Status Perkawinan Istri Akibat Suami Hilang

(1)

STATUS PERKAWINAN ISTRI AKIBAT SUAMI HILANG

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

RIO ARIF WICAKSONO NIM. 102044225105

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

STATUS PERKAWINAN ISTERI AKIBAT SUAMI HILANG

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh:

RIO ARIF WICAKSONO NIM. 102044225105

Di Bawah Bimbingan Pembimbing

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. NIP. 150 169 102

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AKHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 Agustus 2008


(4)

KATA PENGANTAR

Penulis menyampaikan Puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Yang telah memberikan taufik dan hidayah sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan sholawat dan salam kepada baginda Nabi Muhammad SAW, yang mengeluarkan umat manusia dari zaman kebodohan.

Sudah sekitar enam tahun penulis bergabung bersama civitas akademika di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama itu pula penulis belajar, berdiskusi dan menimba ilmu dari para dosen. Suatu proses talabul ilmi

yang mempuyai kesan suka maupun duka.

Penulis teringat akan syair imam Ali KR.A, tentang enam hal yang harus ada dalam menuntut ilmu yaitu, pandai, semangat, kerja keras, biaya, pengajaran guru, dan waktu yang panjang. Dalam konteks ini dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan, yang penulis merasa masih jauh dari harapan ideal tersebut.

Seyogjanya penulis merasakan bahwa sebuah cita-cita harus diraih melalui kerja keras. Menempuh proses perjuangan yang panjang dan berbagai halangan yang ada. Begitupun dalam pembuatan skripsi ini memerlukan pegorbanan waktu, pikiran, tenaga dan harta. Alhamdulillah berkat ridho Allah akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga merasakan selama proses penyusunan skripsi ini telah banyak pihak yang memberikan bantuan, bimbingan, dan motivasi baik moril maupun materil. Dengan kerendahan hati izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:


(5)

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiyyah sekaligus dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membimbing.

3. Bapak Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc., M. Ag dan Bapak Drs. H. Odjo Kusnara N, M. Ag dosen selaku dosen penguji I dan penguji II.

4. Bapak Kamarusdiana, S. Ag., Sekretaris Program Studi Akhwal Al-Syakhsiyyah. 5. Kedua orang tua penulis, yang dengan kesabaran dan keresahannya memberikan

memotivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa kepada kakakku dan adikku yang selalu berbagi canda dan tawa baik suka maupun duka. 6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan memberikan

ilmunya kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

7. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan dalam peminjaman buku referensi.

8. Pimpinan Pondok Pesantren Daar El-Hikam yang telah memberikan bekal ilmu keagamaan kepada penulis, semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda.

9. Segenap guru pengajar dan siswa-siswi SMP Plus BLM, terima kasih atas pengalaman yang diberikan kepadaku selama ini, sehingga penulis bisa lebih memahami arti dan makna kesosialan.

10. Keluarga besar Pondok Pesantren Daar el-Hikam dan KM UIN dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan skripsi ini.


(6)

Semoga skripsi ini menjadi bahan berguna bagi penulis untuk berkiprah di masyarakat dan mengharumkan almamater Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Menyadari bahwa pembuatan skripsi ini masih jauh dari sempurna, penulis berharap kritik dan saran dari para pembaca, sehingga berguna bagi penulis dimasa yang akan datang.

Jakarta 19 Sya’ban 1429 H 21 Agustus 2008 M

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ………. iv

BAB I PENDAHULUUAN A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………. 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 6

D. Tinjauan Pustaka ………. 7

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan………. 7

F. Sistematika penulisan……… 8

BAB II PERKAWINAN DALAM ISLAM A. Pengertian Perkawinan ………. 9

B. Syarat dan Rukun Perkawinan………... 13

C. Tujuan dan Hikmah Perkawinan……… 17

D. Hak dan Kewajiban Suami Istri………. 26

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG SUAMI HILANG A. Pengertian Umum………... 36

B. Status Istri Dalam Perkawinan……… 40

C. Lama Waktu Kepergian Suami……….. 47

D. Analisa Penulis……….. 55

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan………. 59

B. Saran……… 60


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam menganjurkan perkawinan, islam tidak membenarkan ajaran hidup (tidak kawin) yang diyakini oleh para rahib (pendeta). Allah menegaskan dalam Al-Quran, yang artinya :

! ﻡ "# $ %

)

/

&'&

(

Artinya: “kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga, empat”

Nikah juga disyariatkan oleh Allah seumur dengan perjalanan sejarah manusia. Sejak Nabi Adam dan Siti Hawa, nikah sudah disyariatkan. Pernikahan Nabi Adam dan Siti Hawa di surga adalah ajaran pernikahan pertama dalam islam.1

Sebagai suatu aspek agama, perkawinan adalah merupakan sesuatu yang suci. Sesuatu yang dianggap luhur untuk dilakukan. Karena itu kalau seseorang hendak melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja seolah-olah sebagai tindakan permainan, agama islam tidak memperkenankannya. Perkawinan hendaknya dinilai sebagai sesuatu yang suci yang hanya hendak dilakukan oleh

1

Bagian Tahimiyah Pondok Pesantren Sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat Antara Teori dan Praktek, (Sidogiri: Pustaka Sidogiri, t. th), h 83


(9)

orang dengan tujuan luhur dan suci, hanya dengan demikian tujuan perkawinan itu dapat tercapai.2

Lebih dari itu perkawinan tidak hanya memberikan suatu legitimasi untuk menyalurkan seseorang untuk memperoleh pemenuhan pribadi pada tingkat fisik emosi dan spiritual, dan dengan demikian mempertahankan stabilitas. Ia juga memberikan suatu cara yang dapat diterima untuk reproduksi dan dengan demikian mengembangbiakkan manusia.3

Sehubungan dengan pernikahan dan kehidupan berumah tangga / keluarga ini al-Quran menyebutkan antara lain:

()

(*+,"+ﻡ

-./ 0 1 "

2 (/ 34

5$4 ﻡ

678 94 :; ی

9 + 52ی =>"? =@ یA B C D% +91

E

>

/

&F

'

GH

I

Artinya :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.

Bila diperhatikan ayat diatas, nampaklah bahwa pertama ditekankan oleh al-Quran mengenai pernikahan atau hidup berkeluarga ialah tujuannya yakni untuk memperoleh ketenangan (sakinah), sedangkan ketenangan itu baru diperoleh dengan adanya rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) diantara kedua pasangan hidup (suami isteri)

2

Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian Di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982) h. 10.

3

Harun Nasution dan Bahtiar Effendy (ed), Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 237.


(10)

Dalam pasal 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”

Bahwa ikatan lahir batin merupakan hal penting dari suatu perkawinan menunjukan bahwa menurut undang-undang ini tujuan adanya perkawinan itu bukanlah semata-mata untuk memenuhi hawa nafsu semata-mata. Perkawinan dipandang sebagai suatu usaha untuk mewujudkan kehidupan yang berbahagia berlandaskan ketuhanan yang maha esa.4

Keluarga merupakan kumpulan dari individu-individu yang satu sama lain terikat oleh sistem kekeluargaan. Pilar utama keluarga adalah suami isteri atau ayah dan ibu di mana dari sana berkembang sebuah keluarga besar ciri hidup kekeluargaan adalah adanya ikatan emosional yang alami, konstan, dan sering mendalam dalam keadaan normal terdapat rasa saling ketergantungan, saling membutuhkan serta saling membela.5

Keluarga tentu merupakan satu-satuya institusi yang paling penting dalam islam, karena ia merupakan unit dasar masyarakat, unit di mana setiap individu membangun dan mengembangkan hubungan-hubungan primernya sebelum menjalin hubungan dengan anggota masyarakat yang lebih luas.

4

Ibid., h.8

5

Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga, Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, (Jakarta : PT Bina Rena Pariwara, 2005) Cet. Ke-1, h. 2


(11)

Dalam unit keluarga ini seorang suami mempuyai peran dan tanggung jawab dalam wilayah-wilayah tertentu. Seperti bertindak sebagai pelindung dan pemelihara rumah tangga, menyediakan kebutuhan finansial untuk menjalankan kehidupan rumah tangga, dan merumuskan kebijaksanaan yang akan berfungsi tanpa adanya kesewenang-wenangan, sikap otoriter dan kedaliman, dan sikap acuh dalam keadaan apa pun seorang suami harus menunjukan sikap tanggung jawab terhadap isterinya. Sebagaimana sabda nabi memberi tahu laki-laki bahwa

J K L DM+

N * ی O 4 N

PPP

"2ﺱ

( 8

"R

PPP

E

: 7N 652ﻡ

I

6

Artinya : Dari Abu Hurairoh, dari nabi berkata…berwasiatlah kepada wanita dengan baik… (Muttafaqun Alaih)

Setelah memberi gambaran singkat tentang masalah perkawinan dan kewajiban suami, penulis ingin menganalisa kasus yang saat ini dialami oleh sebagian masyarakat. Di mana isteri ditinggal pergi oleh suami, mungkin karena sebab suami pergi jauh, menuntut ilmu atau mengalami penculikan tanpa pernah memberi kabar dan informasi tentang keberadaannya. Sehingga tidak dapat menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana mestinya.

Berdasarkan hal tersebut, bagaimanakah status perkawinan isteri jika mengalami kejadian tersebut. sebab tidak ada kepastian apakah sang suami kembali atau tidak. Berdasarkan pasal 38 yang membahas putusnya perkawinan, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi, perkawinan dapat

6

Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hajjaj Qusairi al-Naisaburi, Shohih Muslim, (tt: Darul Ihya Kitab al-Arabi, t. th), Juz. Ke-4, h. 178


(12)

putus karena ; a. kematian, b. perceraian, c. atas keputusan pengadilan. Dari latar belakang inilah penulis tertarik untuk melakukan kajian dan penelitian lebih lanjut tentang

STATUS PERKAWINAN ISTERI AKIBAT SUAMI HILANG” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Menyadari karena luasnya permasahan pada hukum perkawinan, maka untuk fokusnya penulis akan mengetengahkan persoalan yang mengganggu kehidupan rumah tangga, dengan pembatasan masalah pada status hukum isteri akibat suami hilang.

2. Perumusan Masalah

Untuk uraian skripsi ini penulis mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut : Satu keluarga supaya tidak mudah terjadi perceraian, suami dan isteri dituntut untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Dalam keadaan tertentu diperbolehkan bercerai, seperti karena salah satu pihak meninggalkan selama 2 tahun berturut–turut (penjelasan pasal 39 ayat 2 undang-undang No 1 Tahun 1974 ) dan buku akta nikah suami meninggalkan 6 bulan berturut–turut, demikian pula dalam fikih Islam.

Berdasarkan hal tersebut penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah yang dimaksud dengan suami hilang?

2. Berapakah lama waktu hukum positif dan hukum islam membolehkan suami meninggalkan isteri?


(13)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun penelitian skripsi ini bertujuan sebagai berikut : 1. Untuk menjelaskan tentang maksud suami hilang.

2. Untuk menjelaskan lama waktu hukum positif dan hukum islam membolehkan suami meninggalkan isteri.

3. Untuk menjelaskan tentang status isteri akibat suami hilang. Sedangkan manfaat penelitian skripsi ini adalah:

1. Bagi penulis memberikan pemahaman untuk menerapkan ilmu yang telah di dapat pada masyarakat khususnya bidang keperdataan islam..

2. Memperdalam dan memperkaya penelitian sebelumnya disamping juga menambah kontribusi khazanah keilmuan pada Fakultas Syariah dan Hukum. 3. Diharapkan dengan penelitian ini masyarakat mendapatkan wawasan dan

pengertian tentang suami yang hilang, batas waktu kepergian suami, dan menciptakan kehidupan perkawinan yang sakinah, mawadah dan rahmah.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk memperdalam dan memperkaya penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh dikaji dan diteliti oleh saudari Anita Nabilah, program studi Perbandingan mazhab dan hukum pada tahun 2004 dengan judul “status hukum isteri karena kepergian suami yang ghaib (tidak diketahui keberadaannya dalam perspektif hukum islam dan hukum positif)”. Dalam skripsinya ia tidak menjelaskan hubungan antara taklik talak dan perjanjian pernikahan Sehingga penulisan skripsi ini menambahkan permasalahan tersebut dan beberapa hal yang diperlukan untuk lebih memperdalam permasalaham yang dikaji.


(14)

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Dengan menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yang di lakukan dengan mempelajari penelitian sebelumnya, mengkaji buku-buku, surat kabar, dan majalah yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. Namun, juga menggunakan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan landasan teoritis serta informasi yang relevan dengan judul skripsi ini.

Sementara untuk teknik penullisan skripsi ini penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”, dengan pengecualian terjemahan al-Quran dan Hadis ditulis satu spasi walaupun kurang dari lima baris.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman mengenai penulisan terhadap penelitian ini secara menyeluruh, maka perlu disajikan sistematika penulisan agar dapat memberikan gambaran umum. Adapun penulisan skripsi ini dibuat dalam empat bab, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab Pertama membahas tentang pendahuluan, di dalam bab ini dibahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.


(15)

Bab Kedua membahas tentang perkawinan dalam islam dalam bab ini menjabarkan definisi tentang pengetian pernikahan, syarat dan rukun perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan, dan hak dan kewajiban suami isteri.

Bab Ketiga membahas tinjauan umum tentang suami hilang, bab ini berisi pengertian umum, status isteri dalam perkawinan, lama waktu kepergian suami , dan analisa penulis


(16)

BAB II

PERKAWINAN DALAM ISLAM

A. Pengertian Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, kata nikah diartikan dengan kawin. Istilah pernikahan, yang dalam fikih Islam umum pula disebut dengan istilah zawaj atau at-tazwij

merupakan sinonim dari kata perkawinan.7 Mahmud Yunus dalam kamusnya

menyatakan bahwa nikah berasal dari kata "nakaha"

ST $ ),

"yankihu" (

S Tی ),

"nikahan" (

T $

) yang artinya mengawini.8 Menurut kamus besar bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata "nikah" berarti ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.9

Nikah adalah salah satu kata arab yang telah baku menjadi kata Indonesia, makna asalnya ialah : berkumpul, menindas, dan memasukan sesuatu di samping juga bersetubuh dan berakad. Adapun yang dimaksud nikah dengan istilah para ahli hukum Islam (fukaha) seperti dikemukakan oleh sebagian mereka ialah suatu akad yang dengannya hubungan kelamin antara pria dan wanita yang melakukan akad (perjanjian) tersebut menjadi halal.10

7

IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 171

8

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1999), Cet. Ke-1, h. 47

9

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), edisi ketiga, h. 782

10


(17)

Menurut Sudarsono dalam hukum kekeluargaan nasional, istilah nikah berasal dari bahasa arab; sedangkan menurut istilah Bahasa Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara "nikah" dengan "kawin", akan tetapi pada prinsipnya antara "pernikahan" dan "perkawinan" hanya berbeda di dalam menarik akar kata saja. Apabila ditinjau dari segi hukum nampak jelas bahwa pernikahan dan perkawinan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan, dan saling menyantuni.11

Menurut Dzuker Z dalam buku Hukum Perkawinan Islam dan Relevansinya Dengan Kesadaran Hukum Masyarakat menyatakan bahwa perjanjian akad itu menimbulkan ikatan, baik secara lahir maupun batin antara pria dengan wanita yang dinikahinya.12 Dan perikatan itu pun menghalalkan hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama sebagai suami isteri dalam mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga sesuai dengan aturan-aturan syariat Islam.

Sedangkan menurut istilah banyak pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ulama fikih. Ulama Hanafiyah mendefinisikan, nikah adalah akad yang memberikan kesenangan dengan secara sengaja, dan makna milik kesenangan yang dikhususkan kepada laki-laki dari kemaluan perempuan dan seluruh badannya dilihat dari segi

11

Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: Fineka Cipta,1991), h. 62

12

Dzuker Z, Hukum Perkawinan Islam dan Relevansinya Dengan Kesadaran Hukum Masyarakat, (Jakarta: Dewaruci, 1983), Cet. Ke 1, h. 27


(18)

kelezatannya.13 Menurut ulama Syafi’iyah, nikah adalah akad yang mengandung arti hubungan intim dengan lafaz nikah.14 Sedangkan ulama Malikiyah nikah adalah akad yang semata-mata mengantarkan pada kesenangan dan kenikmatan dengan isteri.15 Dan ulama Hanabilah, nikah akad dengan lafaz nikah atau tazwij atas memberikan kesenangan.16

Berdasarkan definisi yang dibuat oleh masing-masing ulama fikih Ibrahim Hosen dalam buku berjudul fiqih perbandingan dalam masalah nikah, thalaq, ruju dan hukum kewarisan menyimpulkan nikah adalah aqad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki penggunaan terhadap faradj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.17

Perkawinan adalah ikatan dalam ajaran Islam disebut aqad (ijab kabul) antara dua jenis bani adam yang saling mencintai, hubungan mereka bukan hanya menyangkut jasmaniah tetapi meliputi segala macam keperluan hidup insani. Keakraban yang sempurna, saling membutuhkan, dan saling mencintai, serta rela mengendalikan diri satu dengan yang lainnya merupakan bagian dan kesatuan yang tak

13

Abdul Rahman al-Jaziry, Kitab Fiqh ‘ ala Mazhabil al-Arba’ah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1991), Jild 4, h. 2

14

Ibid

15Ibid 16

Ibid., h. 3

17

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah , Thalaq, Ruju dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), Jilid ke-1, h. 66


(19)

terpisahkan, keduanya harus memikul bersama tanggung jawab saling mengisi dan tolong-menolong dalam melayarkan bahtera rumah tangga.18

Menurut Djoko Prakoso, dan I Ketut Murtika, merumuskan arti perkawinan dimaksud adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.19

Dalam perkawinan " ikatan lahir bathin " dimaksud, adalah bahwa perkawinan tidak cukup dengan adanya ikatan lahir saja, atau ikatan bathin saja. Akan tetapi hal ini harus ada kedua-duanya, sehingga akan terjalin ikatan lahir dan ikatan bathin yang merupakan fondasi yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.20

Sedangkan dalam al-Quran dijelaskan dengan disyariatkan perkawinan bagi manusia akan menciptakan suatu ketertiban masyarakat yang teratur.

Allah berfirman dalam surat an-Nisa ayat 1 :

ﻡ ?78 UV+

+ "?+; W + 0Xی4 ی

0 ﻡ +Y

0/ 3 0 ﻡ 678 =*Z

=[5$

(M L

7N 9 \

+91 > A : 9"

; UV+

"?+; ( $ ( \ (] /

E

/

I

H

'

^

Artinya:

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan

18

Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah, (Jakarta: DEPAG, 1995), h. 161

19

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1987), h. 3

20


(20)

bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan nama- Nya) kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Adapun menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.21

Dari beberapa pendapat di atas, penulis berkesimpulan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin yang sakral dan suci berdasarkan nilai-nilai keislaman, sesuai dengan apa yang disyariatkan ajaran Islam. Di sisi lain perkawinan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hasrat seksual manusia mencegah perzinahan dan menjaga ketentraman jiwa dan hati, serta menciptakan hubungan yang abadi untuk membina keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

B. Syarat dan Rukun Perkawinan

Inti upacara pernikahan adalah akad nikah. Dari segi bahasa 'aqd artinya mempertemukan dua hal atau mengukuhkan dua pihak, digunakan untuk menyebut pengukuhan dua orang dalam ikatan suami isteri. Dalam budaya modern, akad adalah perjanjian yang tercatat atau kontrak yang dokumennya disebut piagam, akta atau sertifikat. Dari segi ajaran agama, akad nikah adalah ketentuan syariat (rukun nikah)

21

Departemen Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2004), h.14


(21)

yang mengikat seorang suami dan perempuan dalam satu ikatan, yaitu ikatan perkawinan.22

Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Rukun merupakan unsur yang wajib dalam suatu akad, karena itu rukun dan syarat dalam perkawinan dijadikan sebagai hal yang penting yang harus diperhatikan guna terlaksana cita-cita mulia, yaitu mewujudkan rumah tangga sebagai suatu institusi yang suci.

Adapun rukun nikah terdiri dari: 1. Shigot (Ijab Qabul)

2. Calon suami; 3. Calon isteri; 4. Dua orang saksi; 5. Wali nikah. 23

Adapun syarat-syarat nikah dapat dirinci di bawah ini sebagai berikut: 1. Syarat-syarat Calon Suami

a. Tidak sedang menunaikan ibadah haji; b. Tidak terpaksa, atas kemauannya sendiri; c. Orangnya tertentu;

d. Bukan muhrim.

22

Ahmad Mubarok, Psikologi Keluarga: Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2005), h. 116

23

Syihab al-Din Ahmad Ibn Salamah Al-Qolyubi, Hasyiyatun Qolyubi Umairoh, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), Juz. 3, h. 217


(22)

2. Syarat-syarat Calon Isteri:

a. Tidak ada halangan syar'i yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah;

b. Merdeka, atas kemauan sendiri; c. Jelas orangnya;

d. Tidak sedang berihram haji. 3. Syarat-syarat Wali:

a. Laki-laki; b. Baligh;

c. Waras akalnya; d. Tidak dipaksa; e. Adil;

f. Tidak sedang ihram; g. Memiliki hak perwalian. 4. Syarat-syarat Saksi:

a. Minimal dua orang laki-laki; b. Baligh;

c. Waras akalnya; d. Adil;

e. Dapat mendengar dan melihat; f. Bebas, tidak dipaksa;

g. Tidak sedang ihram haji; h. Memahami bahasa jab qabul. 24

5. Syarat-syarat Ijab Qabul:

Dalam teknis hukum perkawinan, ijab artinya penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan ditujukan kepada pihak laki-laki calon suami. Sedangkan qabul

berarti penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami isteri yang

24


(23)

dilakukan oleh pihak laki-laki. Pelaksanaan penegasan qabul ini harus diucapkan pihak laki-laki langsung sesudah ucapan penegasan ijab pihak perempuan tidak boleh mempuyai waktu yang lama.25

Shighat akad nikah mempuyai beberapa syarat yaitu: a. Kedua belah pihak sudah tamyiz

Bila salah satu pihak ada yang gila dan masih kecil dan belum tamyiz (membedakan benar dan salah), maka pernikahannya tidak sah.

b. Ijab qabulnya dalam salam satu majlis, yaitu ketika mengucapkan ijab qabul tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut dapat dianggap ada penyelingan yang menghalangi peristiwa ijab qabul.

c. Hendaklah ucapan qabul tidak menyalahi ucapan ijab, kecuali kalau lebih baik dari ucapan ijabnya sendiri yang menunjukan pernyataan persetujuan lebih tegas.

d. Pihak yang melakukan akad harus dapat pernyataan masing-masingnya, dengan kalimat yang maksudnya menyatakan terjadi pelaksanaan akad nikah, sekalipun kata–katanya ada yang tidak dapat dipahami karena yang dipertimbangkan disini adalah maksud dan niatnya.26

Di dalam pasal 6 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan syaratnya adalah :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua

Ditambahkan pada pasal 7 ayat 1, yang berbunyi : “perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.

25

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI - PRESS, 1986) Cet. Ke-5, h.63

26

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penterjemah: Mahyuddin Syaf, (Bandung: PT Al-Ma'arif, 1996), Jilid 6, h. 49


(24)

Menurut hemat penulis persyaratan dan rukun perkawinan dari apa yang telah dikemukakan di atas, baik pandangan hukum Islam dan hukum positif mempuyai relevansi untuk melakukan sebuah akad perkawinan dan merupakan landasan ideal untuk dilaksanakannya sebuah akad pernikahan. Sebab perkawinan bukanlah hanya sekedar bersatu dua insan yang berlainan jenis yamg memerlukan kesadaran dan kesungguhan dari kedua belah pihak, namun juga untuk menjalani kehidupan yang sangat panjang dan melaksanakannya adalah suatu ibadah.

C.

Tujuan dan Hikmah Perkawinan

1.

Tujuan Perkawinan

a. Menurut Al-Quran

Allah telah menciptakan lelaki dan perempuan untuk hidup saling berpasang-pasangan, sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain dan saling mencintai, sehingga menghasilkan keturunan serta hidup dalam kedamaian sebagaimana perintah Allah SWT. Dalam firmannya pada ayat suci al-Quran, banyak ayat yang menjelaskan tentang tujuan dan hikmah perkawinan antara lain, pertama surat al-A’raf ayat 189 :

O

"

+V

8 _

7?

$

T5

=[

TZ

=*

/

T.

-ﻡ

T0

3

/

T0

T

1

T0

E PPP

` TNA

/

a

:

Hbc

I

Artinya :

Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, supaya ia bersenang-senang dengannya.

Ayat di atas menjelaskan bahwa tujuan perkawinan itu adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini kita tampaknya tidak juga dilarang bersenang-senang tentunya


(25)

tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani.27

Selanjutnya dalam surat al-Ruum ayat 21, yang berbunyi :

(*+,"+ﻡ

-./ 0 1 "

2 (/ 34

5$4 ﻡ

678 94 :; ی

C D% +91 ()

9 + 52ی =>"? =@ یA B

E

>

/

I

GH

'

&F

Artinya :

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah ia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Dari kandungan surat di atas ada tiga makna yang dituju satu perkawinan yakni:28 pertama, Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam dan yang sepertinya adalah sakana, sukun, sikin, kedua, mawaddah artinya membina rasa cinta, ketiga rahmah yang berarti sayang.

b. Menurut Hadis

Nabi Muhammad SAW sebagai panutan Umat Islam juga telah menggariskan apa saja yang akan didapat dalam sebuah perkawinan. Secara global ada dua hal dituju perkawinan menurut hadits,29 pertama untuk menundukan pandangan dan faraj

(kemaluan). Dan Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur, bila kemampuan materil belum memungkinkan, sebagaimana hadis :

27

Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: QALBUN SALIM, 2007), edisi pertama, h. 87

28Ibid 29


(26)

" 4 Z

9

4

d

=eی \ " 4 )M

P

] L

'

f NA N )ی .ﻡ " 4 Z

N J

= N

* N

+ ZMN N J

=Zیgی

N N J

ZM

P

K L

'

K"Tﺱ T K TL

+7ﺱ : 7N

+-R

'

+h h.ﻡ ی

ﻡ i2ﺱ ﻡ M

M

(*

%7

2

g

+

j

%k

T+$

:

4

Tl

Xm

7M

n

4

75

j

%k

9

ی

2

i

o

%

.

7

:

+n

"

>

%pk

+$

:

:

/

q

: 7N 652ﻡ

E

(

30

Artinya :

Telah meriwayatkan kepada kami Abi Bakar bin abi Syaibah dan Abu Kuraib. mereka berkata telah meriwayatkan kepada kami Abu Mua’wiyah dari A’amasy, dari Umarah bin Umair, dari Abdirrahman bin Yazid, dari Abdullah. Ia berkata : Berkata Rasulullah SAW kepada kami : Hai sekalian pemuda siapa yang punya kemampuan di antara kalian maka hendaklah ia menikah. Karena yang demikian lebih menundukan pandangan dan lebih memelihara kemaluan, apabila tidak punya kemampuan maka hendaklah ia berpuasa karena yang demikian itu dapat meredam keinginan. (Muttafaqun alaih)

Kedua, sebagai kebanggaan Nabi di hari kiamat, yakni dengan banyaknya keturunan Umat Islam melalui perkawinan yang jelas, secara tekstual nabi menyatakan jumlah (kuantitas) yang banyak itu Nabi harapkan, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Kekuatan yang bisa menunjukan kemuliaan dan keagungan ajaran-ajaran Islam, bukan hanya dalam lintasan sejarah masa lalu namun juga masa sekarang.

Perkawinan dapat mengembangkan umat manusia menjadi suatu masyarakat yang besar yang bermula dari unsur keluarga. Hubungan laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh tali pernikahan dapat juga memperkembangkan manusia. Akan tetapi, bila ini diterapkan maka tanggung jawab manusia tidak dapat dikontrol. Sebab itulah

30

Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hajj j Qusairi al-Naisaburi, Shohih Muslim, (tt: Darul Ihya Kitab al-Arabi, t. th), Juz. Ke-2, h. 1018


(27)

perkawinan sangat penting untuk pengembangan manusia secara bertanggung jawab.31 sebagaimana hadis :

Z

Z

M

N

D

Z

D

4

=

=9

5

N

]

L

9

r

7

8

)

5

7

8

D

Z

=s

5

N

N

=[

4$

=B

K

L

:

9

\

K

"

+7

R

:

7

N

+7

(

یt

*

M

0

ی

N

-

X2

2M

(

0

$

(Zی

Z

d

K

"

?

ی

"

/

+

g

;

,

,

"

,

T"

"

D

T$

1

T

T

$M

A

>

"

)

Tﻡ

?

E

Z

u

32

(

Artinya :

Meriwayatkan kepada kami Abdullah meriwayatkan kepada kami abi tsana Khusain dan affan : mereka berkata kepada tsana khalaf bin khalifah meriwayatkan kepada kami hafsin bin umar dari anas bin malik : Ada Nabi Muhammad SAW bersabda, dia memerintahkan kepada kami dengan nikah dan mencegah kita beribadah saja tanpa kawin. Dan ia bersabda: “Kawinilah wanita yang simpatik (banyak kasih sayangnya) dan yang peranak, karena aku bangga dengan banyaknya kamu pada hari kiamat. (HR. Ahmad)

c. Menurut Akal

1) Memelihara dan Menjaga Bumi

Bumi ini cukup luas, kelilingnya ada 40.000 KM, sedang garis tengahnya atau diameternya ada 25.000 KM, wilayah yang demikian luas tentunya harus diurus oleh orang banyak, karena bumi ini Allah nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Untuk meningkatkan jumlah manusia tentunya harus dengan perkawinan atau pernikahan.33 Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari, kehadiran

31

Chuzaimah T Yanggo (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: LSIK, 2002) Buku Kedua, h. 76

32

Ahmad Ibn Hanbal Abû 'Abd Allâh al–Syaibâni, Musnad al–Imâm Ahmad ibn Hambal, (Kairo: Muassasah al–Qurtubah, t.th.), juz. 3, h. 158

33


(28)

manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. sehingga perkawinan merupakan syarat mutlak bagi kelestarian dan kemakmuran bumi.34

2) Tertib Nasab

Bila manusia banyak tentunya harus diwujudkan ketertiban atau keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau tidak tertib tentu akan terjadi kekacauan karena tidak diketahui si A dan si B anak siapa. Bila nasab tidak tertata rapi tentu semua akan tidak menentu, tentu ini menjadi awal dari sebesar-besarnya bencana.35 Selain itu diadakannya hukum perkawinan dalam islam adalah pemeliharaan moralitas. Islam menganggap perbuatan zina merupakan perbuatan yang tidak halal,36 yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat. Selain itu jika tanpa nasab yang tidak jelas maka akan membuat kesulitan apabila si anak akan membuat atau mengurus tentang surat yang berperihal pada kependudukan dan lain sebagainya.

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kamal Mukhtar, keturunan yang bersih, yang jelas ayah, kakek dan sebagainya hanya diperoleh dengan perkawinan. Dengan demikian akan jelas pula orang-orang yang bertanggung

34

Chuzaimah, Problematika Hukum, h. 116

35

Basiq, Tebaran Pemikiran, h. 90.

36

Abul A'la al-Maududi dan Fazl Ahmed, Pedoman Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1999), h. 7


(29)

jawab terhadap anak-anak, yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga menjadilah ia seorang muslim yang dicita-citakan.37

3) Tertib Harta

Untuk menjaga kewarisan, setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya sekeping papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Nah untuk tertibnya para ahli waris, tentunya harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan.38

d. Menurut Undang-Undang

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan dalam pasal 1 yang berbunyi : tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal yang sama juga didapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 3 bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Sehingga jelaslah bahwa pemerintah mengharapkan pernikahan sebagai pondasi awal menuju struktur kehidupan berbangsa dan bernegara yang tenteram dan damai.

2. Hikmah Perkawinan

a. Menyalurkan Kebutuhan Biologis

37

Kamal Muhktar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet. Ke-2, h. 15

38


(30)

Setiap manusia dewasa yang normal, dia pasti memiliki dorongan seksual yang menuntut adanya penyaluran. Dorongan yang satu ini menjadi sumber fitnah yang amat membahayakan,39 yang bisa berakibat terjatuh pada bahaya perzinahan dan prostitusi yang dapat merusak ketenangan dan menimbulkan keresahan pada masyarakat. Dengan adanya pernikahan, dorongan seksual yang bergejolak dapat disalurkan sepuas-puasnya dengan isteri tercinta secara sah dan benar.40

b. Mempererat dan Menambah Persaudaraan

Menurut islam, perkawinan bukan hanya merapatkan hubungan dua pihak secara individual antara suami dan isteri, namun lebih jauh dapat mempererat tali hubungan antara keluarga pihak suami dan pihak isteri.41 Dengan beristeri, maka suami akan bertambah banyak sanak dan saudaranya. Saudara-saudara ipar, segenap keluarga besar dari pihak isteri, para tetangga dan masyarakat dilingkungan isteri, apalagi kelak setelah berbesanan dengan seseorang tatkala anaknya telah dewasa semua itu akan memperbanyak saudara.42

c. Menciptakan Ketenangan Jiwa

Bahwasanya suatu perkawinan dapat menimbulkan rasa kasih sayang antara suami dan isteri, juga menenangkan jiwa memperkokoh dan menanamkan kasih

39

M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta: MITRA PUSTAKA, 2000), Cet. 2, h. 114

40

Ibid., h.115

41

Chuzaimah, Problematika Hukum, h. 77

42


(31)

sayang antara keduanya.43 Di samping itu dengan beristeri, seorang suami akan lebih terbentengi dari hal-hal yang memudarkan nilai peribadatan dan pengamalannya terhadap agama. Suami tak lagi dibayangi oleh pikiran-pikiran negatif terhadap wanita dan lebih terbantu dengan kehadiran isteri tercinta.44

d. Menumbuhkan Sikap Bertanggung Jawab

Sebelum beristeri seorang lelaki tidak menghadapi banyak tuntutan. Tetapi setelah beristeri, ia dituntut oleh banyak hal.45 Ia akan menyadari rasa tanggung jawab kepada isteri, anak-anak. Menimbulkan sikap rajin bekerja dan sungguh-sungguh dalam mengarahkan pendidikan anak, serta meningkatkan status dalam pergaulan masyarkat, sehingga dihargai dan hormati.

Dari uraian yang telah dikemukakakan penulis menarik kesimpulan begitu besar dan banyak manfaat dari tujuan dan hikmah perkawinan. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkawinan dalam Islam sebagaimana yang telah kita ketahui, bukan semata-mata untuk mengikuti Sunah Rasul, tapi lebih jauh membuat ketenangan baik lahir dan batin dan berbagai manfaat yang tidak bisa kita dapatkan tanpa melalui perkawinan, sehingga ikatan suci ini menjadikan seorang pria dan wanita dapat memelihara diri dari perbuatan dan perilaku tidak senonoh, melanjutkan keturunan, dan yang paling besar ialah mendapatkan ridho dari Allah SWT.

43

Sayyid Sâbiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), Jilid. 2, h. 12

44

M. Nipan, Membahagiakan isteri, h. 114

45


(32)

D.

Hak dan Kewajiban Suami Isteri

Apabila dilaksanakan akad nikah yang sah, maka mulai saat itu berarti antara kedua calon mempelai sudah terikat dalam ikatan perkawinan dan telah resmi hidup sebagai suami isteri. Maka untuk mencapai tujuan perkawinan sebagaimana yang telah disebutkan maka diperlukan hak dan kewajiban bagi suami isteri.

1. Hak dan Kewajiban Suami

Mengenai hak-hak suami terhadap isterinya tersebut dalam surat an-Nisa ayat 34 , yaitu firman Allah SWT :

TTﻡ "?5$4 TT

=mTT. TT7N 0vTT.

-+vTT% TT

TT

TT7N 9"TTﻡ +"L K TT/

w5

e x7 q@ y% q@ 2$ L @ # +n % 0 "ﻡ4

E PPP

4

/

I

&^

'

^

Artinya:

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) telah menetapkan harta mereka. Sebab itu wanita yang saleh ialah wanita yang taat lagi memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara mereka….

Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hak suami atas isteri ialah: a. Taat.

Isteri hendaklah taat kepada suaminya dalam melaksanakan urusan-urusan rumah tangga mereka, selama suaminya masih menjalankan ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan dengan kehidupan suami isteri. Taat kepada suami dalam ayat digunakan perkataan "qânitât" yang berarti "tunduk dan patuh". Perkataan ini biasanya digunakan untuk menerangkan ketundukan dan kepatuhan seorang hamba


(33)

kepada Allah. Dengan ayat ini Allah menerangkan bentuk ketaatan isteri kepada suami, sama dengan bentuk ketaatan kepada Allah.46

b. Isteri tidak diperkenankan menghadiahkan sesuatu dari harta suaminya kecuali atas izinnya.47

Maksudnya seorang isteri tidak diperkenankan memberikan hadiah apa pun dari harta suaminya kecuali dengan izinnya. Hal ini juga penting karena harta tersebut adalah milik suaminya, di samping itu untuk mencegah kecurigaan pihak suami terdap isteri yang dapat merusak keharmonisan perkawinan.

c. Menerima sedekah dari harta isteri dalam keadaan sulit atau bersabar, menghadapi tekanan hidup jika ia tidak mempunyai harta.

Di antara hak suami yang ada pada isterinya, ialah isteri harus menyedekahkan hartanya ketika sedang dalam keadaan sulit. Kalau isteri tidak punya harta, maka ia bersabar bersamanya menghadapi tekanan hidup.48

d. Isteri menjaga dirinya dan harta suami

Dalam al-Qur'an surat an- Nisa ayat 34 dijelaskan bahwa isteri harus bisa menjaga dirinya baik ketika berada di depan maupun di belakang suami, dan ini merupakan salah satu ciri isteri sholehah

z

w5

e x7 q@ y% q@ 2$ L @ # +n %

)

4

/

I

&^

'

^

46

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum, h. 153

47

Mahmud al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991) Cet. Ke-1, h. 152

48

Yudian Wahyudin, dkk, Keluarga Bahagia Dalam Islam, (Yogjakarta: Pustaka Mantik, 1993), h. 160


(34)

Artinya:

"…sebab itu maka wanita yang sholeh itulah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah memelihara mereka…”

Maksud memelihara diri dibelakang suami dalam ayat tersebut adalah, isteri dalam menjaga, dirinya ketika suaminya tidak ada dan berbuat khianat kepadanya, baik mengenai diri maupun harta bendanya. Inilah kewajiban tertinggi seorang isteri terhadap suami.49

Sedangkan kewajiban suami, adalah sebagai berikut :

a. Suami wajib memperlakukan isterinya dengan baik, menghormatinya, bergaul dengan baik, memperlakukannya dengan wajar, mendahulukan kepentingannya yang memang patut didahulukan untuk melunakan hatinya, lebih-lebih bersikap menahan diri dari sikap yang kurang menyenangkan dari padanya atau bersabar untuk menghadapinya, sehingga isteri akan bersikap lebih perhatian terhadap kelangsungan kehidupan perkawinan.

b. Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan mara bahaya, sehingga isteri merasa tenang dalam menjalankan tugas dan kewajibannya baik ketika suaminya ada atau tidak berada di rumah. Dalam ayat ini terkandung suruhan untuk menjaga kehidupan beragama isterinya, membuat isterinya tetap menjalankan ajaran agama dan menjauhkan isterinya dari segala sesuatu yang dapat menimbulkan kemarahan Allah. Untuk maksud tertentu suami wajib memberikan pendidikan

49


(35)

agama dan pendidikan lain yang berguna bagi isteri dalam kedudukannya sebagai isteri.50 Firman Allah :

$

7O4

5$4 "L

(

E

ی #2

/

I

{

'

{{

Artinya :

“Periharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka”.

c. Suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Allah untuk tewujud, yaitu mawaddah, rahmah, dan sakinah. Untuk maksud itu suami wajib memberikan rasa tenang bagi isterinya.51 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalalm surat al-Rum ayat 21 :

-./ 0 1 "

2 (/ 34

5$4 ﻡ

678 94 :; ی

(*+,"+ﻡ

9 + 52ی =>"? =@ یA B C D% +91 ()

E

>

/

GH

'

&F

(

Artinya :

Di antara tanda-tanda kebesaran Allah, Ia menjadikan untukmu pasangan hidup supaya kamu menemukan ketenangan pasangan dan menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Yang demikian merupakan tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.

d. Menanggung Biaya Hidup

Islam telah memberikan garis batas bagi pekerjaan suami dan pekerjaan isteri. Tugas laki-laki adalah bekerja mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup keluarganya. Tugas ini merupakan tugas yang harus dipatuhi dalam status laki-laki sebagai pelindung.52

2. Hak dan Kewajiban Isteri

50

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 161

51

Ibid, h. 161

52


(36)

Hak isteri atas suami adalah sebagai berikut : a. Menerima Nafaqah

Nafaqah merupakan hak isteri dan suami wajib membayarnya. Dasarnya ialah :

T7N )N Tﺽ+ + 2Tی 94 , 4 T

7ﻡ T\

"T + O,] 4 .ﺽ ی @ Z "

,"T "

+ vTT; ] 0.TTﺱ +]1 q[TT5$ rTT+7 ; ] ` . T + 0;" TT\ + TT0L3 :TT

B C - ﻡ

"

7N uZ " :+," "ﻡ ] OZ " *Z

EPPP

* ?M

/

G

:

I

G&&

Artinya :

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Tidak diberati seorang diri, kecuali menurut usahanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya dan warispun berkewajiban demikian …

Kewajiban memberikan nafaqah oleh suami kepada isterinya yang berlaku pada fiqih didasarkan pada prinsip pemisahan harta suami dan isteri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki, rezeki yang diperolehnya itu menjadi haknya penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafaqah.53

b. Mendapatkan Pergaulan Secara Baik Dan Patut. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 19 :

PPP

:T %

-T.}ی (~ Td "O ; 94

.% + O" 2O \ 9k% ` .

+ O d N

( \ ( 8

)

4

/

I

Hc

'

^

Artinya :

53


(37)

Pergauilah mereka (isteri-isteri) secara baik. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Yang dimaksud dengan pergaulan di sini secara khusus adalah pergaulan suami isteri termasuk hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Bentuk pergaulan yang dikatakan dalam ayat tersebut diistilahkan dengan makruf yang mengandung arti secara baik; sedangkan bentuk yang makruf itu tidak dijelaskan Allah secara khusus. Dalam hal ini diserahkan kepada pertimbangan alur dan patut menurut pandangan adat dan lingkungan setempat.54

3. Hak Supaya Suami Menjaga dan Memelihara Isterinya.

Maksudnya ialah menjaga kehormatan isteri, tidak menyia-nyiakannya, dan menjaganya agar selalu melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan segala yang dilarang Allah.55 Firman Allah :

TTTT7O4

TTTT5$4 "TTTTL "TTTT ﻡ

یVTTTT+ TTTT0Xی4 ی

* TTTT}# W TTTT+ TTTTO,"L ( TTTT$

E

ی #2

/

I

{

'

{{

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya ialah manusia dan batu”.

4. Kalau Suami Mempuyai Isteri Lebih Dari Seorang, Maka Hendaklah Ia Berlaku Adil Terhadap Isterinya itu. Firman allah :

PPP

" ".;+]4 $,4 B C $ ی4 • 7ﻡ ﻡ 4 (*Z "% " Z.;+]4 258 9k%

E

/

I

^

:3

Artinya :

54

Ibid., h. 160

55


(38)

“... kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (terhadap isterimu) maka (kawinilah) seorang saja, atau budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Yang dimaksud dengan berlaku adil dalam ayat ini ialah berlaku adil dalam hal-hal yang dapat dilaksanakan, seperti adil dalam pemberian nafakah, adil dalam menetapkan giliran hari antara isteri-isteri dan sebagainya. Adapun adil dalam hal cinta dan kasih sayang sukar dilaksanakan oleh manusia. Walaupun demikian janganlah hendaknya karena kecintaan kepada isteri yang seorang, membiarkan isteri yang lain terkatung-katung hidupnya.

Sedangkan kewajiban seorang isteri adalah : a. Isteri Wajib Mengasuh Anak

Isteri berusaha untuk mengasuh anak termasuk sesuatu yang sangat dianjurkan oleh agama dan diutamakan, karena anak merupakan sambungan hidup dari orang tuanya. Cita-cita atau usaha-usaha yang tidak sanggup orang tuanya melaksanakan, diharapkan agar anaknya nanti yang melaksanakannya. Anak yang saleh merupakan amal orang tuanya.

b. Isteri Menjaga Dirinya Sendiri dan Harta Suami, menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkannya, tidak cemberut dihadapannya, tidak menunjukan keadaan yang tidak disenanginya.

c. Isteri wajib menyusukan anaknya, selama ia sanggup melaksanakannya. Firman Allah :

TT7N )N TTﺽ+ + 2TTی 94 , 4 TT

7ﻡ TT\

"TT + TTO,] 4 .TTﺽ ی @ ZTT "

+ 0;" \ + 0L3 : ," "

0.ﺱ +]1 q[5$ r+7 ; ] ` .

PPP


(39)

E

* ?M

/

I

G&&

'

G

Artinya :

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah ialah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya”.

Sedangkan Hak dan Kewajiban suami-isteri menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan pada:

a. Pasal 30 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa :

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

b. Pasal 31 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa :

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat

Teranglah bahwa, kehidupan perkawinan tidak berhenti pada selesainya upacara akad nikah, namun yang arti perkawinan sesungguhnya ialah tetap terbinanya hubungan suami isteri pada kehidupan yang harmonis. Hal ini dapat terlaksana dengan baik apabila keduanya mau memahami posisinya dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Dalam hal ini islam dan perundang-undangan telah mengatur dengan baik, dengan memberikan pedoman dalam menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami isteri. Sehingga hal-hal seperti ketidakharmonisan, perpecahan, dan sampai pemutusan perkawinan dapat dihindari.


(40)

BAB III

STATUS PERKAWINAN AKIBAT SUAMI HILANG

E. Pengertian Umum

Untuk lebih memahami skripsi ini maka penulis perlu memberikan beberapa informasi tentang suami yang hilang.

Karena dalam perjalanan kehidupan suami isteri, kemungkinan sekali seorang suami mencari nafkah di tempat yang jauh atau mempunyai keperluan ditempat yang jauh. Perjalanan menuju ketempat-tempat yang dituju oleh seorang suami, baik untuk mencari nafkah atau keperluan lain, bilamana masa perjalanannya melebihi kebiasaan, maka akan menimbulkan kekhawatiran dalam diri isteri dan keluarganya. Dalam keadaan tidak jelas semacam ini, status yang bersangkutan dikatakan ghaib.56

Dari sini dapat diambil pengertian bahwa :

1. Hilang suami (suami meninggalkan tempat kediaman bersama) dengan tidak ada alasan yang dapat diterima.

2. Kepergian suami itu menyebabkan isteri dalam bahaya walaupun si suami meninggalkan harta yang dapat dijadikan nafkah.57

Berdasarkan beberapa ulasan singkat di atas menyebabkan isteri dapat mengambil keputusan terhadap kehidupan perkawinan. Namun sebelum penjelasan lebih jauh penulis akan memasukan beberapa pandangan dari beberapa ahli yang berkaitan dengan masalah yang hendak dibahas.

56

M. Thalib, 15 Penyebab Perceraian dan Penanggulangnnya, (Jakarta: PT Irsyad Baitus Salam, 1997), Cet. Ke-1, h. 149-150

57

Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan (Karena Ketidakmampuan Suami Memenuhi Kewajibannya), (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989), Cet. Ke-1, h. 67


(41)

Dijelaskan oleh H. Abdul Qadir Jaelani dalam bukunya yang berjudul Keluarga Sakinah, jika suami meninggalkan isterinya tanpa pengetahuan dan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’ seperti antara lain:

1. Pergi tanpa sepengetahuan isterinya, dan tanpa berita di mana ia berada. 2. Suami pergi dengan maksud untuk menyusahkan isterinya

3. Tenggang waktu kepergian suami lebih dari satu tahun

Jika kepergian suami seperti yang disebutkan di atas, dan isteri mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk minta diceraikan oleh suaminya yang telah meninggalkannya tanpa dibenarkan oleh syara’ dengan mengajukan saksi-saksi yang adil, pengadilan berhak untuk menjatuhkan talak penggugat terhadap suaminya (tergugat).58

Kasus–kasus yang bisa mengakibatkan perceraian, misalnya suami dipenjarakan seumur hidup, atau jika suami pergi dan tak ada beritanya lagi, atau suami cacat yang tidak dapat memungkinkan untuk bisa mencari nafkah guna kepentingan isterinya, atau mungkin juga salah satu pihak berkelakuan jahat atau berperangai kejam, atau terlalu

bakhil dalam menafkahkan keluarganya. Kasus-kasus ini bisa menjadikan alasan yang kuat untuk melakukan perceraian, baik atas tuntutan suami maupun atas tuntutan isteri.59

Jika kepergian suami itu, karena alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh

syara’, seperti menuntut ilmu, mencari nafkah, berdagang, dan semuanya atas sepengetahuan dan persetujuan isteri, pengadilan tidak berhak untuk menjatuhkan talak,

58

H. Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), Cet. Pertama, h. 346

59


(42)

meski seandainya isteri yang mengajukan gugatan kepada pengadilan. Tetapi perlu dipertimbangkan, jika suami meninggalkan isterinya dengan tujuan tersebut, yaitu memuntut ilmu, mencari nafkah, berdagang, tetapi setelah tenggang waktu lebih dari setahun tidak ada khabar beritanya, dan isteri menjadi susah, maka isteri mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk minta diceraikan dari suaminya, dengan mengajukan alasan-alasan yang bisa diterima pengadilan, pengadilan pun berhak untuk menjatuhkan talak atas nama penggugat atas tergugat.60

Ada beberapa faktor atau sebab suami hilang atau ghaib, antara lain: 1. Pergi jauh, kemudian tidak ada komunikasi lagi

2. Kemungkinan meninggal di tempat jauh, tetapi tidak diketahui kejelasannya 3. Diculik orang dan tidak diketahui nasibnya

4. Terjadi bencana hebat atau peperangan sehingga mereka terpisah, dan tidak diketahui keberadaan dan nasibnya.61

Sedangkan upaya atau langkah yang dapat dilakukan isteri antara lain:

1. Pencarian dengan seksama ketempat-tempat yang diperkirakan disinggahi oleh suami atau melalui pihak-pihak yang mengenal suami.

2. Menunggu sampai batas waktu yang menurut perkiraan umum layak sebagai masa penantian orang yang ghaib. Karena boleh jadi menantikan suami yang ghaib itu dirasakan lebih baik dari pada bercerai, lalu kawin dengan lelaki lain yang mungkin tidak sebaik suaminya yang ghaib itu.

60

Ibid, h. 346

61

M. Thalib, 15 Penyebab Perceraian Dan Penanggulangannya, (Jakarta: PT Irsyad Baitus Salam, 1997), Cet. Ke-1, h. 149-150


(43)

3. Berupaya untuk terus berdoa dan memohon kepada Allah agar dimudahkan jalan dalam mencari suaminya yang ghaib dan memohon diberi ketentraman dan kepastian tentang keadaan suaminya. Misalnya, dengan melakukan shalat istikharah agar mendapatkan pertolongan dari Allah SWT, apakah lebih baik melakukan penantian atau melakukan perceraian.

Bila upaya-upaya tersebut telah dilakukan dan dalam tempo yang cukup lama tidak berhasil, maka isteri dapat melaksanakan keputusannya sesuai hukum.

Isteri dapat meminta cerai, apabila suaminya ghaib atau tidak berada ditempat selama beberapa waktu. Talak yang jatuh karena ketidakhadiran suami di tempat, menurut Imam Malik menjadi talak bain dan menurut Imam Ahmad menjadi fasakh. Talak itu sah, karena untuk menghindarkan kemudharatan bagi isteri.62

Adapun perceraian itu dianggap sah, dengan syarat:

1. Ketiadaan suami di tempat, bukan karena halangan yang dapat diterima. 2. Memudharatkan atau menyusahkan isteri, dengan ketiadaannya.

3. Suami berada di suatu tempat, yang isteri tidak bermukim disitu. 4. Berlalu masa satu tahun yang memudharatkan isteri.

Jika ketiadaan suami di tempat itu, dengan alasan yang dapat diterima, seperti pergi menuntut ilmu, berdagang, bertugas keluar negeri atau bertugas kefront pertempuran, maka dalam hal ini isteri tidak boleh menuntut cerai. Demikian pula jika kepergian suami itu, ke suatu negeri yang isterinya berada di situ. Isteri dapat menuntut

62

H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994), Cet. Pertama, h. 83


(44)

cerai jika sudah berlalu masa setahun ditinggal suami dan khawatir akan terjerumus kedalam perzinahan atas melakukan perbuatan tidak senonoh.

F. Status Isteri Dalam Perkawinan 1. Kedudukan sebagai isteri

Menurut pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, “perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

Adapun pasal 2 buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merumuskan sebagai berikut, “Perkawinan hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya sebagai ibadah”.

Selanjutnya mengenai tujuan perkawinan, dirumuskan pasal 3, “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah , mawaddah,

dan rahmah”.

Dari kedua rumusan tentang perkawinan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan wanita dan pria yang memasuki gerbang perkawinan itu adalah seimbang.63

Menurut Hukum Islam Allah telah menetapkan penanggung jawab keluarga pada diri suami, namun dalam pembahasan penulisan ini di mana isteri harus mengambil alih tanggung jawab pengurusan rumah tangga sebagai wakil dari

63

Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Gema Insan Press, 1996), Cet. Ke-1. h. 119


(45)

suami. Sebagaimana hadis Rasulullah, yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dari Abdullah bin Umar r.a. :

Z

N

M

Z

9

4

8

M

$

N

M

Z

4

8

M

$

"

N

?

M

)

N

$

%

=o

N

1

N

D

N

0

L

K

N

+M

D

R

+7

N

7

:

+7

L

K

'

\

X7

=

\

X7

qK

N

N

2

:

A

=

+

/

-=

N

7

4

O

-2

:

4*

N

+

q)

N

7

3

/

0

Z

u

%

X7

=

\

X7

qK

N

N

2

:

E

u

M

_

I

64 Artinya:

Meriwayatkan kepada kami Abdani , meriwayatkan kepada kami, (menurut riwayat) meriwayatkan kepada kami Abdullah meriwayatkan kepada kami Musa bin uqbah dari Nafi dari Ibnu Umar r.a. bahwasanya Nabi S.A.W Bersabda: “setiap orang yang bertanggung jawab dan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Dan seorang pemimpin bertanggung jawab, dan seorang suami bertanggung jawab atas keluarganya, dan seorang isteri bertanggung jawab atas rumah tangga suaminya dan anaknya. Maka setiap dari kamu bertanggung jawab atas rumah tangga suaminya dan anaknya. Maka setiap dari kamu bertanggung jawab dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (H.R. Bukhari)

Keseimbangan fungsi dan kedudukan suami isteri itu adalah untuk satu tujuan, seperti ditentukan oleh pasal 30 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.”

Keseimbangan kedudukan suami isteri itu tidak terbatas dalam rumah tangga saja, akan tetapi juga dalam hubungan dengan masyarakat pasal 31 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merumuskan, “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan

64

Muhammad ibn Ismâ'îl Abû 'Abd Allâh al–Bukhârî, Shahîh Bukhârî, (Beirut: Dâr ibn Katsîr, t.th), juz. 5, h.1996


(46)

pergaulan hidup bersama dalam masyarakat,” dan ayat 2, “Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.

Pasal 77 ayat 1 buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menjelaskan, “Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.”

Adanya ikatan perkawinan yang dilakukan setelah akad nikah otomatis menyatukan dua jiwa yang sebelumnya terpisah. Rasa tanggung jawab untuk mengarungi kehidupan bersama, baik suka maupun duka harus dirasakan bersama. Sehingga, suami isteri harus dapat menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan perannya.

2. Kedudukan Isteri Terhadap Harta Perkawinan

Dalam perkawinan yang sah, perlu kiranya isteri memperoleh hak nafakah untuk menghidupi diri dan anaknya, Apabila seseorang bepergian jauh dari negerinya atau tidak diketahui keberadaannya, maka bagi hakim boleh memutuskan bagi suami yang hilang wajib nafakah untuk isterinya.

Apabila menuntut seorang isteri yang ditingal akibat hilang suami, maka jika ada harta pada dirinya, maka hakim memberikan putusan bagi dirinya boleh mengambil nafaqah dan tidak ada hukum dari harta tersebut yang ada dalam genggaman isteri.65

65

Abdurrahman Al-Shabuni, Qonun Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, (t.t.: Jamiatul Dimaskhqu, 1971), Juz 1. h. 372


(47)

Menutut Imam Hanafi, apabila si suami meninggalkan harta pada isterinya dan si isteri meminta pada qadi, bahwa wajib nafakah untuknya dan memerintahkan si qadi mewajibkan nafakah untuknya dengan mengambil harta yang ada pada genggaman si isteri.66

Menurut Imam Hambali, apabila si isteri mendakwah pada siqodi bahwasanya suaminya itu menghilang dan dia tak mampu untuk menafkahi dirinya sedang suami tidak meninggalkan harta pada isterinya, maka si isteri meminta sang qadi untuk membubarkan perikahannya itu maka sang qadi membubarkan pernikahan tersebut.67

Menurut Imam Syafi’i, apabila sang isteri mendakwa bahwa suaminya itu meninggalkannya atau hilang darinya sedangkan tidak meninggalkan harta, dan sang isteri mampu menghidupi dirinya, maka bagi isteri meminta untuk menggugurkan pernikahannya dari sang suami.68

Menurut imam Malik, bagi suami yang hilang dengan meninggalkan harta untuk isterinya maka seyogjanya bagi isteri dapat meminta pada si qadi untuk menggugurkan pernikahannya dan wajib nafakah dari hartanya. Dan jika ia meninggalkan harta pada isterinya sedang kehidupan suami itu diketahui maka bagi isteri ia berhak meminta talak pada suaminya.69

66

Ala’Eddin Kharafaa, Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah, (Bagdad: Kharijul Azhar, 1962), Jilid I, Cet ke 2, h. 335

67

Ibid.

68

Ibid.

69


(48)

Keseimbangan kedudukan suami isteri ternyata pula terhadap harta bersama. Hal ini dicantumkan dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan pasal 85 sampai dengan pasal 97 Buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam.

Hukum Islam telah memberikan kaum wanita suatu keuntungan yang belum pernah ada sebelumnya dalam urusan finansial dan ekonomi. Di satu pihak islam memberikan kepada mereka kebebasan dan kemerdekaan penuh dalam hal finansial dan mencegah kekuasaan pria atas harta dan pekerjaan isteri. Islam telah menghapus dari kaum pria hak perwalian atas urusan kaum wanita yang terdapat pada zaman dahulu dan pada kebiasaan barat sepanjang sejarah sampai menjelang abad dua puluh. Di atas segalanya, dengan membebaskan wanita dari kewajiban mencari uang.70

Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam menetapkan setengah dari harta bersama adalah milik isteri, manakala terjadi cerai mati atau bagian isteri dalam hal-hal tersebut dengan nilai saham isteri dalam mengumpulkan harta bersama itu.71

3. Kedudukan Isteri Terhadap Anak

Keseimbangan isteri dengan suami dalam hak-hak dan kewajiban orang tua dan anak dicantumkan dalam pasal 45 sampai dengan pasal 49 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan pasal-pasal 98 sampai dengan 106 buku 1 Hukum

70

Muthada Muthahhari, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, (Jakarta: PT Lentera, 1995), Cet. Ke-3, h. 145

71


(49)

Perkawinan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Kekuasaan orang tua terhadap anak, tetap ada pada suami isteri juga seandainya perkawinannya putus.72

Dalam hal ini, sebab didahulukannya ibu dalam hak asuh dan menyusui yaitu sebab dia lebih paham dalam pendidikan, lebih sabar dalam sisi ini, sesuatu yang tidak dimiliki laki-laki. Perempuan juga lebih memiliki waktu luang, sesuatu yang tidak dimiliki laki-laki. Karena itulah, ibu lebih didahulukan dalam mengasuh anak demi kemaslahatan anak. 73

Jika ternyata bagi anak yang masih kecil punya hak hadhanah, maka ibunya diharuskan melakukannya, jika jelas anak-anak tersebut membutuhkannya dan tidak ada orang lain yang bisa melakukannya. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai hak anak atas pemeliharaan dan pendidikannya tersia-siakan. Jika ternyata hadhanahnya dapat ditangani orang lain, umpamanya datuk perempuannya dan ia rela melakukannya sedang ibunya sendiri tidak mau, maka hak ibu untuk mengasuh (hadhanah) gugur dengan sebab datuk perempuan mengasuhnya. Karena datuk perempuan juga punya hak

hadhanah (mengasuh).74

G. Lama Waktu Kepergian Suami

72

Ibid, h. 123

73

Sayyid Sâbiq, Fiqh al–Sunnah, (Beirut: Dâr al–Fikr, t.th.), Jilid. 2, h. 289

74


(50)

Karena luasnya pembahasan tentang perceraian, maka penulis lebih mengfokuskan pada perceraian yang diakibatkan oleh suami yang hilang.

1. Pandangan Hukum Positif

Undang-undang Perkawinan Republik Indonesia yang berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975, adalah undang-undang yang luas sekali ruang lingkupnya. Ia tidak hanya mengatur soal perkawinan, tetapi juga masalah perceraian serta akibatnya.75

Dalam undang-undang ini ketentuan perceraian telah diatur dalam, Pasal 38, Perkawinan dapat putus karena : a. kematian b. perceraian dan c. atas keputusan pengadilan

Pasal 39 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pertama perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, kedua untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri, tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.

Pasal tersebut berkaitan dengan isi pasal 29 tentang perjanjian perkawinan:

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

75

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, , (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet. Ke-2, h. 19


(51)

b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas, agama, dan kesusilaan.

c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan

d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan peraturan yang dijelaskan pada pasal 39 ayat 2 menjelaskan tentang alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain di luar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami/isteri

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Sedangkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) putusnya perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b. perceraian, dan c. atas putusan pengadilan (Pasal 113),


(52)

talak dan berdasarkan gugatan cerai (Pasal 114), dan dapat terjadi dengan alasan (Pasal 16):

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman lima tahun atau hukuman yang berat setelah hukuman berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

2. Pandangan Hukum Islam

Secara etimologis kata hukum berasal dari bahasa Arab yang berarti memutuskan atau menetapkan dan menyelesaikan.76 Kata hukum (kata jamaknya ahkam) yang berarti putusan, ketetapan, perintah, pemerintahan, kekuasaan, hukuman dan lain-lain.77 Sedangkan pengertian hukum yang lebih umum secara bahasa adalah bila anda memutuskan sesuatu dengan begitu atau dengan begini baik keputusan tersebut mengikat orang lain atau tidak.78

76

Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama, (Jakarta: Qolbun Salim, 2005), Cet. Ke-1, h. 9

77

Ibid., h. 12

78


(1)

BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN

1. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa dari ikatan yang suci dan luhur.

2. Kedua belah pihak harus melaksanakan hak dan kewajibannya, sebagaimana yang telah diatur dalam ajaran islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

3. Suami yang hilang adalah jika lama waktu kepergian suami melebihi dari batas waktu yang menurut kebiasaan diperkirakan tidak kembali.

4. Dalam Hukum Positif dijelaskan suami tidak boleh meninggalkan istri selama enam bulan berturut-turut, tertulis pada penjelasan pasal 39 ayat 2 pada huruf b undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

5. Dalam Hukum Islam yang terdapat dalam kitab fiqih bila suami hilang lebih dari satu tahun menurut pendapat Imam Malik dan Enam bulan menurut pendapat Imam Ahmad maka diperbolehkan bagi istri untuk meminta perceraian.

6. Bila suami hilang atau ghaib maka atas kehendak istri, dapat mengajukan permohonan perceraian pada pengadilan yang berwenang dengan tetap memperhatikan keputusan hakim, sedangkan dalam Hukum Islam maka telah jatuh talak istri kepada suami.


(2)

1. Untuk pasangna suami isteri harus memahami serta menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing melalui, menyimak ceramah, membaca buku tentang perkawinan.

2. Untuk BP4, KUA dan lembaga-lembaga yang mempunyai peran dalam masalah perkawinan untuk ikut serta dalam mengambil bagian dalam proses penyuluhan, pelatihan, dan pendidikan tentang perkawinan terhadap problema yang kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat.

3. Departemen Agama supaya memasukan penambahan bab pengajaran yang berbasis pada kelangsungan dan kebahagiaan tentang pernikahan pada mata pelajaran ilmu agama islam baik pada tingkat tsanawiyah, aliyah maupun perguruan tinggi.

4. Perlu digalakan nasihat kepada para calon dan pasangan suami istri untuk untuk hidup sakinah, mawaddah, wa rahmah yang diridhoi Allah SWT, melalui majlis ta’lim, pengajian, ceramah dan acara televisi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al–Bukhârî, Muhammad ibn Ismâil Abû 'Abd Allâh, Shahîh Bukhârî, (Beirut: Dâr ibn Katsîr, t.th), juz. 5

Ahmad Ibn Hanbal Abû 'Abd Allâh al–Syaibâni, Musnad al–Imâm Ahmad ibn Hambal, (Kairo: Muassasah al–Qurtubah, t.th.), juz. 3

Ali, Mohammad Daud, Prof. H. S. H. Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, Cet. Ke-2

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqih Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991, Cet. Pertama

Al-Maududi, Abul A'la, & Ahmed, Fazl, Prof., Pedoman Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Darul Ulum Press, 1999, Cet. Ke-1

Al-Naisaburi, Al-Imam Abi Husain Muslim bin Hajjâj Qusairi, Shohih Muslim, tt: Darul Ihya Kitab al-Arabi, t. Th

Al-Qolyubi Syihab al-Din Ahmad Ibn Salamah, Hasyiyatun Qolyubi Umairoh, Beirut: Dar al-Fikr, 2006, Juz. 3

Al-Shabbagh, Mahmud, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991, Cet. Ke-1

Al-Shabuni, Abdurrahman, Qanun Al-Ahwal Askh-Shiyyah, t.t.: Jamiatul Dimaskhqu 1971, Juz 1

Arifin, Bustanul, Prof. Dr, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Gema Insan Press, 1996, Cet. Ke-1

Bagian Tahimiyah Pondok Pesantren Sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat Antara Teori dan Praktek, Sidogiri: Pustaka Sidogiri, t. th

Departemen Agama, UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2004

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, edisi. Ke-3

Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Dan Haji, Modul Pembinaan Keluarga Sakinah, Jakarta: DEPAG, 1995


(4)

Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, Cet. Pertama Djalil, A. Basiq, Drs. H. S.H., MA, Pernikahan Lintas Agama, Jakarta: QALBUN SALIM,

2005, Cet. Ke-1

---, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, Jakarta: QALBUN SALIM, edisi pertama, 2007

Dzuker Z, Hukum Perkawinan Islam dan Relevansinya Dengan Kesadaran Hukum Masyarakat, Jakarta: Dewaruci, 1983, Cet. Ke-1

Firdaweri, Dra, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1989, Cet. Ke-1

Ghazali, Abdurrahman, Fikih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003

Halim, M. Nipan Abdul, Membahagiakan Istri Sejak Malam Pertama, (Yogyakarta: MITRA PUSTAKA, 2000), Cet. Ke-2

Hosen, Ibrahim, Prof. KH., Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah , Thalaq, Ruju dan Hukum Kewarisan, Jakarta: Balai Penerbitan dan Perpustakaan Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971, Jilid ke-1

IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992

Ismuha, Prof. DR., Pencaharian Bersama Suami Istri, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, Cet. Pertama

al-Jaziry, Abdul Rahman, Kitab Fiqh ‘ Ala Mazhabil al-Arba’ah, (Beirut: Daar al-Fikr, 1991), Jild 4

J. Prins, Prof. DR., Tentang Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982

Karim, Helmi, Dr. MA, Kedewasaan Untuk Menikah, dalam Dr. H. Yanggo, T Chuzaimah (ed), Problematika hukum Islam Kontemporer, Jakarta: LSIK, 2002, Buku Kedua Kharafaa, Ala’Eddin, Al-Ahwal Al-Shakhshiyyah, Bagdad: Kharijul Azhar, 1962, Jilid I,

Cet. Ke-2

Mubarok, Ahmad, Prof. Dr. MA., Psikologi Keluarga : Dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, Jakarta : PT. Bina Rena Pariwara, 2005, Cet. 1

Muhktar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet. Ke-2


(5)

Muthahhari, Murthada, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera, 1995

Nakamura, Hisako, Perceraian Orang Jawa, Studi Tentang Pemutusan Perkawinan Dikalangan Orang Islam Jawa Yogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1991 Nasution, Harun dan Effendy, Bahtiar, (ed), Hak Asasi Dalam Islam, Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1987

Nawawi, Rif’at Syauqi, Drs. M. A., Sikap Islam Tentang Poligami dan Monogami, dalam Dr. H. Yanggo, T Chuzaimah (ed), Problematika hukum Islam Kontemporer, Jakarta: LSIK, 2002, Buku Kedua

Prakoso, Djoko, S.H & Murtika, I Ketut, S. H., Asas-Asas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987

Rosyidi, Lili, Drs. SH. LLM., Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Bandung: Alumni, 1982

Sâbiq, Sayyid, Fiqh al–Sunnah, (Beirut: Dâr al–Fikr, t.th.), Jilid. 3

Said, Fuad, H.A, Perceraian Menurut Hukum Islam , Jakarta: Pustaka al-husna, 1994 Sudarsono, Drs. SH., Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991

Syarifuddin, Amir, Prof. DR., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2006

Thalib, Muhammad, 15 Penyebab Perceraian Dan Penanggulangannya, (Jakarta: PT Irsyad Baitus Salam, 1997), Cet. Ke-1

Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1986, Cet. Ke-5

Wahyudin, Yudian, dkk, Keluarga Bahagia Dalam Islam, Yogjakarta: Pustaka Mantik, 1993


(6)