1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konflik Palestina-Israel merupakan konfrontasi dua bangsa yang urung berakhir. Berbagai rekonsiliasi yang kerapkali diselenggarakan untuk mengakhiri
ketegangan antar dua negara tersebut, acapkali berakhir dengan persetujuan semu. Konflik tersebut merupakan puncak gunung es yang berasal dari aliran peristiwa-
peristiwa yang menyertainya. Konflik ini mempunyai daya jelajah yang luas di tataran perdebatan para akademisi dan politisi.
Dalam menelaah konflik skala global ini, tentu tidak bisa mangalihkan perhatian dari Israel sebagai pihak pendatang di tanah Palestina. Ambisi kaum
terpelajar Yahudi untuk mendirikan satu negara Yahudi Raya tertuang dalam hasil Kongres Yahudi perdana di Basel, Swiss, 1897. Theodore Herzl 1860-1904,
yang saat itu menjadi pemimpin Organisasi Zionis Dunia, lewat bukunya “Negara
Yahudi” Der Judenstaat menyerukan untuk pembentukan negara bagi umat Yahudi
1
. Sebenarnya, aktor dibalik konflik kemanusiaan tersebut, tidak hanya
melibatkan dua negara yang bertikai Palestina-Israel, tetapi dibalik kedua negara tersebut, tercatat beberapa negara-negara besar yang ikut serta yang membidani
ataupun turut membantu pecahnya perang yang menelan jutaan nyawa manusia itu. Aktor intelektual yang berdiri dibelakang mereka inilah yang sejatinya
1
R. Garaudy. Zionisme; Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press, 1988, h 21.
memainkan peranan vital yang menciptakan ketegangan di kawasan Timur Tengah.
Sejarah tidak pernah terlepas dari manusia sebagai subyek pelakunya. Para aktor tersebut, kerapkali memainkan peran yang jelas-jelas memihak pada satu
golongan, ada pula yang berposisi seolah-olah sebagai penengah, tetapi ujung- ujungnya memihak pada satu kepentingan, namun ada pula pihak yang terkesan
abai. Faksi-faksi tersebut memiliki beragam kepentingan, mulai dari yang bersifat ideologis, politik, maupun ekonomi.
Jika sudah membicarakan tokoh utama yang ikut membantu pembentukan negara Israel, maka pandangan kita akan tertuju pada Inggris. Negara ini
merupa kan “ayah” dari berdirinya negara kaum Yahudi. Keseriusan Inggris
dalam membidani berdirinya Israel, tertuang dalam deklarasi Balfour tahun 1917. Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour memberikan isyarat kepada seorang
Zionis kaya dan berpengaruh, Lord Rothscild, bahwa Pemerintah Inggris mendukung terbentuknya sebuah homeland bagi Yahudi di Palestina. Dari sinilah
kemudian persoalan bermula dan berlangsung hingga sekarang
2
. Amerika Serikat AS, merupakan salah satu pemain utama dalam
membincangkan konflik tersebut. Posisinya terlihat bias, namun dibalik itu sangat kentara menyiratkan dukungannya kepada Israel. Masalah Israel-Palestina
merupakan pekerjaan pokok yang harus diemban oleh seorang presiden AS
3
. Tentu saja, dalam melayangkan satu sikap terhadap konflik tersebut, AS selalu
menitikberatkan sudut pandangnya kepada Israel. Kedudukan Amerika Serikat
2
Trias Kuncahyono. Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir, Jakarta: Kompas, 2009,hal 160-161.
3
M. Hamdan Basyar ed, Problematika Minoritas Muslim di Israel, Jakarta: Pusat Penelitian Politik-LIPI,2002,hal 79.
sebagai salah satu “polisi internasional” memungkinkan negara ini untuk berperan dalam menentukan upaya penyelesaian konflik menyejarah tersebut.
Riza Sihbudi mengatakan sebenarnya terdapat dua kecenderungan pemerintahan AS dalam melihat permasalahan Palestina-Israel. Pertama, aliran
yang membela apa yang disebut sebagai doktrin “Israel-first”. Kedua, aliran yang menghendaki agar AS bersikap “lebih adil” di Timur Tengah. Namun, sampai
saat ini golongan yang mengaut “Israel first”, lebih mendominasi dalam proses
pembuatan kebijakan di AS. Hal ini disebabkan karena doktrin ini didukung sepenuhnya oleh sebuah aliansi kekuatan politik yang sangat kuat dan yang sangat
kuat dan yang secara efektif mampu memobilisir kepentingan maupun sentimen pro-Israel
4
. Dua negara di atas berperan penting dalam menjaga eksistensi Israel
dimata dunia. Inggris mempunyai andil besar dalam pendiriannya, sedangkan AS yang merupakan salah satu negara adidaya, selalu berdiri di pihak Israel, terutama
ketika sudah bersinggungan dengan negara-negara Arab lainnya, AS akan selalu tampil membela Israel.
Selain kedua negara di atas yang jelas-jelas membela Israel, menarik kiranya jika kita melihat peran PBB Perserikatan Bangsa-bangsa dalam
menciptakan perdamaian di tengah dua bangsa yang bertikai tersebut. Majelis umum PBB dalam beberapa resolusinya sangat keras mengkritik Israel atas
pendudukan tanah palestina. Hal ini bisa disimak dalam resolusi yang diterbitkan pada tanggal 4 Juli 1967 mengenai pencaplokan wilayah Jerusalem yang
mengatakan bahwa langkah-langkah Israel mengenai penganeksasian wilayah-
4
Basyar, Minoritas Muslim Israel,h. 79.
wilayah Arab Jerusalem adalah tidak sah. Dalam resolusi tersebut, PBB menyerukan kepada Israel untuk menghentikan semua langkah yang sudah
diambil dan dengan segera menghentikan setiap tindakan yang akan mengubah status Jerusalem.
Selain itu menaggapi krisis 1967, PBB menerbitkan resolusi nomor 242 pada 22 November 1967 yang menyeru Israel untuk menarik wilayah-wilayah
yang telah diduduki dan penegasan untuk mengakhiri perang. Selain itu, PBB juga menghimbau untuk mengakhiri klaim-klaim sepihak bangsa Israel serta
menjunjung tinggi integritas wilayah dan politik aman di wilayah perbatasan yang diakui, yang bebas dari ancaman maupun pengerahan kekuatan
5
. Masyarakat dunia telah mengakui, peran PBB yang paling utama adalah
menjaga perdamain dan stabilitas di dunia, namun, dalam kaitannya dengan krisis Timur Tengah, PBB seringkali menjadi tukangan bagi kepentingan negara
adidaya, terutama AS. Peran mediatif dalam penyelesaian konflik internasional tersebut, kerapkali ditukangi oleh invisible hand para penguasa dunia.
Badan dunia tersebut seperti menutup mata terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan Israel terhadap warga ArabPalestina baik yang tinggal di dalam
wilayah negara Israel maupun di Gaza dan Tepi Barat. Sejumlah resolusi yang dikeluarkan PBB, seringkali tidak pernah sedikit pun digubris Israel. Hal ini
sangat erat hubungannya dengan harmonisnya kerjasama Israel-AS, yang tentu saja implikasinya berdampak ke kebijakan PBB.
Untuk menghadapi Israel dengan para sekutunya, Palestina pun memilki jejaring kuat dengan negara-negara Arab yang dalam beberapa pertempuran
5
Trias Kuncahyono, Jerusalem, hal 295
menyumbangkan kontribusi yang besar. Di antara negara Arab yang mempunyai jalinan kuat dengan perjuangan rakyat Palestina adalah Mesir.
Mesir sejak era pemerintahan Gamal Abdul Nasser hingga Hosni Mubarok mempunyai posisi yang berpengaruh dalam gugusan perpolitikan Timur-Tengah.
Varian perjuangan Gamal Abdul Nasser yang cenderung sosialis pro-Soviet, sangat berbeda dengan langgam politik Anwar Sadat dan Hosni Mubarok yang
lebih moderat dan terkesan mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan silang sengketa perebutan wilayah Palestina
Gamal Abdul Nasser mempunyai cita politik konfrontatif dalam menghadapi Israel. Kesungguhan Nasser dalam memperjuangkan nasib bangsa
Palestina dibuktikan ketika Perang Terusan Suez. Sembilan tahun setelah memenangkan pertempuran pertama melawan pasukan Palestina dan Arab, Israel
bekerjasama dengan Perancis dan Inggris untuk mengalahkan pasukan Mesir dalam perang Suez Oktober-November 1956, yang berakhir dengan pendudukan
tentara Israel atas Sinai dan Gaza. Salah satu alasan terjadinya perang ini adalah nasionalisasi Terusan Suez 26 juli 1959 oleh Revolusi Opsir Bebas yang
berlangsung selama empat tahun, dan meruntuhkan monarki di Mesir. Tokoh utama revolusi di Mesir ini adalah Gamal Abdel Nasser, yang
menjadi Presiden Mesir pada 1954 dan yang kemudian menjadi pemimpin nasionalisme Arab modern hingga kematiannya pada 1970. Ironisnya, kekalahan
militer Nasser pada perang 1956 justru memperkuat kedudukannya secara politis dan moral karena tentara pendudukan Israel diperintahkan oleh PBB untuk
meninggalkan Sinai, terutama berkat peran aktif AS dan Uni Soviet. Karena Dunia Arab mengungkapkan solidaritas yang kuat dengan Mesir, Nasser
memanfaatkan krisis ini untuk menghimpun bangsa Arab dan dunia Muslim dalam perjuangannya menentang imperialisme dan Zionisme.
Berbeda dengan Nasser, Anwar Sadat mempunyai kebijakan yang lebih terbuka dalam menangani krisis Timur Tengah. Kunjungannya ke Israel pada
1977, menandakan suatu era baru prospek perdamaian antara Palestina dan Israel. Dalam Knesset parlemen Israel menyerukan untuk senantiasa menggunakan
cara-cara yang lebih teduh dalam menciptakan kekondusifan antara bangsa Arab dan bangsa Yahudi.
Komitmen perdamaian Sadat dikristalisasikan lewat ikut sertanya Mesir dalam perundingan Camp David tahun 17 September 1978, dimana dua pihak
yang sebelumnya terlibat konflik Mesir-Israel ditambah AS sebagai mediatornya,
menandatangai sejumlah
naskah. Naskah
perjanjian itu
ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin, disaksikan oleh Presiden AS Jimmy Carter. Ada dua naskah
lagi yang ditandatangani dalam perjanjian itu, yakni A Framework for Peace in The Middle East dan A Framework for the Conclusion of a Peace Treaty between
Egypt and Israel. Sebagai bagian dari perjanjian itu Israel menarik mundur pasukannya dari Gurun Sinai secara bertahap dan menyerahkan seluruh wilayah
yang direbut dalam perang tahun 1767 itu kepada Mesir pada tanggal 25 April 1982.
Selain Mesir, Organisasi Konferensi IslamOKI dan Liga Arab yang merupakan wadah solidaritas negara-negara Arab, juga turut serta dalam membela
penderitaan rakyat Palestina. Terbentuknya OKI pada 1971 sendiri, merupakan respon atas terjadinya konflik Arab-Israel, khususnya perang 1967 yang
mengakibatkan jatuhnya Al-Quds, Jerusalem ke tangan Israel. Komite Al-Quds menjadi salah satu organ penting di tubuh OKI.
Begitu pula halnya dengan Liga Arab. Organisasi yang dibentuk pada 22 Maret 1945 ini, menolak pembentukan negara Israel. Namun, sejak 1989, sikap ini
mulai berubah. Perubahan ini antara lain disebabkan karena diterimanya kembali Mesir-yang sempat dikeluarkan karena berdamai dengan Israel-ke dalam Liga
Arab; serta kembalinya Mesir dalam memainkan peranan yang penting di dunia Arab. Di samping itu juga karena terjadinya peta politik dunia internasional, yaitu
dengan runtuhnya Uni Soviet yang berakibat pada lemahnya posisi negara-negara Arab “garis keras” di satu sisi, dan menguatmya negara-negara Arab “moderat”
pro-Barat di sisi lain
6
. Menurut Samuel P Huntington, dalam bukunya The Clash of Civilization
and The Remaking of The World Order, dalam tubuh negara-negara Arab sendiri, terdapat berbagai macam faksi yang kontra-akomodatif. Mesir mendominasi
kebijakan Liga Arab. Arab Saudi yang berseberangan dengan Mesir, menggunakan posisi strategisnya di OKI demi memuaskan hasrat berpolitiknya.
Bahkan, muncul organisasi Arab baru yang bernama Popular Arab and Islamic Conference PAIC, yang didirikan oleh pemimpin Sudan, Hasan Turabi.
7
Hal tersebut, semakin membalkanisasi kekuatan Arab yang sejatinya dapat
dipersatukan, utamanya dalam menghadapi gempuran kebijakan Barat pro-Israel. Selain melihat peran negara-negara besar barat, Mesir, dan organisasi
regional Arab, kurang lengkap kiranya jika tidak melihat kontribusi organisasi domestik perjuangan Palestina sendiri. Dari sekian banyak perkumpulan, serikat,
6
Basyar, Minoritas Muslim Israel, h 84.
7
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and The Remaking of The World Order New York; Touchstone, 1997, h. 180.
dan komite pembebasan Palestina, terdapat dua nama yang menjadi “garda terdepan” , yakni PLO dan HAMAS.
PLO Palestine Liberation Organization adalah organisasi gabungan dari beberapa faksi perjuangan rakyat Paletina. Pada umumnya, organisasi yang
tergabung di bawah payung PLO, adalah mereka yang berhaluan nasionalis, sosialis, bahkan komunis. Fatah yang didirikan oleh Yasser Arafat merupakan
organisasi yang paling dominan dalam tubuh PLO. Dalam piagamnya disebutkan bahwa PLO menghendaki bangsa Palestina menentukan sendiri nasibnya, tidak
oleh bangsa lain seperti sebelumnya. Inilah yang menjadi tujuan didirikannya PLO. Sekalipun piagam tersebut baru dirumuskan pada tahun 1968 setelah PLO
secara resmi memegang kendali atas Palestina dari tangan bangsa Arab
8
. Dalam melancarkan perjuangan pembebasan rakyat Palestina dari
dominasi Israel, PLO lebih mengedepankan cara-cara yang diplomatis. Kebijakan- kebijakan yang mereka tetapkan kerapkali berseberangan dengan sebagian
golongan lain, terutama dari kalangan yang metode perjuangannya menerapkan jihad fisik melawan Yahudi. Sebagian kaum muslim menganggap, pola
perjuangan PLO mengarah pada sikap-sikap yang longgar terhadap Isarel. Faktor inilah yang menyebabkan beberapa organisasi perjuangan lainnya lebih memilih
jalur bawah tanah dan menyatakan perang langsung kepada Israe
9
l. Salah satu organisasi yang paling berpengaruh dalam melancarkan aksi
bawah tanahnya, adalah HAMAS. Sebelum tahun 1987, organisasi ini merupakan Ikhwanul Muslimin sayap Palestina. Berbeda dengan PLO yang mengutamakan
cara-cara kooperatif dengan Israel, HAMAS lebih memilih jalur peperangan
8
Tiar Anwar Bachtiar,Hamas; Kenapa Dibenci Israel,Bandung: Hikmah, 2009, h. 67.
9
Tiar, Hamas..,h.69
melawan Israel. Walaupun senjata mereka sangat minim, tidak lantas mengendurkan semangat para laskar HAMAS, bahkan tidak jarang mereka
melempari tentara Israel yang mempunyai senjata lengkap dengan batu-batu kerikil.
Konflik yang menjadi pusat bara di Timur Tengah ini, menuai banyak pendapat yang beragam di kalangan para pemerhati, akademisi, dan intelektual
baik dalam negeri maupun luar negeri. Salah satu intelektual Muslim yang banyak mengikuti perkembangan ketegangan di kawasan Palestina ini adalah
Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid, atau akrab disapa Gus Dur ini, memiliki pandangan
tersendiri yang cenderung banyak berbeda atau malah, sebagian orang menganggapnya “menyimpang” dari banyak pengamat Timur Tengah yang
cenderung membela Palestina atas dasar sama rasa dalam satu keyakinan dan mengutuk keras tindakan intimidatif Israel yang menjajah tanah Palestina.
Gus Dur melihat, konflik Palestina-Israel merupakan permukaan dari konflik perang perebutan pengaruh negara-negara adidaya dunia. Pada mulanya,
sengketa yang terjadi adalah perbenturan kepentingan antara berbagai pihak, yaitu antara Inggris, Perancis, dan Uni Soviet segera setelah usainya Perang Dunia I.
Inggris yang mencoba menancapkan dominasi atas Palestina harus rela berbagi ruang dengan aspirasi bangsa Yahudi yang mempunyai cita-cita untuk
menjadikan Palestina sebagai tempat tinggal mereka. Belum lagi ambisi Uni Soviet yang secara bertahap ingin mengkudeta Inggris dari kawasan Timur
Tengah
10
.
10
Abdurrahman Wahid. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta. LKis. 2010. h. 132.
Bagi Gus Dur, yang paling penting dalam proses perdamaian di Timur Tengah adalah kesatuan tekad untuk sama-sama membangun kehidupan bernegara
dan kemanusiaan yang berdiri kokoh dengan keadilan sebagai pilar penyanggahnya. Wahid tidak begitu saja mendukung Palestina, atas dasar
kesamaan keyakinan, begitu pula dengan Israel, putra pahlawan nasional K.H. Abdul Wahid Hasyim ini, juga mempunyai catatan tersendiri.
Dalam salah satu tulisannya, Gus Dur menyeru kepada pemimpin Palestina-Israel, untuk berdamai dengan kesungguhan yang tinggi. Jangan sampai
publik internasional kembali dikecewakan dengan prosesi pseudo-rekonsiliasi yang ujung-ujungnya kembali menelan korban.
11
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah