111
BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID
TERHADAP KONFLIK PALESTINA-ISRAEL
A. Abdurrahman Wahid dan Yahudi
Melihat perjalanan hubungan Gus Dur dan Yahudi di atas, dapatlah kita mengambil suatu benang merah bahwa Gus Dur begitu kooperatif terhadap Israel.
Hal ini merupakan satu terobosan baru bagi terciptanya perdamaian hakiki di Timur Tengah. Kendati terkesan melabrak adat, karena dunia Islam terlanjur
menstigmatisasi Israel sebagai penjajah tanah Palestina. Selain itu, Gus Dur mempunyai agenda yang lebih besar, yakni sebagai
upaya mencari format yang lain, namun lebih menjanjikan bagi pengentasan penderitaan bangsa Palestina. jika hanya menggunakan mata telanjang atau tanpa
meneliti secara lebih dalam dan holistik, maka yang hadir di pengindraan para pengamat akan mengerucut pada pandangan “Gus Dur mendukung Israel.”
Sebenarnya, Gus Dur pun seorang tokoh yang tidak menyetujui tindakan konfrontatif Israel atas Palestina. hanya saja Gus Dur terkesan lebih mawas diri.
artinya ada semacam lompatan ekstase ide dalam ruang pemikiran Gus Dur. dengan cover menjalin kerjasama bilateral dengan Israel, akan membuka pintu
lebih lebar guna mendekati baik dalam tataran aksi maupun batin untuk dapat mempengaruhi kebijakan Israel atas Palestina.
Tidak bisa dipungkiri, instalisasi nilai-nilai pluralisme yang bersarang dalam pemikiran Gus Dur menjadi semacam perkakas tambahan guna
memantapkan langkahnya berjabat tangan dengan pihak Tel Aviv. Seperti yang
telah dipaparkan di atas. Pluralisme, yang menawarkan satu outlook mengakui realitas liyan, menjadi faktor pendorong kuat Gus Dur untuk menginisiasi
pengadaan satu agenda yang menguntungkan tidak saja bagi umat Islam Palestina, namun juga bagi berdirinya republik perdamaian yang menaungi ruang publik
dunia. Israel, disadari Gus Dur, merupakan satu negara yang mempunyai
pengaruh yang besar dalam peta ekonomi dunia. Selain sebagai sarana memperjuangkan kepentingan rakyat Palestina, hubungan diplomatik dengan
Israel, dipandangnya dapat menjadi preseden bagi fajar baru rekonstruksi ekonomi dalam negeri. Namun, pendapat seperti ini agaknya terlalu dini dibicarakan.
Untuk menambal lubang besar kerusakan ekonomi, sebenarnya, Gus Dur juga mempunyai kesempatan yang tak kalah gemilangnya dengan menjalin
hubungan dagang dengan Israel, yakni dengan melirik negara-negara lain yang mempunyai sayap-sayap ekonomi yang tak kalah kuat ketimbang Israel, seperti
China misalnya. Gus Dur mempunyai kans yang cukup besar jika dapat memanfaatkan
kedekatan yang padu dengan China. Kedekatan Gus Dur dengan komunitas Tionghoa, dapat menjadi modal dasar membangun hubungan ekonomi maupun
politik yang tak kalah besar dengan menjalin kerjasama dengan Israel. Jika Israel mempunyai jejaring ekonomi-politik yang begitu kuat di Eropa dan AS, maka
China pun demikian, mempunyai kapasitas tersendiri yang dalam beberapa hal sejajar dengan Israel.
Namun, yang lebih penting dari itu, dapat meredam amarah umat Islam tanah air. Bagaimanapun, harus ada common sense yang harus dipahami oleh Gus
Dur dari gesture muslim tanah air yang masih sinis terhadap Israel, sekalipun hubungan yang akan terjalin dapat menimbulkan suatu manfaat nantinya. Dengan
demikian kontroversi yang meresahkan umat Islam tanah air tidak harus terjadi. Namun, jika ditarik ke ranah yang lebih luas, keinginan kuat Gus Dur
untuk menjalin hubungan dengan Israel dengan tujuan akhir melepaskan cengkeraman negara Yahudi itu dari tanah Palestina, tentu merupakan langkah
yang patut diapresiasi. Hal ini mengingat, kekurangefektifan memperjuangkan kemerdekaan Palestina melalui jalur senjata. Sedangkan melalui meja
perundingan masih saja berbuntut lubernya kesepakatan perdamaian yang sebelumnya sempat disetujui oleh kedua belah pihak.
Mau tidak mau, strategi menuntaskan masalah Timur Tengah ini, harus diformat ulang dan disesuaikan relevansinya. Israel bagaimanapun, merupakan
negara kuat yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika jalur militer urung berhasil, maka jalan kultural, yakni dengan memanfaatkan kedekatan dengan
pemerintah Israel, dipandang Gus Dur merupakan sesuatu yang solutif, kendati Mesir era Anwar Sadat gagal melakukan hal tersebut.
Bergabungnya Gus Dur dengan organisasi Simon Peres pada tanggal 7 Maret 1997
1
, dapat dikatakan sebagai langkah keseriusan awal Gus Dur dalam upayanya menciptakan rekonsiliasi Palestina-Israel. Simon Peres adalah seorang
tokoh Israel, yang mempunyai pemikiran lebih moderat ketimbang kolega- koleganya dari partai Likud yang cenderung menghalalkan segala cara
mengenyahkan Palestina.
1
Fahri Hamza, ed., Inilah Satu Dekade Kontroversi: Tabel-Tabel Kontroversi Abdurrahman Wahid Periode 1991-2000, Jakarta: YFIS Press, 2000, h. 25
Peres merupakan sosok yang dapat diterima oleh bangsa Arab karena pandangannya yang lebih solutif guna menghentikkan pertikaian antara dua
bangsa Ibrahim tersebut
2
. saat itu, Peres sendiri yang menyeleksi para tokoh-tokoh dunia yang mempunyai komitmen tinggi dalam menciptakan iklim perdamaian di
dunia. Gus Dur dinilai Peres sebagai sosok yang gandrung akan cita-cita perdamaian melalui jalur agama
3
. oleh sebab itu, kontribusi Gus Dur sangat dibutuhkan di yayasan tersebut. Terlihat persamaan yang kentara terkait ide
pengentasan konflik Palestina dan Israel antara Peres dan Gus Dur, keduanya memandang suatu persamaan baik hak dan kewajiban bagi bangsa Yahudi dan
Arab Palestina. Artinya, harus ada kerelaan dari kedua belah pihak untuk hidup
berdampingan. Bangsa Israel, sebagaimana telah disinggung di bab I, merupakan bangsa yang dikucilkan oleh sejarah. Maka wajar apabila mereka memendam rasa
rindu akan hadirnya tempat mukim bagi dirinya. Yang menjadi satu hal yang menarik, mereka tetap memelihara cita-cita tersebut selama berabad-abad.
Selain itu, perlu juga dicatat, bangsa Yahudi adalah bangsa yang mempunyai pengaruh besar di mata dunia. Beberapa dari mereka- untuk tidak
mengatakan semua- terkenal sebagai penggerak-penggerak roda sejarah. Selain itu, lobi-lobi mereka begitu menggurita di negara-negara adidaya, seperti AS
4
. Kalimat ini, bukanlah berarti menunjukkan inferioritas umat Islam, tetapi sebagai
pelajaran bahwa dalam “melemahkan” kekuatan Israel, harus menggunakan metode dan cara yang benar-benar efektif. Salah satu cara yang ditawarkan Gus
Dur adalah dengan merangkul mereka, merubah paradigma lawan menjadi kawan.
2
Reza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah ……, h 32.
3
Nawawi A. Manan, Membangun Demokrasi….,h. 166.
4
Nawawi A. Manan, Membangun Demo krasi….., h. 175.
Pemikiran demikian, walaupun menurut Gus Dur dipandang cukup solutif, tetapi juga berpotensi menyulut protes keras di dunia Islam, khususnya di tanah
air. Bagaimanapun, sampai sekarang, Israel tetap dianggap sebagai musuh Islam, karena secara rill, mereka telah melakukan tindakan represif terhadap bangsa
Palestina. Terbukti, hampir setiap opini maupun aksi Gus Dur terkait dengan
pandangannya yang dianggap pro-Israel, mengundang kritikan yang tajam. Umat Islam secara keseluruhan, agaknya masih belum mau membuka pintu untuk
menerima Israel. Ketika Gus Dur melakukan lawatannya ke Israel, beberapa tokoh Islam menilai, kunjungannya tersebut merupakan sesuatu yang tidak perlu dan
dipadang „membahayakan‟ . umumnya, mereka yang mengkritik keras Gus Dur, adalah mereka yang sangat kontra dengan segala hal terkait Israel.
Amin Rais, yang saat itu menjabat sebagai ketua PP Muhammadiyah, sangat menyayangkan kunjungan Gus Dur ke Israel. Menurutnya, “…umat Islam
Indonesia tidak akan rela jika tokoh-tokoh panutannya menjalin hubungan dengan Israel. Posisi negeri ini, sebagai negara mayoritas muslim, menjadi
taruhannya….”
5
Dunia Islam, dapat saja berpadangan Indonesia mulai me- reposisi dukungannya yang tadinya dialamatkan bagi Palestina, kini pindah ke
Israel. Jadi, dengan menimbang kondisi tersebut, dikhawatirkan dapat
mengundang resiko yang lebih besar. Merupakan sesuatu yang menggelikan, lanjut Amin Rais, “…Indonesia yang pernah menderita akibat dijajah, malah
mendukung negara yang menjajah bangsa lain….”
6
5
Mahfudz, “Mencari Damai yang Dimusuhi; Catatan Perjalanan ke Israel,” h. 27 dan 28.
6
Ibid. h 27 dan 28
Namun demikian, Gus Dur tetap optimis, kendati Knesset kerapkali di kuasai oleh golongan ultra-keras yang menghendaki pencaplokan wilayah
Palestina, namun mereka yang berpikiran terbuka seperti Simon Peres dan Yitzhak Rabin, tentu tidaklah surut. Banyak dari anggota parlemen Israel yang
menurut Gus Dur “berpikiran waras” yang tetap mengedepankan perjuangan menahan laju politik garis keras Israel dan menghadirkan kedaulatan bagi bangsa
Palestina
7
. Bagaimanapun, yang tersaji di Indonesia, terkait hal ihwal tentang Israel,
adalah negara penindas yang memasung kebebasan berbangsa dan bernegara warga Palestina. pada poin tersebut, tidak ada lagi perhatian mengenai golongan
moderat maupun garis keras dalam tubuh parlemen Israel, semuanya sederajat dan sama saja. hal inilah yang menjadi „jalan terjal‟ bagi Gus Dur untuk
mengejawantahkan ideanya.
B. Abdurrahman Wahid dan Palestina