BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam menganjurkan perkawinan, islam tidak membenarkan ajaran hidup tidak kawin yang diyakini oleh para rahib pendeta. Allah menegaskan dalam Al-Quran,
yang artinya :
ﻡ ﻡ
ﻡ
Artinya: “kawinilah wanita-wanita lain yang kalian senangi dua, tiga, empat” Nikah juga disyariatkan oleh Allah seumur dengan perjalanan sejarah manusia.
Sejak Nabi Adam dan Siti Hawa, nikah sudah disyariatkan. Pernikahan Nabi Adam dan Siti Hawa di surga adalah ajaran pernikahan pertama dalam islam.
1
Sebagai suatu aspek agama, perkawinan adalah merupakan sesuatu yang suci. Sesuatu yang dianggap luhur untuk dilakukan. Karena itu kalau seseorang hendak
melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja seolah-olah sebagai tindakan permainan, agama islam tidak memperkenankannya. Perkawinan
hendaknya dinilai sebagai sesuatu yang suci yang hanya hendak dilakukan oleh orang-
1
Bagian Tahimiyah Pondok Pesantren Sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat Antara Teori dan Praktek, Sidogiri: Pustaka Sidogiri, t. th, h 83
orang dengan tujuan luhur dan suci, hanya dengan demikian tujuan perkawinan itu dapat tercapai.
2
Lebih dari itu perkawinan tidak hanya memberikan suatu legitimasi untuk menyalurkan seseorang untuk memperoleh pemenuhan pribadi pada tingkat fisik emosi
dan spiritual, dan dengan demikian mempertahankan stabilitas. Ia juga memberikan suatu cara yang dapat diterima untuk reproduksi dan dengan demikian
mengembangbiakkan manusia.
3
Sehubungan dengan pernikahan dan kehidupan berumah tangga keluarga ini al-Quran menyebutkan antara lain:
+,+ﻡ -. 0 1
2 34 54 ﻡ
678 94 :; ی ﻡ
9 + 52ی =? = یA B C D +91 E
F GH
I
Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.
Bila diperhatikan ayat diatas, nampaklah bahwa pertama ditekankan oleh al- Quran mengenai pernikahan atau hidup berkeluarga ialah tujuannya yakni untuk
memperoleh ketenangan sakinah, sedangkan ketenangan itu baru diperoleh dengan adanya rasa cinta mawaddah dan kasih sayang rahmah diantara kedua
pasangan hidup suami isteri
2
Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian Di Malaysia dan Indonesia, Bandung: Alumni, 1982 h. 10.
3
Harun Nasution dan Bahtiar Effendy ed, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987, h. 237.
Dalam pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”
Bahwa ikatan lahir batin merupakan hal penting dari suatu perkawinan menunjukan bahwa menurut undang-undang ini tujuan adanya perkawinan itu
bukanlah semata-mata untuk memenuhi hawa nafsu semata-mata. Perkawinan dipandang sebagai suatu usaha untuk mewujudkan kehidupan yang berbahagia
berlandaskan ketuhanan yang maha esa.
4
Keluarga merupakan kumpulan dari individu-individu yang satu sama lain terikat oleh sistem kekeluargaan. Pilar utama keluarga adalah suami isteri atau ayah
dan ibu di mana dari sana berkembang sebuah keluarga besar ciri hidup kekeluargaan adalah adanya ikatan emosional yang alami, konstan, dan sering
mendalam dalam keadaan normal terdapat rasa saling ketergantungan, saling membutuhkan serta saling membela.
5
Keluarga tentu merupakan satu-satuya institusi yang paling penting dalam islam, karena ia merupakan unit dasar masyarakat, unit di mana setiap individu
membangun dan mengembangkan hubungan-hubungan primernya sebelum menjalin hubungan dengan anggota masyarakat yang lebih luas.
4
Ibid., h.8
5
Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga, Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, Jakarta : PT Bina Rena Pariwara, 2005 Cet. Ke-1, h. 2
Dalam unit keluarga ini seorang suami mempuyai peran dan tanggung jawab dalam wilayah-wilayah tertentu. Seperti bertindak sebagai pelindung dan
pemelihara rumah tangga, menyediakan kebutuhan finansial untuk menjalankan kehidupan rumah tangga, dan merumuskan kebijaksanaan yang akan berfungsi
tanpa adanya kesewenang-wenangan, sikap otoriter dan kedaliman, dan sikap acuh dalam keadaan apa pun seorang suami harus menunjukan sikap tanggung jawab
terhadap isterinya. Sebagaimana sabda nabi memberi tahu laki-laki bahwa
J K L DM+ N ی O 4 N
PPP 2ﺱ
8 R
PPP E
: 7N 652ﻡ I
6
Artinya : Dari Abu Hurairoh, dari nabi berkata…berwasiatlah kepada wanita dengan baik… Muttafaqun Alaih
Setelah memberi gambaran singkat tentang masalah perkawinan dan kewajiban suami, penulis ingin menganalisa kasus yang saat ini dialami oleh
sebagian masyarakat. Di mana isteri ditinggal pergi oleh suami, mungkin karena sebab suami pergi jauh, menuntut ilmu atau mengalami penculikan tanpa pernah
memberi kabar dan informasi tentang keberadaannya. Sehingga tidak dapat menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya.
Berdasarkan hal tersebut, bagaimanakah status perkawinan isteri jika mengalami kejadian tersebut. sebab tidak ada kepastian apakah sang suami kembali
atau tidak. Berdasarkan pasal 38 yang membahas putusnya perkawinan, Undang- undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi, perkawinan dapat
6
Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj Qusairi al-Naisaburi, Shohih Muslim, tt: Darul Ihya Kitab al-Arabi, t. th, Juz. Ke-4, h. 178
putus karena ; a. kematian, b. perceraian, c. atas keputusan pengadilan. Dari latar belakang inilah penulis tertarik untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut
tentang
“STATUS PERKAWINAN ISTERI AKIBAT SUAMI HILANG” B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Menyadari karena luasnya permasahan pada hukum perkawinan, maka untuk fokusnya penulis akan mengetengahkan persoalan yang mengganggu kehidupan
rumah tangga, dengan pembatasan masalah pada status hukum isteri akibat suami hilang.
2. Perumusan Masalah
Untuk uraian skripsi ini penulis mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut : Satu keluarga supaya tidak mudah terjadi perceraian, suami dan isteri
dituntut untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Dalam keadaan tertentu diperbolehkan bercerai, seperti karena salah satu pihak meninggalkan selama 2
tahun berturut–turut penjelasan pasal 39 ayat 2 undang-undang No 1 Tahun 1974 dan buku akta nikah suami meninggalkan 6 bulan berturut–turut, demikian pula
dalam fikih Islam. Berdasarkan hal tersebut penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan suami hilang?
2. Berapakah lama waktu hukum positif dan hukum islam membolehkan suami
meninggalkan isteri? 3.
Bagaimanakah status isteri akibat suami hilang?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian