Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 16 tahun 2008

Pasal 9 menyatakan; 1. Harga jual eceran bahan bakar minyak sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2, selanjutnya disesuaikan dengan harga keekonomian yang dapat berupa kenaikan atau penurunan harga. 2. Penyesuaian harga jual bahan bakar minyak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral berdasarkan hasil kesepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian.

C. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 16 tahun 2008

Dengan ditetapkannya peraturan ini, maka peraturan presiden No 55 tahun 2005 tentang penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan ini ditetapkan oleh menteri ESDM setelah adanya kesepakatan dengan instansi terkait yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Pasal 1 menyatakan; 1. Harga jual minyak tanah kerosene untuk rumah tangga dan usaha kecil di titik serah termasuk PPN pajak pertambahan nilai untuk setiap liter ditetapkan Rp 2.500,00 dua ribu lima ratus rupiah. 2. Harga jual eceran bensin premium dan minyak solar gas oil untuk usaha kecil, usaha perikanan, transportasi, dan pelayanan umum di titik serah termasuk PPN untuk setiap liter ditetapkan sebagai berikut: a. Bensin Premium : Rp 6.000,00 enam ribu rupiah. b. Minyak Solar gas oil : Rp 5.500,00 lima ribu lima ratus rupiah. 3. Harga jual eceran bensin premium dan minyak solar gas oil sebagaimana dimaksud pada ayat 2 untuk transportasi darat termasuk sungai, danau, dan penyeberangan sudah termasuk Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor PBBKB.

II. Proses Perumusan Kebijakan

Pada bagian ini akan dipaparkan proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM pada pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009. Adapun kerangka teori yang dipakai untuk menjelaskan bagian ini adalah empat tahapan proses perumusan kebijakan publik sebagaimana yang sudah dijelaskan pada awal tulisan. Penulis akan memaparkan proses perumusan kebijakan kenaikan harga BBM pada pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009 berdasarkan data-data yang diperoleh dan sedikit sudah tergambarkan pada bagian latar belakang kebijakan . Sebagaimana yang sudah dideskripsikan pada bagian-bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa yang melatarbelakangi lahirnya kebijakan kenaikan harga BBM dalam negeri pada masa pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009 adalah isu kenaikan harga minyak mentah dunia. Oleh pemerintah, isu ini dianggap dapat menimbulkan masalah membengkaknya subsidi BBM di tanah air. Seperti penjelasan di awal, setiap tahunnya pemerintah sudah menetapkan besarnya jumlah subsidi BBM kepada masyarakat dalam APBN. Asumsi harga BBM yang sudah jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi membuat APBN tidak Tahap pertama; Perumusan masalah defening problem lagi realistis sehingga harus dilakukan penyesuaian. Hal ini juga ditambah lagi dengan tingkat konsumsi masyarakat terhadap BBM bersubsidi yang cukup tinggi dan selalu mengalami peningkatan secara signifikan dari tahun ke tahun. Beban subsidi BBM yang dirasakan oleh pemerintah menjadi sangat berat karena harga minyak mentah dunia selalu meningkat dan jauh melampaui asumsi harga minyak yang sudah ditetapkan. Oleh sebab itu, pemerintah menganggap solusi terbaik adalah dengan mengurangi subsidi BBM pada masyarakat agar tidak lagi memberatkan APBN. Ketika isu kenaikan harga minyak dunia sudah mulai mencuat, beberapa pengamat ekonomi dan perminyakan sudah mulai memberikan pemikiran- pemikirannya agar dipertimbangkan dan dimasukkan dalam agenda kebijakan pemerintah. Berdasarkan data yang berhasil diperoleh penulis, hal yang paling mencuat adalah usulan agar pemerintah segera merevisi UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas dan juga melakukan langkah-langkah pembenahan tata niaga Migas. Adapun yang menjadi dasar pertimbangannya, bahwa disahkannya UU No 22 tahun 2001 tentang Migas hanya akan semakin memperparah pengelolaan migas Indonesia. Pemberlakuan UU Migas diduga mengakibatkan banyak campurtangan yang tidak profesional dan boros anggaran. UU Migas juga telah mengakibatkan ”larinya” sebagian besar produksi minyak Indonesia ke pasar internasional dan juga telah menyebabkan anjloknya produksi minyak nasional. Beberapa pasal dalam UU Migas yang dianggap kontraproduktif sehingga perlu untuk segera direvisi misalnya: Tahap kedua; Agenda kebijakan 1. Pasal 22 ayat 1 yang menyatakan; Badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 dua puluh lima persen bagiannya dari hasil produksi minyak danatau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 2. Pasal 28 ayat 2 yang menyatakan; Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. 3. Pasal 31 ayat 1 yang menyatakan; Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang melaksanakan kegiatan usaha hulu wajib membayar penerimaan negara yang berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Sementara itu terkait usulan untuk melakukan langkah-langkah pembenahan tata niaga migas, yang menjadi dasar pertimbangannya adalah; asumsi para pengamat tentang inefesiensi yang terjadi pada pengelolaan tata niaga migas Indonesia. Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian yang sudah dilakukan oleh beberapa pengamat, banyak ditemukan sumber-sumber inefesiensi dan KKN dalam tata niaga migas Indonesia. Ketidakjelasan jumlah produksi minyak, jumlah konsumsi BBM dalam negeri dan jumlah biaya produksi BBM yang sebenarnya juga dipertanyakan. Secara rinci, pengamat berpendapat tugas- tugas pembenahan tata niaga migas tersebut dapat dilaksanakan oleh Tim Pengkajian Masalah Migas yang dibentuk berdasarkan Keppres. Sebelum peraturan penyesuaian harga eceran BBM dalam negeri ditetapkan sebagai kebijakan publik sebagai respon terhadap kenaikan harga Tahap ketiga; Pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah minyak dunia, ada beberapa solusi alternatif yang sudah dikemukakan dan sudah mulai dilaksanakan meskipun dalam perkembangannya tidak pernah berhasil dilaksanakan secara maksimal. Berikut beberapa alternatif kebijakan yang dimaksud. 1. Menambah utang melalui pinjaman luar negeri Alternatif ini mencuat dengan tujuan pemerintah tidak perlu melakukan pemangkasan subsidi BBM dalam negeri ini. 28 Langkah ini muncul berdasarkan data bahwa tingkat konsumsi masyarakat terhadap BBM bersubsidi sudah sangat tinggi dan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Demi mensukseskan program ini, pemerintah dengan gencar melakukan sosialisasi dan anjuran kepada masyarakat melalui iklan-iklan di media massa. Metode lain yang dilakukan adalah dengan memberikan kartu kendali smart card BBM kepada masyarakat. Langkah penghematan juga gencar dianjurkan pemerintah melalui program konversi terutama minyak tanah menjadi gas elpiji. Namun dalam perkembangannya, program ini pun tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Namun, alternatif ini kurang mendapat respon dari berbagai pihak karena pengalaman pahit bangsa ini ketika melakukan pinjaman luar negeri akan berpotensi menimbulkan masalah berkepanjangan dan membuat ketergantungan terhadap asing semakin kuat. 2. Melakukan penghematan BBM 29 28 Alternatif ini juga dianggap tidak tepat karena hanya akan menambah hutang luar negeri Indonesia. Pertimbangan lain, pos pengeluaran terbesar dalam APBN dari tahun ke tahun didominasi oleh pembayaran cicilan hutang luar negeri dan juga bunga utang. 29 Dengan sedikit menyindir, Fahmy Radhi menyatakan program ini hanya dapat berjalan jika elit pemerintah dan wakil rakyat bersedia memulai lebih dengan memberi contoh nyata sekaligus teladan melakukan penghematan. Baca Fahmy Radhi. 2008. Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat; Antara Komitmen dan Jargon. Jakarta. Republika. Hal 136 Seperti yang diungkapkan oleh pengamat, opsi penghematan merupakan upaya yang ”mudah diucapkan, tetapi susah diterapkan”. Susah diterapkan karena hal ini berkaitan dengan perubahan dari perilaku boros ke hemat BBM. Demikian halnya dengan metode memberikan kartu kendali smart card yang pada realisasinya sangat sulit diterapkan terutama untuk skala nasional. Selain menelan biaya yang tidak sedikit dalam realisasinya, metode ini juga dikhawatirkan memicu perilaku moral hazard masyarakat akibat adanya disparitas harga BBM subsidi dan non subsidi. 3. Pengembangan dan Penggunaan BBA Bahan Bakar Alternatif Opsi ini ditawarkan untuk mengalihkan penggunaan bahan bakar dalam negeri yang masih sangat bergantung pada BBM ke BBA. Beberapa BBA tersebut adalah yang berasal dari berbagai sumberdaya yang dimiliki Indonesia mulai dari bahan bakar batubara, biofuel dari kelapa sawit dan pohon jarak, sampai dengan tenaga matahari. Pada perkembangannya, opsi ini pun kurang berjalan secara maksimal dan diduga hal ini karena kurangnya dukungan dari pemerintah. Namun, opsi ini tetap dianggap penting untuk terus dikembangkan sebagai solusi jangka panjang mengantisipasi merosotnya produksi minyak Indonesia dari tahun ke tahun. 4. Mengurangi subsidi BBM melalui Kebijakan Pemerintah Opsi ini merupakan yang paling mudah untuk diterapkan karena cukup dengan mengeluarkan kebijakan pmerintah yang sudah pasti harus dipatuhi oleh semua pihak yang dikenai peraturan tersebut. Namun hal yang tidak boleh dilupakan adalah risiko-risiko yang dapat timbul sebagai akibat dari kebijakan tersebut. Secara politis, kebijakan ini akan mengurangi popularitas pemerintah yang sedang berkuasa dan menjadi ”senjata ampuh” bagi para oposisi untuk menyerang pemerintah tersebut. Selain dampak tersebut, secara sosial-ekonomis kebijakan ini pun dapat menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi masyarakat. Misalnya saja; meningkatnya harga kebutuhan pokok masyarakat, meningkatnya angka kemiskinan dan masalah lainnya. 30 Untuk mengantisipasi masalah tersebut, pemerintah sudah menyertakan kebijakan penyaluran dana kompensasi BBM bagi masyarakat miskin meskipun dengan berbagai masalah yang timbul pada saat realisasinya. 31 Menteri Keuangan Sri Mulyani secara sederhana mengemukakan paling tidak ada tiga opsi untuk mengurangi beban subsidi BBM. Opsi tersebut diantaranya; penghematan tanpa kenaikan harga BBM, penghematan dengan kenaikan harga BBM atau kenaikan harga BBM tanpa penghematan. 30 Masalah yang dimaksud misalnya berkaitan dengan teknis penyaluran dana kompensasi tersebut misalnya dalam hal kategori masyarakat yang berhak untuk mendapatkannya. Selain itu, program ini juga dianggap sangat tidak mendidik karena menimbulkan mental pengemis bagi masyarakat. 31 Fahmy Radhi. 2008. Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat; Antara Komitmen dan Jargon. Jakarta. Republika. Hal 134 Tahap keempat: penetapan kebijakan Dalam konteks negara demokrasi yang dianut oleh Indonesia, dikenal prinsip check and balance antarlembaga tinggi negara. Secara khusus dalam menetapkan suatu kebijakan atau peraturan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, prinsip tersebut juga wajib untuk dilakukan. Pemerintah eksekutif dalam menetapkan kebijakan harus tetap berkonsultasi kepada DPR legislatif yang merupakan representasi suara rakyat. Berikut dideskripsikan penetapan kebijakan kenaikan harga BBM pada pemerintahan SBY-JK periode 2004-2009.

A. Peraturan Presiden No 22 tahun 2005