Pandangan Ulama tentang Hukum Berlaku Adil terhadap Para Istri

itu diharamkan bagi mereka yang akan berlaku zalim terhadap kaum wanita lantaran tidak adil terhadap istri-istrinya. Itulah sebabnya, maka kaum pria wajib memiliki keteguhan hati dalam menjaga perasaannya. Menurut Ridha ada tiga hal pokok dalam masalah ini, yaitu: pertama, Islam tidak mewajibkan atau melarang poligami, melainkan sebagai petunjuk bahwa sedikit sekali pelaku poligami yang bebas dari kezaliman. Kedua, Islam tidak secara mutlak mengharamkan, juga tidak terlalu longgar, sebuah hukum yang universal untuk semua kondisi. Ketiga, persoalan ini didudukkan dalam hukum mubah dengan syarat yang telah ditentukan, yang harus dipertimbangkan betul mudharatnya, dan akan membawa manfaat bagi mereka yang mempraktikkannya manakala semua hukum Islam yang berkenaan dengan itu dipenuhi. 75 Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa ayat tersebut tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itu pun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan. Oleh karena itu, pembahasan tentang poligami dalam syari`at al-Qur’an, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.

B. Pandangan Ulama tentang Hukum Berlaku Adil terhadap Para Istri

75 Muhammad Rasyid Ridha, Panggilan Islam Terhadap Wanita, terj. Afif Muhammad, Bandung: Pustaka, 1986, cet. Pertama, h. 55-56. Islam datang untuk mengikat poligami dengan keadilan dan membatasinya serta tidak membiarkan permasalahan yang ada di dalamnya karena syahwat laki-laki saja. Keadilan terhadap para istri adalah sebab kestabilan hidup berumah tangga, dan jalan menuju terwujudnya pergaulan dan perlakuan baik yang diperintahkan oleh Allah SWT. dalam firman-Nya: ... ☺ ... “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” QS. an-Nisa’4: 19. Oleh sebab itu, para ulama telah sepakat berdasarkan dalil-dalil yang amat kuat bahwa berlaku adil terhadap semua istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus dihalalkannya poligami, sebagaimana dalam surat an-Nisa’ ayat 3. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang bersifat materialis yang dapat kontrol suami dan menjadi kesanggupannya, seperti: perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam, dan pemberian nafkah hidup. 76 Sedangkan yang berhubungan dengan hati, maka dia tidak mungkin dapat melakukannya, karena berada di luar kontrol suami atau di luar kesanggupannya: seperti: perasaan cinta, kecenderungan hati dan hubungan seksual. Maka dalam hal ini suami tidak dituntut mewujudkannya karena berada di luar kekuasaan manusia yang mustahil dapat dipenuhinya. 77 Sebagaimana firman Allah SWT: 76 Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami Jakarta: PT. Globalmedia Cipta Publishing, 2003, h. 49-50; lihat juga Yusuf Qardhawi, Kedudukan Wanita dalam Islam, h. 124-126. 77 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, cet. III Damaskus: Dar al-Fikr, 1991, h. 235. ⌧ ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ☺ “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. an-Nisa’4: 129. Menurut Muhammad Ibnu Ali Asy-Syaukani, bahwa adil dalam ayat tersebut و اﻮ ﻄ نأ اﻮ ﺪ ءﺎ ا adalah adil dalam hal cinta dan kasih sayang, serta keinginan dalam bersetubuh. 78 Jadi seseorang tidak akan sanggup untuk berlaku adil kepada istri-istrinya dalam hal cinta dan bersetubuh. Oleh karenanya, dalam ayat tersebut juga ditegaskan agar jangan terlalu cenderung kepada salah satunya sehingga yang lain menjadi terkatung-katung. Ibnu ‘Arabi juga mempunyai pendapat yang sama dengan pendapat di atas, bahwa adil yang dimaksud dalam ayat 129 surat an-Nisa’ ini adalah adil dalam hal cinta dan bersetubuh. Menurutnya, adil dalam cinta diluar kesanggupan seseorang, sebab hanya ada dalam genggaman Allah SWT yang membolak-balikkan hati menurut kehendak-Nya. 79 78 Muhammad Ibnu Ali Ibnu Muhammad Asy-Syaukani, Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fanni al-Riwayat wa al-Dirayah min al-Tafsir, Juz. I Beirut: Lubnan: Dar al-Ma’arif, 1997, h. 666. 79 Ibnu ‘Arabi, Ahkam al-Quran, Jilid 1, h. 313 Dari penjelasan di atas, dapatlah penulis simpulkan bahwa seseorang wajib berlaku adil dalam hal materi dan terus berusaha pula untuk dapat berlaku adil dalam hal immateri cinta dan bersetubuh, dengan memperlakukan bergaul secara patut terhadap semua istrinya. Walaupun dalam hal immateri ini tidak bisa diwujudkan, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 129 di atas, namun tetap harus berusaha agar terus berlaku adil sebagaimana yang telah dilakukan Rasulullah saw. Ketika beliau membagi waktunya untuk istri-istrinya nabi bersabda: ﺔ ﺋﺎ ﺎ : نﺎآ لﻮ ر ا ﻰ ا و ﺋﺎ لﺪ ﻓ لﻮ و ﻬ ا اﺬه ﺎ ﻓ ﻚ أ ﺎ ﻓ ﺎ ﻓ ﻚ ﺎ و ﻚ أ اور ﻮ أ دواد يﺬ ﺮ او ﺋﺎ او او ﺔﺟﺎ ﺪ أو او أ ﺔ “Dari ‘Aisyah ia berkata: Rasulullah selalu membagi giliran di antara istri- istrinya dengan adil, kemudian beliau berdo’a: “Ya Allah inilah pembagian yang dapat aku lakukan janganlah Engkau mencelaku dalam hal yang aku tidak kuasa melakukannya.” HR. Abu Daud, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah. 80 Rasulullah saw. mengakui bahwa berlaku adil dalam membagi cinta bukan kemampuan manusia dan bukan pula wewenangnya, maka beliau berdoa, memohon agar tidak dicela akibat tidak mampu berlaku adil dalam hal ini. Namun beliau telah berupaya untuk berlaku adil dalam pembagian harta. Beliau sangat mencintai ‘Aisyah namun kecintaannya bukan semata-mata kepada penampilan ‘Aisyah sebagai wanita yang termuda, akan tetapi karena ada hal lain yang sangat berguna bagi kepentingan dakwah. ‘Aisyah berperan sebagai penyambung lidah Rasulullah terutama kepada 80 Al-Maktabah al-Syamilah, Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî an-Naisâbûrî: Shahîh Muslim, al-Ishdar al-Tsani, al-Qism: Kutub al-Mutun Juz VII, h. 378. . kaum wanita. Meskipun demikian, kecintaan tersebut tidak mengalahkan kecintaan kepada istrinya yang pertama dan lebih tua lima belas tahun usianya dari beliau sendiri, yaitu Sayyidah Khadijah. 81 Zhahir hadits di atas, menunjukkan bahwa hal-hal yang menjadi kesanggupan suami harus dilakukan dengan adil, sedangkan hal-hal yang berada di luar kesanggupannya tidak wajib dilakukan dengan adil seperti jumlah hubungan seksual, jumlah ciuman, karena hal-hal seperti ini tidak mungkin dapat dihitung. Oleh karena itu para ulama sepakat bahwa keadilan di sini tidak diwajibkan. 82 Menurut Abu Daud, yang dimaksud dengan Engkau kuasai tetapi tidak aku kuasai adalah “hati”. Sedangkan menurut al-Khattabi, hadits ini menunjukkan sebagai penguat adanya wajib melakukan pembagian kepada istri-istrinya yang merdeka, dan dimakruhkan bersifat berat sebelah dalam menggaulinya yang berarti mengurangi haknya, tetapi bukan terlarang untuk lebih mencintai yang satu dengan yang lainnya, karena soal cinta itu di luar kemampuannya. Di dalam hadits lain Rasulullah saw. bersabda: أ ةﺮ ﺮه لﺎ : ا ﻰ ا و لﺎ ﺎآ نﺎ أﺮ ا لﺎ ﻓ ﻰ إ ﺎ هاﺪ إ ءﺎﺟ مﻮ ﺔ ﺎ ا و ﺋﺎ اور دوادﻮ ا يﺬ ﺮ او او ﺔﺟﺎ “Dari Abu Hurairah ia berkata: dari Nabi Muhmaad saw. beliau bersabda: Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan salah 81 Syaiful Islam Mubarak, Poligami yang Didambakan Wanita Bandung: Syamil Cipta Media, 2003, h. 89. 82 Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan Poligami, h. 52. satunya, maka ia akan datang di hari kiamat nanti dengan bahunya miring.” HR. Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. 83 Mengenai soal keadilan ini, Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Abdul Natsir al-‘Athar, adil adalah seorang suami menjadikan pergaulan dengan istri-istrinya itu seperti dua karung yang sama beratnya, sedangkan ia letakkan di atas daun timbangan, maka jika tidak sanggup mencintai istri-istrinya dengan cara yang sama, janganlah memberatkan timbangan kepada yang satu, sehingga yang lain seperti tergantung pada daun timbangan yang satu lagi. 84 Kaum pria diperintahkan untuk memelihara istri-istrinya dengan cara adil dan baik, bahkan bila seorang laki-laki ternyata bosan dan tidak menyukai istrinya, dia tidak boleh memperlakukannya dengan tidak baik sebab boleh jadi, dia menemukan sifat-sifat lain yang baik dan mengimbangi sifat-sifat yang tidak disukainya. 85 Masalah keadilan ini dijelaskan kembali oleh Sayyid Sabiq, bahwa yang dimaksud dengan adil adalah adil dalam urusan makanan, tempat tinggal, pakaian, menginap bermalam dan segala yang bersifat lahiriyah tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan yang miskin, dari keturunan ningrat atau anak petani. 86 83 Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fanni al- Riwayat wa al-Dirayah min al-Tafsir, Juz. I, h. 216. 84 Abdul Natsir Taufiq al-‘Atthar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang- undangan Jakarta: Bulan Bintang, 1996, cet. Pertama, h. 154. 85 Jamilah Jones dan Abu Aminah Philips, Monogami dan Poligini dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, cet. Pertama, h. 55. 86 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, cet. IV Beirut: Dar al-Fikr 14031983, h. 98. Adil yang berkaitan dengan bermalamnya seorang suami dengan istri-istrinya harus sama walaupun istri sedang haid, sehat, sakit atau nifas. Karena yang dimaksud dengan bermalamnya seorang suami di sini adalah hiburan dan kesenangan bagi istri karena seorang suami terhibur oleh istrinya meskipun tanpa berstubuh. Penyemarataan dalam hal jima’ tidak wajib tetapi diberlakukan sebagai sunnah, dengan rincian waktu yang disunnahkan adalah satu hari satu malam untuk setiap istri. Menginapnya seorang suami di rumah istrinya tidak boleh lebih dari tiga malam, kecuali atas kesepakatan istri-istrinya. 87 Dalam masalah penggiliran terutama bila suami baru menikah dengan seorang gadis, maka bagi suami melaksanakan giliran selama tujuh hari berturut-turut, setelah itu menyamakan di antara mereka, disunnahkan dimulai pada istri pertama. Jika yang dinikahinya adalah seorang janda, maka yang harus dilalui adalah tiga hari berturut- turut, kemudian membagi rata di antara mereka setelahnya, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad saw: ﺎ ﺪ ﻰ ﻰ ﺎ ﺮ أ ه ﺪ ﺎ أ ﺔ ﺎ أ ﻚ ﺎ لﺎ اذإ جوﺰ ﺮﻜ ا ﻰ ا مﺎ أ ﺎهﺪ ﺎ اذإو جوﺰ ا ﻰ ﺮﻜ ا مﺎ أ ﺎهﺪ ﺎ ﺎ . اور “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, telah memberitakan kabar kepada kami Hasyim dari Khalid dari Ibn Qilabah dari Anas bin Malik ia berkata: “Apabila kamu telah mengawini seorang gadis, maka menginaplah selama tujuh hari, sedangkan bagi seorang janda adalah tiga hari.” HR. Imam Muslim. 88 87 Mushfir Al-Jahrani, Poligami dan Berbagai Persepsi, terj. Moh. Suten Ritonga, cet. II Jakarta: Gema Insani Press, 1997, h. 60-61. 88 Al-Maktabah al-Syamilah, Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî an-Naisâbûrî: Shahîh Muslim, al-Ishdar al-Tsani, al-Qism: Kutub al-Mutun Juz VII, h. 378.. Kemudian kewajiban memberi nafkah terhadap para istrinya pada dasarnya dituntut menurut kadar kemampuan suami, hanya saja suami diwajibkan berlaku adil terhadap para istrinya beserta keluarga yang menjadi tanggungannya. Baik berupa makanan atau pakaian yang berhubungan dengan kebutuhan berumah tangga. Demikian masalah keadilan yang harus dipenuhi oleh seorang suami sebagai salah satu syarat diperbolehkannya berpoligami. Namun, nafkah dalam konteks zaman sekarang ini tidak cukup hanya dengan memberi makan, pakaian, dan tempat tinggal, tetapi membutuhkan pendidikan bagi anak-ananknya dan harta benda untuk kelancaran pendidikannya. Apabila tidak bisa mengolah hartanya, maka poligami hanya akan menjadi faktor peningkatan kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu, Islam tidak hanya mensyaratkan adil kepada istri-istrinya, tetapi juga mampu memberi nafkah kepada keluarganya. Dari uraian-uraian di atas, hemat penulis, sudah jelas bahwa pembahasan tentang “adil” merupakan puncak dalam manhaj dan tujuan ini, serta menjadi inti terpenting darinya. Seharusnya keadilan diperhatikan untuk membangun dan menyatukan keluarga. Keadilan adalah batu pertama dalam membangun masyarakat dan poin terpenting dalam masyarakat secara menyeluruh. Demikian juga pemberian nafkah kepada keluarga, karena dalam keluarga terdapat generasi penerus. Apabila tidak dilaksanakan keadilan, kasih sayang dan kesejahteraan, maka tidak akan terbina masyarakat yang penuh kasih sayang, keselamatan dan kesejahteraan, malah yang terjadi sebaliknya yaitu korban dari praktik poligami. Islam telah mengingatkan manusia bahwa monogami tak ubahnya seperti kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat, dan poligami seperti halnya obat yang digunakan untuk mengobati penyakit dalam masyarakat sebagai sebuah solusi.

C. Fenomena Poligami: Gambaran Kasus