firman Allah: “Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha terhadap- Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” Q.S. al-Maidah: 119.
8
Berbeda dengan pandangan Dzun Nun al-Mishri yang mempunyai pendapat tentang ridho, yakni ridho berarti lebih memilih kehendak Tuhan
ketimbang kehendaknya sendiri, dan menerima tanpa mengeluh akibat-akibat dari keputusan-Nya dan memandang bahwa apapun yang Dia lakukan adalah baik. Ini
juga berarti tenggelam dalam cinta kepada-Nya meskipun merintih dalam kubangan penderitaan.
Ali Zaynal Abidin mendeskripsikan ridho sebagai ketetapan hati seorang salik untuk tidak mencari atau mengejar segala sesuatu yang bertentangan dengan
kehendak dan kemauan Allah. Menurut Abu Utsman, ridho menunjukkan kesenangan terhadap semua keputusan Allah dan pemberian-Nya, entah itu datang
dari Rahmat-Nya ataupun dari Murka-Nya atau dari Keagungan-Nya, tanpa membeda-bedakannya. Inilah apa yang diacu dalam ucapan Rasulullah SAW,
“Aku mohon kepada-Mu keridhoan terhadap keputusan-Mu atas sesuatu.” Ridho terhadap apa pun yang ditetapkan Allah berarti seseorang bertekad untuk
memasrahkan diri kepadanya, tenang saat keputusan itu menimpanya.
9
C. Cinta
Pada suatu hari ada yang bertanya kepada Rabi’ah, “Bagaimana pendapatmu tentang cinta?” Rabi’ah menjawab, “Sulit menjelaskan apa hakikat
cinta itu. Ia hanya memperlihatkan kerinduan gambaran perasaan. Hanya orang
8
Al-Taftazani, Tasawuf Islam, h. 102-103.
9
Gulen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, h. 174.
yang merasakannya yang dapat mengetahuinya. Bagaimana mungkin engkau dapat menggambarkan sesuatu yang engkau sendiri bagai telah hilang dari
hadapan-Nya, walaupun wujudmu masih ada oleh karena hatimu yang gembira telah membuat lidahmu bungkam.”
Rabi’ah mempunyai sebuah syair yang memperlihatkan betapa dalam cintanya kepada Ilahi.
Kekasihku tak ada yang menandingi-Nya. Hatiku hanya tercurah pada- Nya. Kekasihku tidak tampak padaku, namun dalam hatiku tak
pernah sirna.
Ia juga pernah bersyair, O kegembiraan, tujuan dan harapanku, Engkau semangat hatiku. Engkau
telah memberikan kebahagiaan padaku. Kerinduan pada-Mu, merupakan bekalku, Kalau bukan karena mencari-Mu, tak kujelajahi negeri-negeri
yang luas ini. Betapa banyaknya limpahan nikmat kurnia-Mu. Cinta
pada-Mu tujuan hidupku. Rabi’ah merupakan orang pertama yang mampu membuat pembagian cinta
cinta karena dorongan hati belaka, dan cinta yang didorong karena hendak membesarkan dan mengagungkan. Rabi’ah mencintai Allah karena ia merasakan
dan menyadari betapa besarnya nikmat dan kekuasaan-Nya, sehingga cintanya menguasai seluruh relung hatinya. Ia mencintai Allah karena hendak
mengagungkan dan memuliakan-Nya.
10
Rabi’ahlah yang telah menyebar luaskan kata ‘cinta’ yang akhirnya digunakan oleh para sufi setelahnya. Dia bahkan tidak
hanya sebatas pemicu tersebarnya kata ‘cinta’ saja, namun ia juga orang pertama yang melakukan analisis terhadap arti kata tersebut, menjelaskan kandungan arti
10
Khamis, Penyair Wanita Sufi, h. 65-66.