dengan empati. Hal ini tidak lepas dari peran dirinya yang merupakan “orang dalam” dan mencicipi asam garam dunia kaum sarungan itu.
12
E. Karir Abdurrahman Wahid
Membaca kisah Gus Dur, tidak bisa terlepas dari organisasi yang membesarkan namanya, NU. Organisasi tersebut, bisa dikatakan, adalah
kendaraan Gus Dur yang mengantarkannya dari seorang cendekiawan lokal menjadi seorang dengan reputasi yang sangat diperhitungkan. Awal keikutsertaan
Gus Dur dalam organisasi massa terbesar di dunia initak terlepas dari faktor keluarga yang memberikan dorongan awal untuk mengembangkan organisasi ini.
Terdapat dua orang yang begitu bersemangat mengajak Gus Dur untuk masuk kedalam struktur NU. Yang pertama, adalah ibunya, orang yang paling
dicintai. Ibu Gus Dur begitu mengharapkan puteranya tersebut, mampu melanjutkan perjuangan kakek dan bapaknya lewat NU. Jauh-jauh hari ibunya
menginginkan Gus Dur untuk bisa memperjuangkan eksistensi organisasi bersimbol bola dunia dengan Sembilan bintang ini, bahkan sebelum Gus Dur
“menjadi orang”, tepatnya sebelum ia berangkat ke Timur Tengah. sosok kedua yang begitu gigih menyuruh Gus Dur untuk ikut serta dalam bahtera NU adalah
kakeknya, Kiai Haji Bisri Syansuri. Ulama yang merupakan salah satu pendiri NU selain Kiai Haji
Hasim Asy‟ari. Tidak hanya memerintahkan Gus Dur sekali untuk masuk NU, namun sampai ketiga kali Gus Dur belum beranjak untuk hijrah
ke struktural NU.
12
Umaruddin Masdar, Gus Dur: Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis
–Keagamaan, Yogyakarta: KLIK R, 2005, h. 92-94.
Mendengar berita kakeknya telah menyuruh Gus Dur masuk NU, namun kurang mendapatkan jawaban yang semestinya, ibunya begitu prihatin. Untuk
yang kesekian kalinya, ibunya meminta kepada Gus Dur untuk menuruti apa yang dititahkan oleh kakeknya. Ibunya mengingatkan salah satu sikap kakeknya adalah
pantang untuk mengulang satu perintah untuk keduakalinya, apalagi seterusnya. Menyadari hal tersebut, mulailah pria yang berkaca mata tebal sejak muda belia
ini putar otak. Awalnya, Gus Dur bersikukuh untuk tidak mau bergabung ke NU secara struktural. Ia beranggapan, dalam memperjuangkan umat muslim tidak
harus ikut ke NU, justru ia mempunyai rencana sebaliknya, berkiprah diluar NU. Akhirnya, ia memutuskan untuk bergabung ke dalam NU. Ia berharap
keikutsertaannya di NU dapat memberikan warna baru bagi perjuangan organisasi ini. Banyak orang yang bertanya, karir Gus Dur begitu melejit di NU karena
mewarisi darah kealiman bapak dan kakeknya. Menurut pendapat Gus Dur, hal itu adalah sepele dan bukan merupakan prioritas. Memang, bisa dibilang, faktor
keturunan- walaupun Gus Dur menampik hal itu- menempatkan dirinya dalam kedudukan terhormat dan orang pun banyak berharap darinya. Akan tetapi, bukti
loyalitas untuk memajukan organisasi adalah hal yang dapat mengalahkan fenomena trah-isme.
Di NU, Gus Dur menempati jabatan Dewan Syuriah Nasonal bersama kakeknya. Kala itu, Kiai Bisri Syansuri menjari ketua Dewan Syariah Rais Aam.
Dari posisiya itu, Gus Dur mulai dapat meraba kekurangan –kekurangan yang
dipandangnya harus segera diperbaiki. Hal ini semakin memperkokoh eksistensinya sebagai pemimpin muda yang visioner.
Selain itu, Gus Dur bersama Nurcholis Madjid, Djohan Effendi dikenal sebagai tokoh yang mengumadangkan paham neomodernisme Islam. Paham ini
pada hakikatnya merupakan kolaborasi dari pengetahuan khazanah klasik Islam dan pengetahuan barat modern. Terkadang beberapa kalangan menyangsikan
apakah unsur pengetahuan Islam dapat bersintesa dengan pandangan Barat yang cenderung sekuler. namun keraguan ini sebenarnya sudah mendapat jawaban dari
tubuh pengetahuan klasik Islam sendiri. Terdapat sebuah diktum yang sangat akrab di telinga kalangan kaum
sarungan yang berbunyi al- muhafdzah „ala qadiim ash-shaalih wa al-akhdzu bi
al-jadiid al-ashlah. Karena ilmu pengetahuan kerapkali berubah dan dinamis, segala macam ilmu, termasuk agama, membutuhkan semacam pembaruan guna
mengangkat harkat dan martabat agama sendiri, agar lebih inklusif dan solutif memandang setiap perubahan di tengan masyarakat.
1. Juru kampanye PPP
Menjelang tahun 1982, merupakan saat-saat yang menyibukkan bagi Gus Dur dalam tubuh NU. Gus Dur bekerjasama dengan Kiai Haji Ahmad Siddiq,
seorang kiai senior yang mempunyai semangat pembaharu. Walaupun antara Kiai Ahmad Siddiq dan Gus Dur terpaut usia 24 tahun, namun keduanya tetap terlihat
akrab, bak ayah dan anak, tidak ada rasa sungkan bagi Gus Dur dalam mengutarakan pendapatnya kepada Kiai Haji Ahmad Siddiq. Keduanya
mempunyai pendapat yang sama, tentang perlunya sebuah ijtihad dalam Alquran dan hadis. Kiai Haji Ahmad Siddiq, layaknya Gus Dur, adalah seorang pemuka
agama yang mampu menerjemahkan ide-ide modern ke dalam bahasa Islam tradisional guna meyakinkan para kiai yang lebih sepuh dan bagi kalangan yang
condong ke arah konservatif.
Sebelum Pemilu 1982, yang dilangsungkan pada bulan Mei, perhatian Gus Dur tersita oleh kegiatan kampanye yang dilakukan oleh PPP. Sebenarnya, ia
tidak terlalu suka terjun secara langsung kedalam kegiatan partai ini, namun setelah dipikirnya masak-masak, barulah ia tersadar. Untuk mengalahkan partai
pemerintah Golkar yang saat itu sedang menghegemoni, maka kerja keras guna mensukseskan elemen-elemen partai oposisi merupakan hal yang logis.
Sebelum Pemilu 1982, keadaan warga nahdhliyin di pentas internal partai PPP, sangatlah memprihatinkan. Presiden Soeharto memrintahkan kepada Jaelani
Naro, ketua PPP kala itu, untuk mengebiri perwakilan NU di kursi parlemen. Politikus NU dinilai terlalu vokal terhadap pemerintah. Dengan cara dimutasi ke
posisi yang kurang strategis dalam tubuh partai, diharapkan suara kritis mereka tidak terdengar lagi. Hal seperti inilah yang menjadi faktor pemantik kuat Gus Dur
mulai terjun ke konstelasi perpolitikan nasional. Perubahan tidak dapat dilakukan di luar sistem. Laiknya NU, merubah sesuatu haruslah dengan menggabungkan
diri ke sistem.
2. NU Menerima Pacasila
Gus Dur dan Kiai Haji Ahmad Siddiq, seorang tokoh kiai yang mempunyai pandangan inklusif di tubuh NU mempunyai outlook yang sama
dalam mencermati asas tunggal Pancasila. mereka terlibat dalam pembicaraan- pembicaraan serius guna mencari sintesa antara garis perjuangan NU dan
Pancasila. Sebelumnya, kewajiaban mengusung asas tunggal sebagai dasar organisasi keagamaan, telah disampaikan Presiden Soeharto pada awal tahun
1983. Gus Dur sendiri mendapatkan kabar tersebut dari Benny Murdani, seorang perwira militer yang merupakan tangan kanan Soeharto, yang menyatakan bagi
organisasi agama yang tidak menyetujui Pacasila sebagai common platform, maka kelak akan menghadapi represifitas dari penguasa.
Sebenarnya, telah lama Gus Dur mempunyai pandangan pentingnya internalisasi Pancasila sebagai ideologi dasar hubungan agama atau negara.
Bagaimanapun, harus ada pemisahan yang jelas antara hukum kenegaraan dan postulat agama. kedua entitas tersebut, tidak bisa begitu saja disatukan, mengingat
akan terjadi kecemburuan sosial antar-pemeluk beragama. Hal ini, juga merupakan bentuk apresiasi terhadap minoritas non-muslim
yang sejatinya merupakan warga negara yang membutuhkan perhatian dari negara. Bagi Gus Dur, lebih baik bagi negara untuk menjauhi terma-terma
keagamaan. Melalui Pancasila, maka kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapatkan payung hukum yang memadai dan yang terpenting, perlindungan
dari negara. Pancasila merupakan solusi bagai terciptanya iklim filantropis dalam heterogenitas.
Guna menanggapi himbauan Presiden di Riau, Gus Dur mendatangi Kiai Ali Ma‟shum yang kala itu menjabat Rais Aam, untuk segera membentuk komite
yang membicarakan posisi NU dan Pancasila. Setelah itu, terbentuklah komite khusus yang menangani hal tersebut. Komite ini di ketuai oleh Kiai Haji Ahmad
Siddiq, sedangkan Gus Dur sebagai sekretarisnya. Selama lima bulan lebih, mereka menyusuri Alquran, hadis, dan kitab-kitab klasik guna mendapatkan
sandaran hukum yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap masalah ini. Pencarian itu berakhir dengan menghasilkan satu rumusan yang berbunyi: “ Islam
bersifat pluralistik dan karena itu pelaksanaan ajaran Islam harus bersifat pluralistik, dan hal ini sesuai dengan tradisi NU.” Tim ini berusaha semaksimal
mungkin guna menghindari asumsi publik yang mengaggap penerimaan Pancasila hanya karena ingin menyeragamkan diri dengan pemerintah.
Selain itu, hal lain yang diperjuangkan oleh Tim 24, adalah bahwa NU harus menarik diri dari politik praktis. Mereka beranggapan, NU kala itu terlalu
memperhatikan kepentingan politik semata, dan meninggalkan peran hakikinya sebagai organisasi yang mengawal bidang pendidikan dan kegiatan keagamaan.
Mereka menganjurkan untuk kembali ke khittah NU 1926 yang menyatakan NU adalah organisasi sosial keagamaan. Beberapa kalangan NU ada yang tidak
memperhatikan seruan tersebut, terutama yang masih bergelut dengan konstelasi politik nasional.
Selain itu, hal lain yang menjadi landasan kuat akan pentingnya NU memblokade diri dari dunia politik, adalah karena suara NU yang tergabung
dalam PPP sudah banyak dipangkas. Hal tersebut diperparah dengan intervensi presiden melalui Jaelani Naro guna mempersempit langkah NU di perleman.
Dalam hal ini, Gus Dur sepakat dengan pendapat Cak Nur yang mengatakan “Islam Yes, Partai Islam No ”. mereka juga percaya hubungan organisasi
kemasyarakatan macam NU dengan dunia perpolitikan, lambat laun akan menghadirkan satu ketegangan yang justru akan menyebabkan blunder bagi NU
sendiri. Usulan Tim Tujuh mengenai penerimaan asas tunggal akhirnya disepakati
dalam Musyawarah Nasional Munas NU di Situbondo. Munas tersebut diselenggarakan tepatnya di pesantren milik Kiai Haji
As‟ad Syamsul Arifin. Munas sendiri, laiknya Muktamar, biasanya diselenggarakan setiap lima tahun
sekali, hanya saja kedudukannya terletak di bawah Muktamar karena hanya
dihadiri oleh ulama dari berbagai dewan agama dan seluruh cabang NU dan bukan merupakan pengurus organisasi. Namun demikian, biasanya Munas dianggap
sebagai pertemuan yang diadakan sebagai persiapan untuk Muktamar yang lebih besar
Perjuangan para pembaharu muda NU menuai hasil yang semakin memuaskan. Para peserta Muktamar 1984 yang juga diadakan di pesantren milik
kiai As‟ad Syamsul Arifin, selain menyetujui asas tunggal Pancasila sebagai landasan organisasi juga sepakat untuk menarik NU dari kancah perpolitikan
nasional. Pada muktamar ini, Gus Dur berhasil terpilih sebagai ketua Tanfidziah, sedangkan Kiai Ahmad Siddiq dipercaya menjadi Rais Aam.
3. Gus Dur di puncak NU
Terpilihnya Gus Dur dan Kiai Haji Ahmad Siddiq menerbitkan fajar baru kebangkitan NU. Tugas yang mereka emban bisa dikatakan sangat berat, yakni
bagaimana merevitalisasi perjuangan NU yang sebelumnya sering dibawa ke ring poitik. Mereka saling bahu membahu untuk sebisa mungkin mereposisi NU sesuai
dengan cita-cita awal para pendahulunya yakni sebagai organisasi yang concern terhadap kebutuhan pendidikan dan pengajaran agama masyarakat akar rumput.
Pada bulan Januari 1985, setelah terpilihnya Gus Dur sebagai pemimpin baru NU, Soeharto memberikan lampu hijau bahwa dirinya mendukung Gus Dur
dengan menjadikannya sebagai “Ideolog Pancasila”, yag dikenal dengan sebutan Manggala Nasional. Dengan kata lain, Gus Dur diangkat sebagai anggota badan
nasional yang bertugas untuk memformulasikan kedudukan Pancasila dalam negara dan pendidikan pancasila bagi tunas bangsa.
Selain itu, hubungan NU yang harmonis dengan pemerintah dilengkapi lagi dengan terjalinnya persahabatan dengan ABRI. ABRI, yang bisa dikatakan
sebagai rezim berkuasa, sebenarnya bersikap hati-hati dalam bergaul dengan kalangan Islam. Hal tersebut muncul karena kekhawatiran pihak militer terhadap
kemunculan kaum ekstrimis Islam yang kerapkali menjadi otak timbulnya kerusuhan. Kedekatan ini bagi Gus Dur amatlah penting, selain sebagai alat untuk
mempengaruhi kebijakan militer lewat hubungannya yang semakin akrab dengan Benny Murdani, juga sebagai test case menaik-turunkan kadar protes terhadap
pemerintah tanpa menimbulkan amarah penguasa. Walaupun saat itu Gus Dur dekat dengan Soeharto, namun tidak lantas
membuat jiwa kritisnya luntur. Jika melihat ada ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah, maka disitulah corong kritik Gus Dur bersuara. Seperti dalam
kontroversi proyek Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Selain itu, sejak masa Orde baru, Gus Dur juga sudah intens membela minoritas etnis dan agama
di Indonesia. Walaupun terkadang tajam, namun Gus Dur juga tetap pandai menempatkan diri dan sebelum mengkritik, Gus Dur juga mendahuluinya dengan
berpikir dan memilih jalan yang tidak menimbulkan kegoncangan yang berpotensi merusak hubungan NU-pemerintah. Soeharto pun, dalam beberapa kesempatan,
menyambut baik kriitik Gus Dur. Menjelang Pemilu 1987, manuver kritik Gus Dur semakin tajam
menyerang politisi-politisi PPP yang banyak didominasi oleh kalangan modernisasi. Menanggapi hal tersebut, kiai-kiai NU konservatif mulai
melontarkan ketidaksenangannya dengan mengungkit-ungkit permasalahan keluarnya NU dari PPP. Yang terjadi justru diluar harapan para kiai itu, Gus Dur
lebih lekat dengan pihak Cendana. Terbukti, ia dilantik menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Sebenarnya, hal ini hanyalah sebuah simbol belaka, oleh karena
MPR hanya sidang lima tahun sekali. Namun, hal inilah yang menjadi perdebatan yang hangat dalam tubuh NU.
Pada Muktamar NU 1989 dilaksanakan di pesantren Krapyak, yang dibubuhi berbagai macam intrik-intrik politik kelas kakap, Gus Dur kembali
dipilih sebagai ketua PBNU. Boleh dikatakan, pada muktamar ini, terjadi “perang bintang” antara Gus Dur sebagai yang tertuduh menghadapi kritikan tajam dari
pemerintah dan kiai-kiai konservatif NU. Muktamar kala itu, dihadiri oleh presiden dan beberapa pejabat negara seperti Menteri Dalam Negeri, Rudini;
Sekretaris Negara, Moerdiono; Menteri Pertahanan, Benny Murdani; Panglima ABRI, Try Soetrisno. Beberapa dari mereka menyampaikan pidato panjang yang
dipenuhi oleh retorika dalam usaha mengambil hati para hadirin. Namun, banyak dari pemuda NU yang mencemooh tindakan tersebut dengan perkataan “ini bukan
khotbah jumat”. Mereka berhasil mengendus dari derasnya kalimat-kalimat yang mereka sampaikan dipenuhi oleh kritik tak berdasar yang dialamatkan kepada Gus
Dur. Dalam Muktamar kali ini, Kiai Haji Ahmad Siddiq kembali dipercaya
sebagai Rais Aam dengan 188 suara, setelah sebelumnya berhasil mengalahkan Idham Chalid yang hanya disokong oleh 166 suara. Gus Dur mengikuti jejak sang
karib, juga tampil sebagai pemegang tampuk NU untuk yang kedua lainya setelah terlibat dalam pertarungan dengan pamannya sendiri Yusuf Hasyim. Pada
akhirnya, Gus Dur terpilih secara aklamasi.
Muktamar Cipasung, merupakan saksi bisu kemengan Gus Dur yang hanya didukung oleh para pengagumnya di NU melawan kekuatan besar
pemerintah. Jika pada Muktamar sebelumnya, pemerintah hanya bermain di tataran provokasi tanpa penggunaan “robot” yang disetirnya, pada muktamar
Cipasung pemerintah menjalin relasi kuat dengan salah satu rival kuat Gus Dur yang bernama Abu Hasan. Selain itu, tersiar pula beberapa kekuatan kontra-Gus
Dur yang gencar meneriakkan slogan ABG Asal Bukan Gus Dur. Abu Hasan sendiri, adalah seorang pengusaha sukses asal Jambi.
Walaupun relatif kurang mempunyai pergaulan luas dilingkungan NU, namun ia dikenal sebagai donatur yang murah hati. Selain itu, ia juga bersahabat dengan
keluarga Cendana melalui hubungan bisnis pengapalan, konstruksi, dan perdagangan. Secara keilmuan, ia jauh dibawah Gus Dur. Namun, ia
menggunakan kedekatannya dengan pemerintah guna memperkuat barisan pendukungnya. Selain itu, dari kalangan NU, ia bayak mendapatkan dukungan
dari cabang-cabang NU dari luar Jawa. Pada Muktamar kali ini, terlihat sekali bahwa pemerintah sudah tidak lagi
memihak kepada Gus Dur. Segala upaya dilakukan untuk menghadang laju Gus Dur dalam perhelatan besar berkala NU ini. Mulai dari menyebar para intelejen
dan ABRI berbaju Ansor Organisasi pemuda NU ke sekitar areal muktamar guna menimbulkan ketakutan psikologis para pendukung Gus Dur, sampai
penyetopan media yang menyuarakan keberpihakannya kepada Gus Dur. Akhirnya, penghitungan suara akhir, setelah sebelumnya suasana
Muktamar dihantui dengan suasana tegang, menyatakan Gus Dur kembali sebagai ketua PBNU untuk kali ketiga. Saat itu Gus Dur memperoleh 174 suara dan Abu
Hasan memperoleh 142 suara. Saat itu, kemenangan Gus Dur disambut oleh teriakan yel-yel para anak muda NU pro-Gus Dur yang berisi nyanyian bernada
sindiran bagi pemerintah
13
. Gus Dur sendiri mengakui, kemenangan ketiganya tersebut menimbulkan
efek yang signifikan terhadap pemerintah. Walaupun sebelumnya Soeharto memberikan dukungan terhadap Gus Dur, namun ia juga menginisiasi gerakan
penggembosan peran Gus Dur di NU. PBNU dibawah pimpinannya kali ini, menurut Gus Dur, belum dapat diterima Soeharto. Namun, ia menampik pendapat
yang menyatakan siapa saja yang duduk di kursi PBNU 1 harus disertai penerimaan dari pemerintah
14
. Sebelumnya, Saleh Aldjufri menerangkan bahwa kegigihan Soeharto
memotong karir Gus Dur sebagai ketua NU, terkait erat dengan kondisi perpolitikan nasional antara NU dan Golkar. Pemilu 1992, menjadi ujian berat
bagi Golkar, karena suara NU telah banyak yang „pulang kandang‟ ke PPP atau ke PDI. Hal ini terjadi karena Golkar tidak jeli dalam melihat keinginan warga NU.
Selain itu, terdapat kesan yang menyebutkan Golkar hanya menggunakan NU sebagai tunggangan dan tidak menaggapi aspirasi politik kaum nahdhliyin.
15
4. Kontroversi yang Menyejarah
Semenjak menjadi ketua NU, terdapat pembenahan-pembenahan signifikan dalam tubuh NU yang dilakukan oleh Gus Dur. Para pengurus NU
daerah merasa gembira, karena pola kepemimpinan Gu Dur adalah “turun
13
Greg Barton, Biografi Gus Dur …., h. 113-254
14
Abdurrahman Wahid, “Saya Nomor Tiga Tentang Suksesi NU, ICMI, dan Pak Harto”, dalam Tabayun Gus Dur Yogyakarta: LKis, 2010, h. 51.
15
Saleh Aldjufri, Gus Dur; Politik NU dan Era Demokratisasi Surabaya: LPLI Sunan Ampel, 1997, h. 10.
kebawah”, mengunjungi perwakilan NU di luar Jakarta. Pemikiran Gus Dur mulai ramai dibicarakan. Saat itu Gus Dur benar-benar mereguk kepopulerannya.
Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilewatkan dari tokoh ini, adalah kekontroversialannya, yang kerapkali mengundang perhatian publik.
Satu contoh yang sulit untuk dilupakan, adalah mengenai isu Gus Dur yang mengganti ucapan “assalamualaikum” dengan ucapan “selamat pagi”. Awal
ceritanya, pada suatu hari, ia didatangi oleh salah satu sahabatnya. Ketika itu ia mempunyai pertanyaan yang membutuhkan jawaban Gus Dur. Pertanyaan
temannya adalah soal mengucapkan salam di depan para audiens yang non- muslim, apakah harus dengan ucapan “assalamu‟alaikum”. Pikirnya, jika ia tetap
mengucapkan hal tersebut, ia khawatir kalau-kalau dicap sebagai orang yang tidak bisa memposisikan diri. Gus Dur menjawab, hendaknya digunakan kata yang
lebih umum, yakni dengan ucapan “selamat pagi.” Lebih lanjut, ia menjelaskan, akar kata „selamat‟ dengan kata Arab „salam‟ dan selamat pagi kedudukannya
setara dengan assalamu‟alaikum.
Dialog tersebut, kebetulan didengar oleh seorang wartawan yang kemudian menuliskannya di surat kabar nasional. Lantas, para pengkritik Gus
Dur, memlintir berita tersebut yang kemudian berbunyi bahwa Gus Dur mengganti ucapan
assalamu‟alaikum, yang telah menjadi identitas muslim menjadi ucapan bahasa Indonesia „selamat pagi‟.
Selain kabar kedekatannya dengan Soeharto yang oleh sebagian sesepuh NU sebagai pengkhianatan, Gus Dur juga dinilai sebagai sosok yang lebih
memperhatikan golongan non-Islam, daripada menyokong kepentingan Islam. Sebagaimana telah diketahui, Gus Dur gemar menjalin persahabatan dengan umat
agama lain. Ia dikenal sebagai aktivis dialog antar-iman. untuk hal yang satu ini,
ia begitu intens dan sebisa mungkin untuk menggalakkan agar dialog antar-iman ini berfungsi sebagai, meminjam istilah J
urgen Habermas, “ruang publik” yang menaungi persaudaraan nasional, sekalipun secara lahiriah berbeda.
Sebenarnya, upaya guna menciptakan iklim toleransi, demikian Gus Dur, adalah tanggung jawab bersama. Umat Islam sebagai golongan mayoritas
mempuyai equal responsibility dengan golongan non-Islam dalam membentuk kehidupan yang aman dan dipenuhi pendar-pendar kasih sayang antar sesama.
Disinilah, nantinya, terbentuk persamaan antar agama, bukan dari segi ajaranaqidah, namun dari segi pencapai materi. Ukuran materi, sebagaimana
diketahui, menggunakan bukti-bukti kuantitatif, seperti pendapatan perkapita masyarakat, ataupun jumlah kepemilikan lain seperti telpon, dan kendaraan per-
keluarga. Sedangkan yang tidak, seperti ukuran keadilan, dapat ditilik dari ranah empirik dalam sistem kehidupan masyarakat.
16
Sebagai pecinta perdamain, Gus Dur sangat terkesan sekali dengan perjuangan aktivis kemanusiaan asal India, Mohandas Karamchan Gandhi, atau
lebih dikenal sebagai Mahatma Gandhi. Menurut Gus Dur Gandhi merupakan prototype manusia yang lebih mengepankan aspek anti-kekerasan dalam
menyikapi suatu kejanggalan sosial yang nyatanya membuat masyarakat India menderita. Sebagaimana diketahui, India merupakan daerah jajahan Inggris yang
terang saja pendudukan ini menyebabkan kelumpuhan dalam skala nasional di negara itu. Namun, kejadian ini tidak ditanggapi dengan aksi angkat senjata oleh
Gandhi, ia lebih menggunakan cara-cara akomodatif yang secara esensi tetap merupakan bentuk perjuangan melawan penjajah. Walaupun dipandang remeh
16
Abdurrahman Wahid dalam “Islam dan Dialog Antar-Agama, dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi Jakarta: The Wahid Institute, 2006, h.
134-135.
oleh Inggris, Gandhi tetap melarang umatnya untuk terlibat front secara terbuka dengan pasukan Inggris.
Sikap seperti itulah yang harus ditumbuh-kembangkan di masyarakat negeri ini. Belakangan ini, kekerasan dengan menggunakan simbolisme
keagamaan seakan menjadi trend yang acceptable dalam memandang suatu perbedaan. Hal inilah yang menjadi perhatian Gus Dur untuk sesegera mungkin
dijauhi. Menurutnya, para kalangan fundamentalis yang kerapkali terbukti sebagai motor yang memanas-manasi teman-temannya yang lain, terdiri dari barisan
pemuda yang walaupun terampil, cakap secara teknis, namun kerdil dalam memahami ketertinggalannya terhadap orang lain. Nah, ketertinggalan inilah yang
dikejar menggunakan lajur kekerasan guna menghambat kemajuan tersebut. Selain itu, hak lain yang menyebabkan kebrutalan para pemuda yang
mengatasnamakan „laskar Islam‟ tersebut, adalah terjadinya proses pendangkalan pemahaman yang dianutnya. Banyak dari mereka adalah kalangan akademisi yang
mempunyai latar belakang ilmu eksakta dan ekonomi yang kehidupannya dipenuhi dengan logika hitung-menghitung. Belum lagi beberapa dari mereka
adalah dokter yang bekerja secara empirik. Kesibukannya dalam dunia akademis dan profesinya, menyebabkan
mereka tidak mempunyai waktu yang cukup dalam mempelajari agama secara mendalam. Guna membasahi rasa haus spiritualitasnya, karena pemikirannya telah
terkepung dengan berbagai kepenatan angka-angka, mereka mempelajari agama langsung dari sumber tekstual Islam yang ada. Berbekal kemampuan menghafal
resep obat, rumus-rumus matematis yang baik, dengan mudah mereka menghafalkan dalil keagamaan. Satu hal yang terlupa dari mereka, interpretasi
yang minim tentang kekontekstualan suatu hukum membuat mereka terjerembab ke ranah halal-haram, yang cenderung menindak mereka yang mempunyai
pemahaman berbeda dengan tindakan anarkis.
17
5. Gus Dur dan ICMI
Desember 1999, merupakan era baru hubungan Soeharto dengan Islam. Setelah beberapa tahun Orde Baru terkesan menjauhi kelompok Islam, kali ini
mulai mencair. Di bulan itu, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ICMI didirikan. Organisasi ini menyatakan dirinya tidak bersifat politik, walaupun
demikian, ucapan tersebut nyatanya hanyalah isapan jempol. Beberapa bulan sebelumnya, Soeharto mengutarakan maksudnya untuk mendirikan perkumpulan
para intelektual muslim. Yang terjadi adalah depend on keinginan Soeharto, ICMI menjadi sangat dekat dan berasosiasi dengan Golkar. ICMI bukan saja mendulang
dukungan finansial dari penguasa, tetapi juga menempatkan salah satu tangan kanan Soeharto, yakni B.J Habibie sebagai ketua umumnya.
18
Dilihat dari segi anggota, kursi-kursi ICMI diduduki oleh golongan yang sebelumnya merupakan “barisan sakit hati” yang sebelumnya ditindas oleh
Soeharto. Mereka terdiri dari kalangan Masyumi dan beberapa ilmuwan Islam konservatif. Perubahan gesture presiden itu, disambut baik oleh mereka. Bahkan,
mereka menganggap Soeharto mulai mendengar aspirasi politik mereka. Kemunculan ICMI ditanggapi dingin oleh Gus Dur. ia menganggap ICMI
merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah guna memperkuat dominasi penguasa. Semula, Gus Dur juga ditawari untuk bergabung dengan organisasi ini,
17
Abdurrahman Wahid “Gandhi, Islam dan Kekerasan” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Msyarakat Negara Demokrasi Jakarta: The Wahid Institute, 2006, h. 342-
344.
18
Greg Barton, Biografi Gus Dur…., h. 222.
bahkan beberapa temannya sudah bergabung mendesaknya agar ikut ICMI. Namun setelah melihat draft dan orang-orag yang berkecimpung didalamnya, Gus
Dur menolak untuk bergabung. Selain itu, organisasi ini menggunakan jargon berjuang demi kepentingan Islam dan yang tidak mau ikut dianggap mengkhianati
perjuangan itu. Selain hal tersebut, terdapat kekhawatiran lain, yakni munculnya gejala
sektarianisme. Perlu diketahui, munculnya organisasi ini, demikian Gus Dur, akan memunculkan sentimen keagamaan yang nantinya hanya tinggal menunggu bom
waktu perang saudara. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat ketika itu sedang marak-maraknya isu sektarianisme. Islamisasi dan kristenisasi menjadi topik yang
hangat. Selain itu, masalah pribumi dan non-pribumi juga semakin menambah gawat keutuhan realitas kebhinekaan.
19
Untuk menghadang laju ICMI, Gus Dur dan beberapa sahabatnya seperti Djohan Effendi, Marsillam Simanjuntak, Bondan Gunawan,setelah mengadakan
suatu pertemuan yang diadakan di aula penginapan Taman Safari Garden, Cisarua, Bogor pada 16-17 Maret 1991, sepakat mendirikan suatu perkumpulan
para intelektual yang bernama Forum Demokrasi FORDEM.
20
Perkumpulan ini, demikian jelas Gus Dur, muncul sebagai kekuatan penyeimbang terhadap
lembaga-lembaga seperti ICMI yang berbau sektarianisme. FORDEM merupakan perkumpulan kecil yang anggotanya bukan dari
tokoh yang menonjol, atau hanya meminjam istilah Antonio Gramsci, menduduki tempat intelektual organik. Kebanyakan dari mereka bukan dari kalangan NU,
malah banyak dari mereka terdiri dari kalangan non-Muslim. Bahkan, ada diantara
19
Abdurrahman Wahid,” Negeri Ini Kaya Dengan Calon Presiden” dalam Tabayun Gus Dur.., h. 15.
20
Umaruddin Masdar, Gus Dur; Pecinta Ulama…, h. 62
mereka adalah sosialis. Marsillam Simanjuntak dan Bondan Gunawan merupakan tokoh yang berperan aktif selain Gus Dur, yang kebetulan ditunjuk sebagai
ketuanya. Walaupun sempat menjadi pembicaraan, eksistensi FORDEM tidak dapat
menghadirkan suatu perubahan signifikan iklim demokratisasi dalam negeri. Forum ini, demikian Gus Dur, mengadakan pertemuan rutin satu minggu sekali.
Mereka berdiskusi, memantau keadaan dan menyamakan pandangan. Namun, yang patut disayangkan mereka kurang greget untuk memperjuangkan
pendapatnya. Hal ini disadari Gus Dur, betapa pemikiran kaum FORDEM menghadapi bangsa yang semula diperjuangakannya, enggan beranjak dari posisi
yang, meminjam bahasa Gus Dur, berdemokrasi seolah-olah, dan tidak mau berkembang kearah demokrasi sepenuhnya.
21
6. Gus Dur Menjadi Presiden
Selain terkenal sebagai seorang Cendikiawan sekaligus Budayawan, Gus Dur juga sempat menduduki kursi Presiden, walaupun hanya sebentar. Pada
Pemilu 1999, Gus Dur yang disokong oleh partai yang didirikannya, PKB Partai Kebangkitan Bangsa, mampu mengalahkan Megawati Soekarno Putri, yang
didukung oleh partai PDI-Perjuangan-nya. Namun demikian, walaupun kalah dalam perebutan kursi RI 1, Megawati terpilih sebagai Wakil Presiden setelah
mengalahkan Hamzah Haz.
22
Selama menduduki kursi Presiden , yang disandangnya selama kurang lebih satu tahun 1999-2000, Gus Dur menghadapi banyak masalah dalam negeri
21
Abdurrahman Wahid, “Saya Jadi Presiden, Ha…Ha…Ha…” dalam Tabayun Gus Dur Yogyakarta: LKiS, 2010, h. 97-98.
22
Greg Barton, Biografi Gus Dur …., h. 372.
yang pelik. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat Indonesia era Gus Dur merupakan negara yang berada dalam proses transisi dimana struktur dan
ketahanan bangsa jauh dari kata stabil. Guna mempercepat proses stabilisasi nasional di segala bidang, terutama
ekonomi, Gus Dur menempuh cara yang dianggap kebanyakan orang tidak lazim, yakni dengan “bersafari” ke luar negeri, guna mencari bantuan. Dalam
perjalanannya ke Amman ia menyempatkan diri mengunjungi negara ASEAN untuk memperkenalkan dirinya dan pemerintahannya kepada negara-negara
tetangga. Rangkaian kunjungan ini diakhiri dengan kunjungan pentingnya ke Washington DC dan Tokyo.
Salah satu terobosan Gus Dur yang cukup kontroversial, adalah keinginannya untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ia beralasan,
umat Islam Indonesia, harus sudah mendewasakan diri dengan membuang jauh- jauh paham “Israel adalah musuh”. Ia menegaskan, dirinya sangat prihatin dengan
keadaan bangsa Palestina, oleh karena itu, harus ada strategi baru yang menempatkan Israel tidak melulu sebagai musuh, namun haruslah dijadikan
sahabat. Sebenarnya, ketika mengadakan lawatan kenegaraan ke Yordania, Gus
Dur ingin sekali bertemu dengan Ehud Barak, perdana menteri Israel kala itu. Namun, Gus Dur mengurungkan niatnya, karena tekanan yang kuat dari umat
Islam sayap kanan dalam negeri. Perjalanan Gus Dur yang penting lainnya, dilakukan pada bulan
Desember. Tujuannya adalah Beijing. Sesampainya disana, Gus Dur mendapat sambutan yang sangat baik dari penduduk China, karena ia selalu menempatkan
diri untuk membela kepentingan WNI keturunan China. Kunjungan yang dilatarbelakangi oleh motif kerjasama ekonomi ini, diharapkan Gus Dur dapat
menjadi sinyal positif bahwa pemerintahannya bersahabat dengan orang China, bukan saja di China Daratan, namun keturuanan China di seluruh Asia Tenggara.
Salah satu hal yang diperjuangkan Gus Dur, ketika menjadi presiden, ialah menghadirkan perubahan substansial bagi kebebasan mengutarakan pendapat. Hal
ini dibuktikan dengan dibubarkannya Departemen Penerangan, yang dianggap Gus Dur merupakan bentuk dari pencederaan berdemokrasi, karena menggunakan
pendekatan sepihak stalinis dalam mengendalikan informasi. Selain itu, departemen ini juga seringkali memeras media. Instrumen kenegaraan lain yang
dibubarkan oleh Gus Dur adalah Departemen Sosial. Lembaga ini, demikian Gus Dur, telah menjadi lumbung korupsi yang sulit untuk direformasi.
Hal lain, yang menjadi urgensi adalah penyelesaian masalah gerakan separatis di Aceh dan Papua. Gus Dur mempunyai komitmen kuat dalam
memperkuat kesatuan dan persatuan negaranya. Di Aceh upaya Gus Dur guna menciptakan iklim perdamaian, mendapat hadangan tembok militer. Saat itu,
pihak militer belum sepenuhnya dapat menerima kepemimpinan Gus Dur, terutama dalam menyelesaikan separatisme Aceh. Alih-alih menciptakan
keamanan, pihak militer justru sedang menyiapkan “serangan skala besar” guna meredam amuk mereka yang dianggapnya memberontak terhadap NKRI.
Untuk mengatasi ketegangan di Aceh, Gus Dur menawarkan sejumlah otonomi guna menarik masyarakat Aceh dari kubangan baku-hantam yang tidak
berujung dengan pihak militer. Sayangnya, niat baik ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, sikapnya yang berputar-putar, semakin memperlemah kredibilitasnya,
namun demikian Gus Dur berhasil menancapkan pasak-pasak perundingan dengan pihak Aceh untuk bersama mencari penyelesaian konflik tersebut. di saat yang
sama, Gus Dur juga berhasil meredam rencana militer guna melancarkan penyerangan besar-besaran terhadap para kaum separatis.
Kasus separatisme di Papua, tidak separah yang terjadi di Aceh. Namun begitu, ketika ia menginjakkan kaki di Jayapura, ia sudah disambut dengan shock
teraphy berupa demonstrasi tuntutan kemerdekaan disertai pengibaran bendera Bintang Kejora. Malamnya, ketika bertemu dengan para pemuka adat Papua, Gus
Dur mencoba mencari simpul kekerasan di Bumi Cendrawasih tersebut. ia mengutarakan, masyarakat Papua sebenarnya sangat tersinggung mendengar
daerah asalnya disebut “Irian”. Kata tersebut, demikian Gus Dur, berasal dari bahasa Arab yang berarti “telanjang”. Oleh sebab itu, ia dengan tegas
memutuskan mulai saat itu, sebutan “Irian Jaya” diganti dengan “Papua”, nama yang sejatinya dikehendaki oleh para penduduknya.penjelasan tersebut mendapat
sambutan hangat dari para tokoh adat Papua.
23
Setelah mengadakan lawatannya ke Jayapura, Gus Dur bertolak ke Davos, Swiss guna menghadiri Forum Ekonomi Dunia. Dalam perjalannya,ia
menyempatkan diri ke Saudi Arabia dan berhasil mendapatkan bantuan untuk pemulihan ekonomi dalam negeri. Bulan berikutnya Gus Dur melanjutkan
perjalanan diplomatiknya ke negara-negara Eropa. Ia terbang ke London, Paris, Amsterdam, Berlin, dan Roma. Dalam perjalanannya, Ia singgah ke New Delhi,
Seoul, Bangkok, dan Brunei. Kunjungannya ke Eropa guna mendapatkan
23
Greg Barton, Biografi Gus Dur …,h. 384-386
dukungan ekonomi maupun politik guna menuntaskan tugas berat reformasi Indonesia.
24
Pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur pun lengser dari kursi Presiden.
25
Karut-marut politik menjadi penyebab utama dicopotnya Presiden. Kala itu, ketua MPR, Amien Rais memimpin persidangan yang berujung pada pencopotannya.
Kejadian ini ditanggapi Gus Dur dengan arif, mulai saat itu ia seakan tersadarkan bahwa reformasi yang diretasnya bagi Indonesia, ternyata lebih baik dilakukan
dari luar tembok istana.
F. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Perdamaian