Pengertian Mahabbah PROSES MENUJU MAHABBAH

demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan diri dari dialog itu. Cinta tingat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. 3. cinta orang yang arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai. 4 Ketiga tingkat mahabbah tersbut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburnya diri fana dan sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal baqa dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah. Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai Tuhan masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. 5 Sedangkan cinta dalam bahasa Arab disebut al-Hubb dalam dunia sufi termanifesfasi dengan istilah al-Mahabbah. Mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Dengan demikian, orang yang telah mencapai tingkat 4 Nasution, Falsafat Dan Mistisisme, h. 70-71. 5 Nata, Akhlak Tasawuf, h.210-211. mahabbah seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih sayang dan cinta kepada Allah, sehingga kadang-kadang tampak tidak ada lagi perasaan cinta yang dapat disalurkan kepada yang lain, seperti yang tampak pada Rabi’ah al-Adawiyah. Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci, dan tanpa syarat kepada Allah swt. Pencapaiannya ini mengubah murid dari “orang yang menginginkan Allah” menjadi murad, “orang diinginkan Allah. Tak ada yang lebih besar dari ini. Kemabukan spiritual oleh anggur mahabbah cinta berasal dari hanya memikirkan sang kekasih. Kebenaran mahabbah adalah bahwa setiap atom dalam diri sang pecinta muhib memberi kesaksian atas kadar cintanya kepada Allah swt. Mahabbah merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan keadaan rohani hal, sama seperti tobat adalah dasar bagi kemuliaan kedudukan, maqam. Mahabbah termasuk dalam kategori kedudukan maqam karena memang mahabbah salah satu diantara jalan yang harus dilalui oleh seorang salik sang penempuh jalan spiritual. Sedangkan mahabbah juga sebagai keadaan ruhani hal karena sebagian sufi menjadikan mahabbah sebagai suatu keadaan ruhani yang dialami oleh salik, juga karena mahabbah pada dasarnya adalah anugrah dari Allah. Kaum sufi menyebutnya sebagai anugrah-anugrah mawahib. Dalam kamus tasawuf mahabbah adalah cenderung hati untuk memperhatikan keindahan atau kecantikan. Perbedaan antara maqam dan hal adalah bahwa maqam itu diperoleh atas usaha manusia, dan bersifat tetap. Sedangkan hal diperoleh sebagai anugrah dari Allah swt, dan bersifat sementara, datang dan pergi. 6

B. Jalan Menuju Mahabbah

Untuk berada dekat dengan Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi stasion-stasion yang disebut dalam istilah Arab maqamat atau stages dan stations dalam istilah Inggris. Buku-buku tasawuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasion-stasion ini. Abu Bakr Muhmmad al-Kalabadi misalnya memberikan dalam buku al-Ta’aruf li Mazhab Ahl al-Tasawuf yaitu tobat, zuhud, sabar, kefakiran, kerendahan hati, takwa, tawakal, kerelaan, cinta, ma’rifah. Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menyebut dalam al- Luma’ yakni tobat, wara’, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan hati. Abu Hamid Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din yakni tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta, ma’rifat, kerelaan. Menurut Abu al-Qasim Abd al-Karim al- Qusyairi, maqamat itu adalah sebagai berikut: tobat, wara, zuhud, tawakal, sabar dan kerelaan. 7 Keberagaman tingkatan maqam yang terdapat dalam dunia tasawuf menjadikan ahli-ahli sejarah tidak dapat menentukan secara pasti maqam apa saja yang telah dilalui oleh para sufi pada zaman silam. Seperti halnya pada Rabi’ah, menurut Thaha Abdul Baqi Surur dalam kitab Rabi’ah al-Adawiyah: Wa al- 6 Ibn Qayyim Al-Jauziyah, Madarij as-Salikin Baina Manazili Iyyaka Na’budu Wa Iyyaka Nasta’in Beirut: Daarul Kitab, 1972, h.196. 7 Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 62-63. Hayah al-Ruhiyah fi al-Islam menyebutkan bahwasanya maqam yang telah dilalui oleh Rabi’ah adalah, tobat, zuhud, ridho, muraqabah, mahabbah. 8 Sedangkan menurut pendapat Mufidul Khoir dalam bukunya yang berjudul kisah-kisah pencerahan sufi, yakni tobat, zuhud, sabar, syukur, wara dan ridha. Begitu juga dengan M.Alfatih Suryadilaga dalam bukunya, Miftahus Sufi menuturkan tentang maqam yang dilalui oleh Rabi’ah dimulai dari tingkat ikhlas, ridho, mahabbah hingga mencapai ma’rifah. Berbeda lagi dengan pendapat yang dikemukakan oleh Asep Usmar Ismail, dkk dalam buku Tasawuf pada tahun 2005. Ia menjelaskan, jika para sufi umumnya menetapkan tobat sebagai tingkat pertama yang harus dilalui, maka tidak demikian dengan Rabi’ah. Tahap pertama yang dilalui Rabi’ah adalah kehidupan zuhud, demikian menurut Atiyah Khamis. Dengan usaha yang tiada henti-henti Rabi’ah meningkatkan martabatnya dari tingkat ibadah ke tingkat zuhud hingga ke tingkat ridha. Dari tingkat ridha, Rabi’ah menuju ke tingkat ihsan, ia menyembah Allah dengan seluruh hatinya, seolah-olah berada di hadapan Allah, memandang kepada-Nya dan Allah melihatnya. Setelah melewati tingkatan-tingkatan tersebut, maka sampailah Rabi’ah pada tingkat mahabbah atau biasa disebut dengan istilah hubb al-Ilahi. 9

C. Mahabbah dan Jalan Menuju Tuhan

Cinta atau mahabbah merupakan puncak ajaran Rabi’ah, suatu konsep baru di kalangan para sufi pada masa itu. Ajaran khauf dan raja’ yang dibawa 8 Thaha Abdul Baqi Surur, Robi’ah al-Adawiyah: Wa al-Hayah al-Ruhiyah fi al-Islam Cairo: Dar al-Fikr al-Arabiyah, 1968, h. 69-74. 9 Ismail, Tasawuf, h. 136-138. oleh Hasan al-Bashri w.110 H telah ditingkatkan oleh Rabi’ah ke suatu tingkat cinta. Dengan demikian, pada kedua ajaran ini tampak perbedaan dalam dasar pengabdiannya. Jika Hasan al-Bashri berbakti kepada Tuhan karena didorong oleh rasa takut pada azab neraka dan harapan akan surga, maka Rabi’ah jauh dari kedua hal tersebut. Ia berbakti kepada Tuhan karena memang ia cinta kepada Tuhannya dan memang karena Tuhan layak untuk dicintai. Jadi, bagi Rabi’ah cinta kepada Allah merupakan satu-satunya pendorong dalam segala aktivitasnya, bukan lagi karena takut siksa neraka atau nikmat surga, hal ini terungkap dalam syair’a. Tiada lain semuanya karena berlandaskan cinta dan yang dicintai. 10 Karena kecintaan inilah menyebabkan ia senantiasa rindu dan pasrah kepada Allah. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah berhasrat untuk mau menikah dan meminta uluran tangan dari sesamanya. Di dalam jiwanya tidak ada ruang kosong yang tersisa untuk diisi dengan rasa cinta kepada makhluk maupun rasa benci terhadapnya. 11 Untuk mencapai tingkatan yang tinggi, sampai pada tingkat mahabbah dan makrifat, Rabi’ah menempuh berbagai jalan atau tahap-tahap sebagaimana para sufi lainnya. Martabat yang telah dicapainya, tidak hanya dengan meniru atau mengumpulkan ilmu saja, akan tetapi dengan penggemblengan jiwa dan watak. 12 Beragamnya cara seorang calon sufi untuk menuju Tuhan dan kurangnya sumber- sumber otentik mengenai riwayat hidup Rabi’ah ditambah Rabi’ah yang tidak 10 Abdul Halim. “Cinta Ilahi, Studi perbandingan antara al-Ghazali dan Rabi’ah al- Adawiyah.” Tesis S2, Kerja Sama Program Pascasarjana IAIN “Syarif Hidayatullah Jakarta” dengan Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995, h. 72. 11 Ibid., h. 74. 12 Sururin, Rabi’ah Al-Adawiyah Hub Al-Illahi: Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah Dan Makrifah Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h.47.