Realitas Kehidupan Praktik Poligami

Dari uaraian di atas, penulis dapat simpulkan bahwa keluarga yang tidak harmonis dimana suasana rumahnya tidak menunjang untuk proses kegiatan belajar anak, karena seringnya terjadi konflik antara kedua orang tua akan mengganggu proses kegiatan belajar anak. Apalagi saranafasilitas belajar anak kurang memadai. Hal ini dapat dilihat dari nilai prestasi belajar anak. Oleh karena itu, Peranan keadaan keluarga terhadap perkembangan anak tidak hanya terbatas pada situasi sosio ekonomi atau keutuhan struktur dan keutuhan interaksinya. Juga cara-cara dan sikap dalam pergaulannya memegang peranan yang cukup penting di dalamnya. Hal ini mudah diterima apabila kita ingat bahwa keluarga itu sudah merupakan sebuah kelompok sosial dengan tujuan-tujuan, struktur, norma- norma, yang sangat mempengaruhi individu yang menjadi anggota kelompok tersebut.

D. Realitas Kehidupan Praktik Poligami

Landasan pembenaran bagi kebolehan berpoligami di kalangan umat Islam adalah Q.S. an-Nisa’4: 3 yang di dalamnya terkandung pembicaraan anak yatim. Surat an-Nisa’ ini merupakan surat yang diturunkan di kota Madinah, terdiri dari 176 ayat dan merupakan surat terpanjang setelah surat al-Baqarah. Surat ini dinamakan surat an-Nisa’ dikarenakan di dalamnya banyak membicarakan perempuan. Ada juga yang beranggapan bahwa poligami merupakan sunnah Rasulullah, karena beliau melakukannya. Maka tidak jarang orang yang mau berpoligami berlindung di balik alasan melaksanakan sunnah rasul. Dalam sejarah Nabi Muhammad saw. telah dijelaskan bahwa poligami hanyalah “persoalan budaya”, yang sudah ada sejak berabad-abad sebelum Islam datang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Bahkan poligami dipraktikkan secara luas di kalangan Yunani, Persia dan Mesir kuno. Di jazirah Arab sendiri pun jauh sebelum Islam masyarakatnya telah mempraktikkan poligami, malahan poligami yang tak terbatas, jadi bukan sunnah. Hal ini berarti, poligami terjadi pada kehidupan masyarakat dan menyebar luas adalah karena pengaruh pemahaman budaya lingkungan dan tingkat kehidupan sosial yang berbeda. Dan kini dilakukan setelah wafatnya Nabi oleh mereka yang memiliki kemampuan materi berlebih, bukan menekankan unsur kemuliaan hati untuk melindungi anak yatim dan kaum janda. 61 Adapun realitas kehidupan berpoligami dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang sebagai berikut: 1. Poligami dalam sudut pandang budaya Pandangan poligami dari sudut budaya berkembang dari meluasnya praktik perkawinan poligami mulai dari kalangan non priyayi: umumnya dilakukan orang sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Misalnya, lewat perkawinan poligami laki-laki itu tanpa susah payah akan memperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun struktur sosial telah berubah. 61 Eni Setiati, Hitam putih Poligami; Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena, h. 27 . Sementara untuk kalangan priyayi: perkawinan poligami ditujukan pada pemenuhan kebutuhan biologis, disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurna derajat sosial lelaki priyayi tersebut. 62 Dengan cara pandang di atas, menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Yang dimaksud dehumanisasi dalam konteks poligami ini adalah manakala perempuan yang dipoligami mengalami self- depreciation. Di mana perempuan tersebut mengijinkan atau setuju dengan tindakan poligami meskipun di dasar hatinya ia mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Namun, tidak sedikit perempuan yang dipoligami menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani karena kepatuhannya sebagai seorang istri terhadap suami orang kerap menyebutnya istri yang shalihah, atau poligami itu terjadi karena ketidakmampuannya menolak karena kesalahannya sendiri misal perempuan itu tidak mampu memberi keturunan kepada suaminya. 2. Poligami dalam sudut pandang demografis Sedangkan poligami dalam sudut pandang demografis adalah tergambar dari pelaku poligami yang melakukan perkawinan tersebut dengan alasan untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara laki-laki dan 62 Ibid. perempuan. Mereka beranggapan jumlah perempuan lebih banyak dibanding dengan jumlah laki-laki. 63 3. Poligami dalam sudut pandang agama Poligami ditinjau dari sudut agama, sebagaimana penulis kemukakan di awal didasarkan pada Q.S. an-Nisa’4: 3. Dasar argumentasi poligami dari sudut pandang agama ini dilihat sebagai jalan darurat emergency exit sebagaimana diungkapkan Aa Gym yang melakukan perkawinan poligami atas dasar ini. 64 Namun sesungguhnya, pilihan perkawinan dalam bentuk monogami atau poligami adalah hak pribadi seseorang dan tidak perlu diributkan. Karena pada dasarnya keputusan untuk menikah adalah hak pribadi seseorang yang tidak boleh kita campuri. Yang perlu ditekankan dari persoalan poligami ini adalah prinsip dasar syari’ah, yaitu keadilan. Dimana seorang laki-laki yang melakukan poligami harus memiliki kemampuan untuk bersikap adil terhadap istri-istri yang dinikahinya. Sehingga dalam kehidupan perkawinannya kelak akan membawa ke- mashlahat -an dan tidak mendatangkan mudharat atau kerusakan mafsadah. Persoalannya kemudian adalah mengapa orang-orang cenderung kepada poligami? Karena banyak orang yang berpoligami dengan alasan menjalankan hukum Allah tetapi meninggalkan kewajiban untuk adil. Sedangkan manhaj Ilahi harus diamalkan seutuhnya. Mengapa kebanyakan istri membenci poligami? Karena banyak didapatkan apabila suami menikah dengan wanita lain, dia 63 Ibid., h. 28 64 Ibid. berpaling kepada istri barunya, lebih mencintai dan menyayangi dari istri tuanya. Oleh karena itu, wajar bila perempuan membenci suaminya menikah dengan perempuan lain. 65 Dengan demikian, dapat penulis tegaskan bahwa orang yang mengambil syariat-Nya dalam poligami, maka dia juga harus menjalankan syariat-Nya untuk berlaku adil di antara istri-istrinya. Karena bila mereka tidak melakukan hal tersebut, maka mereka telah melanggar hukum Allah untuk berlaku adil terhadap istri-istrinya. Oleh karena itu, rusaknya hukum Allah terjadi karena orang hanya menjalankan hukum secara terpisah-pisah, tanpa melaksanakan aspek yang lain. Permasalahan poligami ini lebih baik dilihat dengan cara yang mudah dan jelas, serta harus dilihat sebagai permasalahan serius dan realistis yang terkait erat dengan masyarakat. 65 Karim Hilmi Farhat Ahmad, POLIGAMI; Berkah atau Musibah? Jakarta: Senayan Publishing, 2007, cet. Pertama, h. 34.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG KORBAN PRAKTIK POLIGAMI