manusia memilih kekuatan takwa, ia pun dapat memilih kekuatan ibadah dan kekuatan akhlak. Orang yang memiliki kekuatan iman,
disebut Mu’min, orang yang memiliki kekuatan ibadah disebut Muslim, dan orang yang memiliki kekuatan akhlak disebut Muhsin. Bila ketiga macam sifat ini
menjadi kekuatan dalam diri setiap manusia, maka ia akan selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. Dan inilah yang menjadi tujuan hidup setiap manusia, sehingga
selalu ia meminta doa, sebagaimana yang disebut dalam al-Qur’an surah al- Baqarah ayat 251.
1
1
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, h. 1-3.
Berikut adalah macam-macam pemikiran Rabi’ah tentang akhlak:
A. Tobat
Tobat merupakan salah satu tema yang termassuk bagian dari akhlak mulia. Tobat merupakan awal berangkatnya peserta tasawuf menuju kepada
tingkatan maqam berikutnya. Karena itu, membangun tobat harus dengan kuat, yaitu harus didasari dengan takwa yang kuat pula. Tobat yang paling tinggi
tingkatannya adalah tobatnya para Nabi, dan tingkatan tobat tersebut yang paling diinginkan oleh para sufi yang melakukan perjalanan spiritual dalam tasawuf.
2
Dalam ajaran tasawuf, tobat menduduki maqam yang pertama, karena dosa itu dinding antara manusia dan Tuhannya.
3
Rabi’ah menganggap bahwa tobat seseorang yang berdosa adalah berdasarkan pada kehendak Allah. Atau dengan kata lain, terhadap anugerah atau
karunia Allah dan bukan terhadap kehendak manusia. Sebab jika Allah menghendaki, seorang pendosa akan bertaubat. Seorang laki-laki berkata pada
Rabi’ah: “Aku senang sekali melakukan dosa dan kemaksiatan. Apakah Allah akan menerima tobatku?.” Maka berkatalah Rabi’ah: “Tidak Bahkan jika Allah
menerima tobatmu, maka engkau akan bertobat.”
4
Jadi menurut Rabi’ah tobat adalah suatu karunia dari Allah. Tobat yang benar adalah yang diusahakan dengan sungguh-sungguh dan tulus
5
2
Ibid., h. 211.
3
Khoir, Kisah-Kisah Pencerahan Sufi, h. 158.
4
Al-Taftazani, Tasawuf Islam, h. 102.
5
Khoir, Kisah-Kisah Pencerahan Sufi, h. 160.