58
BAB III BIOGRAFI INTELEKTUAL ABDURRAHMAN WAHID
A. Riwayat Hidup
Abdurrahman Wahid, yang lebih akrab disapa Gus Dur, lahir pada 7 September 1940 dengan nama kecil Abdurrahman Ad-Dakhil. Gus Dur dilahirkan
di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Haji Bisri Syansuri.
Anak yang lahir dari pasangan Kiai Haji Wahid Hasyim dan Solichah ini, sejak kecil akrab dengan kehidupan pesantren. Keluarga besar Gus Dur, baik dari
garis bapak maupun ibu, mempunyai latar belakang kepesantrenan yang kuat. Kedua Kakek Gus Dur, Kiai Haji
Hasyim Asy‟ari dan Kiai Haji Bisri Syansuri, merupakan sosok ulama yang sangat dihormati dikalangan NU Nahdhlatul
Ulama, sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yang didirikan pada 31 Januari 1924. Kedua ulama tersebut merupakan founding fathers yang turut
membidani lahirnya organisasi itu. Selain itu, kedua kiai diatas dikenal sebagai tokoh dua pesantren besar di
Jombang. Pada tahun 1899, Kiai Haji Hasyim membuka sebuah daerah yang tadinya terkenal sebagai sarang maksiat, dan menyulapnya menjadi sebuah
lembaga pengajaran Islam, kelak dikenal sebagai pesantren Tebu Ireng. Sedangkan Kiai Haji Bisri Syansuri berasal dari pesantren Denanyar. Jika Kiai
Haji Hasyim terkenal sebagai pendiri pesantren Tebu Ireng, maka Kiai Bisri merupakan seseorang inovator handal yang memodernisasi pesantrennya. Pada
tahun 1917, Kiai Haji Bisri memperkenalkan pada dunia pesantren, kelas pertama bagi santri putri.
Ayah Gus Dur. Kiai Haji Wahid Hasyim, merupakan sosok sarjana muslim yang cerdas dan terkenal mempunyai komitmen tinggi. Setelah dua tahun
mengembara ilmu di Mekkah, Wahid Hasyim kembali ke Tebu Ireng pada tahun 1934, dia pun memulai karirnya sebagai pengajar di pesantren milik ayahnya
tersebut. Wahid Hasyim, merupakan sosok guru agama yang mempunyai pandangan inklusif, hal ini terterlihat dari gagasannya, yaitu mengawinkan
pendidikan modern dengan pengajaran Islam klasik. Idenya tersebut terkristalisasi ketika ia dipercaya mendirikan madrasah modern di lingkungan Tebu Ireng.
1. Masa kecil
Ketika Gus Dur muda berusia 4 tahun, ia diajak oleh ayahnya untuk tinggal di Jakarta, hal ini terjadi pada tahun 1944. Di daerah yang nantinya
menjadi pusat pemerintahan Indonesia itu, Wahid Hasyim memilih daerah Menteng untuk dijadikan tempat tinggal. Saat itu, Menteng sudah terkenal sebagai
hunian yang diminati oleh para pengusaha terkenal, para professional, dan para politikus.
Wahid Hasyim mengawali penjelajahannya di dunia pemerintahan Jakarta sebagai pengurus Shumubu, Kantor Urusan Agama. sebenarnya, yang ditunjuk
oleh pemerintah Jepang sebagai pengurus Shumubu adalah Kiai Haji Hasyim Asy‟ari. Namun, ketika disodorkan tawaran itu, Kiai Haji Hasyim seakan
menghadapi dilema besar, bak memakan buah simalakama. Di satu sisi, dia tidak mau dicap sebagai penghianat oleh rekan-rekannya karena bertindak akomodatif
dengan Jepang, di sisi lainnya, jika ia menolak, maka akan menimbulkan
kecurigaan Jepang terhadapnya. Untuk menyiasatinya, ia mengutus anaknya, yang atas kuasanya menjadi pejabat Shumubu.
Setelah Jepang menyerah, Wahid Hasyim dan putra tercintanya itu, memutuskan untuk kembali ke Tebu Ireng. Bukannya mengurangi kesibukan,
Wahid Hasyim malah menyibukkan dirinya lebih rekat dengan upaya mempersatukan komponen-komponen pergerakan nasional. Tak jarang, ia sering
meninggalkan keluarganya dan pulang setelah beberapa minggu dari pegembaraan. perilaku “menghilangkan diri” sengaja dilakukan oleh Wahid
Hasyim karena ia telah menjadi TO target operasi Belanda, yang ketika itu ingin kembali menancapkan kuku kolonialisnya kembali di nusantara. Pada fase
kehidupan tersebut, warga NU dirundung kesedihan karena meninggalnya Kiai Haji
Hasyim Asy‟ari, hal ini terjadi pada tahun 1947. Di tahun 1948, ketika perjanjian perdamaian telah ditandatangani oleh
Belanda, masa pengasingan diri Wahid Hasyim resmi berakhir. Atas pertimbangan kesibukan pemerintahan, Ia dan keluarganya berencana untuk
tinggal kembali di Jakarta. Pada bulan Desember 1949, tahun dimana Wahid Hasyim telah tepilih sebagai menteri agama, ia dan Gus Dur kembali ke Jakarta
untuk menyiapkan rumah bagi keluarganya. Pada periode awal, ia dan anaknya tinggal di sebuah hotel di bilangan
menteng. Ketika itu, setiap pagi, Wahid Hasyim seringkali mengantarkan Gus Dur ke sekolah dasar yang terletak tak jauh dari hotel tempat tinggalnya. Gus Dur
menggambarkan, ayahnya merupakan pribadi yang serius, sederhana dan penuh kasih sayang terhadap anak-anaknya, hanya saja ia agak jarang berbicara dengan
anaknya.
Selepas sekolah, Gus Dur juga diwajibkan oleh ayahnya untuk mengikuti pelajaran tambahan asing. Dalam hal ini, Wahid Hasyim mempercayakan Williem
Iskandar Bueller, seorang Jerman muslim, guna memberikan pelajaran bahasa asing bagi anaknya. Di kediaman Bueller, Gus Dur bukan hanya diajari
kemampuan berbicara dalam bahasa asing, namun pertemuan dengan Bueller juga menjadi titik awal kegemaran Gus Dur terhadap musik klasik Eropa, sesuatu yang
tidak ditemuinya dalam rumahnya yang cenderung agamis dalam memilih musilk. Selain itu, Wahid Hasyim senantiasa mendorong anaknya itu untuk rajin
membaca. Di rumahnya banyak terdapat buku berbagai, kumpulan Koran dan majalah berbagai bahasa yang sengaja dikumpulkannya untuk asupan inteletual
putra-putrinya. Kemesraan Wahid Hasyim dan anaknya berakhir tragis dengan kematian
sang ayah dalam suatu kecelakaan di Cimahi pada hari Sabtu tanggal 18 April 1953, lebih tepatnya pukul 01.00 siang. Ketika itu Gus Dur bepergian menyertai
ayahnya dalam sebuah acara NU di Bandung. Dalam kecelakaan itu, Gus Dur dan sang supir berhasil selamat, namun tidak bagi Wahid Hasyim yang terluka parah,
dan baru meninggal pada pukul 10.30 keesokan harinya di rumah sakit. Kejadian tersebut ditanggapi Gus Dur dengan arif dan tidak terlalu terlarut dalam
kesedihan. Namun, di hati kecilnya, peristiwa tersebut menimbulkan satu kehilangan sosok terpenting dalam hidupnya.
Selepas meninggalnya sang ayah, Gus Dur menapaki jalur remajanya dengan penuh keyakinan. Tamat dari SD, Gus Dur melanjutkan Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama SMEP di Kota Pelajar, Yogyakarta. Di kota ini, ia tinggal di rumah H Djunaedi, teman ayahnya. Yang menarik, H Djunaedi adalah
seorang aktivis Muhammadiyah. Rasa saling menghormati dan menyayangi diantara keduanya, mampu meredam api perbedaan.
Sebutan “surga pencari ilmu” yang disematkan ke Yogyakarta agaknya bukan isapan jempol. Di Kota ini, Gus Dur mulai memasuki rimbunnya
pengetahuan lebih dalam. Selain bersekolah formal, Gus Dur menambah pengetahuan agamanya dengan mereguk mutiara-mutiara keilmuan di Pesantren
Al-Munawwar, Krapyak. Ia belajar bahasa Arab langsung kepada si empunya pesantren, K.H. Ali Ma‟shum. Kiai ini terkesan tegas dan bijaksana, ia tidak serta-
merta member perlakuan khusus kepada para “kaum gawagis” jamak dari Gus= anak kiai. Justru sebaliknya, mereka ditempa lebih keras, di banding santri yang
bukan berlatar belakang keluarga kiai. Setelah menamatkan sekolah lanjutan pertamanya pada tahun 1957, Gus
Dur mulai lebih intens mempelajari agama di pesantren Tegalrejo, Magelang. Di sini, ia diajar langsung oleh Kiai Haji Khudori, yang merupakan salah satu
pembesar NU. Gus Dur merupakan pribadi yang serius dalam menggeluti ranah keilmuan Islam, jika santri lain menyelesaikan pendidikan pesantren selama
empat tahun, hal ini tidak berarti bagi Gus Dur, ia hanya membutuhkan waktu dua tahun untuk menguasai keilmuan di pesantren Kiai Haji Khudori itu. Di saat yang
sama ia juga belajar di pesantren Denanyar dan langsung diajar oleh kakek dari pihak ibunya, Kiai Haji Bisri Syansuri
1
. Dapat dikatakan, periode tersebut merupakan salah satu fase “puber
intelektual” Gus Dur. Ia buka hanya giat mengkaji literatur-literatur Arab klasik interdisipliner namun juga mengisi waktu senggangnya dengan membaca buku-
buku para pemikir Barat. Sebenarnya, ketika kecil, Gus Dur bercita-cita menjadi
1
Greg Barton, Biografi Gus Dur Yogyakarta: LKiS, 2010, h. 27-53
ABRI. Cita-cita ini kandas di tengah jalan sebab sejak usia 14 tahun, ia harus memakai kacamata minus.
Kegilaannya terhadap buku, membuat heran teman-temannya sesama santri. Ditengah pusaran intelektualitas pesantren yang didominasi oleh kitab-
kitab klasik dan menghafal syair Arab, Gus Dur telah mampu menyantap buku berat seperti fisafat Plato, Das Kapital-nya Marx, Thales, dan novel karya William
Bochner. Kekagetan para temannya melihat polah penjelajahan filsafat adalah diluar kewajaran, mengingat masih sangat jarang santri yang mempunyai hasrat
belajar seperti Gus Dur. Untuk mencairkan kesuntukannya membaca buku, Gus Dur juga seringkali bermain catur dengan kawannya.
2
Pada tahun 1959, Gus Dur melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke arah Timur pulau Jawa, tepatnya di tanah tumpah darahnya, Jombang. Di kota sebelah
Timur Nganjuk ini, ia mempertajam pengetahuannya dengan berguru di Pesantren Tambak Beras asuhan sang mahaguru, Kiai Haji Wahab Chasbullah. Di sini, Gus
Dur tidak saja belajar, namun juga didorong oleh sang kiai untuk mengajar. Ia memulai jalur pengabdiannya tersebut dengan menjadi guru di madrasah modern
yang terletak dalam komplek pesantren dan ia pun mendapat kesempatan menjadi kepala sekolahnya. Di kawah candradimuka bagi para santri ini, Gus Dur juga
sempat diserahi jabatan sebagai kepala pengamanan santri. Dia bertanggung jawab menjaga keamanan pesantren, termasuk mengamankannya dari pencurian
3
. Walaupun terpisah jauh dengan keluarga besar pesantren Krapyak,
khususnya dengan Kiai Haji Ali Ma‟shum, tidak serta-merta merenggangkan
2
Ahmad Bahar, Biografi Kiai Politik Abdurrahman Wahid: Gagasan dan Pemikirannya, Jakarta: Bina Ilmu, 1999, h. 4
3
Al-Zastrow, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan? Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999, h 26
hubungan keduanya. Gus Dur tetap berkunjung ke pesantren yang terletak di sebelah utara Yogyakarta itu.
Pada waktu itu, Gus Dur mengalami semacam pencerahan keilmuan yang begitu mempesonanya. Bak seorang profesor menemukan suatu penemuan
penting. Selain kegemarannya menyantap kitab-kitab arab klasik, baik dalam bidang
sastra, tasawuf,
maupun disiplin
lainnya, ia
juga gemar
mengintegrasikannya dengan ilmu hikmah, ataupun muatan sufiisme lainnya. Ilmu yang langsung berkaitan dengan kejiwaan ini, membutuhkan sarana untuk
mempertajamnya. Tak jarang, dalam merengkuh keintiman dengan Sang Khalik, Gus Dur sering menziarahi makam para tokoh agama, maupun orang suci saint
pada tengah malam. Ketika di Jombang misalnya, ketika ia bertekad menghafal suatu kitab kaidah sastra Arab standar, ia melakukan suatu ritual jalan kaki
mengunjungi makam-makam kiai yang berada di selatan Jombang. Sejak remaja, Gus Dur dikenal sebagai pemuda yang berbeda dengan
kebanyakan sebayanya. Logika umum yang beredar di masyarakat tentu saja mengatakan barang siapa yang rajin maka ia akan pandai. Pameo ini seakan
membentur dinding keras jika disetarakan dengan pola kehidupan Gus Dur. Gus Dur muda dikenal sebagai orang yang cenderung pemalas dan kurang disiplin.
Bahkan ketika bersekolah di lanjutan pertama, ia pernah tinggal kelas. Namun Gus Dur seakan membuktikan kepada dunia, bahwa kepandaian bukan saja
didapat dibangku pendidikan formal. buku, bisa dibilang merupakan “pacar” yang tidak pernah ketinggalan dalam kesehariannya.
2. Dari Sepakbola sampai Wayang
Gus Dur merupakan prototype orang yang doyan akan selera masyarakat bawah. Kedekatannya dengan dunia pesantren, tak lantas membuat pola pikirnya
kaku dan eksklusif. Pandangan moderat yang memancar dari sosok pria tambun ini,
merupakan rancang
bangun yang
senantiasa bermetamorfosis.
Kemampuannya mereguk dua tradisi secara bersamaan, barat dan timur, membuat wawasannya bertambah luas. Selain itu, banyak pula kegemaran Gus Dur lain
yang tak kalah menarik untuk disimak, khususnya berkaitan dengan hobi nonton sepakbola.
Untuk hal yang satu ini, agaknya Gus Dur tidak mau banyak kompromi. Sepak bola merupakan olahraga yang tak lepas dari Gus Dur. Kegemaran akan hal
tersebut, bukan hanya berhenti pada kegiatan menyaksikan sepakbola melalui layar kaca, namun bergulir kearah hobinya yang lain, yakni menulis.
Selain dikenal sebagai penulis prolifik di bidang politik dan humanisme, Gus Dur juga sempat menuangkan idenya dibidang sepakbola, lebih khususnya
pada analisis pertandingan. Contohnya, dalam suatu tulisannya, ia begitu apik menelusur strategi demi strategi yang dimainkan oleh beberapa tim nasional Piala
Eropa 1992. Gus Dur menggambarkan, betapa Piala Eropa ‟92 merupakan perang urat syaraf para tim-tim tangguh benua biru. Jika Belanda mempunyai motor
serangan sekelas Ruud Gullit yang mampu menjadi “rudal jelajah” menyisir daerah pertahanan lawan, maka Swedia mempunyai trio Martin Dahlin, Thomas
Brolin dan Kennet Andersson. Efektivitas pola permaianan merupakan grand design yang kentara dalam perang bola di benua biru 1992
4
. Ada pula tulisan Gus Dur yang bersifat penggabungan analisa dengan
melihat suatu isu dengan menggunakan sudut pandang sepak bola. Dalam tulisannya berjudul “Piala Dunia ‟82 dan Landreform”, Gus Dur menerangkan
bahwa ada kemiripan paradigma yang terbangun antara beberapa tim Piala Dunia 1982 dan fenomena landreform, yakni dari segi perilaku negatifnya meraih suatu
harapan atau target. Saat itu, sistem birokrasi di Indonesia belumlah “menggigit” secara rinci undang-undang pertanahan. Akibatnya, terjadi politik dagang sapi
yang berbuntut pada kemenangan kalangan partikelir. Mereka berhasil memperdaya pemerintah tingkat desa, seperti LKMD guna memberi legalitas
kepemilikan tanah pada pemilik modal. Gus dur membadingkan, kejadian tersebut sama halnya dengan beberapa
tim kontestan Piala Dunia 1982 yang meraih kemenangan dengan cara yang kurang variatif. Menurut pandangannya, Piala Dunia yang kala itu
diselenggarakan di Spanyol tersebut, tidak mampu mengangkat keagungan sepakbola laiknya karya seni yang menawan, kualitas cenderung regresif, dan
hanya menjadi industri pertukangan. Yang terlihat hanyalah cara-cara negatif: menahan serangan bertubi-tubi dari lawan sambil mengintai kelemahan lawan
5
. Selain sepakbola, Gus Dur juga dikenal sebagai pribadi yang cinta akan
produk budaya lokal, seperti wayang kulit. Gus Dur mulai tertarik dengan pertunjukan wayang ketika berada di Yogyakarta. Pertunjukan ini, sering
4
Abdurrahman Wahid, “Piala Eropa: Adu Pola,” dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela Yogyakarta: LKis, 2010, h. 197-198
5
Abdurrahman Wahid, “Piala Dunia ‟82 dan Landreform,” dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela Yogyakarta; LKis, 2010. h 195-196.
diadakan di sekitar Yogyakarta, tetapi jarang sekali di ibukota. Kala itu, Gus Dur selalu mencari-cari pertunjukan wayang di sekitar Yogyakarta dan Magelang
setiap dua atau tiga kali seminggu . walaupun itu harus dibayar dengan menempuh jarak yang jauh sekalipun
6
. Menurut Gus Dur, cerita-cerita wayang menggambarkan dimensi sifat
kemanusiaan Jawa yang diaplikasikan lewat media lain, yaitu lewat tokoh per- tokoh ataupun lakon cerita dari wayang tersebut. umpanya, seperti kisah
Bharatayudha, satu epos Mahabharata yang mengisahkan peperangan antara dua keluarga yang sebenarnya bersaudara, yakni antara Pandawa keturunan Pandu
dan Kurawa keturunan Kuru yang berjumlah seratus orang. Menurutnya, ada perbedaan sudut pandang masyarakat Jawa jika
dibandingkan dengan masyarakat Barat. Kurawa yag dipersonifikasikan sebagai pihak yang salah, masih mempunyai peluang untuk menjadi manusia yang baik,
jika mereka mengembangkan aspirasi kebaikannya-menjadi seperti Pandawa yang telah mencapai kedudukan wasilun, kesempurnaan jiwa.
Pertempuran di padang Kurusetra, yang merupakan tempat terjadinya perang Bharatayudha, adalah penggambaran dari sisi lain pergulatan budaya yang
terjadi. Konsep tasawuf jelas menunjukkan adanya pengaruh dari pengaruh budaya Jawa pada maket budaya yang diusung oleh santri melalui pesantren-
pesantren mereka. Pesantren-pesantren lama menerapkan unsur eklektik, yakni menyerap pengaruh ajaran Jawa guna menerapkannya dalam rancang bangun
kehidupan pesantren.
6
Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 54
Hal ini terlihat di tata bangunan lama pesantren Den Anyar, Jombang. Jika masuk pesantren itu, kita menemukan sebuah lapangan di depan masjid.
Disebelah utara, terdapat kediaman kiai yang digambarkan sebagai orang yang telah sampai ke maqam tingkat kebatinan tertinggi wasilun. Sedangkan di
sebelah selatan lapangan, terdapat kombong, tempat tinggal santri yang menjadi “lawan” kiai karena masih berprofesi sebagai para perambah jalan keruhanian
salikun. Mereka dipertemukan di padang Kurusetra, yang dalam hal ini diwakili oleh masjid.
Jika di cerita wayang, Kurusetra merupkan tempat peperangan fisik, maka hal demikian tak berlaku di masjid. masjid merupakan ajang peperangan jiwa sang
kiai menundukkan aspirasi-aspirasi menyimpang santrinya. Hal demikian berbeda dengan Barat yang memandang fenomena dengan
hitam-putih, jahat adalah tetap jahat, dan sebaliknya. Tidak ada peluang bagi si jahat hijrah menjadi pribadi yang baik. Pola pikir seperti ini ditanamkan sejak
umur dini, contohnya tentang posisi cow boy sebagai pihak yang baik dan bandit sebagai orang yang selalu dan akan tetap di pihak yang jahat. Dua-duanya adalah
keabadian yang tidak dapat saling berpindah tempat
7
. Wayang merupakan langgam budaya Jawa yang menancapkan pengaruh
yang dalam di dunia Pesantren dan Islam secara luasnya. Hal ini dibenarkan oleh RH. Tjetjep Supriadi, seorang pengamat wayang dan dalang Wayang Golek
Sunda. Menurutnya, para pendakwah Islam menggunakan realitas budaya masyarakat Jawa yang kala itu telah terlanjur mencintai budaya Hindu dan bahasa
Sansekerta guna menciptakan dakwah yang lebih variatif dan akomodatif, salah
7
Abdurrahman Wahid, “Membaca Sejarah Lama 11,” dalam Membaca Sejarah Lama: 25 Kolom Sejarah Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKis, 2010, h. 47-49.
satunya dengan merekonstruksi kembali cerita wayangnya, pekem-nya bentuk tetap, tidak dirubah, hanya tuntunanmisinya disesuaikan dengan ajaran Islam
8
.
3. Menapaki Timur Tengah dan Eropa
Gus Dur sangat berhasrat sekali mencari ilmu keluar negeri. Gayung pun bersambut, pada bulan November 1963, Gus Dur berkesempatan melajutkan di
bumi para Pharao, Mesir. Kesempatan itu didapatnya karena ia lulus tes beasiswa dari Departemen Agama.
Ketika itu, Gus Dur berangkat ke Mesir menggunakan kapal laut. Dalam perjalanan, dia membawa buku karya Arthur Schlesinger Jr yang berjudul “The
Age of Jackson ”, buku yang dibaca habis sepanjang perjalanan. Yang menarik,
hari ketika ia berangkat bertepatan dengan hari terbunuhnya Presiden AS, John F. Kennedy di Dallas. Sebuah momen yang menghantui perjalanannya.
9
Sesampainya di Mesir, Gus Dur yang awalnya begitu bersemangat dalan melanjutkan studi di Al-Azhar, menelan kekecewaan. Ia tidak bisa langsung
mengikuti perkuliahan, dan disarankan oleh para pejabat universitas untuk mengikuti kelas persiapan guna memperbaiki pelajaran bahasa Arabnya.
Sebenarnya, pengetahuan Gus Dur tehadap gramatika dan bahasa Arab disamping pengetahuannya tentang yurisprudensi Islam, teologi dan pokok-pokok pelajaran
Islam yang lain telah sampai pada tingkatan yang lebih dari cukup, hanya saja ia tidak mempunyai ijasah resmi yang menunjukkan ia telah mumpuni di bidang-
bidang itu. Karena itu, ia dimasukkan ke kelas yang benar-benar dikhususkan bagi
para beginners. Banyak dari temannya di kelas itu, yang baru datang dari Afrika
8
Tjetjep Supriadi, “Unsur Islam Dalam Pewayangan,” Wayang, Juni 2008, h. 70.
9
Al-Zastrow, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan,,, h. 22.
yang hampir tidak mengetahui abjad Arab, apalagi menggunakan bahasa Arab dalam percakapan. Kekecewaan ini berbuntut panjang, Gus Dur memutuskan
untuk tidak mengikuti kelas persiapan tersebut, yang berarti ia tidak mengecap pendidikan formal lanjutan di Al-Azhar.
Kekecewaannya terbayar dengan pesona kehidupan Kairo. Ia mulai menyibukkan hari-harinya menyaksikan pertandingan sepak bola, menonton film-
film berbahasa Perancis kesukaannya, berdiskusi di kedai-kedai kopi dan mengunjungi perpustakaan-perpustakaan besar. Kota Kairo benar-benar menjadi
obat kekecewaan Gus Dur atas kekecewaannya terhadap Al-Azhar. Bukanlah seorang Gus Dur, jika menyerah hanya terbentur dengan
masalah formalitas. Walaupun ia gagal memasuki Al-Azhar, ia tetap dapat melepaskan hasrat intelektualnya di tempat lain di Kairo. Ia rajin menyambangi
perpustakaan Universitas Amerika dan Universitas Kairo. Disamping itu, ia juga merambah perpustakaan Perancis guna menambah
wawasannya. Di perpustakaan-perpustakaan tersebut, Gus Dur dibuat terpana oleh koleksi-koleksi yang maha kaya. Sebelumnya, ketika di Indonesia, Gus Dur
belum pernah menemukan “sumber kearifan” yang melimpah ruah seperti di Kairo.
Hal tersebut didukung pula oleh jadwal keseharian Gus Dur yang jauh dari keadaan padat. Hari-harinya yang harusnya dipenuhi oleh kelas-kelas persiapan
Al-Azhar, diganti dengan pola hidup serba fleksibel, hal inilah yang menyebabkan ia dapat membaca apapun, kapanpun, dan dimanapun sebanyak yang ia inginkan.
Bak tiada rotan akar pun jadi, Jika tidak ada buku, maka kliping surat kabar atau majalah pun dapat mengairi kegersangan pengetahuannya.
Menurut Gus Dur, ia turut membawa buku-buku kesukaannya seperti tulisan Marx dan Lenin, yang dibacanya kembali dan didiskusikan bersama
mahasiswa dan kaum cendekiawan di kedai kopi langganannya. Di Bawah pemerintahan Nasser, tradisi intelektual berkembang dengan optimisme yang
tinggi dan relatif terbuka. Walaupun ia belum berkesempatan menjajaki pengetahuan di Eropa, perkenalannya dengan pemikiran-pemikiran Barat di Kairo
menjadi semacam obat penawar . sebuah keadaan yang belum tentu dapat dirasakannya di Indonesia kala itu.
Di Kota itu ia juga mengasah kemampuan berorganisasinya. Segera setelah tiba di Kairo, Gus Dur mendapat kepercayaan sebagai ketua Perhimpunan
Pelajar Indonesia PPI, yang merupakan organisasi penghubung para mahasiswa Indonesia di seluruh Timur Tengah. tak jarang ia banyak bertolak ke perwakilan-
perwakilan di wilayah tersebut guna menyelesaikan masalah-masalah mereka atau hanya sekedar memenuhi undangan.
Pada tahun 1964, bersama seorang temannya yang kelak menjadi eorang ulama dan penyair besar, Mustofa Bisri, membuat majalah bagi PPI. Gus Dur
menulis secara teratur untuk majalah ini. Disamping dikenal sebagai esais yang jenaka dan provokatif, Gus Dur juga kerapkali menjadi pembicara dalam forum
diskusi dan menyampaikan pidato dalam pertemuan-pertemuan mahasiswa Indonesia.
Kedai-kedai kopi di Kairo menempati posisi yang sulit dilupakan dalam pemikiran Gus Dur. Betapa tidak, tempat ini menjadi semacam sekolah tersendiri
yang memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam kemahiran bahasa Arabnya. Tak ayal, diskusi yang kerapkali diikutinya, tak ubahnya seperti kelas di Al-Azhar,
namun dengan suasana yang lebih santai. Ketika pejabat-pejabat membaca hasil belajarnya, mereka baru tersadar, betapa mereka telah salah menempatkan Gus
Dur dalam kelas persiapan, akhirnya ia pun dapat ikut kuliah di Al-Azhar dengan mengambil jurusan bahasa Arab.
Setelah beberapa waktu mencicipi pendidikan formalnya di Al-Azhar, ia pun kembali menelan kekecewaan yang lebih besar. Ternyata di fakultas yang ia
pilih tersebut, ia kembali disibukkan dengan pengulangan pelajaran yang telah ia kuasai di Jombang dan Magelang. Ia juga menyesalkan cara belajarnya yang
hanya menggunakan metode menghafal. Sekali lagi, ia membanting stir, keluar dari kepenatan mengulang pelajarannyta, dan kembali ke kehidupan jalanan
Kairo. Sebenarnya, terdapat beberapa keuntungan yang diraih bagi mahasiswa
yang bersungguh-sungguh mengikuti peraturan akademik di Al-Azhar. Bayak mahasiswa yang membuktikan hal tersbut. Namun kentungan tersebut sama sekali
tidak dilirik Gus Dur. Pendekatan transformasi keilmuan yang ada, menjadi salah satu kendala utama, keengganan Gus Dur mengikutinya. Ia lebih suka
menghabiskan waktunya menimba ilmu di luar universitas ini. Pengajaran Al-Azhar yang menggunakan metode klasik dan menolak
segala unsur modern menjadi semacam penghalang bagi Gus Dur. Pengajaran seperti itu bukan hanya sangat membosankan, tetapi juga tidak menantang.
Agaknya, Gus Dur sudah kenyang dicekoki metode hafalan yang didapatnya semasa ia di pesantren dahulu.
Selain menyelami kesusastraan dan pemikiran barat, Gus dur juga tidak ketinggalan perkembangan intelektualitas di dunia Islam. Bacaannya sangat luas
mulai dari karya-karya Sayyid Qutb, yang terkenal dengan pemikiran ekstrimisme Islamnya, karya-karya Hasan Al-Banna tokoh yang mendirikan Ikhwanul
Muslimin di Mesir pada tahun 1928 yang mengusung semangat kembali kepada alquran dan hadis guna menyembuhkan penyakit masyarakat, Ali Syari‟ati
intelektual Iran, tulisannya menggelorakan masyarakatnya untuk melakukan revolusi konstitusional dinegaranya. Namun, ada satu hal yang disayangkan oleh
Gus Dur terhadap beberapa tokoh diatas. Yakni, keengganannya menerima kebenaran yang berasal dari sumber lain.
Jejak inteletual Gus Dur tidak hanya berhenti di bumi para Pharao. Jiwa petualangannya membawanya ke negeri Aladin, Baghdad, Iraq. Loyalitasnya di
PPI, kedekatannya pada pejabat kedutaan Indonesia ditambah pengetahuannya yang mumpuni dalam beberapa disiplin ilmu, menjadi elemen sentral yang
mengantarkannya meraih beasiswa keduanya tersebut. selain itu, di tempat persinggahannya yang baru ini, Gus Dur menemukan oase keilmuan yang tak
kalah semarak dengan Kairo. Baghdad, merupakan pusat kehidupan yang saat itu dikenal oleh para
mahasiswa Indonesia sebagai kota kosmopolitan yang penuh dengan vitalitas, baik dari ranah ilmu pengetahuan maupun seni. Para intelektual bebas untuk
mengutarakan pendangan maupun pemikirannya. Hal ini berbanding terbalik dengan Mesir. Disaat yang sama, Mesir dibawah pemerintahan Nasser
menerapkan filtrasi yang cukup ketat dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Langgam otokratik pemerintahan Nasser,
menjadi salah satu faktor utama keengganan Gus Dur untuk berlama-lama di Mesir.
Di kota ini, Gus Dur memilih Universitas Baghdad sebagai tambatan sampan pengembaraannya. Saat itu Universitas Baghdad, walaupun sama-sama
berada di kawasan Timur Tengah, memiliki perbedaan signifikan dengan Al- Azhar. Jika universitas Al-Azhar bersikukuh mempertahankan metode
tradisionalnya yang merupakan hasil proliferasi selama berabad-abad, maka Universitas Baghdad banyak mengadopsi unsur Eropa . satu hal yang cukup
menyita perhatian, banyak dari akademisi Mesir favorit Gus Dur, pindah ke universitas tersebut dengan alasan di tempat itu mereka mendapatkan kebebasan
akademik dan gaji yang lebih tinggi. Di Baghdad, jadwal belajar Gus Dur lebih ketat ketimbang di Kairo. Ia
diharuskan untuk masuk secara teratur di kelasnya, dan sebisa mungkin jangan sampai membolos. Seringkali, ia mesti mengorbankan sebagain waktu
istirahatnya, karena malamnya ia gunakan untuk membaca. Selain itu, Gus Dur juga intens mengikuti kursus bahasa Perancis gratis di Pusat Kabudayaan
Perancis. Kesempatan ini didapat ketika dalam sebuah pesta, ia ditawari oleh guru bahasa Perancisnya untuk memperdalam pelajaran bahasa Perancisnya.
Di kota ini, Gus Dur tidak hanya bergaul dengan teman setanah air, namun juga ia tidak malu untuk menjalin persahabatan dengan orang non-Indonesia.
Perbedaan adat dan ras, tidaklah dipandang Gus Dur sebagai penghalang. Justru dari pergaulan interkultural ini, Gus Dur dapat belajar berbagai hal yang tidak
ditemukannya di dalam buku, dan yang menarik lagsung dari si pelakunya, layaknya wawancara. Salah satu sahabat Gus Dur yang cukup memberikan warna
dalam mengisi hari-hari adalah Ramin. Ramin adalah seorang pemikir liberal dan terbuka. Ia giat mempelajari “Cabbala” suatu aliran mistik kuno Yahudi.
Gus Dur dan Ramin seringkali terlihat bersama di pasar dekat Taman Gantung. Kebetulan ditempat itu terdapat satu tempat yang nyaman untuk
melakukan diskusi. Tema pembicaraan mereka beragam, mulai dari agama, filsafat bahkan politik. Ramin banyak menerangkan kepada Gus Dur seputar
masalah diaspora Yahudi. Menurut Ramin, masa diaspora adalah masa yang sulit bagi Yahudi. Keterpurukan Yahudi semakin menggila di Jerman dan Rusia. Dari
sahabatnya itu, Gus Dur mulai belajar menghormati ajaran Yudaisme serta keprihatinan Yahudi yang nasibnya terkatung-katung selama berabad-abad.
Setelah menamatkan studinya di Baghdad pada pertengahan 1970-an. Gus Dur melanjutkan studi pascasarjananya ke Eropa dan negara yang dipilih oleh
Gus Dur adalah Belanda. Di negeri kincir angin ini, rencananya, Gus Dur akan mengambil objek studi perbandingan agama. mula-mula ia mencari informasi di
Universitas Leiden. namun, keriangan hati Gus Dur membeku seketika. Ternyata, hasil belajarnya selama empat tahun tidak mendapat pengakuan dari Leiden dan
beberapa Universitas Eropa lainnya. Justru, ia disarankan untuk kembali mengulang dari tingkatan sarjana.
Kekecewaan ini tidaklah lama terendap di hati Gus Dur. Biarpun ia tidak bisa menempuh studi formal, namun ia tetap berkeyakinan akan tetap
mendapatkan hikmah terpendam dari benua biru ini, sekalipun tidak di bangku kuliah. Sela satu tahun ia berkelana menyusuri Eropa. Ia memilih Belanda,
Jerman, dan Perancis sebagai tempat persinggahannya. Di negara-negara itu, Gus Dur menyibukkan diri dengan menjadi semacam free agent yang mendulang
kekayaan pengetahuan Eropa lewat forum-forum diskusi yang diikutinya.
4. Kembali ke Tanah Air
Pada tanggal 4 Mei 1971, Gus Dur kembali dengan berat hati ke Jawa. Rencana studinya di Eropa bisa dikatakan gagal. Namun, Gus Dur tetap
berkeyakinan jika Eropa tak mau menerimanya, maka di Universitas Mc Gill, Montreal, Kanada, tentu akan mau menerimanya. Dengan memafaatkan kedekatan
keluarga dengan Departemen Agama, tidak sulit bagi Gus Dur untuk mendapatkan studi ke negara yang mempunyai bendera bergambar daum maple itu. Terlebih
ketika itu, Departemen Agama mempunyai semacam program mencetak inteletual Islam dalam negeri berwawasan global. Namun demikian, karena kesibukannya,
akhirnya ia mengurungkan niatnya guna mencari beasiswa strata II. Ketika kembali ke Jakarta, ia ingin sekali mencicipi alam inteletualitas di
ibu kota. Ketika itu, ia mendapat undangan untuk mengikuti suatu kegiatan yang diadakan oleh Lembaga Pengkajian Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi, dan
Sosial LP3ES, yang merupakan LSM generasi awal yang lahir pada tahun 1970- an. Awalnya, LSM ini mendapat sokongan dana dari German Neumann Institute
dan kemudian berlanjut didanai oleh Yayasan Ford. Saat itu, lembaga tersebut banyak menarik para pemikir-pemikir muda negeri ini yang berasal dari barisan
pendukung Islam Progresif dan kaum sosial demokrat, seperti Dawam Raharjo, Adi Sasono, Aswab Mahasin, dan Abdurrahman Wahid. Salah satu prestasi
prestasi fenomenal dari lembaga ini adalah keberhasilannya menerbitkan jurnal Prisma yang telah diakui mempunyai kadar intelektual tinggi di mata para
ilmuwan tanah air. Boleh dikatakan, Organisasi inilah yang menjadi meriam yang
melontarkan Gus Dur ke jagad intektual tanah air. Gus Dur dikenal sebagai
pemikir muda yang kritis dan kerapkali lewat tulisannya di jurnal Prisma ia menawarkan problem solving atas berbagai masalah sosial. Pegetahuan yang luas
tentang tradisi intelektual Islam klasik menjadi pilar-pilar yang menopang argumen intelektual Gus Dur. Paham teologi Islam , seperti Ahlussunnah wal
jama‟ah, bentuk aliran teologis yang banyak diyakini di tanah air, di mata Gus Dur bukan saja berbentuk ibadah ritualistik semata, justru bagaimana paham ini
menciptakan kesalehan sosial di tengah umat manusia yang beragam, demikian salah satu rancang bangun dependenitas agama dan kehidupan sosial yang
menjadi blue print pakta integritas berbangsa dan bernegara
10
. Sekembalinya Gus Dur dari Timur Tengah, diskursus keilmuan tanah air
disibukkan oleh wacana Islam dan modernitas. Isu itu menjadi pelecut progresifitas kajian Islam tanah air guna menyambut gerakan zaman yang
semakin mengglobal. Namun, yang menjadi kekhawatiran Gus Dur adalah adanya beberapa tulisan intelektual Islam lain yang menyudutkan peran pesantren.
Hadirnya tulisan Gus Dur ke tengah percaturan inteletual dunia Islam tanah air bertujuan untuk menetralisasi dan mengklarifikasi pandangan-pandangan sepihak
yag mempunyai muatan distortif terhadap pesantren.
11
Saat itu, Abdurrahman Wahid menerapkan pendekatan baru dalam meneropong pesantren. Selain piawai menggunakan bahasa pesantren, dengan
menerapkan beberapa legal-maxim dalil agama yang dihadirkannya dari timbunan kitab-kitab klasik, ia juga mengkombinasikannya dengan analisis model
ilmu sosial modern. Sulit dipungkiri, nafas tulisan Gus Dur tentang hal ini penuh
10
Zuhairi Misrawi. Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‟sri: Moderasi, Keumatan, dan
kebangsaan Jakarta: Kompas, 2010, h. 137.
11
Greg Barton, Biografi Gus Dur…, h. 87-115
dengan empati. Hal ini tidak lepas dari peran dirinya yang merupakan “orang dalam” dan mencicipi asam garam dunia kaum sarungan itu.
12
E. Karir Abdurrahman Wahid