Adil sebagai syarat permohonan izin poligami: studi kasus persepsi hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD SUFIYAN 107044202484

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011M / 1432H


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam ( SHI ) Oleh:

Ahmad Sufiyan 107044202484

Di Bawah Bimbingan Pembimbing:

Drs.H.Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. 196911211994031001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM

PROGRAM STUDI AHWAL ASY-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2011 M/1432 H


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah mencantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Mei 2011


(4)

Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur), telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Ahwal Asy- Syakhshiyyah.

Jakarta, Juni 2011 Dekan;

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

Panitia Ujian Munaqasyah

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. NIP. 195003061976031001

2. Sekretaris : Hj. Rosdiana M.A

NIP. 196906102003122001

3. Pembimbing : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat SH, MA. NIP. 196911211994031001

4. Penguji I : Sri Hidayati, M.Ag.

NIP. 197102151997032002

5. Penguji II : Drs.Djawahir Hejazziey, SH, MA.


(5)

i

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puja serta puji syukur dipanjatkan kepada

Allah SWT, Tuhan yang mengatur seluruh kehidupan dan penguasa seluruh kehendak hati manusia. Shalawat serta salam semoga tetap dilimpahkan selamanya kepada uswah hasanah kita yakni Nabi Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana memaknai hidup ini sesungguhnya, tak lupa kepada keluarganya, sahabat dan umatnya yang senantiasa kukuh dan istiqomah dalam memegang sunnahnya sampai hari pembalasan.

Selama penyusunan skripsi ini dan selama penulis belajar di Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis banyak mendapat

bantuan dan sumbangan motivasi dari bebagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta: Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.

2. Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam: Drs.H.A.Basiq Djalil, SH, MA, dan Hj. Rosdiana MA yang selalu memberikan bimbingan, motivasi kepada penulis, sehingga penulis mampu merampungkan skripsi ini.


(6)

ii

arahan dan ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi ini. Dosen Penasehat Akademik: Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan M.Ag yang memberikan arahan dalam pemberian judul skripsi ini.

4. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah banyak memberikan ilmunya serta berbagai kemudahan.

5. Kepala dan seluruh staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syariah dan Hukum UIN Jakarta yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi referensi dalam penulisan ini.

6. Hakim Pengadilan Jakarta Timur: Bapak Drs. H. Nemin Aminuddin M.H yang telah membantu penulis dalam wawancara, Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Jakarta Timur: Bapak Fahrurozi selaku, dan juga Bapak Hisni Mubarak pegawai Pengadilan Agama Jakarta Timur yang sangat membantu penulis dalam memperoleh data-data yang penulis buuthkan. 7. Ayahanda H. Abdul Hadi Zaini dan Ibunda Hj. Nurfiah, yang selama ini

selalu menjaga, merawat, mendidik, mendorong serta membimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran.

8. Saudara-saudara, ka Ria dan suami, ka Zizah dan Suami, ka Rohma dan suami, ka Ida dan suami, bang Zaki, Azmi dan seluruh Keluarga Besar Bani Nashir yang penulis cintai, mereka juga selalu memotivasi dan mendoakan penulis.


(7)

iii

Akhirnya, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan mudah-mudahan semua yang telah penulis lakukan mendapat ridha Allah SWT, semoga skripsi ini bermanfaat. Amiin.

Jakarta, Juni 2011 M Rajab 1432 H


(8)

iv

KATA PENGANTAR.………..…………...………….……….…….i

DAFTAR ISI…………..………...………..………iv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….…….…..…….………1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………..…….……7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….9

D. Metode Penelitian……….…..10

E. Review Studi Terdahulu……….12

F. Sistematika Penulis……….……12

BAB II : KONSEP ADIL SEBAGAI SYARAT POLIGAMI A. Poligami dalam Islam...14

B. Hak Istri-Istri dalam Poligami...24

C. Adil Syarat untuk Poligami...30

D. Prosedur Izin Poligami...38

BAB III : HAKIM PENGADILAN AGAMA SEBAGAI PEJABAT PEMBERI IZIN POLIGAMI A. Peradilan Agama Sebagai Lembaga Pemberi Izin Poligami...42

B. Hakim Peradilan Agama Sebagai Pejabat Pemberi Izin Poligami...56


(9)

v

BAB IV : PEMAHAMAN HAKIM PENGADILAN AGAMA JAKARTA

TIMUR TENTANG KONSEP ADIL DALAM BERPOLIGAMI A. Konsep Adil Sebagai Syarat Izin Poligami Menurut

Hakim……….76

B. Alasan Hakim dalam Memberi Izin Poligami………78

C. Analisis Penulis...………...79

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan...……….…....87

B. Saran-Saran...……….…....89

DAFTAR PUSTAKA...……….…...90 LAMPIRAN :

A. Surat Permohonan Wawancara B. Surat Telah Wawancara C. Pedoman Wawancara D. Hasil Wawancara


(10)

1 A. Latar Belakang.

Sebuah dambaan dan keinginan besar bagi ikatan hasil perkawinan yang sah antara pria dan wanita menjadi sebuah bentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, dan ingin juga membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Memiliki keturunan yang dapat membahagiakan, rezeki yang mencukupi, dan kebaikan keluarga lainnya. Untuk mewujudkan tersebut, Allah sebagai pencipta antara pria dan wanita, membuat sebuah aturan yang mengikat bagi keduanya yang akan mendatangkan kemaslahatan dalam kehidupan sehari-harinya. Karena pada hakikatnya aturan Allah sejalan dengan fitrah dan bentuk ciptaannya sesuai dengan kenyataan yang senantiasa berubah dalam segala ruang, situasi, dan kondisi.

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan rumahtangga. Dalam Islam, rumahtangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan merupakan faktor utama dalam membina masyarakat. Dari sebuah rumah tangga, segala persoalan kehidupan manusia timbul. Merupakan kehendak Allah untuk memulai adanya kehidupan manusia diatas bumi melalui suatu keluarga. Salah satu perhatian Islam terhadap keluarga adalah diciptakannya aturan dan syariat yang luwes, adil, dan bijaksana. Andaikata aturan ini dijalankan dengan jujur dan setia, maka tidak akan ditemukan adanya pertentangan dan pertikaian. Kehidupan keluarga akan berjalan damai.


(11)

Kedamaian ini tidak saja dapat dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitar.1

Allah tidak akan melarang sesuatu yang diperlukan dalam keadaan terpaksa, atau sesuatu yang menarik kemaslahatan, baik kemaslahatan umum maupun kemaslahatan khusus. Allah tidak akan melarang sesuatu yang merupakan kebutuhan alamiah manusia dengan suatu yang akan memberikan kesempurnaan ahlak. Islam sebagai agama yang diturunkan dari sisi Allah, tentu tidak akan melarang suatu yang akan merugikan wanita, keluarga dan masyarakat. Justru Islam ingin melindungi kaum wanita, keluarga, masyarakat dari segala keburukan dan ketersia-siaan.2

Kedatangan Islam memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk mengatur serta membatasi keburukan dan madharatnya yang terdapat dalam masyarakat yang melakukan poligami. Poligami adalah sistem yang cukup dominan sebelum datangnya Islam, kemudian datanglah Islam dengan membolehkan poligami ketika poligami itu merupakan sistem yang sangat kuat didalam kehidupan masyarakat Arab yang merupakan konsekuensi dari tabiat biologis dan realita sosial mereka.3

Hak poligami dapat diberikan kepada suami yang sanggup melaksanakannya, karena jika tidak, hal tersebut akan membuat kesengsaraan dan penderitaan bagi

1

Abdutawwab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), cet. 1, hal. 6

2

Abdutawwab, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW Poligami dalam Islam vs Monogami Barat, hal. 57

3

Karam Hilmi Farhat, Poligami dalam Pandangan Islam, Nasrani, dan Yahudi, (Jakarta: Darul Haq, 2007), hal. 20.


(12)

kaum wanita. Syarat poligami pada dasarnya sama dengan monogami tapi yang paling utama adalah:

1. Sanggup memberi nafkah, bagi seorang suami diwajibkan oleh syara’ baginya untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya yang meliputi sandang, pangan, dan papan, walaupun itu dapat dipikul bersama-sama dengan istri.

2. Sanggup memberi nafkah batin, syarat bolehnya nikah dan poligami adalah masih mampu memberikan nafkah batin, kalau tidak maka tidak boleh poligami, karena itu dapat berakibat buruk bagi wanita yang dinikahi.4

3. Mampu berbuat adil, maka bagi seorang suami yang ingin berpoligami harus memperlakukan semua istri dengan adil. Setiap istri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya. Namun bila ia merasa bahwa tidak mampu memperlakukan dengan adil, maka dia harus menahan dirinya untuk menikah dengan hanya satu orang istri.5

Akibat poligami, terkadang akan menimbulkan kecemburuan antar wanita yang dinikahi, karena ditimbulkan dari perasaan sakit istri pertama dan menimbulkan harapan istri yang baru. Kecemburuan itu mungkin akan berkurang bila ada ketegasan seorang suami untuk bersikap adil antara istri-istrinya. Karena sikap adil akan membuat istri-istri akan merasa puas terhadap perlakuan suami kepada mereka,

4

Sufyan Raji Abdullah, Poligami dan Eksistensinya, (Bekasi, Pustaka Al-Riyadl, 2004), hal. 45.

5


(13)

namun apabila suami tidak adil terhadap istri-istrinya akan berakibat kecemburuan antara mereka yang berakbitkan pertengkaran antar keduanya. Maka tidak berlebihan bahwa adil itu sangat penting sebagai syarat dalam poligami.

Bagi seorang laki-laki yang ingin berpoligami, maka dia harus mengikatkan pada dirinya pada hukum yang lain. Kita ketahui bahwa hukum poligami itu adalah mubah, dan kemubahan tersebut ada kewajiban yang harus diyakinan pada diri hati suami sebelum menginginkan poligami dan melaksanakannya setelah melakukannya. Adapun kewajiban itu adalah sikap adil antar istri-istrinya. Maka apabila seorang suami tidak berlaku adil, maka itu menandakan ketidakberesan dari suami itu sendiri dan itu timbul karena salah pada prakteknya bukan konsep poligami itu sendiri.

Apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan, maka akan muncul kerusakan hukum syariat ketika diambil secara parsial (tidak utuh) tanpa memperhatikan kondisi secara menyeluruh, dan orang yang mengambil hukum dari Allah, maka dia harus mengambil ketentuan dari Allah secara menyeluruh6

Islam datang untuk mensyaratkan poligami dengan adil, Islam membatasi poligami dan tidak membiarkannya mengikuti keinginan laki-laki. Menurut Imam Jarir ath-Thabari tentang ayat ketiga surat an-Nisa bahwa apabila takut tidak berlaku adil terhadap dua, tiga, empat orang, kemudian kalian hanya menikahi seorang saja atau cukup dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki, maka itu lebih dekat untuk tidak berbuat zhalim dan berat sebelah. Bahkan dengan demikian kewajiban

6


(14)

nafkah akan lebih ringan, satu orang istri akan membutuhkan nafkah lebih sedikit dibanding dua, tiga, atau empat orang istri.7

Menurut mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi tentang ayat 129 surat an-Nisa, bahwa keadilan yang dibebankan pada manusia disesuaikan dengan kemampuannya. Dengan syarat harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menegakkan keadilan, sebab faktor terbesar yang mendorong untuk cenderung berbuat adil adalah tidak lain kecenderungan jiwa dan hati yang tidak dapat dikuasai oleh seorang jika tidak dapat menguasai pengaruh-pengaruh yang alami. Atas dasar ini Allah memberikan keringanan dan menjelaskan bahwa jika keadilan yang sempurna tidak akan ditegakkan, maka hendaknya tidak benar cenderung kepada istri yang dicintai dan mengabaikan istri yang lainnya, yang mana seakan-akan tidak bersuami dan tidak pula diceraikan. Maka paling tidak hendak membuat para istri rida atas perlakuannya.8

Di Indonesia, suami yang ingin berpoligami, maka dia harus memohonkan izin ke Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim. Dalam hal ini dilibatkan campurtangan Pengadilan Agama, poligami tidak lagi sebagai tindakan individual affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan kekuasaan negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan Agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap

7

Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, (Kairo: Darul Ma’arif, t.th), jilid. 7, hal. 531.

8

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: CV Toha Putra, 1993), jilid. V, hal. 289.


(15)

dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah.9

Dalam Islam, bahwa suami yang akan berpoligami tidak perlu mendapatkan izin dari Pengadilan Agama tapi cukup dengan suami tersebut mampu berbuat adil kepada istri-istrinya. Namun, melihat demi kemaslahatan pihak suami dan istri maka poligami perlu mandapatkan izin dari Pengadilan Agama. Di Pengadilan Agama, terdapat ketentuan bahwa apabila suami akan mengajukan izin poligami terdapat persyaratan, yaitu harus adil terhadap istri-istrinya, sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia mengatur bahwa Hakim dapat memberi izin dengan syarat yang salah satunya adalah mampu berbuat adil antara istri-istrinya.

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974, dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, menyatakan bahwa seorang yang hendak beristri lebih dari satu harus mendapatkan izin dari Pengadilan. Untuk mendapatkan izin tersebut, harus melalui proses Pengadilan dengan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam hukum positif. Memperhatikan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 5 (1) huruf c dinyatakan bahwa: “adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka”. Pada pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyebutkan bahwa “apabila seorang suami bermaskud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”.

9

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989. Jakarta: Sinar Grafika, 2007, ed. 2, cet. 4. hal. 43.


(16)

Bila dilihat secara tekstual dari Undang-Undang diatas jelas bahwa suami harus berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, namun sayangnya pada Undang-Undang ini tidak ada penjelasan secara lengkap tentang apa yang dimaskud dengan adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Dalam mengajukan permohonan suami ke Pengadilan Agama, diatur secara tertulis ke Pengadilan, maka Hakim Pengadilan yang akan memeriksa permohonan. Dengan melihat ini, penulis amat tertarik untuk mengangkat sebuah tema dengan judul “Adil Sebagai Syarat Izin Poligami (Studi Atas Persepsi Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur) ”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah. 1. Pembatasan Masalah.

Adil dalam poligami menurut Hukum Islam memang adalah sebuah syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan berpoligami. Adapun prosedur berpoligami di Indonesia harus menyerahkan permohonan kepada Pengadilan. Dan dalam pemeriksaan di Pengadilan Agama, maka hakimlah yang akan memeriksa permohonan tersebut. Karena penulis menyadari pembahasan pada skripsi ini sangat luas, maka untuk membatasi tersebut penulis membatasi masalah dalam skripsi ini, yaitu:

a. Pemahaman Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur tentang adil dalam poligami.


(17)

b. Mampu berlaku adil yang menjadi salah satu syarat izin poligami dalam pasal 5 ayat 1 point c Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Perumusan Masalah.

Lelaki yang ingin berpoligami akan menemukan kesulitan untuk berbuat adil terhadap istri-istrinya, karena itu adalah sifat naluriah manusia akan bersifat lebih tertarik pada salah seorang istrinya yang lain. Karena terdapat kesulitan tersebut, maka suami harus dapat menyakinkan dan membuktikan bahwa dirinya dapat berlaku adil dalam masa poligaminya didepan Hakim Pengadilan Agama. Maka dalam hal ini Hakim sangat berperan sebagai pejabat yang dapat memberikan izin poligami. Namun, dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawainan yang mengharuskan suami berlaku adil terhadap istri-istri, belum disebutkan secara jelas dalam mengartikan kata adil. Maka untuk merumuskan masalah diatas, penulis menyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana pendapat Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam mengartikan adil sebagai syarat poligami?

b. Bagaimana Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur memperoleh keyakinan bahwa pemohon dapat berlaku adil dalam berpoligami?


(18)

c. Apa yang menjadi tolok ukur dan kriteria adil dalam poligami menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. 1. Tujuan Penelitian.

Secara garis umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan peringatan bahwa begitu pentingnya sikap adil dalam berpoligami, sebagai upaya untuk mewujudkan keluarga yang bahagia, kekal, sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan untuk pengkhususannya, maka tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk:

a. Mengetahui konsep adil menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagai syarat berpoligami.

b. Mengetahui keyakinan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memberikan izin bagi pemohon untuk berpoligami.

c. Mengetahui tolok ukur dan kriteria adil dalam poligami menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur.


(19)

Sudah menjadi keinginan penulis, bahwa penelitian ini dapat memajukan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan Islam lebih dalam lagi, terutama dalam bidang kekeluargaan yang terdapat banyak masalah di masyarakat.

D. Metode Penelitian. 1. Jenis Penelitian.

Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris dengan jenis penelitian kualitatif yang difokuskan kepada pemahaman Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur mengenai adil yang menjadi syarat untuk izin poligami, dan menghasilkan data deskriptif. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan.

2. Pengumpulan Data.

a. Data primer yakni, data-data yang diperoleh dari hasil wawancara kepada Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur. Adapun metode yang dipakai adalah metode penelitian lapangan (field research) yaitu, suatu teknik pengumpulan data dimana penulis langsung melakukan ke lapangan untuk memperoleh data yang jelas (obyektif). Adapun instrumen pengumpulan data tersebut adalah:

1) Wawancara, yaitu melakukan interview kepada pihak yang diangaap dapat memberikan informasi untuk penelitian ini, dalam hal ini adalah


(20)

Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dan pihak lain yang dapat memberikan informasi pada penelitian ini.

2) Dokumentasi, yaitu mengumpulkan data di lapangan yang dilakukan dengan cara mencatat, merangkum data yang ada di lokasi penelitian. b. Data skunder, yaitu data yang diambil dari pustaka yang dapat menunjang

data primer dengan menggunakan metode (library research) yaitu suatu teknik pengumpulan data dimana penulis melakukan kunjungan ke perpustakaan untuk mendapatkan sumber tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang sedang dibahas.

3. Analisa Data.

Dalam penganalisaan data menggunakan data deskriptif analitis yaitu teknik analisa di mana penulis menjabarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan kemudian menganalisa dengan berpedoman pada sumber data tertulis yang didapat dari perpustakaan.

Sedang dalam penyusunan tulisan berpedoman pada prinsip-prinsip yang diatur dalam buku Pedoman Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, Desertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan pengecualian ayat-ayat Al-Quran dan sekaligus Hadis Rasul SAW.


(21)

E. Review Studi Terdahulu.

Chuzaimah, Esensi Keadilan dalam Poligami (Tinjauan Hukum Islam),. Pada skripsi ini menerangkan esensi keadilan menurut tinjauan Hukum Islam, dan jenis penelitiannya adalah normatif sehingga tidak mengetahui bagaimana realitas yang terjadi di masyarakat. Untuk membedakan, maka pada skripsi ini penulis akan memaparkan realita akan pemahaman Hakim tentang adil dalam poligami yang ada pada Pengadilan Agama tentang keadilan sebagai syarat poligami.

Heli Nurhalimah, Analisis Putusan Sidang Uji Materil Poligami dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. (Studi Kasus di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia). Dalam skripsi ini, penulis menganalisa putusan hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang uji materil poligami. Adapun penulis dalam skripsi ini menggambarkan sebuah konsep adil sebagai syarat poligami yang tidak di bahas pada skripsi Heli Nurhalimah.

Tajun Nasroh Qurti, Esensi dan Eksitensi UU No. 1 tahun 1974 terhadap Poligami. (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor). Pada skripsi ini penulis menggambarkan kenyataan poligami yang terjadi pada masyarakat Rumpin yang melakukan poligami. Adapun penulis memfokuskan pada dasar Hakim yang memberikan izin untuk poligami dalam memahami konsep adil.


(22)

F. Sistematika Penulisan.

Bab kesatu :Pada bab ini, berisi latar belakang dari penulisan skripsi ini, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

kerangka teori, studi review.

Bab kedua :Pada bab ini, berisi poligami dalam Hukum Islam, persyaratan dalam poligami, adil syarat untuk poligami, prosedur izin poligami di Pengadilan Agama.

Bab ketiga :Pada bab ini, berisi Pengadilan Agama sebagai lembaga pemberi izin poligami, hakim sebagai pejabat pemberi izin poligami, proses pengambilan keputusan Hakim Peradilan Agama.

Bab keempat :Pada bab ini, konsep adil sebagai syarat poligami menurut Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, alasan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam memberi izin poligami.

Bab kelima :Pada bab ini, berisi kesimpulan, saran-saran, daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(23)

14 BAB II

KONSEP ADIL SEBAGAI SYARAT POLIGAMI

A. Poligami dalam Islam. 1. Pengertian.

Poligami merupakan gabungan kata poly atau polus yang berarti banyak, dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Sehingga apabila kedua kata tersebut digabungkan maka akan berarti yang banyak atau dengan kata lain poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa istri dalam waktu bersamaan dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan berpoligami adalah menjalankan atau melakukan poligami.2

Term poligami ini sebenarnya punya makna umum, yaitu memiliki dua orang atau lebih istri dalam waktu bersamaan. Adapun kebalikan dari bentuk

1

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopdi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 1999), cet. 6 jil. 4 hal. 107.

2


(24)

perkawinan seperti ini adalah monogami yaitu perkawinan di mana suami hanya memiliki satu orang istri.3

Dan dalam kitab-kitab fikih, para ulama menulisnya dengan “ta’addud al -zaujat” yang bila diartikan “ta’adud” adalah bilangan dan “zaujat” adalah kata jamak dari istri. Maka apabila kedua kata tersebut digabungkan menjadi arti perkawinan yang mempunyai lebih dari seorang istri.

2. Dasar Hukum.

Tentang hukum poligami, para ulama melihat dalil al-Qur’an surat an-Nisaa:

(

/

)

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S: an-Nisaa/4:3).

Menurut jumhur ulama, yang diuraikan oleh Ali al-Shabuni, ayat tersebut mengisyaratkan untuk kebolehan (ibahah), bukan wajib. Hal serupa juga ditemui

3


(25)

dalam ayat yang menyatakan tentang makan dan minum, seperti “kuluu wasyrabuu”.4

Menurut Yusuf al-Qardhawi bahwa poligami tidaklah wajib atau sunah, tetapi makruh. Dan bagi laki-laki yang tak mampu dalam ekonomi dan berbuat adil, hukumnya menjadi haram. Dengan pertimbangan sosial dan individu, dalam Islam poligami boleh (mubah).5

Sementara Wahbah al-Zuhaily berpendapat, poligami terkait dengan syarat dan kondisi tertentu, sebab umum dan khusus. Sebab umum adalah ketika jumlah laki-laki lebih sedikit daripada jumlah perempuan, dan ini beraspek sosial spiritual atau kesempatan bagi perempuan untuk menikah dan menghindarkannya dari penyimpangan, penyakit berbahaya seperti aids, atau untuk kepentingan dakwah dan sebagainya. Sementara sebab khusus adalah istri mandul atau sakit, suami membenci istrinya, sementara perceraian makruh, syahwat lelaki lebih besar daripada perempuan.6

Menurut Muhammmad Abduh berpendapat bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami bukan poligami. Poligami diaharamkan karena

4

Ali al-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Minal Qur’an, jus. 1, hal 192.

5

Yusuf al-Qardhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Muhammad

Hafiz, Pelaksanaan Poligami di Indonesia dalam Pandangan Muhammad Shahrour, (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum), hal. 26.

6


(26)

menimbulkan dharar seperti konflik antar istri dan anggota keluarga, dan hanya dibolehkan dalam kondisi darurat saja.7

Poligami menurut Sayyid Qutub adalah rukhsah, ini sesuai dengan realitas fitrah dan kehidupan dan menjaga masyarakat dari kecendrungan untuk lepas kendali atau hidup dalam kejenuhan. Ikatan atau syarat ini akan melindungi suami istri dari kehancuran dan kerusakan, melindungi istri dari penganiayaan dan kezaliman, melindungi kehormatan dan harga diri wanita dari kehinaan karena tiadanya perlindungan dan kehati-hatian dan menjamin keadilan di dalam menghadapi tuntutan kebutuhan yang vital. Apabila ada seseorang melakukan penyimpangn di dalam menggunakan rukhsah ini dengan menjadikannya sebagai kesempatan untuk menjadikan kehidupan suami dan istri sebagai panggung kesenangan hidup dengan berpindah-pindah dari istri kepada istri yang lain sebagaimana halnya orang yang berganti-ganti kekasih, maka bentuk poligami dengan motivasi seperti ini sama sekali bukan dari ajaran Islam, bahkan tidak mengimplementsikan ajaran Islam.8

Menurut Rasyid Ridha mengatakan sebagaimana dikutip oleh Masyfuk Zuhdi9 sebagai berikut:

7

Rasyid Ridha Tafsir al-Manar, jus 4 hal 346.

8

Sayyid Qutb, Tafsir fi Zhilail Quran, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992). Hal 118.

9

Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: PT. Gita Karya, 1988), cet. 1, hal. 12.


(27)

Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudarat daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati,dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligimis. Dengan demikian poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antar istri beserta anak-anaknya masing-masing. Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligimis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati atau dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa menganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.

Menurut Quraish Shihab10 poligami sama sekali bukan sunnah. Anggapan bahwa poligami itu sunnah berakar dari kekeliruan dalam memahamai ayat dan sunnah Nabi, dengan alasan yaitu:

Surat an-Nisaa ayat 3 sama sekali bukan anjuran apalagi perintah poligami. Ayat ini tidak menganjurkan apalagi mewajibkan berpoligami, tetapi ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Poligami dalam ayat itu merupakan pintu

10


(28)

kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa saja yang sangat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.

Berkaitan dengan kata amar yang terdapat dalam ayat ini, semua ahli hukum sepakat bahwa tidak semua perintah dalam al-Qur’an menunjukkan kewajiban, sebaimana ditunjukkan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh. Kata perintah dalam

al-Qur’an ada yang menunjukkan wajib, seperti perintah mendirikan salat, sunnah

seperti perintah untuk tahajud, dan mubah seperti perintah makan dan minum. Dalam kaitannya dengan ayat ini, kata “nikahilah” menunjukkan hukum boleh

tapi itupun dengan syarat yang berat.

Walaupun Nabi dalam delapan tahun terakhir hidupnya berpoligami, tidak lantas bisa dikatakan bahwa poligami itu sunnah Nabi, menurut Quraish Shihab

“tidak semua apa yang dilakukan Rasul SAW perlu diteladani sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya. Bukanlah Rasul SAW antara lain wajib bangun salat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila tertidur”.

3. Syarat-Syarat.

a. Jumlah Istri dalam Poligami.

Poligami tidak dibenarkan lebih dari empat istri. Batas kuantitatif ini menjadi syarat sahnya nikah. Barang siapa mengawini wanita untuk dijadikan istri yang kelima atau keenam dan seterusnya, maka


(29)

perkawinannya dipandang tidak sah dan mesti difasakh. Dalam poligami juga tidak boleh mengumpulkan antara saudara perempuan dan bibi istri dalam satu pernikahan.

Jumhur ulama termasuk pula di dalamnya para sahabat dan tabi’in dan Ibnu Abbas menyatakan bahwa batas maksimal menikahi perempuan adalah empat. Begitu pula dengan pandapat Imam Malik. Dan pendapat

tersebut juga dikeluarkan oleh Imam Syafi’i, Ibnu Katsir, Ibnu Majah

dalam Sunan-nya, dan hampir ulama klasik. Adapula yang mengatakan bahwa poligami boleh dilakukan sampai sembilan orang, yaitu pendapat dari Mazhab Syiah. Sementara Zhahiriah berpendapat boleh sampai delapan belas.

Perbedaan ini muncul karena penafsiran kalimat “matsna wa tsulatsa

wa ruba’” dalam ayat 3 surat an-Nisaa. Menurut mazhab Syiah, kalimat

“matsna wa tsulatsa wa ruba’” menunjukkan penjumlahan, sehingga jiga

ditambahkan, maka hasilnya adalah sembilan. Sedangkan bagi kelompok

Zhahiri, delapan belas karena kata “wau” dalam kalimat tersebut berarti

“dikali” sehingga dua kali dua kali tiga kali empat. Dan menurut jumhur


(30)

“au” yang artinya “atau”.11

Pendapat ini dikuatkan dengan qarinahnya yaitu hadis Nabi:

Diriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafi yang telah masuk Islam, sedang ia mempunyai 10 istri dan lalu Nabi bersabda:

(

)

b. Dapat Berlaku Adil.

Poligami dapat dilakukan dengan catatan berlaku adil. Batasan ini tidak menjadi syarat sahnya perkawinan. Barang siapa mengawini wanita sebagai istri kedua, ketiga, keempat, sedang ia khawatir untuk berbuat zalim, maka perkawinannya tetap dipandang sah. Hanya ia berdosa jika benar-benar berbuat zalim.

Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri untuk keempatnya. Bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya dua orang, maka ia haram menikahi istri untuk ketiganya. Dengan ini sesuai dengan hadis Nabi:

11

Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir: al-Jami’ Baina Fanniy al -Riwayah wa al-Diroyah, (Libanon, Dar al Ma’rifah, tt), jilid. 1, hal. 532.


(31)

(

)

Dari Abu Hurairah RA. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat dengan bahunya miring. (Hadis diriwaytkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi. An-Nasaai, dan Ibnu Hibban).12

Keadilan mutlak persoalan cinta memang tidak akan dapat diwujudkan oleh manusia manapun. Prof. Dr. M. Quraish Sihab membagi pengertian cinta atau suka menjadi dua bagian, yakni suka yang lahir atas dorongan perasaan dan suka yang lahir atas dorongan akal. Obat pahit tidak disukai siapapun, ini berdasarkan perasaan setiap obat yang sama akan disukai atau dicari dan diminum karena akal sisakit mendorongnya menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian juga suka atau cinta dalam diri seseorang dapat berbeda. Yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam cinta atau suka berdasarkan perasaan. Sedangkan suka yang berdasarkan akal dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan istri dengan baik, membiasakan diri untuk menerima segala kekurangan-kekurangannya, memandang segala aspek yang ada padanya, bukan hanya aspek keburukannya atau kebaikannya saja. Ini yang dimaksud dengan

12


(32)

cenderung atau condong kepada yang kamu cintai dan jangan juga terlalu cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai. 13

c. Izin di Pengadilan Agama.

Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan bahwa suami yang akan berpooligami harus mendapatkan izin dari istrinya dan memberikan jaminan keadilan dalam rumah tangga, sebagaimana dalam pasal 3 ayat 2: “Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.” dan pasal 4 ayat 1

“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana

tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib

mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.”.

4. Alasan-Alasan.

Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang suami yang ingin beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi izin ini sesuai dengan pasal 57 Kompilasi Hukum Islam:

13


(33)

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Apabila diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas dapat dipahami bahwa alasannya mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu membentuk rumahtangga yang bahagia dan kekal atau sakinah mawaddah dan rahmah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami istri maka dapat dianggap rumahtangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia.

B. Hak Istri-Istri dalam Poligami. 1. Mahar.

Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang wanita berupa harta atau yang serupa dengannya ketika dilaksanakan akad. Utamanya adalah pemberian kepada seorang wanita walaupun sebagian darinya atau sedikit daripada meninggalkannya dalam suatu akad. Hal ini tidak membatalkan keabsahannya. Yang terpenting adalah sesuatu yang diberikan seorang laki-laki kepada wanita. Seolah-olah ini adalah pengibaratan dari kebiakan niat seorang laki-laki kepada


(34)

perempuan, dan permulaan keterikatan yang baik antara keduanya, yang berasaskan kecintaan dan kerelaan serta hubungan yang baik.

Islam tidak membatasi jumlah mahar yang akan diberikan kepada istri. Hal ini merupakan atas kesepakatan antara suami dan istri, sesuai dengan kerelaan istri diberikan mahar tersebut dan juga memperhatikan kemampuan dari suami. Mahar bukan dijadikan sebagai harga perempuan, tetapi mahar dijadikan untuk membahagiakannya, Allah berfirman:

(

/

(

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (Q.S: an-Nisaa/4:4).

2. Nafkah.

Nafkah bagi istri-istri dalam poligami sama dengan apa yang menjadi hak nafkah kepada seorang istri, dalam pemberian nafkah para ulama berpendapat bahwa harus terdapat adil. Dalam hal belanja harian suami wajib menyamakan di antara istri-istrinya. Sebagaian ulama berpendapat bahwa selama suami telah memenuhi kewajiban nafkah sesuai dengan kebutuhan dan kecukupan istri, tidak mesti dalam jumlah yang sama banyak, karena masing-masing telah mendapatkan apa yang mencukupi bagi kehidupannya.14

14

Ibnu Qudamah, al-Mughniy, dalam Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), ed. 1, cet. ke-2. hal. 178.


(35)

Kata nafkah dari kata bahasa Arab nafaqah, secara etimologi mengandung arti berkurang, juga berarti hilang atau pergi. Bila seorang dikatakan memberikan nafkah membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit karena telah dilenyapkan atau dipergikan untuk kepentingan orang lain. Bila kata ini dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti sesuatu yang dikeluarkan dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang. Dengan demikian, nafkah istri berarti pemberian yang wajib dilakukan oleh suami terhadap istrinya dalam masa perkawinannya. Yang termasuk dalam pengertian nafkah menurut yang disepakati ulama adalah belanja untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok pakaian dan perumahan atau dalam bahasa sehari-hari disebut sandang, pangan dam papan.15

Hukum membayar nafkah untuk istri, baik dalam bentuk perbelanjaan, pakaian adalah wajib. Kewajiban itu bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya bagi kehidupan rumahtangga, tetapi kewajiban yang timbul dengan sendirinya tanpa melihat kepada keadaan istri. Dasar kewajiban nafkah diatur dalam Al-Quran, yaitu:

Ayat Al-Quran yang menyatakan kewajiban perbelanjaan terdapat dalam surat Al-Baqarah:

15

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 165.


(36)

(

/

(

Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.(Q.S: Al-Baqarah/2: 233).

Adapun ayat yang mewajibkan perumahan adalah terdapat surat At-Talaq:

)

(

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. (Q.S: At-Talaq/65: 6).

Yang menyebabkan wajib memberikan nafkah yaitu adanya ikatan perkawinan, hubungan kerabat sebagai hak milik. Nafkah yang wajib diberikan itu dalam bentuk:

a. Makanan atau minuman dan yang sehubungan dengannya. b. Pakaian yang layak dan memadai.

c. Tempat tinggal yang layak meskipun rumah sewa d. Perabot dan perlengkap rumahtangga lainnya.16

Kewajiban adil dalam memberikan pakaian untuk istri-istrinya. Dalam penyedian rumah tempat tinggal suami harus adil. Menyediakan sebuah tempat

16

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam. Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlusunnah dan Negara-Negara Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), cet. Ke-2, hal. 98.


(37)

tinggal tersendiri bagi setiap istrinya. Suami dibolehkan menempatkan beberapa orang istri dalam satu rumah, kalau istri-istrinya itu sudah menyepakatinya, namun tidak boleh menempatkan mereka dalam satu tempat tidur.17

3. Qasm.

Qasm menggilir bergaul di antara istri dengan istri lain, yang menjadi patokan pada kesempatan bergaul adalah malam hari, karena malam itulah waktu untuk bergaul antara suami istri menurut biasanya, sedangkan siang hari adalah waktu untuk mencari nafkah. Dengan demikian secara sederhana qasm itu berarti bergiliran kesempatan bermalam. Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang wajibnya suami menyamakan qasm diantara istri-istrinya. Dan ini sesuai dengan hadis Nabi:

(

)

Dari Aisyah RA: adalah Rasulullah SAW melakukan penggiliran diantara kami, kemudian beliau bersabda: Ya Allah, inilah bentuk penggiliran yang dapat aku lakukan, dan janganlah Engkau mencela aku dalam hal yang aku tidak mampu melakukannya. Abu Daud berkata: yang dimaksud tidak mampu melakukannya yaitu hati. (Hadis

17

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 178.


(38)

diriwayatkan oleh Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasaai, dan Ibnu Hibban).18

Adapun cara penggiliran itu ditetapkan ulama sedemikian rupa, yaitu bila suami menyediakan rumah untuk masing-masing istrinya dapat mengunjungi rumah-rumah istrinya itu untuk bermalam secara bergiliran sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Qasm itu berlaku untuk setiap saumi meskipun dia tidak dalam keadaan yang memungkinkan untuk melakukan hubungan seksual, seperti sedang sakit atau dalam kondisi impoten dan keadaan lainnya yang tidak mungkin bergaul dengan istrinya. Alasannya ialah yang menjadi dasar bagi penggiliran itu adalah bergaul secara baik dalam kehidupan rumahtangga. Demikian pula berlaku untuk semua istri meskipun istri itu tidak mampu melayani kebutuhan seksual suaminya, seperti dalam kondisi yang sudah tua atau sakit atau halangan lainnya, dengan alasan yang sama.19

Suami hanya boleh bermalam dengan istri yang sudah ditentukan gilirannya. Tidak boleh suami mengunjungi istrinya di luar gilirannya di waktu malam, kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak, sedangkan kunjungan biasa, seperti singgah atau keperluan lainnya. Dan seorang istri boleh menyerahkan gilirannya kepada salah seorang di antara madunya bila yang demikian dilakukan atas dasar kerelaan, dan untuk itu tidak perlu menuntut penggantian waktu yang

18

Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisyaburi, al-Maktabah al-Syamilah; Shahih Muslim, (al-Ishdar al-Tsani, al-Qism: Kutub al-Mutun), Juz. 7, hal. 378.

19

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 180.


(39)

lain. Demikian pula dalam keadaan tertentu, seperti sakit yang tidak memungkinkan keluar rumah, suami dapat tinggal di rumah salah seorang istrinya di luar gilirannya dengan syarat istri-istri yang berhak atas giliran itu memberikan persetujuan.20

C. Adil Syarat untuk Poligami. 1. Pengertian.

Banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang memiliki pengertian yang kompleks dan sukar untuk merumuskannya secara baku. Oleh karena istilah tersebut menyangkut hal yang abstrak, bersifat relatif dan memiliki unsur subyektifitas. Kata adil misalnya, ketika dipahami lebih dari satu orang, maka mereka akan berbeda penilaian tentang adil yang dimaksud. Adil menurut suatu masyarakat, juga belum tentu adil bagi masyarakat yang lain. Adil bagi orang sekarang belum tentu adil untuk orang yang hidup di masa datang.21

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adil mengandung banyak arti: a. Tidak berat sebelah, tidak memihak,

b. Berpihak kepada yang benar, c. Berpegang kepada kebenaran, d. Sepatutya, tidak sewenang-wenang.

20

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 180.

21

Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Lampiran UU No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Tintamas, 1975), hal. 13.


(40)

Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain baik dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda sama lain

Dalam poligami diisyaratkan bagi suami untuk berlaku adil, menurut Muhammad Husein al-Zahabi mendefinisikan adil sebagai adanya persamaan dalam memberikan nafkah dan pembagian hari terhadap sesama istri dalam batas yang mampu dilakukan oleh manusia. Selanjutnya Mustafa al-Sibai mengatakan bahwa keadilan material seperti yang diperlukan dalam poligami adalah keadilan material seperti yang berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian, makanan, minum, perumahan dan lain-lain. 22

Menurut Quraish Shihab23 secara umum ada empat konsep keadilan. Pertama,

adil dalam arti “sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh konsepsi

tersebut adalah persamaan dalam hak. Sebagaimana yang ditegaskan dalam surat an-Nisaa:

(

)

Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

22

Lihat: Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigana, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 172.

23

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran; Tafsir Ma’udui Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:


(41)

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S: an-Nisaa/4: 58).

Kata adil dalam ayat ini, bila diartikan “sama”, hanya mencakup sikap dan

perlakuan Hakim pada saat proses pengambilan keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman.

Setiap suami wajib melaksanakan keadilan terhadap istri-istrinya. Dan prinsip keadilan itu ialah persamaan diantara dua yang sama. Dan persamaan di antara istri-istri itu menjadi hak dari setiap istri, sebagai haknya dalam statusnya sebagai istri, dan memperhatikan sebab apapun yang berhubungan dengan dirinya. Karena hubungan suami dengan masing-masing istrinya itu adalah hubungan suami istri. Dan atas landasan ini tidak ada perbedaan anatara gadis dan janda, istri lama atu istri baru, istri yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik ataupun yang buruk.24

Konsep adil yang kedua adalah adil yang ditunjukkan untuk pengertian

“seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi kehadirannya. Keadilan ini identik dengan kesesuaian (keproposionalan), bukan lawan kata kezaliman. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua unit agar seimbang. Bisa

24

Abdul Nasir Taufiq al-Attar, Poligamy Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), hal. 206.


(42)

saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya. Sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Infithar:

(

(

Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. (Q.S: al-Infithar/82: 6-7).

Konsep adil yang ketiga adalah adil yang berarti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian ini pulalah yang mengandung suatu pemahaman bahwa pengabaian terhadap hak-hak yang seharusnya diberikan kepada pemiliknya dapat dikatakan suatu kezaliman.

Yang keempat adalah adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Konsep adil ini berarti memelihara kewajaran atas keberlanjutan eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh mahluk itu dapat meraihnya.

Dilihat dari definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa para ulama di atas mendefinisikan adil yang hanya sebatas dapat dihitung dengan angka-angka yang


(43)

menjadi bagian setiap masing-masing istri atau yang bersifat kuantitatif. Padahal menurut fatwa Abduh, bahwa adil dalam poligami itu bersifat kaulitatif, seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak dapat diukur dengan angka-angka. Maka di sini dibutuhkan sifat adil yang kualitatif bagi setiap istri-istri. Sifat adil yang kualitatif memang sangatlah susah.

2. Dasar Hukum.

Para ulama sepakat berdasarkan dalil yang kuat bahwa berlaku adil terhadap semua istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus dihalalkan poligami, sebagaiamana dalam surat an-Nisaa, keadilan yang dimaskud adalah keadilan yang bersifat materialistis yang dapat mengontrol suami yang menjadi kesanggupannya, seperti perlakuan baik, pembagian waktu dalam bermalam dan pemberian nafkah hidup.

Setiap istri berhak mendapatkan hak-haknya dari suami berupa kemesraan hubungan jiwa, dan nafkah berupa pakaian, makanan, tempat tinggal dan lain-lain. Dalam poligami, hak setiap istri sama saja, karena dalam suasana poligami, istri-istri sama haknya terhadap kebaikan suami. Adil antara istri-istri itu hukumnya wajib, berdasarkan Firman Allah SWT menyebutkan dalam surat an-Nisaa:


(44)

(

/

)

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S: an-Nisaa/4:3).

Menurut Quraish Shihab, memahami ayat tersebut dengan mengatakan bahwa jika suami takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain yatim itu, maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai dengan selera kamu. Bahkan kamu dapat melakukan poligami sampai batas empat orang perempuan sebagai istri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, baik dalam hal materi maupun nonmateri, baik lahir maupun batin maka kawinilah seorang saja atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Demikian itu, yakni menikahi selain perempuan yatim dan mencukupkan satu orang istri, itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Persyaratan berlaku adil terhadap istri-istri yang dimadu tersebut merupakan persyaratan mutlak dari Allah SWT dan ia tertera dengan tegas dalam ayat tersebut.25

25


(45)

.

(

/

:

٩

.)

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S: an-Nisaa/4:129).

Menurut mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi tentang ayat 129 surat an-Nisaa, bahwa keadilan yang dibebankan pada manusia disesuaikan dengan kemampuannya. Dengan syarat harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menegakkan keadilan, sebab faktor terbesar yang mendorong untuk cenderung berbuat adil adalah tidak lain kecenderungan jiwa dan hati yang tidak dapat dikuasai oleh seorang jika tidak dapat menguasai pengaruh-pengaruh yang alami. Atas dasar ini Allah memberikan keringanan dan menjelaskan bahwa jika keadilan yang sempurna tidak akan ditegakkan, maka hendaknya tidak benar cenderung kepada istri yang dicintai dan mengabaikan istri yang lainnya, yang mana seakan-akan tidak bersuami dan tidak pula diceraikan. Maka paling tidak hendak membuat para istri rida atas perlakuannya.26

26

Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: CV Toha Putra, 1993), jilid. V, hal. 289.


(46)

Allah menurunkan ayat yang mengandung prinsip “kalau kamu khkawatir

akan tidak berlaku adil, maka hendaklah kamu menikah dengan seorang saja”.

Sebenarnya keterangan dalam ayat tersebut telah cukup, tetapi demi kemaslahatan, al-Quran menjelaskan bagaimana pelaksanaannya, dan diketahui tentang standar keadilannya yang dituntut dalam ayat itu dan diberi ketentuan dua pekara:

1. Yang dinilai adalah niat dan amal yang baik, Allah tentu mengetahuinya. Niat yang baik dan dilaksanakan dengan maksud yang baik, dan dibarengi dengan perbuatan yang baik inilah yang dituntut

2. Menurut asalnya keadilan adalah persamaan antara dua yang bersamaan. Keadilan itu menghendaki persamaan antara istri-istri itu, dalam makanan, pakaian, nafkah, tempat tinggal, hubungan dengan suaminya, kasih dan sayangnya. Sehingga setiap istri jangan sampai mendapat lebih banyak dari yang lainnya.27

Sifat adil yang menjadi syarat bolehnya berpoligami pada ayat pertama bukanlah sifat adil pada ayat kedua dimana setiap orang tidak akan mampu melakukannya. Adil pada ayat pertama adalah adil yang dapat dilakukan, seperti menyamakan rumah, nafkah, dan gilliran menginap. Disini adil merupakan suatu tanggungjawab dan suatu perintah yang harus direalisasikan. Sedangkan pada ayat kedua yaitu adil yang setiap orang tidak akan sanggup melakukannya yakni adil yang bersifat maknawi. Ia hanya berkaitan dengan getaran jiwa dan berada diluar

27

Abdul Nasir Taufiq al-Attar, Poligamy Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan Perundang-Undangan, hal. 152.


(47)

kemampuan manusia. Karena itu ini bukanlah suatu tanggungjawab dan bukan suatu taklif.28

Menurut Abdurrahman al-Jaziri, bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena, sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang sedang kasih sayang itu adalah naluriah. Adalah suatu wajar jika suaminya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia.29

D. Prosedur Izin Poligami.

Di Indonesia, suami yang ingin berpoligami, maka dia harus memohonkan izin ke Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus oleh Hakim. Dalam hal ini dilibatkan campurtangan Pengadilan Agama, poligami tidak lagi sebagai tindakan individual affair. Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan kekuasaan negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan Agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap

28

Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, (Beirut; Dar al-Fikr, t.t.h), hal. 239-240.

29


(48)

dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah.30

Poligami di Indonesia, sesuai dengan pasal 5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memberikan persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebagai berikut:

Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

Pada pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Dan juga pasal 56 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

Adapun tatacara permohonan izin poligami di Pengadilan Agama diatur sebagai berikut:

30

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989, hal. 43.


(49)

1. Poligami atau seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang istri harus harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama dan ini sesuai dengan pasal 56 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.

2. Permhonan izin poligami merupakan kewenangan relatif Peradilan Agama yang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Surat permohonan harus memuat:

a. Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon yaitu suami dan termohon yaitu istri atau istri-istri.

b. Alasan-alasan untuk beristri lebih dari seorang c. Petitum.

4. Permohonan izin poligami merupakan perkara contentius, karena harus ada persetujuan istri. Karena itu, perkara ini diproses di kepaniteraan gugatan dan didaftar dalam register induk perkara gugatan.

5. Pemanggilan pihak-pihak, Pengadilan Agama harus memanggil dan mendengar pihak suami dan istri ke persidangan. Panggilan dilakukan menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata biasa dan ini diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.

6. Pemeriksaan izin poligami dilakukan oleh Majlis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya dan ini sesuai dengan pasal 42 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Pemerikasaan dapat dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut pertimbangan Hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan, pemerikasaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup sesuai dengan pasal 17 ayat 1 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

7. Upaya perdamaian dapat dilakukan pada sidang pertama pemeriksaan perkara izin poligami dalam usaha hakim untuk mendamaikan dan ini sesuai dengan pasal 130 ayat 1 HIR, dan apabila perdamaian tersebut tercapai, maka perkara tersebut dicabut kembali oleh pemohon.

8. Dalam hal pembuktian, Hakim meriksa mengenai:

a. Ada tidaknya alasan suami yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, sebagai syarat alternatif yaitu:

1) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; 2) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan; atau


(50)

b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan ataupun tertulis yang harus dinyatakan didepan sidang.

c. Ada atau tidaknya kemampuan suami dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

d. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperhatikan:

1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja, atau

2) Surat keterangan pajak penghasilan, atau

3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.

9. Apabila sudah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus dipertegas dengan persetujuan lisan didepan sidang, kecuali dalam hal istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya. Dan persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal:

10.Istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian; atau

11.Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun; atau

12.Karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian Hakim Pengadilan Agama.

13.Jika Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang, dengan putusan ini maka suami dan istri dapat melakukan upaya hukum berupa mengajukan banding atau kasasi.

14.Membayar biaya dalam perkara dibebankan kepada pemohon dan ini sesuai dengan pasal 89 ayat 1 Undang-Undang No 7 tahun 1989 tetntang Peradilan Agama.

15.Adapun pelaksanaan poligami, bagi Pegawai Pencatat Nikah dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum ada izin dari Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.31

31

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet. 6, hal. 241-243.


(51)

42 POLIGAMI

A. Peradilan Agama Sebagai Lembaga Pemberi Izin Poligami. 1. Pengertian.

Istilah Peradilan dalam bahasa arab adalah “qadha” yang berarti memutuskan,

melaksanakan, dan menyelesaikan. Adapun dalam bahasa Belanda peradilan diterjemahkan dengan “rechtprack” dan dalam bahasa Inggris dengan

judiciary”. diterjemahkan Peradilan dari suku kata adil yang secara

terminologis diartikan sebagai “segala sesuatu mengenai perkara pengadilan”.1 Peradilan didefinisikan sebagai proses daya upaya dalam mencari keadilan.

Pengadilan secara etimologi adalah badan yang melakukan Peradilan, yaitu memeriksa dan memutus perkara sengketa hukum dan pelanggaran hukum atau Undang-Undang.2 Menurut Subekti, Peradilan, Pengadilan, dan mengadili, juga bisa digunakan dalam istilah kekuasaan kehakiman.3

1

W.J.S. Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), cet. 7, hal. 16

2

R. Subekti dan R. Tjitro Soedibyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 88.

3


(52)

Jika kata Peradilan atau Pengadilan disatukan dengan kata agama, maka pengertian Peradilan Agama adalah: kekuasaan negara dalam memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu antar orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Adapun Pengadilan Agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang diridhai Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu Majlis Hakim atau Mahkamah.

Peradilan Agama adalah salahsatu di antara tiga Peradilan khusus di Indonesia. Dua Peradilan lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Kusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.4

2. Asas Peradilan Agama.

Menurut Yahya Harahap di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 terdapat beberapa asas umum pada lingkungan Peradilan Agama. Asas umum itu merupakan fundamen dan pedoman umum dalam melaksanakan penerapan seluruh jiwa dan semangat Undang-Undang itu. Ia dapat dikatakan sebagai

4

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2003), hal. 5.


(53)

karakter yang melekat pada keseluruhan rumusan pasal-pasal di dalam Undang-Undang tersebut. Asas-asas umum itu adalah:

Asas personalitas keislamaan, maksudnya yang dapat ditundukan kepada kekuasaan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya memeluk agama Islam. Sedangkan pemeluk agama lain tidak tunduk kepada kekuasaan badan Peradilan tersebut

Asas kebebasan melekat pada Hakim dan badan Peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu kekuasaan Negara yang bebas dari campurtangan kekuasaan Negara lainnya dari pihak luar. Hakim dalam lingkungan Peradilan Agama merupakan pejabat dan badan (organ) yang melaksanakan sebagian kekuasaan Negara, yaitu kekuasaan kehakiman. Ia adalah Hakim Negara dan Pengadilan Negara. Bukan Hakim dan Pengadilan golongan rakyat tertentu. Ia berkewajiban menegakkan hukum dan keadilan, khususnya Hukum Islam di kalangan rakyat yang beragama Islam.5

Asas wajib mendamaikan penyelesaian yang terbaik adalah dengan cara perdamaian. Hukum Islam mementingkan penyelesaian perselisihan dengan cara berdamai, sebelum dengan cara putusan Pengadilan, karena putusan Pengadilan dapat menimbulkan dendam yang mendalam, terutama bagi pihak yang dikalahkan. Untuk itu sebelum diperiksa Hakim wajib berusaha mendamaikan

5

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003,) cet. 4, hal. 163.


(54)

kedua belah pihak terlebih dahulu. Apabila hal ini dilakukan oleh Hakim bisa berakibat bahwa putusan yang dijatuhkan batal demi hukum.6 Asas kewajiban Hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melalui pendekatan “’islah”. Karena itu, Hakim Peradilan Agama harus mengemban fungsi mendamaikan. Sebab walau bagaimanapun adilnya suatu putusan, namun akan tetapi lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian.7

Asas sederhana, cepat dan biaya ringan meliputi tiga aspek. Sederhana, berhubungan dengan prosedur penerimaan sampai dengan penyelesaian suatu perkara. Cepat, berhubungan alokasi waktu yang tersedia dalam proses peradilan. Biaya ringan, berhubungan dengan keterjangkauan biaya perkara oleh para pencari keadilan. Asas ini tercantum dalam pasal 4 ayat 2 “Peradilan dilakukan

dengan sederhana, cepat, biaya ringan”.

Asas persidangan terbuka untuk umum mengandung pengertian bahwa setiap pemeriksaan yang berlangsung dalam sidang Pengadilan memperkenankan kepada siapa saja yang berkeinginan untuk menghadiri, mendengarkan, dan menyaksikan jalannya persidangan. Asas ini mencerminkan sifat dan suasana keterbukaan, memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk menghadiri

6

M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun 1989,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), ed.2, cet.4, hal. 56.

7


(55)

persidangan sesuai dengan daya tampung yang tersedia. Hal ini memungkinkan jalannya persidangan pemeriksaan perkara dapat dilakukan secara jujur (fair trial). Namun demikian, tidak semua sidang pemerikasaan perkara terbuka untuk umum dan ini sesuai dengan pasal 59 ayat 1 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: “Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan

dilakukan dengan sidang tertutup.” Ini menandakan bahwa pada dasarnya sidang

pemeriksaan di Pengadilan terbuka untuk umum, namun dalam hal yang ditentukan oleh Undang-Undang atau karena pertimbangan Hakim, maka dilakukan pengecualian.8

Asas legalitas maksudnya semua tindakan yang dilakukan berdasarkan hukum. Ia memiliki makna yang sama dengan bertindak menurut aturan-aturan hukum (rule of law). Asas ini menunjukkan tentang pengakuan terhadap otoritas dan supremasi hukum, oleh karena Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Berkenaan dengan hal ini, maka kekuasaan kehakiman berfungsi untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republilk Indonesia. Hakim sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, dalam tindakannya, dilakukan menurut ketentuan hukum. Tindakan pemanggilan

8


(56)

para pihak, penyitaan, pemeriksaan di persidangan, putusan yang dijatuhkan, dan eksekusi putusan, seluruhnya dilakukan menurut hukum. Asas legalitas tercantum dalam pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No, 14 tahun 1970 Jo. Undang-Undang No.

35 tahun 1999 “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda

-bedakan orang”.9

Asas aktif memberi bantuan ialah Pengadilan dalam hal ini Hakim yang memimpin persidangan, bersifat aktif dan bertindak sebagai fasilitator. Di dalam ketentuan pasal 58 ayat 2 Undang-Undang No. 7 tahun 1989 dinyatakan

“Pengadilan membantu para pencari keadilan segala hambatan dan rintangan

untuk tercapainya Peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim, bersifat aktif, pengambil inisiatif, dan menjadi fasilitator dalam persidangan.10 Menurut Yahya Harahap rincian formal yang tercakup dalam pemberian bantuan itu adalah sebagai berikut:

a. Membuat gugatan bagi yang buta huruf. b. Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”. c. Menyarankan penyempurnaan surat kuasa. d. Menganjurkan perbaikan surat gugatan.

e. Memberi penjelasan tentang alat bukti yang sah.

f. Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban. g. Bantuan memanggil saksi secara resmi.

h. Memberi bantuan upaya hukum.

i. Memberi penjelasan tatacara verzet dan rekovensi.

9

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hal. 167.

10


(57)

j. Mengarahkan dan membantu merumuskan perdamaian.

3. Kedudukan Peradilan Agama.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan negara dapat dibedakan menjadi 3 bidang atau yang biasa disebut dengan (trias politica) yaitu pemisahan kekuasaan menjadi 3 bidang yaitu:

a. Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan.

b. Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan perundang-perundangan.

c. Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk menegakkan peraturan perundang-undangan.

Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh Presiden sesuai dengan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yaitu “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan legislatif dilakasanakan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 yaitu “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh badan kehakiman sesuai dengan pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan


(58)

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi”.

4. Kewenangan Peradilan Agama.

Kewenangan bisa juga disebut dengan kompetensi atau kekuasaan. Kewenangan Peradilan dalam kaitannya dengan hukum acara, biasanya

menyangkut dua hal, yaitu tentang ”Kewenangan Relatif” dan ” Kewenangan

Absolut”11

Kewenangan relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Negri Bandung dengan Pengadilan Negri Tangerang satu jenis yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Umum tingkat pertama. Antara Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Pengadilan Agama Jakarta Timur satu jenis yaitu sama lingkungan Peradilan Agama tingkat pertama.

Wewenang Relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara Pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 H.I.R.

menyangkut kekuasaan relatif dalam bahasa Belanda disebut ”distributie van rechtmacht”. Azaznya adalah ”yang berwenang adalah Pengadilan Negri tempat

tinggal tergugat”. Azaz ini dalam bahasa latin dengan sebutan ”actor sequitur

11


(59)

forum rei”. Pasal 17 B.W menyatakan bahwa tempat tinggal seorang adalah

tempat dimana seorang menempatkan pusat kediamannya. Mungkin akan lebih jelas apabila dikemukakan, bahwa tempat tinggal seorang dilihat dari kartu penduduk orang tersebut.tempat tinggal adalah dimana seorang berdiam dan tercatat sebagai penduduk. Sedang tempat kediaman adalah dimana seorang berdiam, mungkin dirumah peristirahatannya di Puncak.12

Jadi gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggal tergugat. Kalau penggugat Pengadilan Agama tinggal di Yogyakarta sedang tergugat bertempat tinggal di Surabaya maka gugatan diajukan ke Pengadilan Agama Surabaya. Kiranya tidak layak apabila tergugat harus mengahadap ke Pengadilan Agama di tempat penggugat tinggal. Tergugat tidak dapat dipaksa untuk menghadap ke Pengadilan Agama ditempat penggugat tinggal, hanya karena ia digugat oleh penggugat, yang tentu belum terbukti kebenaran gugatannya.13

Kewenangan absolut menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan Peradilan. Dilihat dari macam-macam Pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili. Dan dalam bahasa Belanda disebut (attributie van rechtmacht).14 Kompetensi absolut suatu badan Peradilan adalah atribusi

12

Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata, (Mandar Maju, 2005), hal. 12.

13

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2006), hal. 86.

14


(60)

kekuasaan berbagai jenis peradilan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.15 Pasal 10 ayat 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970 menjelaskan 4 macam lingkungan Peradilan di Indonesia, yaitu:

a. Peradilan Umum b. Perdilan Agama c. Peradilan Militer

d. Peradilan Tata Usaha Negara

Menurut pasal 10 ayat 2 dan ayat 11 ayat 2 dari Undang-Undang tersebut, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dan ia mempunyai organisasi, administrasi, dan keuangan tersendiri oleh karena masing-masing lingkungan Peradilan tersebut terdiri dari Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung. Disamping Mahkamah Agung sebagai puncak dan pemegang kekuasaan tertinggi dan pengawas tertinggi badan-badan peradilan pasal 10 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 menetapkan dan membedakan empat lingkungan peradilan, masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentu dalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Pembagian kewenangan masing-masing lingkungan peradilan, telah diatur kemudian dalam Undang-Undang sebagai Undang-Undang pelaksana tersebut ditentukan batas bidang kewenangan mengadili masing-masing peradilan.

15

Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata Buku Daras, (Jakarta: Fakultas Syariah UIN, 2006), hal. 23.


(1)

Coba anda baca di kitab-kitab fikih para ulama, saya tidak jauh dari pendapat para ulama. Dalam mengartikan ini saya juga mengartikan adil yang bersifat proposional, yaitu memberikan hak kepada yang seharusnya, dengan menyesuaikan kebutuhan tiap-tiap istri.

7. Bagaimana hakim menanggapi pendapat tentang adil dikalangan para feminis yang menyebutkan adil tersebut harus yang sempurna?

Seperti tadi dibilang, bahwa kalau memang menuntut adil yang sempurna pasti tidak bisa, karena adil yang sempurnanya hanyalah Allah yang bisa. Sebagai manusia kita hanya menjalankan yang sesuai dengan kesanggupan kita saja, dan juga jangan terlalu mengharapkan adil yang sempurna.

8. Kenapa adil menjadi syarat izin poligami?

Adil menjadi syarat izin poligami karena Undang-Undang Perkawinan yang memerintahkan untuk dapat berlaku adil. Dan Undang-Undang tersebut merujuk kepada al-Qur’an yang sudah pasti kebenarannya. Dan juga kenapa adil menjadi syarat izin poligami, karena manusia pada umumnya apabila haknya terbagi menjadi dua akan merasa memiliki saingan dan terganggu. Maka dari itu suami harus berlaku adil agar mencegah itu.

9. Apa yang menjadi kriteria adil sehingga mendapat izin?

Adil yang ideal bisa di kembalikan arti dari adil tersebut, yaitu adil proposional yang menyesuaikan kebutuhan dari tiap-tiap istri. Dan metelakan sesuatu pada tempatnya. Bisa diibaratkan bahwa peci itu ditempatkan di atas kepala, maka jangan diletakkan di bawah kaki, itu akan menjadikan zalim.


(2)

10.Apa yang menjadi tolak ukur adil?

Tolak ukur ini sifatnya abstrak susah untuk diukur, namun bisa kita ambil kesimpulan bahwa dalam poligami jangan sampai suami berbuat zalim terhadap istri-istri maupun anak-anak berupa melebih-lebihkan pemberiannya. Dan ini hanya adil yang dapat dinilai.

11.Bagaimana adil yang ideal dalam poligami?

Adil yang proposional, sehingga membentuk keluarga yang sejahtera, nyaman dalam keluarga. Dalam keluarga antara istri kepada istri dan anak kepada anak terjalin keharmonisan dan tidak ada perselisihan diantara maisng-masing.

12.Bagaimana hakim mendapatkan keyakinan dari pemohonan bahwa dia akan berlaku adil?

Dalam hal ini saya melihat dari pembuktian yang dikemukakan depan sidang berupa mendengarkan keterangan pemohon (suami), termohon (istri), dan para saksi-saksi. Dan juga merujuk kepada pengertian adil yang saya utarakan tadi.


(3)

Hal : Ijin Poligami Jakarta, ...

Kepada

Yth. Ketua Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta Timur

Jakarta Timur

Assalamu'alaikum wr. wb.

Kami yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur : tahun, agama Islam

Pekerjaan :

Tempat kediaman di : Dususn RT.- RW.- Kecamatan Kabupaten Jakarta Timur, sebagai Pemohon;

Dengan hormat, Pemohon mengajukan permohonan ijin polygami berlawanan dengan :

Nama :

Umur : tahun, agama Islam

Pekerjaan :

Tempat kediaman di : Dusun ... RT. ... RW. ... Kecamatan ... Kabupaten Jakarta Timur, sebagai Termohon;


(4)

1. Bahwa pada tanggal ..., Pemohon dengan Termohon melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan ( Kutipan Akta Nikah Nomor tanggal ... );

2. Bahwa setelah pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon bertempat tinggal di rumah ..., selama pernikahan tersebut Pemohon dengan Termohon telah hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri namun belum dikaruniai keturunan ;

3. Bahwa Pemohon hendak menikah lagi (polygami) dengan seorang perempuan :

Nama :

Umur : tahun, agama Islam Pekerjaan :

Tempat kediaman di : Dusun ... RT. ... RW. ... Desa ... Kecamatan ... Kabupaten Malang, sebagai "calon istri kedua Pemohon"; yang akan dilangsungkan dan dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama , karena isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, isteri tidak dapat melahirkan keturunan,

Oleh karenanya Pemohon sangat khawatir akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma agama apabila Pemohon tidak melakukan polygami.

4. Bahwa Pemohon mampu memenuhi kebutuhan hidup isteri-isteri Pemohon beserta anak-anak, karena Pemohon bekerja sebagai dan mempunyai penghasilan setiap harinya / bulannya rata-rata sebesar Rp. ,- ( rupiah);

5. Bahwa Pemohon sanggup berlaku adil terhadap isteri-isteri Pemohon;

6. Bahwa antara Pemohon dan Termohon selama menikah memperoleh harta sebagai berikut :


(5)

lagi dengan calon isteri kedua Pemohon tersebut;

8. Bahwa calon isteri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengganggu gugat harta benda yang sudah ada selama ini, dan tetap menjadi milik Pemohon dan Termohon;

9. Bahwa orang tua Calon Isteri Kedua Pemohon menyatakan rela atau tidak keberatan apabila Pemohon menikah dengan anaknya;

11. Bahwa antara Pemohon dengan calon isteri kedua Pemohon tidak ada larangan melakukan perkawinan, baik menurut syariat Islam maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni :

a. Calon isteri kedua Pemohon dengan Termohon bukan saudara dan bukan sesusuan, begitupun antara Pemohon dengan calon isteri kedua Pemohon;

b. Calon isteri kedua Pemohon berstatus perawan dalam usia ... tahun dan tidak terikat pertunangan dengan laki-laki lain;

c. Wali nikah calon isteri kedua Pemohon (ayah Pemohon II bernama X, umur tahun, warga negara Indonesia, agama Islam, pekerjaan X, tempat kediaman di .nya) bersedia untuk menikahkan Pemohon dengan calon isteri kedua Pemohon;

12. Bahwa berdasarkan uraian dalil tersebut diatas permohonan Pemohon telah memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 4 dan 5 serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan;

Berdasarkan alasan/dalil-dalil diatas, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan Agama Kelas IA Jakarta Timur segera memanggil pihak-pihak dalam perkara ini, selanjutnya memeriksa dan mengadili perkara ini dengan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :


(6)

1. Mengabulkan permohonan Pemohon;

2. Menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (polygami) dengan calon isteri kedua Pemohon bernama ;

3. Menetapkan harta sebagaimana terurai dalam posita nomor 7 di atas adalah harta bersama Pemohon dan Termohon ;

3. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon; 4. Atau menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya;

Demikian atas terkabulnya permohonan ini, Pemohon menyampaikan terima kasih. Wassalamu'alaikum wr. wb.