wacana perkawinan poligami tidak disalahtafsirkan karena adanya pembenaran dari sisi agama saja, akan tetapi juga melindungi wanita dan anak-anak yang menjadi
bagian dari lingkup perkawinan poligami.
94
D. Tinjauan Hukum Islam terhadap Korban Praktik Poligami
Sebagaimana telah dijelaskan pada sub-sub bab sebelumnya, bahwa poligami merupakan syari’at terdahulu dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi
Muhammad SAW. Islam dalam mengatur syari’at undang-undang tentang poligami juga undang-undang perkawinan, bukanlah membuat hal baru yang belum dikenal
sebelumnya. Islam hanya menetapkan apa yang diperlukan menurut hukum alam dan perikemanusiaan dengan mengubah yang perlu diperbaiki dan dapat menjamin
kebahagiaan hidup umat manusia. Terkait dengan persoalan poligami ini – menurut Mahmud Syaltut – setidaknya ada dua segi yang diperbaiki oleh Islam sebagaimana
berikut: 1.
Menetapkan bilangan sampai ke batas yang memenuhi fitrah sifat laki-laki, sehingga dia tidak terpengaruh oleh suatu kondisi di mana akan kelebihan atau
bahkan kekurangan wanita. 2.
Diwajibkan kepada laki-laki untuk berlaku adil menghadapi kepentingan hidup di antara istri-istrinya, sebab keadilan itulah yang mampu menolong
keutuhan keluarga yang akan mengantarkan kepada kehidupan keluarga yang
94
Ibid., h. 49
sakinah, mawaddah wa rahmah. Di samping dapat menyelamatkan kaum
suami dari perbuatan dosa atau aniaya berbuat tidak adil kepada istrinya.
95
Ketentuan ini telah disepakati oleh ahli hukum dan sesuai dengan al-Quran surat an-Nisa’ ayat 3, Allah SWT. berfirman:
☺
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah
wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Q.S. an-Nisa’4: 3. Berdasarkan ayat tersebut, dapat dilihat bahwa penekanan ayat tentang
poligami ini bukan kepada mengawini lebih dari seorang perempuan, tetapi kepada berbuat adil kepada anak-anak yatim. Di sini harus diingat bahwa pada masa itu
mereka yang bertugas memelihara kekayaan anak yatim sering berbuat tidak semestinya dan kadang-kadang melakukan hal itu dengan mengawini mereka tanpa
membayar maskawin. Al-Quran ingin memperbaiki perbuatan yang salah tersebut. Inilah sebabnya, menurut Shahih Muslim sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali
Engineer, ‘Aisyah memahami ayat ini dengan pengertian bahwa jika para pemelihara
95
Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari’ah Islam I, terj. Fachruddin HS. dan Nasharuddin Thaha, cet. II Jakarta: Bumi Aksara, 1990, h. 196.
anak-anak perempuan yatim khawatir dengan mengawini mereka tidak akan mampu berbuat adil kepada perempuan tersebut, mereka sebaiknya mengawini perempuan
lain.
96
Dengan demikian, ayat ini bukanlah pembolehan yang bersifat umum tetapi merujuk kepada suatu konteks yang jelas dimana keadilan terhadap anak-anak
perempuan yatim lebih sentral daripada mengawini lebih dari seorang istri pada saat yang sama. Konteks ini tentu saja tidak boleh diabaikan.
Harus dicatat di sini bahwa pada masa jahiliyah periode pra-Islam tidak ada pembatasan tentang jumlah perempuan yang boleh dikawini. Maka sangat jelas,
pembatasan menjadi empat istri merupakan sebuah reformasi, yakni pengurangan yang sangat drastis dalam kondisi yang berlaku saat itu. Dilihat dari perspektif ini,
orang dapat memahami maksud sebenarnya dari pembolehan kawin sampai empat istri. Namun, kaum muslim sendiri memperlakukannya sebagai izin yang bersifat
umum dan mengabaikan syarat-syarat diperbolehkannya untuk melakukan poligami.
97
Dengan demikian, cukup jelas bahwa pada teori dan praktik menunjukkan sejak masa Rasulullah, bahwa poligami itu hukum asalnya adalah boleh selama
seseorang yang melakukan poligami ini tidak khawatir akan berbuat aniaya tidak adil terhadap istrinya. Jika dia khawatir akan berbuat aniaya, tentu saja kebolehan
poligami menjadi terlarang untuk menyelamatkan dirinya dari perbuatan dosa.
96
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, h. 154.
97
Ibid., h. 156
Terkait dengan tiga kasus poligami dalam penelitian ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa para suami telah berbuat tidak adil kepada istri-istrinya, seperti
pada kasus IH bahwa setelah suaminya menikah lagi, ia tidak memperdulikannya dan lebih mementingkan diri sendiri. Demikian juga pada kasus SZ setelah suaminya
menikah dengan perempuan lain ternyata suaminya tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai suami, yaitu tidak memberikan nafkah lahir dan batin kurang
lebih satu tahun. Tidak jauh berbeda kasus ketiga yaitu SS bahwa setelah suaminya menikah lagi tidak menunaikan kewajibannya sebagai suami, SS tidak mendapatkan
nafkah lahir dan batin kurang lebih empat tahun bahkan sempat terjadi kekerasan fisik dalam rumah tangganya. Dengan sebab keadaan seperti itulah akhirnya mereka
IH, SZ dan SS menggugat cerai suaminya ke pengadilan. Mereka inilah dalam pandangan penulis sebagai korban praktik poligami.
Perceraian diperbolehkan dalam Islam karena pernikahan dianggap sebagai sebuah kontrakakad yang dapat diputuskan baik karena kehendak keduanya atau
karena kehendak salah satu pihaknya. Perceraian memang merusakkan hubungan di antara dua manusia dan karena itu sedapat mungkin harus dihindari. Namun, dalam
keadaan-keadaan tertentu termasuk seperti kasus korban praktik poligami di atas, perceraian mutlak diperlukan. Pernikahan tidak dapat selalu dianggap sebagai ikatan
yang tidak dapat diputuskan. Allah SWT. berfirman:
⌧ ⌧
⌧ ☺
“Jika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha luas
karunia-Nya lagi Maha Bijaksana.” QS. An-Nisa’4: 130.
Berdasarkan ayat tersebut, menurut M. Quraish Shihab, jika keadilan minimal
itu tidak dapat diwujudkan dan perdamaian yang dianjurkan pun gagal, maka tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali bercerai secara baik. Ini karena tujuan
perkawinan adalah lahirnya ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan rumah tangga suami istri. Jika keduanya, yakni pasangan suami istri itu tidak menemukan
titik temu shingga mereka bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing, yang boleh jadi masing-masing mendapat pasangan baru, atau
masing-masing merasa puas hidup sendiri dengan aneka kesibukan atau apa saja dari keluasan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas karunia-Nya lagi Maha
Bijaksana dalam segala ketetapan-Nya.
98
Lebih lanjut M. Quraish Shihab menyatakan, pada ayat tersebut ada dua sifat Allah SWT. Pertama, Maha Luas karunia-Nya. Hal ini adalah menjadi argumen bagi
aneka anugerah-Nya, sekaligus mengisyaratkan bahwa perceraian boleh jadi lebih baik dari percekcokan yang berkesinambungan dalam rumah tangga.
99
Sebagaimana yang terjadi dalam tiga kasus di atas.
Kedua, Maha Bijaksana, sebagai argumen tentang kebenaran dan ketepatan
ketetapan-Nya, antara lain menyangkut perceraian. Dahulu, sementara orientalis mengecam Islam karena membenarkan perceraian, tetapi kini, tidak sedikit pakar non
muslim yang kemudian mengakui penting dan tepatnya jalan keluar yang diajarkan
98
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vo. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2000, cet. Pertama, h. 582-583.
99
Ibid., h. 583
ayat ini. Apalagi seperti terbaca di atas, perceraian baru dibenarkan setelah semua jalan untuk kelanggengan perkawinan telah di tempuh.
100
Islam juga memperbolehkan perempuan mempunyai hak cerai. Seorang perempuan dapat membatalkan pernikahannya dalam bentuk perceraian yang dikenal
dengan khulu’.
101
Islam barangkali merupakan agama pertama di dunia yang telah mengakui adanya hak semacam ini. Di dalam al-Quran Allah SWT. berfirman:
...
⌧ ☺
⌧
“jika kamu khawatir bahwa keduanya suami isteri tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-
hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
QS. Al-Baqarah2: 229.
Ayat inilah yang menjadi dasar hukum khulu dan penerimaan iwadh. Khulu
yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut iwadh. Harus dicatat bahwa hak istri untuk khulu’ adalah mutlak dan tidak seorang pun dapat
menghalangi menggunakannya. Seorang istri dapat mengajukan khulu’ ke pangadilan dan memenangkan pemutusan hubungan perkawinannya secara hukum karena adanya
cacat fisik pada suaminya, perlakuan yang buruk atau kekejaman yang dibenarkan secara hukum. Yang termasuk sebagai dharar banyak jenisnya dan tentu saja
100
Ibid.
101
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, h. 211.
berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Ketidakmampuan atau ketidakmauan suami bercampur dengan istrinya karena dia dihukum penjara seumur
hidup, atau karena sudah tidak sayang dan tidak cinta lagi, maka hal ini merupakan dharar.
Tidak hanya itu, jika suami menjadi tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai suami, seperti memberikan tempat tinggal dan nafkah, maka istri dapat
menggunakan haknya untuk khulu’.
102
Bahkan dalam suatu hadits dikisahkan kasus Jamilah, istri Tsabit Ibn Qais. Jamilah sangat tidak puas dengan perkawinannya walaupun tidak ada perselisihan
antara suami dan istri. Dengan pilu dia menyatakan kepada Nabi bahwa dia tidak menemukan kasalahan pada diri suaminya dalam hal moral dan agamanya; tetapi dia
sama sekali tidak menyukainya. Nabi mengizinkannya bercerai asalkan dia mengambalikan kepada suaminya kebun buah-buahan yang telah diberikan
kepadanya sebagai mas kawin. Dan ternyata Jamilah bersedia mengembalikannya, maka keduanya bercerailah.
103
Dari uraian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa perempuan memiliki hak- hak di samping kewajibannya yang harus dipenuhi oleh kaum laki-laki, dan mendapat
tempatkedudukan yang seimbang dengan laki-laki dalam kehidupan rumah tangga. Islam membukakan jalan keluar pada wanita istri bilamana keadaan rumah
tangganya tidak harmonis untuk membawa perkaranya kepada qadhi hakim pengadilan dan dibuktikannya di depan pengadilan itu segala penderitaan yang
102
Ibid., h. 212-213
103
Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari’ah Islam, h. 185.
ditanggungnya. Berdasarkan pertimbangan demikian, hakim boleh menceraikan perempuan itu dari suaminya, yaitu dibebaskan dari segala siksaan dan kekejaman
suaminya, baik penderitaan jasmani maupun rohani. Jelaslah, kepentingan-kepentingan perempuan telah dipertimbangkan sedapat
mungkin dalam masalah perceraian, bahkan oleh para fuqaha dalam perumusan hukum-hukum syari’ah. Dengan demikian, apa yang telah dilakukan oleh IH, SZ dan
SS mengajukan gugat cerai terhadap suaminya yang dianggap tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami, tentu saja mendapat tempat dalam hukum Islam
dan pengadilan dapat mengabulkan gugatan cerai tersebut selama mereka dapat mempertenggung jawabkannya.
BAB V PENUTUP