18
BAB II SEJARAH KONFLIK PALESTINA ISRAEL
A. Latar Belakang Terjadinya Konflik
Pendudukan Israel atas tanah Palestina, tidak terlepas dari peran kaum Yahudi. Kaum Yahudi, yang merupakan satu dari tiga agama samawi, merupakan
satu bangsa yang tersebar diseantero dunia selama berabad-abad. Sejarah panjang bangsa Yahudi memproyeksikan citra pelestarian Yudaisme, suatu keyakinan dan
praktek keagamaan yang memungkinkan integrasi sosial bangsa Yahudi. Beberapa gelombang diaspora atau perantauan bangsa Yahudi telah
membuat bangsa ini kehilangan komunitas politiknya. Namun, para perantau yang menyebar di beberapa bagian dunia terutama di benua Eropa, tetap memelihara
integrasi sosial bangsa Yahudi. Yudaisme diduga kuat mengambil peran penting dalam kelangsungan proses ini, yaitu melalui konformitas atau penyamaan
penampilan orang Yahudi terhadap agamanya dan pelestarian komunalisme. Sejarah, bahasa, tradisi dan kebiasaan telah memelihara konsep kemasyarakatan
Yahudi yang bersifat integralistik. Sampai menjelang pertengahan abad 19, perkembangan sosial ekonomi di
Eropa secara jelas menandai peneguhan kembali semangat integralistik bangsa Yahudi. Masih sama dengan masa panjang sebelumnya, nasionalitas Yahudi tetap
bersifat simbolik, belum menjadi aspirasi politik. Peran mitologik dan messianik pemimpin Yahudi dalam penyelamatan manusia menjadi inti konsep nasionalitas
Yahudi. Tanah Palestina hanya mengilhami nasioanalitas sebatas pengakuan kepemilikan sepihak. klaim sejarah terhadap tanah Palestina terjadi, namun
sampai menjelang pertengahan abad 19 bangsa Yahudi Eropa tidak menetapkannya sebagai sasaran pemenuhan aspirasi objektifnya.
Dari dasar kesadaran diatas, para penganjur emansipasi internal Yahudi yang umumnya berasal dari kalangan terpelajar menegaskan makna moralitas
kekuasaan dengan pengertian kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi. Bagi mereka, bangsa Yahudi harus memiliki tanah wilayah, tempat pemerintahan yang
berfungsi menyelenggarakan kekuasaan. Tidak ada pilihan lain, bangsa Yahudi harus memiliki negara sendiri agar bisa sederajat dengan bangsa-bangsa di dunia.
Namun kesadaran nasionalitas yang terwujud dalam gerakan nasioanalis Zionis bukan merupakan kekuatan inti kolonial. Nasionalitas Yahudi modern berwujud
gerakan kebangsaan yang bertujuan menegakkan kekuasaan Yahudi di tanah Paletina, mengikuti ajaran agama Yahudi. Jadi Yudaisme menjadi ideologi
gerakan nasionalis Yahudi yang secara resmi menamakan diri sebagai gerakan atau organisasi Zionis.
Motivasi kembali ke tanah Bani Israel, yang menjadi seruan keagamaan Yahudi, merupakan sumber kekuatan gerakan nasionalis Yahudi. Para pendukung
gerakan nasioanalis berpendapat bahwa penguasaan tanah Palestina merupakan proses normalisasi bangsa Yahudi, sebagai suatu bangsa yang memilki tanah
wilayah. Normalisasi bangsa Yahudi tampaknya hanya bisa dicapai melalui penegasan keyakinan keagamaan karena persyaratan keabsahan legal untuk
menguasai wilayah sulit terpenuhi. Gerakan nasionalis Yahudi memiliki keanehan, kalau bukan keunikan.
Nasionalisme Yahudi telah berpisah dengan tanah yang menjadi basis suatu nasioalitas berabad-abad lamanya. Nasioalisme ini juga aneh karena tumbuh
berpuluh tahun di negeri perantauan. Jelas, nasionalisme Yahudi tidak berjenis pembebasan wilayah dari kekuasaan bangsa asing, melainkan semacam
pendakuan kesejarahan oleh bangsa Yahudi. Oleh karena itu bangsa Arab tidak bisa menjadi pendukungnya
1
. Selain itu, terdapat hal lain yang tak kalah penting, yang menjadi common
platform bagi Yahudi untuk mengintegrasi Bangsa Yahudi di seluruh dunia. Munculnya Nazi Jerman, sebagai salah satu kekuatan besar dunia, menjadi batu
sandungan terjal umat Yahudi. Kebijakan berbau SARA yang digulirkan pemerintahan Adolf Hitler, pemimpin utama Nazi yang bermuara pada
pengaggungan ras Arya dan mendisposisikan golongan lain, termasuk Yahudi. Pentas pertama bermula di tahun 1933, dengan naiknya Nazi ke tampuk
kekuasaan. Terjadi perampasan terhadap toko-toko Yahudi , tak jarang pula pemukulan-pemukulan, serta pemboikotan terhadap bisnis-bisnis Yahudi. Pentas
kedua digelar dengan diperundang-undangkannya Nurenberg Laws di tahun 1935, yang berisi pencabutan hak suara semua orang yang memiliki “darah Yahudi” ,
termasuk orang-orang yang mempunyai kakek nenek orang Yahudi. Pentas ketiga terjadi pada tahun 1939, dengan penangkapan massal terhadap 20.000 orang
Yahudi, membawa serta pula penganiayaan fisik yang dilakukan secara sistematis dan penawanan-penawanan massal yang pertama kali di kamp-kamp konsentrasi.
Selain itu, sebagian dari mereka juga di kirim ke Jerman sebagai budak pekerja, seperti yang dialami oleh ratusan ribu orang Yahudi yang berasal dari Eropa
Timur.
1
M. Hamdan Basyar dkk, Problematika Minoritas Muslim di Israel Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2002, h. 17-21.
Mereka mengalami siksaan yang tidak terperi. Penyiksaan demi penyiksaan tersebut berakhir pada penghilangan nyawa secara massal orang-
orang Yahudi. Prosedur pembunuhan massal tersebut adalah sebagai berikut: orang-orang Yahudi, atau Ceko, atau Polandia, atau Rusia ditangkapi, dibariskan
ke daerah yang sepi dan dipaksa telanjang, antri di depan parit-parit, kemudian diberondong dengan senapan. Mereka yang tersungkur di sepajang tepian parit,
mati atau terluka, lalu disorong ke dalam parit-parit oleh tentara-tentara atau bulldozer dan semuanya kemudian ditimbun dengan lumpur. Baik yang mati
maupun yang masih hidup, dewasa, anak-anak, maupun yang masih bayi. Semua Einsatzhruppen pasukan khusus pemusnah orang Yahudi ini bertanggung jawab
atas pembunuhan tidak saja bagi jutaan bangsa Yahudi, tetapi juga terhadap umat kristiani
2
. Kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi menjadi realitas politik ketika
kelompok-kelompok studi Hovevei Zion kekasih Zion mulai membicarakan kemungkinan perebutan kembali tanah leluhur dalam beberapa diskusi di banyak
kota di wilayah Pale, Austria, pada 1870-an. Pembicaraan ini menegaskan kebutuhan tanah wilayah bagi bangsa Yahudi sebagai kelengkapan prinsip
nasionalitasnya. Pembahasan tentang permasalahan penegakkan prinsip nasionalitas Yahudisme luas menjadi diskusi-diskusi terbuka kalangan Hovevei
Zion di Eropa Timur pada 1890-an. perluasan pembicaraan umum tentang pembicaraan kembali tanah leluhur menjadi meluas ke seluruh dunia setelah Leon
Pinsker mengupas permasalahan internal emansipasi internal Yahudi dalam buku Self Emancipation, terbit pada 1882.
2
Max I. Dimont, Kisah Hidup Bangsa Yahudi Masaseni,2002, h. 331-332.
Gerakan Zionis dengan tujuan membentuk kembali bangsa Yahudi di Palestina pertama kali menjadi wacana umum pada 1886 melalui ungkapan
ideologis Nathan Birnbaum, Zionisme. Beberapa tahun ungkapan ini tidak mempunyai pengertian yang jelas, hanya menyebutkan keperluan bangsa Yahudi
memiliki national home. pengertian Zionisme ini kemudian menunjuk penegasan hubungan Yahudi dengan Palestina sebagai tanah leluhur. Sesuai dengan suasana
politik di Eropa pada waktu itu. Zionisme diberi pengertian pula sebagai paham yang menjunjung tinggi liberalisme dan penentuan nasib sendiri.
Kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi, terutama di kalangan cerdik cendekia, mengalami transformasi menjadi kekuatan riil berupa organisasi-
organisasi Zionis,. Sesudah organisasi-organisasi Zionis melakukan serangkaian kongres dunia mulai kongres di Bazel, Swiss, pada 1897 agenda politik
pembentikan negara Yahudi menjadi semakin bulat. Kongres Basel, Swiss yang diikuti oleh 204 delegasi Yahudi dari 16 negara telah menyusun program
perwujudan agenda politik awal. Theodore Herzl, ketua Organisasi Zionis Dunia dalam kongres ini telah
menegaskan urgensi pembentukan negara Yahudi bagi seluruh aktualisasi bangsa Yahudi karena kesulitan menegakkan keyakinan keagamaan di luar wilayahnya
sendiri. Sebelum kongres itu, Herzl aktif menyerukan pembentukan negara Yahudi di Rumania dan Uni Soviet. Semula, Herzl cenderung mendorong
gerakan asimilasi Zionis dengan Eropa. Namun, Herzl kemudian membuang pemikiran asimilasi karena tidak realistik.
Sebagai gantinya, obsesi pembentukan negara Yahudi merupakan pilihan terbaik karena terbebas dari prasangka rasial dan keagamaan di Eropa. Hal ini
berarti bahwa cita-cita pembentukan negara Yahudi bisa mendorong perlawanan bangsa Yahudi terhadap tindakan persekusi yang mengganas dalam Perang Dunia
II. Perlawanan Yahudi berlangsung melalui milisinya yang menjadi bagian tentara Inggris berperang melawan Jerman. Gagasan pembentukan negara Yahudi bahkan
bisa mendorong proses rekonsiliasi itu terjadi mengikuti peran negara Yahudi dalam gugus eksistensi intenasional yang menjamin bangsa Yahudi bermartabat
sama dengan bangsa lain.
3
Untuk sesegera mungkin memantapkan cita-citanya, Herzl mendatangi kesultanan Ottoman guna meminta sebuah daerah otonomi yang nantinya
digunakan sebagai tempat bermukim bangsa Yahudi. Sebagai bahan pertimbangan, Herzl akan memberikan sejumlah bantuan yang dibutuhkan
kesultanan Ottoman kala itu. Namun, Sultan Abdul Hamid 1876-1909 dengan tegar menentang dan menolak semua keinginan Yahudi dengan responnya
terhadap usulan Herzl dengan ucapan sebagai berikut “saya nasihatkan kepadanya untuk tidak pernah menjalankan hal tersebut.
saya tidak berdaya untuk menjual walau satu dari negeri ini, karena itu bukan milik saya, tapi milik rakyat. Bangsaku mendapat pemerintahan
yang besar ini dengan tumpahan darah. Mereka berperang dengan bersimbah darah. Kami juga akan menyelimutinya dengan darah kami
guna menghalau para perampas negeri kami. Saya tidak akan menerima pemisahan daerah untuk tujuan apapun juga.
”
4
Organisasi Zionis Dunia menetapkan perjuangan melaksanakan agenda politik pembentukan national home bagi bangsa Yahudi di Palestina melalui
penetapan hukum publik. Tampaknya hukum publik berarti hukum Liga Bangsa- Bangsa. Organisasi Zionis juga menetapkan strategi pelaksanaan agenda dengan
pengandalan dukungan kekuatan Eropa. Jelas, kekuatan Eropa merujuk peran
3
Basyar, Problematika Minoritas, h. 21-23
4
Muhsin M. Shaleh, Palestina; Sejarah, Perkembangan, dan konspirasi Jakarta:Gema Insani Press, 2002, h. 37-39.
penting pemerintah Inggris dalam badan internasional dan percaturan politik dunia. Agenda politik organisasi Zionis merupakan jawaban nyata harapan bangsa
Yahudi melakukan pembentukan negara Yahudi yang terlihat dari imigrasi bangsa Yahudi ke Palestina gelombang pertama 1882-1884 dan gelombang
kedua 1885-1991. Aliya migrasi Yahudi pertama dan kedua melibatkan 25.000 orang Yahudi. Organisasi Zionis berharap gelombang Aliya akan mendatangkan
simpati badan internasional dan pemerintah Inggris. Kekuatan riil kesadaran nasionalitas bangsa Yahudi tercermin pada
pembentukan komunitas Yahudi di Palestina. Para pemukim tinggal di daerah pertanian membantuk Kibbutz, suatu pemukiman pedesaan unik. Kibbutz
membentuk kerjasama produksi dan distribusi kebutuhan konsumsi di kalangan warganya. Peningkatan jumlah pemukiman telah mendorong pembentukan
Yishuv, suatu komunitas pemukiman dengan menyelenggarakan sistem sosial, ekonomi, dan politik khusus. Yishuv mempunyai institusi
–institusi pendidikan, politik dan militer. Penyelenggaraan Yishuv merupakan perwujudan konsep
komunalisme, sebagai kelanjutan sstem ekonomi Yahudi Eropa. Integrasi sosial Yahudi yang terbina dalam sistem otonomi yang memiliki solidaritas etnik yang
kuat. Ikatan primordial seperti ini membuat komunitas Yahudi menjadi bersifat organik, dimana kepentingan perorangan tenggelam dalam kepentingan
kelompok. Untuk meluluskan niatnya, organisasi Zionis tersebut membuat suatu
lembaga khusus yang menangani kebutuhan umat Yahudi yang pindah ke negara barunya. Program mereka bertujuan memantapkan penguatan identitas Yahudi di
segala aspek. Program tersebut antara lain mempromosikan imigrasi bangsa
Yahudi. mendawamkan bahasa dan budaya Hebrew dan menyediakan kebutuhan- kebutuhan keagamaan bagi komunitas baru.
Bangsa Palestina dari sejak awal telah menggalang aksi untuk menghadang proyek Zionis ini. Konflik berdarah pertama yang terjadi adalah
antara Petani Palestina dan pendatang Zionis tahun 1886. Para petani telah membuat petisi kepada kesultanan Ottoman sebagaimana juga media surat kabar
gencar mengekspos bahaya Zionis al-Karmal dan Filistin. Bermodal pemaknaan baru Zionisme, organisasi Zionis berusaha
mendapat dukungan pemerintah Inggris dengan menggerakan keterlibatan Yahudi dalam Perang Dunia I mendukung pasukan sekutu. Strategi Zionis ini berhasil
menggerakan perhatian pemerintah Inggris lebih besar membantu pembentukan negara Yahudi. Dukungan Inggris bermula dengan kemunculan pandangan Lord
Arthur Balfour. menteri luar negeri Inggris, yang memihak pembentukan national home bagi bangsa Yahudi di Palestina. Pandangan ini tertuang dalam surat
Balfour kepada Lord Rothschild, terkenal sebagai Deklarasi Balfour, bertanggal 2 November 1917. Mungkin dengan maksud menjaga netralitas pemerintah Inggris,
pandangan Balfour menyebutkan penghormatan terhadap hak sipil dan agama masyarakat non-Yahudi yang ada di Palestina.
Dukungan Inggris ini amat penting bagi keberhasilan pembentukan negara Israel terutama karena Inggris sudah menguasai wilayah Palestina sejak 1917.
Dalam konferensi Perdamaian Paris 1919, Chaim Weizman, pengganti Theodore Herzl, menegaskan penerimaan dukungan deklarasi Balfour dengan segera
bereaksi positif memobilisasi para migran. Pertumbuhan penduduk Yahudi di Palestina yang besar memungkinkan pembentukan negara dan pemerintahan
Yahudi. Hal ini sesuai visi negara Yahudi Herzl tentang tanah palestina berpenduduk mayoritas Yahudi yang disampaikan pada 1897, saat kongres
pertama Organisasi Zionis Dunia berlangsung. Kenyataan menunjukkan bahwa sampai menjelang pembentukkan negara Israel, penduduk Yahudi hanya
berjumlah kurang lebih separuh penduduk Arab. Rencana pemebentukan negara Yahudi bagi bangsa Yahudi tampak telah mengakibatkan penghancuran secara
sistematis penduduk Arab melalui pembantain dan pengusiran.
B. Peristiwa- Peristiwa Penting Seputar Konflik Palestina –Israel