Sisi Negatif Terjadinya Praktik Poligami terhadap Anak

Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti harta gono gini, hak waris dan sebagainya. 5. Budaya perkawinan poligami dikhawatirkan menjadi pemicu munculnya penyakit menular seksual PMS dan bahkan rentan terjangkit virus HIVAIDS. 51 Namun, hal ini terbantahkan dengan tujuan disyariatkannya poligami dalam Islam, karena Islam tidak akan mensyariatkan sesuatu yang akan membawa kemudharatan bagi umat manusia.

C. Sisi Negatif Terjadinya Praktik Poligami terhadap Anak

Tidak diragukan lagi bahwa orang tua memiliki tanggung jawab menyiapkan putra putrinya, mendidik mereka menuju kehidupan yang baik dan memberikan pertolongan dengan berbagai macam petunjuk sehingga kebahagiaan mereka dapat diwujudkan, sesuai dengan firman Allah surat At-Tahrim ayat 6 : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” QS. At-Tahrim : 6. 52 Oleh karena itu, seorang anak membutuhkan pemeliharaan jiwa, pemberian rasa cinta dan kasih sayang orang tuanya. Dengan kasih sayang itulah mereka akan 51 Ibid., h. 42 52 Moh. Rifa’i, Tafsir Al-Quran al-Karim; TerjemahTafsir Al-Quran Semarang: CV. Wicaksana, 1993, cet. Pertama, h. 1006. tumbuh dengan lurus, selamat dan terlepas dari kompleksitas penyakit jiwa dan kerapuhan pribadi. Anak-anak selalu menjadi korban bila suatu kehidupan keluarga tidak seimbang, penuh konflik dan pertengkaran orang tua, perkembangan akan terhambat, ia bisa menjadi anak bermasalah. Seorang anak memerlukan kasih sayang dari ayah dan ibunya. Bisa terjadi bahwa orang tua yang merasa dibohongi bersekutu dengan anaknya melawan bapaknya, ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga menjadi nyata. Cara menghadapi situasi yang tidak menyenangkan ini bisa dengan membolos sekolah atau berkelahi dengan teman-teman, anak-anak yang sering terombang- ambing dalam menentukan kepada siapa ayahibu mereka harus loyal. Bila konflik loyalitas terjadi, anak-anak sering bereaksi dengan mencoba melindungi secara berlebihan salah satu orang tua dengan mengabaikan kebutuhan sendiri untuk menyenangkan mereka, tetapi lama kelamaan bisa menjadi depresif dan melakukan tindakan yang destruktif. 53 Dampak negatif dari kehidupan keluarga di atas, tidak akan hilang walaupun anak sudah meninggalkan rumah tangga. Kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga jelas memerankan peranan yang amat signifikan dalam membentuk karakter dan kepribadian anak. Misalnya rumah tangga yang berantakan disebabkan oleh kematian ayah atau ibu, perceraian antara ayah dengan ibu, hidup terpisah, poligami, ayah mempunyai simpanan “istri lain”, keluarga yang diliputi konflik keras, semua 53 Utami Munandar, Bungan Rampai Psikologi Perkembangan Pribadi Dari Bayi Sampai Lanjut Usia Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2001, cet. Pertama, h. 176. itu merupakan sumber yang subur untuk memunculkan kenakalan remaja. Adapun sebabnya antara lain sebagai berikut: 1. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tuntunan pendidikan pendidikan, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan serta konflik batin sendiri. 2. Tidak terpenuhinya kebutuhan fisik maupun psikis anak. Keinginan dan harapan anak tidak bisa tersalur dengan baik dan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya. 3. Anak-anak tidak pernah mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan dengan hidup disiplin dan kontrol diri yang baik. 54 Sebagai akibatnya dari ketiga pengabaian di atas, anak menjadi bingung, risau, sedih, malu, sering diliputi perasaan dendam dan benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Di kemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri di luar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu kelompok kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Adakalanya ia secara terang-terangan menunjukkan ketidakpuasan terhadap orang tuanya, dan mulai melawan atau memberontak, sambil melakukan tindakan yang destruktif, baik terhadap orang tua maupun terhadap dunia luar yang kelihatan tidak ramah baginya. Tegasnya, anak-anak yang merasa tidak bahagia dipenuhi banyak konflik batin serta mengalami frustasi terus menerus akan menjadi sangat 54 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, cet. v Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, h. 59. agresif. Kemudian ia mulai mengadakan “serangan-serangan kemarahan” ke dunia sekitar, menteror lingkungan, mengambil milik orang lain dan sebagainya. Semua itu dilakukan sebagai tindakan penyalur atau pelepas bagi semua ketegangan, kerisauan dan dendam hatinya. 55 Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku delinkuen perilaku yang menyimpang aturan tidak hanya terbatas pada strata sosial di bawah dan strata ekonomi rendah saja, akan tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya pada keluarga berantakan. Semua bentuk ketegangan batin dan bentuk konflik keluarga itu mengakibatkan ketidak seimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu, juga akan mengakibatkan tidak berkembangnya tokoh sosok ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki. Sehingga anak berkembang menjadi kasar, binal, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal. Peran orang tua sebagai tempat orientasi dan identifikasi bagi seorang anak dalam perkembangan psikisnya tidak bisa digantikan. Kalau seorang anak tidak bisa menjalin hubungan keakraban yang tetap dengan satu atau dua orang, maka perkembangan afektif, mental dan sosial secara sehat dan seimbang dari anak tersebut akan terancam. 56 Selanjutnya, pola keluarga yang patologis dalam keadaan sakit atau abnormal gangguan jiwa selalu membutuhkan masalah psikologis, konflik terbuka dan tertutup, serta menjadi penyebab utama timbulnya kenakalan remaja. Misalnya 55 Ibid., h. 61 56 Johannes Muller, Pendidikan sebagai Jalan Pembebasan Manusia dari Cengkraman Kemelaratan? Jakarta: Prisma, 1980, h. 45. 90 dari keluarga tidak bahagia dan berantakan akan mengembangkan emosi kepedihan dan sikap negatif pada lingkungannya. Anak juga ikut menjadi tidak bahagia dan bingung. Misalnya anak merasa ditolak oleh orang tua, menjadi iri terhadap adik atau kakaknya, merasa minder kepada teman-temannya, selalu menderita konflik batin yang serius dan lain sebagainya. 57 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak akan menjadi kriminal dan melakukan pola kebiasaan delinkuen sangat bergantung kepada interaksi yang kompleks dari berbagai penyebab sebagai latar belakangnya. Jadi, ada interrelasi internal dan eksternal dari macam-macam variabel yang membawa anak-anak ke jalan kriminal. Namun demikian, variabel-variabel yang memberikan dampak buruk itu dapat dikompensir oleh beberapa peristiwa berikut: a. Pengaruh buruk subkultur gang delinkuen suatu budaya tingkah laku yang selalu melanggar aturan yang ada di sekitar misalnya daerah rawankriminal, kampung miskin, tetangga yang a-susila, daerah yang tradisional yang cepat berubah dan lain-lain itu dapat dikompensir diatasi atau diimbangi oleh keluarga yang kohesif sebuah keluarga yang memiliki hubungan yang sangat eratkokoh, penuh perhatian dan kasih sayang, serta akrab dalam bantu membantu bergotong-royong. b. Ayah yang kejam, sadis, suka mengabaikan bahkan menolak anak laki- lakinya, dapat dikompensir oleh sikap ibu yang lembut, penuh cinta kasih, 57 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, h. 62 sehingga anak tidak menjadi delinkuen karena masih memiliki tempat bertumpu. c. Tidak konsekwen pendisiplinan terhadap anak, dan kontroversi antara proses pendisiplinan dengan perbuatan nyata orang tua, mendorong timbulnya kriminalitas anak remaja. Hal ini bisa dikompensir oleh disiplin yang diterapkan dengan baik dan contoh perilaku orang tua yang utama. 58 Biasanya antara ketiga hal di atas, terdapat jalinan yang akrab, yang bisa mencetak anak-anak delinkuen atau justru memberantasnya. Oleh karena itu, usaha preventif dan rehabilitatif terhadap anak-anak jahat itu sangat bergantung pada kondisi ketiga peristiwa di atas. Dampak psikologi pada anak akibat dari beberapa hal di atas akan membawa pengaruh pada mental kejiwaan. Anak akan menjadi rendah diri, pendiam, tidak dapat bergaul dengan teman-temannya. Dengan demikian, keluarga yang kurang harmonis akan mengakibatkan anak menjadi kurang cerdaspemurung. Sebagaimana Sarlito Wirawan Sarwono mengatakan: “Anak yang kurang mendapat perhatian orang tua kabanyakan menjadi pemurung, tidak semangat dan daya tangkapnya kurang baik, karena itu perkembangan kecerdasannyapun terbelakang.” 59 Dari pernyataan di atas, penulis berkesimpulan bahwa dalam keluarga berpoligami apabila berkurangnya perhatian orang tua terhadap anak-anaknya akan menyebabkan anak tersebut kurang cerdas dan ini akan berpengaruh kepada prestasi 58 Ibid., h. 64 59 Sarlito Wirawan Sarwono, Pengantar Umum Psikologi Jakrta: Bulan Bintang, 1976, cet. Pertama, h. 34. belajar si anak. Tetapi keadaan ini dapat pula terjadi pada keluarga monogami, hal ini tergantung dari kemampuan orang tua dalam memberikan perhatian dan kasih sayang pada anaknya. Agar anak sukses dalam belajar, maka faktor pendukungnya harus terpenuhi. Belajar adalah suatu proses yang memerlukan banyak faktor pendukung. Bilamana salah satu faktor tidak terpenuhi maka kegiatannya akan terganggu. Faktor tersebut yakni lingkungan suasana keluarga yang harmonis dan menunjang proses kegiatan belajar sang anak. Suasana rumah yang selalu tegang, selalu berada dalam kesedihan dan sering terjadi pertikaian antara ayah dan ibu akan melahirkan anak yang tidak sehat mentalnya. Jika sudah demikian, maka tidak heran jika anak memilih menghabiskan waktu di luar rumah bersama teman-temannya. Dan melupakan tugasnya yakni belajar. Hal ini akan terjadi dalam keluarga poligami, di mana tidak ada kerukunan keluarga dan keharmonisan yang menyebabkan anak-anaknya menjadi korban. Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh, dalam kritiknya terhadap poligami, mengatakan: “Pada masa permulaan Islam betul ada faedahnya poligami dan belum ada lagi bahaya sebagaimana yang kelihatan di zaman sekarang, kalau ada bahayanya maka bahaya itu tidak melampaui perempuan yang dimadu. Adapun di zaman sekarang bahaya permaduan telah mengenai anak, suami dan karib kerabat yang lain. Perempuan yang dimadu telah menyebabkan permusuhan di antara semua karib kerabat, maka rusak binasalah keluarga karena permaduan.” 60 60 Humaidi Tatapangarsa, Hakikat Poligami dalam Islam Surabaya: Usaha Nasional, t.t, h. 39 Dari uaraian di atas, penulis dapat simpulkan bahwa keluarga yang tidak harmonis dimana suasana rumahnya tidak menunjang untuk proses kegiatan belajar anak, karena seringnya terjadi konflik antara kedua orang tua akan mengganggu proses kegiatan belajar anak. Apalagi saranafasilitas belajar anak kurang memadai. Hal ini dapat dilihat dari nilai prestasi belajar anak. Oleh karena itu, Peranan keadaan keluarga terhadap perkembangan anak tidak hanya terbatas pada situasi sosio ekonomi atau keutuhan struktur dan keutuhan interaksinya. Juga cara-cara dan sikap dalam pergaulannya memegang peranan yang cukup penting di dalamnya. Hal ini mudah diterima apabila kita ingat bahwa keluarga itu sudah merupakan sebuah kelompok sosial dengan tujuan-tujuan, struktur, norma- norma, yang sangat mempengaruhi individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.

D. Realitas Kehidupan Praktik Poligami