Fenomena Poligami: Gambaran Kasus

bermasyarakat, dan poligami seperti halnya obat yang digunakan untuk mengobati penyakit dalam masyarakat sebagai sebuah solusi.

C. Fenomena Poligami: Gambaran Kasus

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan sejumlah kasus tentang poligami dan dampaknya terhadap keutuhan suatu keluarga. Kedua fenomena ini dalam kajiannya senantiasa dikaitkan dengan hukum Islam. Sejalan dengan metode penelitian yang digunakan, format penyajiannya lebih menekankan pada data dan analisis yang bernuansa kualitatif. Sejak awal dalam penelitian ini ditentukan bahwa semua responden adalah perempuan, dengan alasan karena mereka yang sering kali menjadi pihak yang sangat dirugikan dari praktik poligami yang dilakukan oleh para suami. Dalam pengumpulan data lapangan, penekanan diletakkan pada kelengkapan data sesuai dengan tujuan penelitian dan tidak pada jumlah responden. Data sekunder didapatkan dari berbagai leteratur seperti: buku-buku, jurnal, majalah, artikel dan makalah-makalah yang relevan dengan penelitian ini. Dari hasil temuan di lapangan penulis uraikan tiga kasus korban praktik poligami sebagai berikut: Kasus 1: IH, 39 tahun, ibu rumah tangga, pendidikan SMA IH adalah salah seorang ibu rumah tangga, yang saat ini ia berusia 39 tahun. Sekitar empat tahun yang lalu ia menikah dengan seorang pria SM yang secara kebetulan seusia dengannya 39 tahun. Ia melangsungkan pernikahannya tepatnya pada tangga 02 Oktober 2004, dihadapan pejabat PPN KUA Kecamatan KUA Muara Gembong Bekasi, Jakarta Timur. Setelah menikah keduanya hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dengan baik, dan bertempat tinggal bersama di Cilangkap, Jakart Timur, selama 1 tahun 6 bulan dan keduanya belum dikaruniai keturunan. Namun dengan berjalannya waktu, kehidupan rumah tangga keduanya mulai goyah dan terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus yang sulit diatasi sejak bulan Februari tahun 2006. Perselisihan dan pertengkaran antara IH dan MS semakin tajam dan memuncak terjadi pada bulan September tahun 2006. Menurut keterangan IH penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut dipicu oleh perbuatan MS yang telah menikah lagi dengan wanita lain EL sekitar bulan Februari 2006. Sejak MS menikah lagi tidak memperdulikan IH lebih mementingkan diri sendiri. Selain itu, MS pisah rumah sejak bulan September 2006 sampai sekarang dan tidak pernah memberikan nafkah lahir batin. IH sebenarnya telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan cara bermusyawarah atau berbicara dengan MS secara baik-baik tetapi tidak berhasil. Dengan keadaan seperti itu, maka IH merasa rumah tangganya tidak bisa dipertahankan lagi, karena perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus yang berkepanjangan dan sulit diatasi dan tidak dapat diharapkan lagi, maka IH berkesimpulan lebih baik bercerai. Akhirnya pada hari rabu tanggal 03 Januari 2007 ia mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama Jakarta Timur. 89 89 Wawancara Pribadi dengan Ida Herawati, Cipayung. 16 Maret 2008. Kasus 2: SZ, 31 tahun, ibu rumah tangga, pendidikan SMA Tidak jauh berbeda dengan kasus di atas, yang dialami oleh SZ umur 31 tahun salah seorang ibu rumah tangga. Ia menikah dengan HW yang saat ini berusia 33 tahun, salah seorang karyawan swasta. SZ dan HW melangsungkan pernikahan pada hari Rabu, tanggal 07 Juli 1993 di KUA Kecamatan Kramat Jati Jakarta Timur. Setelah menikah keduanya tinggal di Condet Batu Ampar Jakarta Timur. selama 14 tahun mereka berdua membangun rumah tangga yang harmonis, dalam Islam disebut dengan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Dalam kurun waktu 14 tahun itu mereka dikarunia empat orang anak. Yaitu: CN 13 tahun, RZ 11 tahun, HZ 9 tahun dan AD 7 tahun. Jika dilihat dari segi waktu, SZ dan HW tentu cukup lama membina kehidupan rumah tangganya. Namun, lamanya waktu dalam membina rumah tangga ternyata bukan suatu jaminan bagi keutuhan struktur keluarga tersebut. Karena kehidupan rumah tangga SZ dan HW mulai goyah dan terjadi perselisihan dan pertengkaran sejak Juli tahun 2006 lalu. Dan puncaknya terjadi pada bulan Agustus tahun 2006. Adapun penyebab terjadinya perselisahan tersebut, karena HW menikah lagi dengan wanita lain RM tanpa seizinnya. Menurut SZ sejak bulan Agustus 2006 HW tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai suami, yaitu tidak memberi nafkah lahir dan nafkah batin sejak Juli 2006 sampai sekarang. Dengan sebab-sebab tersebut maka SZ lebih memilih cerai daripada ia harus hidup dimadu. Akhirnya, pada tanggal 03 Januari 2007 ia mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama Jakarta Timur. 90 Kasus 3: SS, 28 tahun, pekerjaan swasta, pendidikan SMA SS seorang karyawati swasta umur 28 tahun, tinggal di Kelurahan Pulogebang Kecamatan Cakung Kota Jakarta Timur, menikah dengan seorang pria WW umur 32 tahun seorang karyawan swasta yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Keduanya menikah pada hari kamis, tanggal 9 September 1999 KUA Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Setelah menikah SS dan WW mereka memutuskan tinggal di Surabaya Jawa Timur. Sebagaimana layaknya suami istri rumah tangga mereka rukun. Hubungan harmonis yang dibangun oleh SS dan WW ini hanya bertahan selama 3 tahun, dan dalam waktu tiga tahun itu mereka belum dikarunia keturunan. Namun, sejak bulan September tahun 2002 kehidupan rumah tangga mereka mulai goyah dan terjadi perselisihan. Perselisihan tersebut kian hari kian bertambah tajam dan sulit diatasi. Penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut dipicu oleh perbuatan WW yang menikah lagi dengan wanita lain DS dan telah mempunyai 1 orang anak. Selain itu, WW pernah menyakiti badan jasmani SS dengan cara memukul dengan tangan yang terkena bagian wajah sampai memar. Puncak dari perselisihan ini sejak tahun 2003 WW tidak memberikan nafkah lahir dan batin sampai sekarang 2007 kurang lebih 4 tahun. 90 Wawancara Pribadi dengan Siti Zahrah. Batu Ampar, 23 Maret 2008. Akibat dari perselisihan dan pertengkaran tersebut, akhirnya pada bulan Desember tahun 2002 hingga sekarang kurang lebih 4 tahun, SS dan WW telah berpisah tempat tinggal karena WW telah pergi meninggalkan kediaman bersama, yang mana dalam pisah rumah tersebut saat ini SS bertempat tinggal di Jakarta Timur dan WW bertempat tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Otomatis sejak berpisah selama 4 tahun meskipun belum resmi bercerai, maka hak dan kewajiban suami istri tidak terlaksana sebagaimana mestinya karena sejak itu WW tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai suami terhadap SS sebagai istrinya. Akhirnya, pada tanggal 18 April 2007 ia mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama Jakarta Timur. 91 Dari uraian di atas kasus 1, 2 dan 3, dapat diketahui bahwa orang-orang yang mempraktikkan poligami belum menjalankan syari’at poligami dengan baik. Mereka melakukan poligami hanya melihat segi kebolehannya saja, tetapi tidak berlaku adil kepada istri-istrinya. Mereka hanya mengambil hukum Allah untuk bersenang-senang saja. Padahal sangat jelas di dalam Islam bahwa kebolehan berpoligami apabila dipastikan mampu berlaku adil kepada semua istrinya, sebagaimana firman Allah SWT: ... ☺ “…Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” QS. An-Nisa’4 : 3. 91 Wawancara Pribadi dengan Sulis Setiawati. Pulo Gebang, 30 Maret 2008. Dari ayat tersebut, sudah jelas bahwa pembahasan tentang adil adalah puncak dalam manhaj dan tujuan poligami ini, serta menjadi inti terpenting darinya. 92 Masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam banyak menentang perkawinan poligami, bukan karena mereka tidak mengerti bahwa poligami itu boleh halal. Tetapi karena buruknya praktik tersebut akhirnya berdampak pada perpecahan dan kebencian. Umat Islam tahu bahwa secara agama perkawinan poligami itu halal dan didukung oleh hadits dan al-Quran. Masyarakat bersikap kontroversi terhadap poligami – terutama kaum perempuan – didasarkan pada rasa prihatin terhadap kaum istri atau wanita yang menjadi objek dimadu dan menjadi pihak yang peling dirugikan atau teraniaya, sebagaimana gambaran kasus di atas. Sehingga muncul anggapan bahwa perkawinan poligami adalah perkawinan yang tidak ideal, dan perkawinan monogamilah yang merupakan perkawinan yang ideal. Sejalan dengan hasil kasus penelitian ini berdasarkan data dari LBH-APIK, tercatat selama tahun 2001-2003 terdapat lebih dari 58 kasus poligami yang memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak. Bentuk kekerasan fisik tersebut dilakukan oleh suami atau laki-laki poligami terhadap istri dan anak-anak mereka dimulai dari tekanan psikis, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri. 93 Oleh karena itu, menurut LBH-APIK, perlu kiranya negara kita mengeluarkan UU yang mengatur bagi pelaku poligami yang melindungi anak dan istri. Sehingga 92 Karim Hilmi Farhat Ahmat, POLIGAMI: Berkah atau Musibah? h. 41. 93 Eni Setiati, Hitam Putih Poligami; Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena, Jakarta: Cisera Publishing, 2007, cet. Pertama, h. 48. wacana perkawinan poligami tidak disalahtafsirkan karena adanya pembenaran dari sisi agama saja, akan tetapi juga melindungi wanita dan anak-anak yang menjadi bagian dari lingkup perkawinan poligami. 94

D. Tinjauan Hukum Islam terhadap Korban Praktik Poligami