dukungan ekonomi maupun politik guna menuntaskan tugas berat reformasi Indonesia.
24
Pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur pun lengser dari kursi Presiden.
25
Karut-marut politik menjadi penyebab utama dicopotnya Presiden. Kala itu, ketua MPR, Amien Rais memimpin persidangan yang berujung pada pencopotannya.
Kejadian ini ditanggapi Gus Dur dengan arif, mulai saat itu ia seakan tersadarkan bahwa reformasi yang diretasnya bagi Indonesia, ternyata lebih baik dilakukan
dari luar tembok istana.
F. Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Perdamaian
1. Menyemarakkan Pluralisme
Gus Dur dikenal sebagai seorang guru bangsa yang begitu gandrung akan indahnya kebersamaan. Nah, kebersamaan ini ditandai oleh landasan hidup yang
dipenuhi oleh nilai-nilai profetik yang menjurus pada pendirian pilar-pilar demokrasi, dimana kebebasan bersuara dan berkeyakinan mendapat payung
hukum dari negara. Hal ini adalah prioritas, mengingat realitas keummatan dapat mencandra kebahagiaan hakiki jikalau telah mampu bersifat fleksibel, menerima
perbedaan dan mengkonversikannya sebagai peace worldview. Pandangan Gus Dur tentang perdamaian tidak terpaut pada terma-terma
agamanya an sich, yang ditafsirkan secara taken for granted. Namun, sebaliknya Gus Dur tidak segan untuk berbaur, mengkaji realitas kebhinekaan bangsa yang
terang-terang heterogen. Sebagaimana telah diketahui, bangsa ini mempunyai khazanah kearifan lokal yang begitu luas. Hal tersebut merupakan suatu penanda
24
Ibid, h. 387.
25
Umaruddin, Gus Dur: Pecinta Ulama ….., h. 183
bahwa berbeda itu bukanlah sebuah hal yang patut untuk didisposisikan. Bagaimana caranya merajut perbedaan guna menuai reformasi moral bangsa,
adalah esensi yang perlu dikedepankan. Selain itu, hal lain yang tak kalah penting, adalah usaha Gus Dur untuk
membumikan cita humanisme Islam. Islam bukanlah agama yang hanya terpaut perkara dogmatik yang mengurus perkara halal dan haram. Gus Dur
berpandangan, justru dari jantung humanisme Islam, menjalar berbagai macam nadi-nadi toleransi dan keharmonisan sosial yang semakin memperkuat keyakinan
bahwa realitas plural di tengah masyarakat modern, bukanlah perkara yang harus ditakuti, sebaliknya harus direspon secara positif.
26
Guna mewujudkan iklim ketentraman, demikian Gus Dur, kerjasama antara antara berbagai sistem keyakinan sangat dibutuhkan dalam menangani
kehidupan masyarakat, karena masing-masing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir keadilan dan kemakmuran dalam kehidupan bersama,
walaupun bentuknya berbeda-beda. Dari poin inilah akan ditemukan suatu dialog titik temu, bukannya dalam hal keyakinanakidah, namun dari segi pecapaian
materi baik berupa hal yang normatif seperti terselenggaranya demokrasi yang menyeluruh, sampai bergulir ke hal praksis seperti pengentasan kemiskinan.
27
Diantara beberapa poin yang menjadi fokus penting pengejawantahan perdamaian, pemeliharaan „masyarakat plural‟ merupakan satu poin yang wajib
dilestarikan. Dalam rancang bangun kebhinekaan, laiknya negeri ini, fenomena pluraisme atau paham yang meyakini hadirnya heterogenitas, merupakan
26
Tim InCRES, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur Bandung: PT. Remaja Rosdakarya bekerjasama dengan InCRES Institute of Culture and
Religion Studies, 2000, h. 45.
27
Wahid, Islam dan Dialog antar-agama ….., h. 134-135.
prasyarat pemancangan kehidupan filantropis. Untuk yang satu ini, semangat Gus Dur begitu bergolak ketika mendengar suatu berita pemasungan batang tubuh
pluralisme. Penghargaan akan realitas liyan, dapat menjamur dan tumbuh subur
jikalau suatu bangsa telah mampu memandang perbedaan sebagai keniscayaan. Selain itu, hal lain yang perlu diinisiasi untuk menumbuhkan kesadaran hidup
rukun satu dengan lainnya, adalah lewat forum dialog yang berujung tidak saja pada rasa saling-menghormati namun juga rasa saling menyayangi. Hal ini lah
yang terkadang sering tertinggal. Jangan sampai kesadaran hidup bersama hanya terendap menjadi saling menghargai tetapi juga harus diteruskan sampai tingkat
selanjutnya yakni
merasa sakit
apabila saudaranya
sakit, merasa
pertanggungjawaban apabila saudaranya disakiti. Dalam membincangkan diskursus pluralisme di negeri ini, agaknya masih
berkelok-kelok dalam labirin yang menyesatkan. Kendati secara empiris, Indonesia adalah negara yang diisi oleh penduduk yang beragam, namun tetap
saja perbedaan-terutama dalam hal keyakinan- kerapkali ditanggapi dengan kurang arif, bahkan telah bermuara ke ranah kekerasan.
Sematan negara demokrasi agaknya hanyalah terngiang dalam spanduk, tanpa ada tindakan proliferatif guna menjaga eksistensi kebebasan. Demokrasi
menjadi satu hal yang penting daam alam pemikiran Gus Dur. perbedaan, tentunya, bukanlah satu hal yang harus disesalkan. Namun, adalah satu gagasan
yang patut diapresiasi jika membubuhkan tinta perjuangan demi tegaknya pilar- pilar demokrasi yang hakiki.
Upaya penegakkan panji pluralisme, melihat realita sosial kekinian, haruslah disemarakkan. Hal ini berkait kelindan dengan pemupukkan elan
kesatuan dan persatuan yang kian kemari kerapkali tersasar kearah perubahan identitas,dimana masyarakat timur dinilai sebagai civil society yang penuh dengan
keramahan dan dalam bertindak selalu dilabeli dengan semangat gotong royong, kini, berganti wajah menjadi raksasa yang gemar „menumpahkan darah‟ antar-
sesama. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari urgensi penenunan benang- benang penghormatan akan keragaman dalam ruang publik tanah air.
Pertama, sebagai modal dasar dalam menghadapi perubahan-perubahan global yang seringkali-untuk tidak mengatakan semua-mencerabut kesalehan lokal
dalam negeri. Pluralisme adalah elan vital guna meyongsong datangnya unsur baru yang beraroma negatif bagi eksistensi pengejawantahan nilai-nilai Pancasila.
Disadari atau tidak, gelombang globalisasi yang semakin rapat menyentuh pola kehidupan kita, dapat menyebabkan kesenjangan yang cukup besar ditengah
kehidupan kontemporer. Dengan mengambil kearifan-kearifan yang berasal dari inter-wisdom dari berbagai entitas tanah air diharapkan dapat merakit suatu
kesinambungan dalam memilah-milah kebajikan dari unsur luar, pada titik inilah diktum fiqih, Islam akhdzu bi al-jadid al-ashlah, memainkan perannya.
Kedua, hal yang perlu diperhatikan adalah, penguatan pluralisme adalah guna preventisasi gerakan keagamaan simbolik, yang mempunyai visi
mengadakan penyeragaman dalam bernegara dan bermasyarakat. Islam, menempati urutan pertama, yang tersandung kasus tersebut. gelombang Islam
transnasional yang diimpor dari Timur Tengah, menjadi semacam leviathan yang
mencabik-cabik rasa satu rasa dalam kebhinekaan. Upaya menerapkan juris-juris Islam menjadi momok menakutkan bagi lanjutan masyarakat plural negeri ini.
Menurut Khaleed Abou El-Fadl, guru besar hukum Islam di UCLA AS,ditilik dari perspektif sosiologis, gerakan-gerakan Islam simbolik, atau yang
terkenal dengan istilah Islam puritan ini, meruupakan produk dari modernitas. Pandangan muslim puritan tercipta dari perkawinan Salafisme dan Wahabisme
pada sekitar tahun 1970-an.
28
Mereka begitu gigih dalam memperjuangkan visinya dalam membenamkan hukum-hukum Islam secara letterlijk dalam
konstitusi kenegaraan. Semangat ini tentu bertentangan dengan amanat Pancasila yang terang-
terang menggunakan „bahasa‟ yang mengayomi semua, tanpa menganakemaskan satu golongan.
Ketiga, menciptakan iklim kondusif dalam berbangsa dan bernegara. Bagaimanapun, penghargaan yang tinggi bagi realitas liyan dapat membantu
hadirnya kemajuan peradaban yang fundamen bagi bangsa ini kedepan. Iklim ramah, adalah prasyarat mutlak bagi pencapaian target-target penuntasan segala
masalah yang membelit negeri ini. Denga mengenyampingkan pandangan monolistik, dan mencoba menerima komunitas yang lebih kecil, menjadikan
hidup bermasyarakat jadi lebih berarti. Logikanya, menciptakan suatu klaim perbedaan, dapat saja-untuk tidak
mengatakan selalu- bergulir kearah kebencian. Terutama, ketika telah terkooptasi dengan pandangan sempit agama yang menuturkan selain agama A maka mereka
harus diperangi. Nah, logika seperti inilah yang belakangan ini menghantui latar
28
Khaleed Abou El-Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006, h. 99.
kerakyatan bangsa ini. Pola pikir demikian, harus segera diredusir atau dieliminir dalam upaya mengentaskan bangsa ini dari gejolak api permusuhan.
Pandangan inklusif tersebut menjadi titik tolak Gus Dur guna menjalim persahabatan yang lebih luas di kalangan internasional. Banyak nilai maupun
manfaat yang lebih universal jika mampu menciptakan persahabatan dengan komunitas di luar Islam. Oleh karena mendawamkan terekat pluralismenya, ketika
Gus Dur meninggal, ia mendapat gelar sebagai Bapak Plualisme Indonesia Menurut Franz Magnis Suseno, rohaniawan yang juga pemerhati
pemikiran Gus Dur, menyebutkan bahwa Gus Dur adalah sosok yang menghayati Islam secara terbuka. Ada beberapa ciri khas dalam penghayatan Gus Dur
terhadap Islam: Pertama, bahwa agama Islam menuntut sikap toleran dan besar hati terhadap agama lain. Seorang muslim-terlebih mayoritas-dituntut untuk
menghadirkan rasa aman bagi pemeluk keyakinan non-Islam. Kedua, perbendarahan khazanah Islam yang telah dikuasainya,
membuatnya tidak segan dalam menilai kekurangan Islam. Islam disini, demikian Romo Magnis, bukan Islam yang merupakan agama yang diturunkan Allah, tetapi
Islam sebagai agama yang dihayati dan dijalankan umat. Tidak semua agama dapat mencapai ukuran idealnya seratus persen. Hal inilah yang mendorong Gus
Dur melahap pelajaran baru dari pihak lain. Ia mengikuti Nabi Muhammad yang menyarankan untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Tirai Bambu China.
Ketiga, Romo Magnis memandang sosok Gus Dur sebagai seorang raja Jawa. Dalam dirinya terdapat keteguhan sikap para penguasa besar Islam, laiknya
Sultan Mughal di India atau penguasa Dinasti Abbasiyah. Sebagaimana telah diketahui, dua kerajaan tersebut merupakan sebagian kecil dari kerajaan muslim
yang menggariskan ketentraman dan kesejahteraan bagi agama lain. Itu semua, lanjut Romo, terlihat dari kemudahan Gus Dur menerima pluralisme.
29
Namun, yang perlu diperhatikan, inisiasi untuk memasyarakatkan puluarisme, hendaknya jangan terhenti hanya pada kehidupan nasional, tetapi
harus diupayakan agar menyebar ke seluruh dunia, utamanya ke begara yang terlibat konflik. Gus Dur mempunyai perhatian yang besar dalam wilayah itu. Hal
ini dibuktikan dengan seringnya ia diundang dalam berbagai perhelatan besar internasional tentang upaya memperjuangkan perdamaian global. Salah satunya
ialah ketika ia diundang untuk menyaksikan prosesi perjanjian Jordania-Israel di Arava, Jordania pada 26 Oktober 1994.
30
Menurut Gus Dur, perdamaian dunia dapat diupayakan jika satu negara telah memiliki kedaulatan hukum yang kuat kedalam terlebih dahulu. Hal ini
merupakan prioritas mengingat sebelum berkecimpung dalam inisiasi perdamaian skala internasional.
Dalam sebuah pidato pembukaanya ketika menghadiri konferensi mengenai pemerintahan yang baik good governace dan etika dunia global
ethics yang diadakan anatara kaum Budhis dan Muslim di Paris, pada Mei 2003, etika global dan penyelenggaraan pemerintahan yang professional menjadi aset
penting guna merajut perdamaian dunia. Nah, guna menghadirkan kedua nilai positif tersebut, demikian Gus Dur, harus ada kesadaran kedalam untuk
menegakkan kedaulatan hukum. Selain itu, jika sudah memiliki kecakapan penyelenggaraan hukum, langkah selanjutnya ialah mencari celah agar keadilan
29
Franz Magnis Suseno, “Pembawa Bangsa Pascatradisional” dalam Beyond The Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
bekerjasama dengan InCRES Institute of Culture and Religion Studies, 2000, h. 65-66.
30
A. Halim Mahfudz, “Mencari Damai yang Dimusuhi; Catatan Perjalanan ke Israel, 25 Oktober-
1 Nopember 1994,” Aula, Desember 1994, h. 17
dapat dikonversikan menjadi etika global yang menjadi acuan dasar pergaulan internasional.
Etika global, lanjutnya, merupakan suatu opsi strategis guna mengikis rasa saling permusuhan antar-bangsa. Setiap bangsa diharapkan kooperatif
mengkampanyekan arti penting perdamaian. Selain itu, pertemuan seperti yang diadakan di Paris tersebut, merupakan instrumen yang patut diapresiasi karena
menginspirasi pembentukan nilai-nilai global sendiri. Dengan membiasakan diri berdialog, masing-masing pihak akan saling mengambil pelajaran dan menimba
sumber-sumber spiritual guna memformat pandangan hidup masa depan yang lebih terarah dan lebih baik dari sebelumnya.
31
Dalam menaggapi
permasalahan pertikaian
antar-bangsa yang
berkepajangan, laiknya yang terjadi antara Palestina dan Israel, demikian Gus Dur, harus ada ketegasan dan kesungguhan sikap dari para negara-negara terkait.
Dalam konteks ini, peran aktif negosiator menjadi begitu penting. Negara harus mendukung sang negosiator tersebut dengan memberikan fasilitas yang layak.
Hanya dengan bernegoisasi pintu-pintu kebuntuan dapat dicari kuncinya. Ini merupakan langkah yang brilian ketimbang hanya menggunakan “adu otot” yang
tentu saja dapat merugikan negara-negara yang bertikai.
32
Oleh karena asas keterbukaan pemikirannyalah, yang membuat Gus Dur tidak kaku dalam menjalin persahabatan maupun kerjasama dengan pihak non-
Islam. Sejak kecil ia telah akrab dengan perbedaan. Salah satu sifat inklusif yang kentara dalam perjalanan hidup Gus Dur, adalah ketika ia mengusulkan dan
31
Abdurrahman Wahid “Kita dan Perdamaian” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Msyarakat Negara Demokrasi Jakarta: The Wahid Institute, 2006, h.355-357.
32
Abdurrahman Wahid “Perdamaian Belum terwujud di Timur Tengah” dalam Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Msyarakat Negara Demokrasi Jakarta: The Wahid Institute,
2006, h. 363.
memperjuangkan pertalian diplomatik antara RI dan Israel. Sesuatu yang dianggap orang sebagai ketabuan, mengingat Israel dalam mindset umat Islam
kebanyakan, kerap dipersepsikan sebagai musuh muslim.
2. Meretas Dialog dengan Israel
Dapat disimpulkan dari keterkaitan Gus Dur dengan segala hal Israel adalah kooperatif. Namun, berbicara kepentingan, tentu merupakan hal yang
berbeda. Ia menegaskan dirinya tetap membela dan memperjuangkan kepentingan bangsa Arab, terutama Palestina. hanya saja ia lebih tertarik menggunakan
jalannya sendiri, yang kerapkali dianggap kontroversial oleh orang lain, yakni tetap mengadakan kontak dengan pemerintahan Tel Aviv. Baginya, kedamaian
dengan pendasaran keteraturan hidup semua agama adalah yang paling fundamen, jangan hanya berhenti pada pos umat Islam.
33
Pertemuannya dengan Ramin, sahabat Yahudinya ketika ia melanjutkan studi di Iraq, agaknya turut mempengaruhi persepsi Yahudi di mata Abdurrahman
Wahid. Kemajuan yang diperoleh Yahudi saat ini, tidaklah didapat dengan mudah. Berbagai macam kepedihan mereka rasakan. Mulai dari pengucilan selama
berabad-abad di Eropa, sampai pembunuhan massal yang mereka sempat alami. Jadi, adalah suatu kewajaran bila Yahudi, berangkat dari keterpurukannya,
mampu merangsek ke peringkat atas orang-orang penting di muka bumi saat ini. Seperti yang sudah disampaikan, orang Yahudi mempunyai modal dasar
yang mengikatnya selama berabad-abad, sejak mereka tercecer, disudutkan oleh pergaulan internasional, hingga menjadi umat pioner penggerak Zaman, seperti
saat ini. Mereka memelihara semacam kesadaran kolektif yang dari titik itu
33
Nawawi A. Manan, Membangun Demokrasi Melalui Kontroversi Sidoarjo: Pustaka Andalusia, 2003, h. 166 dan 168.
mereka seakan terikat ke kesatuan nasib yang meliputi orang Yahudi dari belahan manapun, sekalipun terpisah oleh lain benua. Yerussalem, seperti yang
disampaikan Trias Kuncahyono, merupakan simbolisasi abadinya api perjuangan Yahudi menjaga kesatuan langkah perkumpulan Yahudi dunia, termasuk Israel.
Selain itu, kecondongan Gus Dur terhadap Israel, semata-mata adalah narasi besar yang menjadi cita-citanya menciptakan perdamaian global, tidak lagi
tersekat oleh domain-domain keagamaan. Disadari atau tidak, badai prahara yang berpotensi mengganggu kemajuan peradaban manusia kedepan, adalah
disebabkan oleh pertikaian tak berujung antara Israel dengan Palestiana. Gus Dur, menyebutkan kawasan Timur Tengah merupakan padang
peperangan dan tempat perebutan dominasi bagi para negara besar. Hal ini dapat dilacak dari politik dagang sapi yang dilakukan para pemenang-pemenang Perang
Dunia I dan II. Terkait posisi Israel-Palestina, wacana mewujudkan satu negara berdaulat Israel yang berdiri di lahan Palestina, telah menghangat pasca PD I
34
. saat itu Inggris menjanjikan tanah Palestina bagi orang Yahudi,dengan imbalan
para miliarder dan legiun perang Yahudi membantunya dalam perang antar negara tersebut. pengadaan negara Israel, semakin memfosil dengan Perjanjian Sykes-
Picot 1916 dan Deklarasi Balfour 1917.
35
Medan pertarungan inilah yang semakin memanaskan regional Timur Tengah itu sendiri. Konflik Palestina-Israel merupakan faktor penyulut aksi
pertikaian yang semakin meluas ke negara –negara Arab lainnya seperti di Iran,
Iraq, Mesir dan lain-lain.
34
Abdurrahman Wahid, “Timur Tengah: Panorama Pergolakan Tak Kunjung Berhenti” dalam Prisma Pemikiran Gus Dur Yogyakarta: LKiS, 2010, h. 134.
35
Riza Sihbudi, Menyandera……, h. 460.
Dengan memperhitungkan posisi Israel sebagai matchmaker Timur Tengah, adalah satu hal yang patut dikedepankan. Bagaimanapun, kekuatan Israel
adalah puncak gunung es dari sokongan negara-negara paling berpengaruh di dunia. Melawan Israel menggunakan senapan adalah satu hal yang konyol.
Sebenarnya, bisa saja diejawantahkan pan-Arabisme jilid II yang mengusung semangat “menghapus Israel dari peta dunia” namun, upaya tersebut terasa
kemajuannya hanya beberapa tapak ke depan. Sedangkan selanjutnya, Timur Tengah menjadi padang penjagalan yang dilakukan oleh negara super powers
lainnya. Menyelami ide Gus Dur-Israel, agaknya para penafsirnya juga akan
menemukan kamar-kamar lain, yang begitu banyak dalam jaringan pemikirannya Memang merupakan sebuah kerumitan tersendiri dalam memandang sepak terjang
pemikiran Gus Dur, terlebih bagi mereka yang menggunakan kacamata lahiriah, tanpa memasang lensa tabayyun guna melesat ke asumsi pemikirannya.
Satu hal yang menjadi fokus perhatian, adalah jangan hanya memahami pemikiran Gus Dur sepenggal-sepenggal. Jika itu yang terjadi, maka yang ada
adalah kesalahan pandangan yang justru bertameng pada menyalahkan seseorang, bahkan kerapkali menyematkan gelar kafir, keblinger, dan lain-lain.
Kembali pada persoalan Israel, Gus Dur sangat tidak sepakat dengan golongan garis kanan parlemen Israel. Menurutnya, kelompok ini begitu bernafsu
untuk mewujudkan negara Israel raya Palestina, Syria, dan Jordania. Di sisi lain, kelompok moderat yang pro-perdamaian, kurang mendapat tempat dalam Knesset.
Partai Likud, merupakan partai besar yang di Knesset mejadi payung bagi
kelompok Israel garis keras. Kelompok inilah yang melegalkan penghilangan hak hidup warga Arab dengan cara apapun.
Tidak bisa dielakkan, “kebijakan alot” kelompok keras, seperti yang diimani oleh PM Israel, Ariel Sharon, tidaklah menginisiasi terbitnya solusi,
malah berbanding terbalik, akan semakin memperkeruh suasana
36
. Orang-orang macam inilah yang semakin membawa konflik Timur Tengah ke wilayah tuna
rekonstruksi hubungan kemanusiaan. Dimata pengambil kebijakan keras Israel, fakta kebenaran, dianggap ilusi,
seakan tak pernah terjadi. Hal ini terbukti ketika Komisi Kahan yang dibentuk oleh pemerintahan Israel guna mencari bukti keterlibatan pembantaian pengungsi
Palestina di perkampungan Sabra dan Chatila, sebelah barat Beirut. Ketika komisi pimpinan ketua Mahkamah Agung, Yitzhaki Kahan membawa hasil yang
membuktikan tentara Israel membunuhi warga Palestina, fakta ini ditentang ekstra keras oleh kelompok ultra-radikal yang saat itu diwakili oleh Menlu Ariel Sharon.
Akibatnya , dokumen tersebut seperti berada di ruangan kosong, tidak ada penelusuran lebih lanjut bak tidak terjadi apa-apa.
37
Dilain hal, kamar lain yang perlu dijelajahi oleh para penafsir pemikiran Gus Dur adalah bahwa sosok ini begitu menggandrungi humanisme universal.
Menurutnya, universalisme Islam menampakkan wajah teduh yang bersumber dari tiap kebaikan ajaranya. Paralelitas ajaran yang saling mendukung, yakni dari
hukum agama fiqh, keimanan tauhid, etika akhlak, yang kerapkali
36
Abdurrahman Wahid, “Arafat, Israel, dan Palestina” dalam Kompas edisi Minggu, 7 April 2002.
37
Abdurrahman Wahid, “Israel: Cukupkah Momentumnya?” dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LKiS, 2010 h. 227.
disempitkan maknanya menjadi kesusilaan belaka, dan nilai hidup yang merujuk pada upaya menebarkan pendar-pendar ajaran kemanusiaan al-insaniyyah.
38
Nah, pada tataran inilah, sikap menerima yang lain menjadi sangat penting. Terutama dalam rangka membonsai kehidupan yang awalnya penuh tipu
daya, menjadi satu ritme kesamaan dalam menggagas satu perubahan sistemik. Realitas kebhinekaan, tidak hanya pada ranah nasional, adalah keniscayaan yang
wajib dipahami dan dilestarikan. Jika sudah demikian, maka akan mudah untuk merajut jalinan-jalinan
kerjasama antar umat yang berbeda. Tak terkecuali dengan Israel, yang secara lahiriah dianggap musuh Islam, maka adalah satu keharusan guna mengajak umat
Yahudi yang memiliki kepeduliaan dalam menggalang kehidupan yang lebih baik.
38
Abdurrahman Wahid, “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Ajaran Islam” dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kabudayaan Depok: Desantara, 2001, h. 179.
111
BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID