Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara 1947-1950

(1)

OEANG REPUBLIK INDONESIA DAERAH (ORIDA) DI

SUMATERA UTARA 1947-1950

SKRIPSI O

L E H

JAN BRUANA NAINGGOLAN NIM: 110706045

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang munculnya berbagai macam Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara pada tahun 1947-1950. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, peneliti menggunakan studi arsip dan studi kepustakaan (library research). Proses pelaksanaan metode ini dengan mencari, menelaah, dan mengumpulkan arsip-arsip di Gedung Arsip Nasional Jakarta, serta mencari buku-buku di berbagai perpustakaan yang berhubungan tentang kebijakan moneter Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Utara pada masa revolusi kemerdekaan.

Rencana penelitian tentang Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang pencetakan, jenis pecahan, daerah yang mencetak, serta akhir berlakunya berbagai ORIDA di Sumatera Utara. Kebijakan pencetakan uang daerah di Sumatera Utara memiliki catatan sejarah penting di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, uang daerah berfungsi sebagai petunjuk kedaulatan negara, motor perjuangan dalam pembiayaan perang, serta menjaga keberlanjutan ekonomi daerah yang terisolasi akibat aksi pendudukan dan polisionil pasukan Sekutu, NICA, dan Belanda di berbagai daerah di Indonesia. Sumatera Utara yang terdapat kota pusat pemerintahan Provinsi Sumatera (Medan dan Pematang Siantar) menjadi daerah pertama pencetakan ORIDA. Seiring dengan agresi militer yang dilancarkan Belanda, pencetakan uang dilakukan di berbagai daerah guna menunjang pembiayaan perang dan keberlanjutan perputaran ekonomi daerah. Dengan terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950, dilakukan kebijakan penyeragaman dengan pengeluaran kebijakan penarikan berbagai jenis ORIDA dan mata uang lainnya yang masih beredar.

Hasil dari penelitian ini akan diketahui latarbelakang pencetakan ORIDA di berbagai daerah di Sumatera Utara, jenis pecahan uang, daerah yang mencetak, serta bagaimana akhir berlakunya ORIDA di Sumatera Utara.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh proses penulisan skripsi ini dengan baik, mulai dari proses pengumpulan data, verifikasi, interpretasi, hingga penulisan. Sukacita dan damai sejahtera dari Allah Bapa Yang Maha Kuasa selalu beserta kita dalam setiap aktivitas kehidupan.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara. Dalam hal ini, penulis mencoba mengangkat sebuah fenomena sejarah tetang

pencetakan dan pemberlakuan berbagai jenis uang daerah di Sumatera Utara. Penulisan fenomena bersejarah itu penulis tuangkan dalam sebuah skripsi berjudul “Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara 1947-1950”.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca untuk perbaikan skripsi ini nantinya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberi manfaat bagi kita semua. Amin…

Medan, Juli 2015 Penulis

Jan B. Nainggolan NIM. 110706045


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana dan selesai tanpa bantuan, dorongan, layanan, dan semangat baik materi maupun moril dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,

kepada Pembantu Dekan beserta seluruh staf pegawai Fakultas Ilmu Budaya USU.

2. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya USU yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi kepada penulis dalam proses pencarian dan pengumpulan data-data yang penulis butuhkan, juga kepada Ibu Nurhabsyah, M.Si selaku Sekretaris Departemen Sejarah yang membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.

3. Seluruh staf pengajar Departemen Sejarah FIB USU yang telah memberi

penulis banyak pengetahuan, pengalaman, dan pencerahan, selama penulis menjadi mahasiswa di Departemen Sejarah FIB USU. Juga kepada Bang Ampera selaku staf administrasi Departemen Sejarah yang membantu kelancaran penelitian dan kegiatan akademik penulis.


(9)

4. Bank Indonesia Pusat Jakarta dan Museum Bank Indonesia Jakarta, terkhusus kepada bagian kesejarahan Bank Indonesia, Mas Devid Wirawibowo. Terima kasih atas bantuan data serta masukannya kepada penulis dalam mencari data yang penulis butuhkan untuk penyelesaian skripsi ini.

5. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara,

Perpustakaan T. Lukman Sinar, Perpustakaan Kota Pematang Siantar, Museum Perjuangan Kota Medan, Museum BCA Jakarta, dan Museum Negeri Sumatera Utara.

6. Kedua orang tua penulis, ayahanda J. Nainggolan dan ibunda L.

Simarmata yang dengan penuh perhatian dan kasih sayang mendukung penulis dalam mejalankan penelitian ini. Dengan dukungan moral dan moril dari kedua orang tua penulis ini lah sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

7. Kakak dan adik-adik penulis, kakanda Lorica Devi Nainggolan, adinda

Meandika Nainggolan, Reskia Sari Nainggolan, dan Juan Prihanda Nainggolan. Terima kasih atas motivasi dan perhatiannya kepada penulis dalam menempuh studi dan proses penyelesaian penulisan skripsi, juga kepada Oppung K. Saragih yang turut memberi motivasi dan moril dalam mendukung penelitian ini.


(10)

8. Ibu Dra. Sri Pangestri Dewi Murni, M.A selaku pembimbing skripsi penulis, terima kasih atas segala arahan, bimbingan, dan masukan dalam penulisan skripsi ini. Saran dan kritik Ibu sangat berperan menunutun penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

9. Ibu Dra. Ratna M.S dan Dra. Haswita, MSP, yang telah banyak memberi

bantuan buku dan literatur yang sangat bermanfaat bagi penulis.

10.Rekan-rekan stambuk 2011 Ilmu Sejarah, Alexander, Josia, Vennica,

Devi, Junedi, Kiki, Suhariadi, Mustika, Zahra, Winarti, Dores, serta teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sampaikan satu per satu, atas dukungan dan dorongan kepada penulis selama menempuh studi hingga saat ini.

Akhirnya dengan rasa sukacita, penulis mengucapkan terima kasih banyak atas segala konstribusi yang diberikan oleh semua pihak, baik yang telah disebutkan maupun yang belum akibat keterbatasan. Semoga kebaikan saudara-saudariku dapat dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa. Amin..

Medan, Juli 2015 Penulis

Jan B. Nainggolan NIM. 110706045


(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN KETUA DEPARTEMEN LEMBAR PENGESAHAN DEKAN DAN PANITIA UJIAN

KATA PENGANTAR ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR SINGKATAN ... vii

ABSTRAK ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka ... 7

1.5 Metode Penelitian………... 10

BAB II FUNGSI UANG DAN KEADAAN EKONOMI AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA 2.1 Sekilas Peranan Uang Dalam Masyarakat dan Negara ... 13

2.2 Kondisi Keuangan dan Ekonomi Indonesia awal Kemerdekaaan ... 17


(12)

BAB III KONDISI POLITIK DAN EKONOMI SUMATERA UTARA HINGGA TAHUN 1947

3.1 Perkembangan Pemerintahan Republik Indonesia di

Sumatera Utara ... 34 3.2 Keadaan Ekonomi dan Keuangan di Sumatera Utara

hingga Tahun 1947 ... 43 3.3 Kebutuhan Pendanaan Pemerintahan dan Alat Tukar

Yang Sah ... 49 BAB IV UPAYA PENCETAKAN DAN PEREDARAN ORIDA

DI SUMATERA UTARA

4.1Upaya Pencetakan Oeang Republik Indonesia Pulau

Sumatera (ORIPS) ... 54 4.2 Munculnya Berbagai Jenis Uang Daerah Di Sumatera Utara ... 57

4.2.1 Pencetakan Berbagai Uang Daerah di

Keresidenan Tapanuli... 57 4.2.2 Pencetakan Berbagai Uang Daerah di Keresidenan

Sumatera Timur ... 61 2.1 Akhir Berlakunya ORIDA ... 70 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 76 5.2 Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA……….. 81


(13)

DAFTAR SINGKATAN

AFNEI : Allied Forces Nederland East Indie (Angkatan Perang sekutu Hindia Timur)

ANRI : Arsip Nasional Republik Indonesia

ARNAS : Arsip Nasional

BDNI : Bank Dangang Nasional Indonesia

BKR : Badan Keamanan Rakyat

BNI : Bank Negara Indonesia

DPD-TA : Dewan Pertahanan Daerah-Tapanuli

BRI : Bank Rakyat Indonesia

DJB : De Javasche Bank (Bank Jawa)

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

ERRI : Ekonomi Rakyat Republik Indonesia

f. : Gulden (Mata Uang Belanda)

FKI : Fonds Kemerdekaan Indonesia

HVS : Houtvrij Schrijfpapire (Kertas Bebas Kayu)

KMB : Konferensi Meja Bundar

KND : Komite Nasional Daerah

KNI : Komite Nasional Indonesia

KOMPEMPUS : Komisariat Pemerintah Pusat Sumatera

NICA : Netherlands Indies Civil Administration


(14)

NIMEF : Nederlands-indische Metaalwaren en Emballage Fabriken

(Pabrik Metal Kemasan Hindia Belanda)

ORI : Oeang Republik Indonesia

ORIDA : Oeang Republik Indonesia Daerah

ORIPS : Oeang Republik Indonesia Pulau Sumatera

URIPSU : Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara

ORIST : Oeang Republik Indonesia Sumatera Timur

ORITA : Oeang Republik Indonesia Tapanuli

ORIN : Oeang Republik Indonesia Nias

ORLAB : Oeang Republik Indonesia Labuhan Batu

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PMR : Pengawas Makanan Rakyat

PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

PRS : Pertahanan Rakyat Semesta

P3ST : Pimpinan Persatuan Perjuangan Sumatera Timur

RIS : Republik Indonesia Serikat

RRI : Radio Republik Indonesia

SOB : Staat Van Oorlog en Beleg

(Negara dalam Keadaan Perang dan Pengepungan)

TKR : Tentara keamanan Rakyat

TNI : Tentara Nasional Indonesia


(15)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang munculnya berbagai macam Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara pada tahun 1947-1950. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, peneliti menggunakan studi arsip dan studi kepustakaan (library research). Proses pelaksanaan metode ini dengan mencari, menelaah, dan mengumpulkan arsip-arsip di Gedung Arsip Nasional Jakarta, serta mencari buku-buku di berbagai perpustakaan yang berhubungan tentang kebijakan moneter Pemerintah Indonesia dan Pemerintahan Daerah di Provinsi Sumatera Utara pada masa revolusi kemerdekaan.

Rencana penelitian tentang Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang pencetakan, jenis pecahan, daerah yang mencetak, serta akhir berlakunya berbagai ORIDA di Sumatera Utara. Kebijakan pencetakan uang daerah di Sumatera Utara memiliki catatan sejarah penting di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, uang daerah berfungsi sebagai petunjuk kedaulatan negara, motor perjuangan dalam pembiayaan perang, serta menjaga keberlanjutan ekonomi daerah yang terisolasi akibat aksi pendudukan dan polisionil pasukan Sekutu, NICA, dan Belanda di berbagai daerah di Indonesia. Sumatera Utara yang terdapat kota pusat pemerintahan Provinsi Sumatera (Medan dan Pematang Siantar) menjadi daerah pertama pencetakan ORIDA. Seiring dengan agresi militer yang dilancarkan Belanda, pencetakan uang dilakukan di berbagai daerah guna menunjang pembiayaan perang dan keberlanjutan perputaran ekonomi daerah. Dengan terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1950, dilakukan kebijakan penyeragaman dengan pengeluaran kebijakan penarikan berbagai jenis ORIDA dan mata uang lainnya yang masih beredar.

Hasil dari penelitian ini akan diketahui latarbelakang pencetakan ORIDA di berbagai daerah di Sumatera Utara, jenis pecahan uang, daerah yang mencetak, serta bagaimana akhir berlakunya ORIDA di Sumatera Utara.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kehadiran uang1 di suatu daerah merupakan hal yang menarik untuk dikaji,

terutama di suatu negara yang baru memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Uang pada dasarnya memiliki fungsi sebagai: (1) alat perantara dalam pertukaran, (2)

kesatuan hitung, (3) alat penyimpanan, (4) alat pembayaran yang ditangguhkan.2 Di

bidang politik kehadiran uang menunjukkan kedaulatan suatu negara serta kemandirian ekonomi, terlebih negara yang baru merdeka tentu membutuhkan uang dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Demikian juga arti penting kehadiran uang di Indonesia, yang pada tanggal 17 Agustus 1945 baru memproklamasikan kemerdekaannya.

Pemerintah Republik Indonesia belum sempat melakukan perbaikan ekonomi dan keuangannya ketika pasukan Sekutu yang juga membonceng Belanda kembali masuk ke Indonesia di akhir tahun pasca kemerdekaan. Pasukan Sekutu yang awalnya

menyatakan bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah pada perang “Asia

Pasifik” ternyata berupaya agar Indonesia dijajah kembali oleh Belanda. Sebagai upaya untuk memperbaiki ekonomi dan pembiayaan perang melawan pasukan

1

Uang adalah suatu benda yang diterima masyarakat dapat pergunakan sebagai alat perantara dalam mempermudah proses pertukaran baik dalam pertukaran barang maupun jasa. Lihat Indera Dermawan, Pengantar Uang dan Perbankan,Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992, hlm. 5.

2


(17)

Sekutu, Pemerintah Republik kemudian mengeluarkan kebijakan dengan

mengedarkan Oeang3 Republik Indonesia (ORI). Kebijakan ini kemudian baru dapat

terwujud setelah pemerintahan Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta

akibat aksi teror yang dilancarkan pasukan sekutu di Jakarta.4

ORI yang dikeluarkan pemerintah ternyata tidak mampu disebar ke seluruh wilayah Indonesia akibat sulitnya pengangkutan dan adanya pendudukan tentara Sekutu di beberapa daerah. Sebagai upaya dalam pemenuhan kebutuhan uang di daerah, pemerintah Indonesia kemudian memberikan otoritas kepada masing-masing daerah untuk mencetak uang sendiri yang kelak disebut dengan Oeang Republik

Indonesia Daerah (ORIDA).5 Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA)

merupakan salah satu kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam mengatasi keuangan negara dan menjaga kepercayaan rakyat terhadap negara Indonesia di awal kemerdekaan. Keberadaan ORIDA selain berguna sebagai alat tukar yang sah dari

pemerintah Indonesia, juga berfungsi sebagai upaya menekan peredaran uang infasi

Jepang dan mata uang asing lainnya yang banyak beredar di masyarakat. Uang daerah ini juga perlambang upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat.

3Penulisan kata “Oeang” yang berarti “uang” pada saat ini

sesuai dengan ejaan yang berlaku di Indonesia awal kemerdekaan, ejaan ini disebut ejaan Van Ophuysen. Lihat Parlaungan Ritonga, dkk., Bahasa Indonesia Praktis, Medan: Baritong Jaya, 2011, hlm. 32-33.

4

Oey Beng To, Sejarah kebijakan Moneter Indonesia I (1945-1950), Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 1991, hlm. 75-76.

5

J.D. Parera, (Ed)., Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959; Bank Indonesia Pada Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Bank Indonesia, 2005, hlm. 73.


(18)

Sumatera Utara merupakan daerah penting di periode awal kemerdekaan, provinsi yang dibentuk pada tahun 1948 ini meliputi daerah Keresidean Sumatera

Timur, Keresidenan Tapanuli dan Keresidenan Aceh.6 Di daerah ini terdapat Kota

Medan yang sempat menjadi Ibukota Provinsi Sumatera, juga terdapat kota Pematang

Siantar yang pernah menjadi tempat pencetakan ORIDA di Pulau Sumatera.7

Pencetakan dan peredaran uang dilakukan di daerah ini, hingga akhirnya berhenti akibat Belanda melakukan agresi militer menguasai dan membentuk Negara

Sumatera Timur pada tahun 1947.8

Efek psikologis kaum bangsawan kerajaan di Sumatera Timur akibat banyaknya keluarga kerajaan yang terbunuh pada “revolusi sosial” menjadi salah satu

faktor terbentuknya Negara Sumatera Timur.9 Pembunuhan kaum bangsawan

kerajaan terjadi karena kaum revolusioner pendukung Republik menganggap kaum

6

Wilayah Sumatera Utara yang menjadi kajian penelitian penulis dalam skripsi ini dibatasi hanya pada 2 keresidenan saja, yaitu yang meliputi Keresidenan Sumatera Timur dan Keresidenan Tapanuli. Provinsi Sumatera Utara terbentuk tahun 1948 melalui Undang-Undang No. 10 tahun 1948, berdasarkan Undang-Undang tersebut wilayah Provinsi Sumatera Utara terdiri atas wilayah Keresidenan Sumatera Timur, Keresidenan Tapanuli, dan Wilayah Aceh.

7

Pencetakan ORIDA di Pematang Siantar dilaksanakan setelah pemindahan ibukota pemerintahan dari Medan ke Pematang Siantar, pemindahan ibukota Provinsi Sumatera dilakukan karena kondisi keamanan kota Medan yang tidak kondusif sebagai pusat pemerintahan. Hal ini muncul

setelah kedatangan tentara sekutu ke kota Medan serta dikeluarkannya sebuah “maklumat” oleh

komando pasukan Sekutu kepada para pemuda revolusi untuk menyerahkan semua senjata hasil sitaan dari tentara Jepang. Kebijakan tentera Sekutu ini mengakibatkan munculnya rasa curiga yang berujung pada bentrok fisik antara pemuda republik dan pasukan Sekutu. Lihat Budi Agustono, Dkk., Sejarah Etnik Simalungun, Tanpa tempat penerbit dan tahun terbit, hlm. 374-375.

8

Mansyur, The Golden Bridge: Jembatan Emas 1945, Medan: Lembaga Sosial Juang ’45 Medan Area, tanpa tahun terbit, hlm. 376-379.

9

Suprayitno, Mencoba Lagi Menjadi Indonesia, Dari Federalisme ke Unitarisme: Studi Tentang Negara Samatera Timur, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2001, hlm. 83-84.


(19)

bangsawan menghalangi kemerdekaan dengan mempersiapkan kehadiran Belanda kembali berkuasa di Sumatera Timur. Kebencian terhadap kaum bangsawan bertambah dengan adanya hak istimewa tanah bagi para bangsawan dan penduduk Melayu di Sumatera Timur yang memicu lahirnya kecemburuan etnis non Melayu. Akibat pembunuhan itu, kaum bangsawan kemudian berpaling mendukung Belanda menduduki daerah Sumatera Timur bersamaan dengan agresi militer Belanda pertama. Terbentuknya Negara Sumatera Timur juga dipengaruhi oleh sikap politik pecah belah Belanda dalam upaya untuk menguasai daerah Sumatera Timur yang banyak menghasilkan uang dari sektor perkebunan. Terbentuknya Negara Sumatera Timur tentu mempengaruhi eksistensi ORIDA di daerah tersebut. Percetakan uang di Pematang Siantar terhenti akibat agresi militer Belanda yang menyerang kota-kota penting di Sumatera Timur, serta pergantian penguasa di Sumatera Timur membuat pemenuhan uang pemerintah Republik terganggu.

Oeang Republik Indonesia Daerah di Sumatera Utara memiliki jenis masing-masing tergantung wilayah penggunaannya. Hal ini terjadi karena pendudukan berbagai daerah dan pembentukan Negara Sumatera Timur mengakibatkan upaya peredaran ORI dan ORIDA sulit dilaksanakan, dilain sisi kebutuhan uang untuk mendanai pemerintahan dan perang melawan Sekutu meningkat. Sebagai upaya mengatasi kesulitan keuangan, pemerintah kabupaten mengeluarkan kebijakan pemberlakuan uang daerah masing-masing. Dalam perjalanan penggunaannya, ORIDA harus bersaing ketat dengan berbagai jenis mata uang yang berlaku di


(20)

wilayah Sumatera Utara. Munculnya berbagai jenis mata uang yang cukup banyak

beredar ini mengakibatkan inflasi yang berpengaruh pada rendahnya nilai uang

tersebut sebagai alat tukar.

Latar belakang kebijakan pemberlakuan ORIDA sebagai alat tukar yang sah di wilayah Sumatera Utara pada masa perang kemerdekan melawan Belanda merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Penelitian tentang ORIDA sebelumnya pernah dilakukan, namun hanya mengkaji tentang makna simbolik pada uang kertas

ORIDA di Sumatera.10 Khusus penelitian tentang latar belakang munculnya ORIDA

serta upaya pencetakannya di Sumatera Utara sampai saat ini belum pernah dikaji, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejarah terkait alat tukar tersebut.

Penelitian ini diberi judul “Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di

Sumatera Utara 1947-1950”. Pada tahun 1947 merupakan tahun dimulai pencetakan

ORIDA di Pematang Siantar dan mengawali berlakunya uang daerah di Sumatera. Pematang Siantar menjadi lokasi pencetakan uang daerah seiring dengan pemindahan Ibukota Provinsi Sumatera dari Medan ke Pematang Siantar setelah terjadinya pertikaian antara pemuda revolusi dengan tentera sekutu, yang mengakibatkan Medan tidak kondusif sebagai kota pemerintahan. Kemudian pada tahun 1950 adalah akhir dari berlakunya ORIDA yang ditandai dengan kebijakan penyeragaman uang dalam

10

Arif Budiman, “Kajian Makna Simbolik Visual Uang Kertas Masa Oeang Republik

Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera” Skripsi Sarjana, belum diterbitkan. Institut Seni Indonesia: Yogyakarta, 2013.


(21)

upaya penetapan satu mata uang yang diakui di Indonesia. Kebijakan itu dilakukan dengan menarik berbagai macam ORI dan ORIDA serta memberlakukan kebijakan “Gunting Syafrudin”, yaitu pengguntingan uang pemerintahan Belanda yang sebelumya berlaku di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Setiap penelitian pasti memiliki masalah yang menjadi landasan dari penelitian itu. Adapun yang menjadi permasalahan pokok pada penelitian ini adalah tentang latar belakang pengeluaran ORIDA sebagai alat tukar yang sah di Sumatera Utara pada tahun 1947-1950. Penjabaran Masalahnya akan dikaji dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaima kondisi ekonomi dan keuangan Indonesia Masa Awal

Kemerdekaan?

2. Bagaimana kondisi Politik Ekonomi Sumatera Utara hingga tahun 1947?

3. Apa yang melatarbelakangi upaya pencetakan berbagai macam ORIDA di

Sumatera Utara tahun 1947-1950?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini tentu memiliki manfaat bukan hanya bagi peneliti, namun juga bagi masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan untuk:


(22)

1. Menjelaskan kondisi ekonomi Indonesia masa awal kemerdekaan.

2. Menjelaskan kondisi Politik Ekonomi Sumatera Utara hingga tahun

1947.

3. Menjelaskan latarbelakang upaya percetakan berbagai macam ORIDA

di Sumatera Utara tahun 1947-1950.

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah referensi dan khasanah penelitian tentang sejarah uang

(sejarah ekonomi) lokal di Indonesia.

2. Untuk masyarakat umum, penelitian ini dapat memberikan penjelasan

tentang sejarah uang lokal (daerah).

3. Aspek praktis yang dapat diharapkan dari penelitian ini ialah dapat

dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah untuk menghadirkan museum uang daerah.

1.4 Tinjauan Pustaka

Informasi terkait latar belakang pengeluaran kebijakan percetakan ORIDA diperoleh dari berbagai buku. Buku yang pertama ialah buku terbitan Dinas Sejarah Kodam II Bukit Barisan yang berjudul “Perang kemerdekaan di Sumatera 1945 -1950”. Buku ini banyak menceritakan perjuangan melawan pasukan sekutu yang masuk ke daerah-daerah di Sumatera serta kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di dalam buku ini sedikit dijelaskan upaya Pemerintah Kabupaten Asahan dan Keresidenan Sumatera Timur


(23)

mengatasi kesulitan keuangan dengan mengeluarkan uang daerah masing-masing. Buku ini membantu penulis memperoleh informasi terkait upaya-upaya yang dilakukan pemerintah di berbagai kabupaten di Sumatera Utara dalam menghadapi perang dan kesulitan ekonomi.

Buku selanjutnya yang memberikan informasi tentang ORIDA ialah buku berjudul “Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959” yang di editori oleh J.D. Parera. Di dalam buku ini secara detail dijelaskan tentang sejarah lahirnya Bank

Indonesia mulai proses nasionalisasi dari De Javasche Bank hingga menjadi bank

sentral di Indonesia. Sejalan dengan pemaparan sejarah Bank Indonesia, buku ini juga menjelaskan kondisi perekonomian Indonesia awal kemerdekaan serta latar belakang pengeluaran kebijakan pencetakan uang di Indonesia. Buku ini banyak memberikan informasi kepada penulis dalam memahami kondisi keuangan dan perbankan Indonesia pada tahun 1945-1950 yang menjadi bagian penting dalam penulisan skripsi ini.

Buku karangan Suprayitno yang berjudul, “Mencoba Lagi Menjadi Indonesia,

Dari Federalisme ke Unitarisme: Studi Tentang Negara Sumatera Timur juga

menjadi salah satu sumber informasi penelitian ini. Buku ini berisi tentang kondisi Sumatera Timur awal kemerdekaan hingga terbentuknya Negara Sumatera Timur akibat sakit hati para kaum aristokrat kerajaan di Sumatera Timur yang dibunuh pada masa revolusi sosial. Buku ini membantu dalam menjelaskan keadaan Sumatera


(24)

Timur di awal terbentuknya menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri dan perubahan pemerintahan yang terjadi di dalamnya.

Sumber informasi lain tentang ORIDA adalah buku yang berjudul “Sejarah

Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958)” karangan Oey Beng To. Di dalam

buku ini dijelaskan mengenai kondisi ekonomi dan politik Indonesia awal kemerdekaan dan upaya pemerintah pada masa itu mengeluarkan kebijakan moneter dalam hal keuangan untuk perbaikan ekonomi. Buku ini juga menjelaskan kondisi pemerintahan Indonesia awal kemerdekaan hingga masuknya sekutu yang menguasai daerah-daerah penting di Indonesia, termasuk Jakarta yang pada awal kermerdekaan

adalah kota pemerintahan Republik Indonesia. Kebijakan “Gunting Syafrudin” yang

menandakan akhir berlakunya ORIDA serta berlakunya satu jenis uang Republik Indonesia Serikat (RIS) juga menjadi bahasan di dalam buku ini. Buku ini banyak memberi informasi kepada penulis terkait kebijakan-kebijakan moneter yang dikeluarkan pemerintah dalam menghadapi masalah ekonomi dan keuangan di Indonesia pada masa awal dan revolusi kemerdekaan.

Untuk mendukung penelitian ini, perlu dilakukan langkah-langkah teoritis menggunakan kajian diluar disiplin ilmu sejarah. Untuk itu perlu kiranya memahami

buku karangan Indera Dermawan dalam bukunya,” Pengantar Uang dan Perbankan”.

di dalam buku ini dijelaskan secara lengkap fungsi dan jenis uang serta kaitannnya dengan perbankan.


(25)

Skripsi yang ditulis oleh Arif Budiman dengan judul “Kajian Makna Simbolik Visual Uang Kertas Masa Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera” juga menjadi salah satu sumber informasi dalam penelitian ini. Skripsi ini membahas makna yang terkandung di dalam gambar yang terdapat pada uang daerah di Pulau Sumatera. Dalam skripsi ini disinggung sedikit tentang sejarah ORIDA di Sumatera termasuk salah satunya adalah Uang Republik Indonesia Pulau Sumatera (URIPS).

1.5 Metode Penelitian

Metode menjadi bagian yang wajib dalam setiap penelitian, terutama metode penelitian. Metode Penelitian merupakan aturan sistematis yang berguna sebagai proses dalam memperoleh fakta-fakta dan perinsip-perinsip untuk mencari kebenaran dari permasalahan. Metode yang penulis pergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah merupakan proses menguji dan menganalisis

secara kritis rekaman dan jejak-jejak peninggalan sejarah.11 Dalam penerapannya,

metode sejarah menggunakan empat tahapan pokok, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Tahap pertama adalah heuristik yakni mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan permasalahan yang kita teliti. Metode yang penulis lakukan dalam heuristik adalah studi arsip dan studi pustaka. Studi arsip dilakukan dengan

11

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. dari Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1985, hlm. 39.


(26)

mengumpulkan sejumlah data-data primer berupa arsip terkait kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Sumatera, serta pemerintah keresidenan-keresidenan yang ada di Sumatera Utara masa revolusi kemerdekaan dalam hal pencetakan ORIDA. Untuk mengumpulkan arsip-arsip tentang ORIDA, penulis mengunjungi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Museum Negeri Medan, Museum Bank Indonesia Jakarta, Bank Indonesia cabang Medan dan Bank Indonesia Pusat Jakarta.

Selain studi arsip, dalam heuristik metode yang paling sering digunakan adalah studi pustaka. Studi pustaka penulis lakukan untuk mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan penelitian ini baik dalam bentuk buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan lainnya. Untuk mengumpulkan sumber pustaka penulis mengunjungi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Kota Medan, Perpustakaan T. Lukman Sinar, dan Perpustakaan Kota Pematang Siantar.

Setelah terkumpul sumber-sumber yang berhubungan dengan penelitian ini, maka tahapan selanjutnya adalah kritik sumber, baik kritik intern maupun ekstern. Kritik ekstern dilakukan untuk memilah apakah dokumen itu diperlukan atau tidak serta menganalisis apakah dukumen yang telah dikumpulkan asli atau tidak dengan mengamati tulisan, ejaan, jenis kertas serta apakah dokumen tersebut isinya masih utuh atau diubah sebagian. Kritik intern yaitu suatu langkah untuk menilai isi dari


(27)

sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan

kredibilitas sumber atau kebenaran isi dari sumber tersebut.12

Tahapan selanjutnya adalah Interpretasi yaitu memuat analisis dan sintesis terhadap data yang telah dikritik atau diverifikasi. Tahapan ini dilakukan dengan cara menafsirkan fakta, membandingkannya untuk diceritakan kembali dalam bentuk tulisan. Tahapan terakhir dari metode ini adalah historiografi atau penulisan. Tahapan penulisan dilakukan agar fakta-fakta yang telah ditafsirkan baik secara tematis maupun kronologis dapat dituliskan. Historiografi merupakan proses mensintesakan fakta, suatu proses menceritakan rangkaian fakta dalam suatu bentuk tulisan kritis analitis dan bersifat ilmiah sehingga tahap akhir penulisan ini dapat dituangkan dalam bentuk skripsi dengan terlebih dahulu menulis rancangan daftar isi skripsi.

12

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995, hlm. 99-100.


(28)

BAB II

FUNGSI UANG DAN KEADAAN EKONOMI AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA

2.1 Sekilas Peranan Uang Dalam Masyarakat dan Negara

Kemajuan perekonomian dalam masyarakat mengantarkan pengenalan akan uang sebagai alat tukar yang dapat diterima menjadi pengukur nilai dan sesuai dengan barang yang akan dipertukarkan. Pada perekonomian tingkat awal yang sering ditemukan pada masyarakat yang masih primitif, setiap individu harus berusaha menghasilkan segala kebutuhan pribadi ataupun sebatas kebutuhan keluarga kecilnya. Usaha untuk memproduksi sesuatu yang memuaskan bagi orang lain dapat dikatakan belum ada pada tahapan ini sehingga keberadaan alat tukar masih belum dibutuhkan.

Namun, suatu kenyataan terutama karena faktor alam yang mengakibatkan suatu jenis barang terdapat banyak pada suatu tempat, namun di tempat lain sangat jarang ditemukan. Misalnya, di suatu daerah pantai yang ditemukan ikan dalam jumlah yang besar, sedangkan di daerah pegunungan banyak ditemukan buah-buahan. Di daerah lainnya, akibat kemampuan khusus dari anggota masyarakatnya ditemukan periuk dalam jumlah besar, kemudian ada daerah lainnya juga yang banyak ditemukan pacul. Keadaan yang menunjukkan tidak meratanya barang-barang itu mengakibatkan munculnya pertukaran secara langsung. Artinya, orang yang membutuhkan suatu jenis barang yang tidak ada di daerahnya berusaha untuk mendatangkan barang yang dibutuhkannya dari daerah yang memiliki jenis barang


(29)

tersebut dalam jumlah besar. Sebagai ganti dari nilai barang tersebut diberikanlah barang-barang yang banyak terdapat di daerahnya dan yang disukai oleh si pemberi barang pertama tadi. Sistem pertukaran ini sering kita kenal dengan istilah “barter”.13

Pertukaran barang secara lansung tersebut hanya bisa terjadi bilamana kedapatan dua orang yang satu membutuhkan barang yang dijumpai oleh orang kedua, sedangkan orang ini membutuhkan barang yang dijumpai pada orang pertama. Pertukaran barang secara barter selanjutnya semakin sulit dijalankan bilamana kebutuhan-kebutuhan sudah beranekaragam macamnya, sebab akan sulit kemudian ditemukan pertukaran yang cocok dan saling membutuhkan dalam kondisi demikian. Dengan demikian dapat dipahami, semakin meningkatnya berbagai macam kebutuhan, maka dibutuhkan adanya suatu alat tukar untuk mempermudah melakukan pertukaran tersebut. Alat tukar yang mempermudah pertukaran barang itu kemudian disebut “uang”. Pada mulanya uang dibuat dari barang-barang yang disukai oleh

masyarakat, mungkin karena khasiatnya atau sebab yang lain.14

Uang sebagai alat tukar kemudian berkembang penggunaannya mulai dari kegiatan pertukaran barang dalam satu kelompok, antar kelompok, hingga antar negara. Demikian juga halnya dengan benda yang dipergunakan sebagai uang

semakin beranekaragam, mulai menggunakan logam berharga, hingga kertas.15

Seiring kemajuan ekonomi dunia yang semakin pesat sejak berlangsungnya revolusi

13

M. Manullang, Pengantar Teori Ekonomi Moneter, Djakarta: P.D. Aksara, 1969, hlm. 7. 14

Ibid., hlm. 9. 15

Solikin dan Suseno, Uang, Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya Dalam Perekonomian, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Kesekretariatan Bank Indonesia, 2002, hlm. 5.


(30)

industri di Inggris pada abad ke-18, menyebabkan perdagangan berkembang cepat. Perkembangan perdangangan tersebut kemudian diikuti dengan permintaan uang yang semakin tinggi sebagai alat tukar. Kebutuhan akan logam emas dan perak yang pada masa itu berfungsi sebagai benda pembuat uang juga meningkat, namun pemenuhan permintaan akan logam mulia tersebut berjalan lambat. Sulitnya logam mulia sebagai bahan uang logam mengakibatkan semakin banyak negara-negara yang

menggantikan uang logam menjadi uang kertas sebagai alat tukar.16

Fungsi uang selanjutnya bukan hanya sebagai alat tukar namun juga sebagai alat pengukur nilai dan penimbun kekayaan. Dengan keberadaan uang, masyarakat dapat dengan mudah memenuhi kebutuhannya karena dapat menggunakan uang sebagai alat pengukur nilai yang sepadan dengan barang yang dibutuhkan. Uang juga mempermudah masyarakat dalam menimbun kekayaan yang dimiliki, sebab resiko yang ditimbulkan lebih kecil dibanding meminjamkan kepada orang lain atau menginvestasikannya.

Pada suatu negara, uang memiliki peranan penting dalam menjalankan kegiatan kenegeraan dan proses pembangunan untuk kemakmuran masyarakatnya.

Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk

mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat.17 Untuk mengurusi

16

Kristaniarsi, Usaha Pemerintah Republik Indonesia Mengatasi Masalah Moneter Pada Masa Awal Kemerdekaan (1945-1946), Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 5.

17

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 47.


(31)

hal tersebut, negara harus mengeluarkan uang sebagaimana kita ketahui bahwa negara memiliki anggaran penerimaan dan pengeluaran.

Berbeda dengan anggaran rumah tangga (partikulir) yang harus melihat

dahulu berapa penerimaannya baru kemudian ditentukan berapa yang akan dikeluarkan. Dalam anggaran penerimaan dan pengeluaran negara justru sebaliknya, negara harus terlebih dahulu menentukan berapa yang akan menjadi pengeluaran agar usaha yang akan dijalankan pemerintah dapat berjalan sesuai rencana. Setelah semua hal tersebut dilaksanakan baru kemudian direncanakan berapa pemasukan dalam kas negara sebagai penerimaannya, supaya penerimaan tersebut dapat menutupi

biaya-biaya pengeluaran pemerintah.18

Dalam perekonomian modern, pada suatu pemerintahan yang struktur pemerintahannya sudah tertata baik, penguasa negara menetapkan lembaga-lembaga yang mempunyai wewenang dalam hal pencetakan uang. Hal ini terjadi tidak lain karena keberadaan uang dianggap mewakili keberadaan negara, sehingga sangatlah wajar apabila ditetapkan lembaga atas nama negara atau pemerintahan yang berwenang dalam hal penciptaan uang. Pada umumnya, lembaga ini dikenal sebagai otoritas moneter atau bank sentral.

Banyak negara saat ini umumnya mempunyai mata uang yang terbuat dari kertas. Dapat dikatakan juga, uang kertaslah yang lebih banyak dalam peredaran dibandingkan dengan mata uang lainnya. Hal ini disebabkan karena ongkos pembuatan uang kertas lebih murah dibanding mata uang logam, selain itu juga

18


(32)

disebabkan kemudahan dalam memperoleh kertas serta membawa ketas dari satu

tempat ke tempat lainnya. Nilai intrinsik pada mata uang kertas selalu lebih rendah

dari nilai nominalnya, sesungguhnya mengapa masyarakat mau menerima mata uang kertas ini sebagai alat tukar terletak pada kekuasaan yang dimiliki pemerintah. Masyarakat dapat menerima uang kertas sebagai alat tukar sebab masyarakat percaya pada pemerintah yang memiliki otoritas dalam hal alat tukar. Karena atas dasar kepercayaan inilah sehingga ada yang mengatakan bahwa uang kertas sebagai “uang kepercayaan”.19

Sebagai alat tukar dan “uang kepercayaaan”, tentu pencetakan uang kertas harus disesuaikan dengan jumlah kebutuhan yang ada. Semakin besar jumlah uang

yang dicetak akan menimbulkan inflasi20 yang berujung pada penurunan kepercayaan

masyarakat akan nilai uang tersebut, dan demikian sebaliknya. Untuk menjaga jumlah

uang yang beredar sesuai dengan kebutuhan demi mencegah terjadinya inflasi dan

fluktuasi harga, pemerintah kemudian melakukan langkah-langkah moneter dan kebijakan melalaui bank sentral.

2.2 Kondisi Keuangan dan Ekonomi Indonesia Awal kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi langkah baru bagi bangsa ini untuk memulai kehidupan berbangsa dan bernegara

19

M. Manullang, op.cit., hlm. 25-26. 20

Pengertian Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan tingkat harga umum yang disebabkan karena peningkatan permintaan barang dan jasa, namun pemenuhan barang dan jasa itu tidak dapat meningkat secara seimbang. Lihat Oey Beng To, op.cit., hlm. 48.


(33)

yang merdeka. Kemerdekaan yang baru saja diperoleh bangsa ini ternyata harus menerima kenyataan pahit akibat kondisi ekonomi pada awal periode ini begitu

buruk, baik secara makro maupun mikro sebagai peninggalan penjajah. Hancurnya

sebagian besar aparat produksi, distribusi, dan jaringan perdagangan internasional setelah pendudukan Jepang, mengakibatkan kesulitan-kesulitan yang mendalam di awal periode kemerdekaan.

Kekacauan ekonomi, khususnya masalah keuangan yang telah berlangsung dari masa perang dunia ke II, semakin parah pada masa pendudukan Jepang dan terus berlanjut hingga masa awal kemerdekaan Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, sistem ekonomi perang yang diterapkan Jepang di Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membiayai kegiatan perang di Asia Pasifik. Sebagai upaya menutupi devisit anggaran pengeluaran, Pemerintah Militer Jepang kemudian

mengeluarkan uang kertas militer di Indonesia.21 Namun pengeluaran uang ini

ternyata tidak berdasarkan pada jaminan logam mulia dan yang paling memprihatinkan, pengeluaran uang Jepang tidak diimbangi dengan banyaknya

persediaan barang yang diperdagangkan.22 Pada waktu uang kertas militer tersebut

dikeluarkan, mata uang yang berlaku di Indonesia terdiri dari uang De Javasche Bank

(DJB), Uang kertas Pemerintahan Belanda (muntbilyet), serta uang logam yang di

21

Selama 3 tahun pendudukan Jepang di Indonesia, Jepang telah mengeluarkan tiga jenis mata uang yaitu, Japansche Regeering (menggunakan bahasa Belanda dan Gulden sebagai satuan uang) , Dai Nippon Teikoku Seihu (menggunakan Bahasa Indonesia dan Rupiah sebagai satuan uang), dan uang Pemerintah Dai Nippon. Lihat Bank Indonesia, Pameran Koleksi Uang Bank Indonesia, Museum Artha Suaka. Jakarta pusat: Tanpa penerbit dan tahun terbit, hlm. 20.

22


(34)

keluarkan oleh De Javasche Bank.23 Uang militer Jepang kemudian membanjiri

Indonesia dan mendorong meningkatnya inflasi terutama sejak tahun 1943 hingga

1945. Pada pertengahan tahun 1945 mata uang invasi Jepang bernilai sekitar 2,5%

dari nilai nominalnya.24

Inflasi besar di wilayah Indonesia terbukti dengan perbandingan angka antara jumlah uang yang beredar dengan jumlah produksi makanan yang terus menurun. Penurunan produksi makanan itu dipengaruhi secara signifikan oleh kondisi perang yang mulai terjadi di wilayah indonesia memasuki tahun 1940. Produksi makanan semakin menurun pada masa pendudukan Jepang, banyak masyarakat direkrut dalam kepentingan perang dan mengesampingkan masalah pertanian. Jumlah penurunan produksi makanan di Jawa sejak tahun 1941 sampai 1944 dapat dilihat melalui angka penurunan produksi makanan Pulau Jawa di bawah ini:

(Jumlah dalam kwintal, 1kwintal=100 kilogram)25

Jumlah produksi makanan di Pulau Jawa tentu membuat keberadaan bahan makanan sangat terbatas keberadaannya di tengah masyarakat. Terbatasnya jumlah

23

Oey Beng To, op.cit., hlm. 22. 24

Ricklef, M.C., Sejarah Indonesia Modern (terj.), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991, hlm. 300.

25

Kristaniarsi, op.cit., hlm. 30.

Tahun Padi Palawija

1941 1942 1943 1944

89. 939. 807 83. 081. 989 81. 125. 225 68. 115. 550

121.525.781 118.054.781 107.109.669 90.055.664


(35)

kebutuhan yang diinginkan mengakibatkan harga kebutuhan tersebut meningkat di Pulau Jawa, keadaan itu semakin parah ketika jumlah uang yang beredar sangat banyak dan memperparah penurunan nilai uang tersebut. Di daerah Jawa, peredaran uang kertas militer hingga bulan Juli 1943 bertambah sekitar kurang dari 5 juta Rupiah setiap bulan, pada akhir tahun 1944 bertambah sekitar 50 juta Rupiah setiap bulan. Pada bulan Maret 1945, jumlah peredaran uang militer Jepang menembus 80 juta Rupiah, dalam bulan Mei bertambah menjadi 117 juta Rupiah, hingga pada bulan Agustus mencapai 369 juta Rupiah. Jika diperhatikan peredaran uang militer ini dibandingkan dengan jumlah produksi pangan di Jawa yang terus menurun sejak tahun 1941 hingga 1944, tentu saja dapat terlihat betapa rendahnya nilai mata uang tersebut di dalam proses perdagangan.

Keadaaan perekonomian dan keuangan yang sangat kacau kemudian diperparah lagi dengan kedatangan tentara Sekutu bersama tentara NICA (Nederlands-Indische Civiele Administratie) pada tanggal 4 Oktober 1945 di Tanjung Priok, dan pendaratan berikutnya di beberapa daerah pada bulan September 1945. Kedatangan pasukan ini bertujuan untuk menerima penyerahan pemerintahan dari Jepang atas wilayah Indonesia. Pendaratan tentara Sekutu ini diikuti dengan pendudukan kota-kota besar di Indonesia dan penguasaan berbagai bank yang


(36)

mengakibatkan wilayah Indonesia secara de facto terbagi atas wilayah Republik

Indonesia dan wilayah pendudukan Belanda.26

Melalui Bank-bank yang berhasil dikuasai tersebut, NICA kemudian mengedarkan uang cadangan masa pendudukan Jepang di daerah-daerah yang mereka kuasai dan memicu membengkaknya peredaran uang di Indonesia. Uang Jepang yang berhasil dikuasai NICA sebesar 2 miliar Rupiah, dengan jumlah itu mereka mencoba

merusak harga pasar dan membayar harga barang jauh lebih tinggi.27 Kedatangan

tentara NICA bukan hanya menghambur-hamburkan uang cadangan masa pendudukan Jepang, namun juga mengacaukan perekonomian Indonesia dengan

mengeluarkan uang NICA28 yang sebelumnya telah dipersiapkan sebelum memasuki

wilayah Indonesia. Pengeluaran uang NICA terdiri atas 9 pecahan, mulai dari

pecahan f. 50 sampai dengan f. 500, pengeluarannya di atur dalam koninlijk Besluit

tanggal 2 Maret 1943 dan pencetakannya dilakukan pada American Company di

London.29

26

Terbaginya wilayah tersebut mengakibatkan wilayah kekuasaan Republik Indonesia hanya meliputi wilayah Pulau Jawa, Madura serta Pulau Sumatera. Dalam perjalalanan selanjutnya Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook mengusulkan mengenai kemungkinan penerapan sistem federal di Indonesia dimana Indonesia pada gilirannya akan dibagi atas empat negara bagian yaitu, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur, atau hanya tiga jika Sumatera diakui sebagai bagian dari Republik. Lihat Ba’im, Terbentuk dan Runtuhnya Negara RIS 1945-1950, Tesis Universitas Indonesia: Jakarta, 1996, hlm. 29-30.

27

Departemen Penerangan RI, 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid II, Jakarta, 1968, hlm. 662. 28

Uang NICA disebut juga dengan “uang merah”, hal ini didasarkan pada warna kemerah-merahan yang terdapat pada pecahan f. 10 uang NICA yang banyak beredar masa itu. Lihat Oey Beng To, op.cit., hlm. 18.

29 Ibid.


(37)

Keadaan ekonomi semakin merosot seiring dengan peredaran berbagai jenis mata uang di Indonesia. Di lain sisi, pemerintah Indonesia tidak bisa menyatakan bahwa uang masa pendudukan Jepang tidak berlaku karena pada awal tahun 1945 negara Indonesia belum memiliki uang yang sah sebagai penggantinya. Untuk

mengatasi peredaran berbagai jenis mata uang dan mengurangi dampak inflasi, maka

pada tanggal 3 Oktober 1945 pemerintah mengeluarakan kebijakan melalui departemen keuangan tentang macam uang yang berlaku di Indonesia, terdiri dari:

”A. uang kertas

1. Dari “De Javasche Bank” dikeluarkan tahun 1925 sampai dengan tahun

1941 terdiri dari 8 macm yaitu:

f. 1.000-, f. 500-, f. 200-, f. 100-, f. 50-, f. 25-, f. 10-, f. 5-.

2. Dari pemerintah Belanda dahulu, yang dikeluarkan pada tahun 1940 dan

1941 terdiri dari dua macam, yaitu: f. 250-, dan f. 1-.

3. Dari Pemerintah Balatentara Dai Nippon dan Djawa dahulu, terdiri dari

8 macam, yaitu:

f. 100-. f. 10-, f. 5-. f. 1-, f. 0,50-, f. 0,10-, f. 0,05-, dan f. 0,01-. B. Uang logam

Yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu sebelum tahun 1942:

1. Dari emas seharga f. 10-, dan f. 5-.

2. Dari perak seharga f. 2,50-, f. 1-, f. 0,50-, f. 0,25-, dan f. 0,10-.

3. Dari nikel seharga f. 0,05-.


(38)

Macam uang yang dianggap sah didaerah Republik di luar Jawa akan

ditetapkan dengan undang-undang lain.”30

Pengeluaran maklumat pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 sebelumnya didahului dengan keluarnya maklumat tanggal 2 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak mengakui uang NICA sebagai uang yang sah. Peredaran dan penggunaan uang NICA di wilayah yang dikuasai pemerintah Republik Indonesia kemudian dapat ditekan walau tak bisa dihentikan seluruhnya. Di daerah yang dikuasai pemerintah Republik Indonesia, peredaran uang NICA memang dapat dihentikan, namun di daerah yang telah diduduki tentara NICA penggunaan uang NICA sebagai uang yang sah terus berlanjut, terutama akibat tekanan-tekanan yang dilakukan tentara sekutu dan NICA yang menyatakan uang NICA adalah uang yang sah di kalangan masyarakat.

2.2 Upaya Pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI)

Peredaran berbagai jenis mata uang yang memicu inflasi besar-besaran di Indonesia juga secara langsung telah mempengaruhi kas Negara Republik Indonesia dimana pada masa awal kemerdekaan berasal dari Fonds Kemerdekaan Indonesia

(FKI).31 Pemerintah Republik kemudian memiliki dua jalan terbuka dalam mengatasi

siasat licik NICA yang telah mengacaukan perekonomian Indonesia. Adapun jalan pertama dengan mengintensifkan aparat pemungutan pajak dan jalan kedua adalah

30

Departemen Penerangan RI, op.cit., hlm. 660-661. 31


(39)

mencetak uang. Pengintensifan aparat pemungutan pajak di masa awal tahun kemerdekaan begitu sulit terlaksana akibat kondisi keamanan yang tidak terjamin, ditambah hubungan kantor-kantor perpajakan di setiap daerah juga terhalang akibat pendudukan Sekutu.

Upaya pencetakan uang kemudian menjadi perhatian serius bagi pemerintah untuk menghadapi kekacauan ekonomi. Penjejakan tentang kemungkinan pencetakan uang akhirnya terjadi dalam pertemuan di kementrian keuangan (Lapangan Banteng) pada tanggal 24 Oktober 1945. Usaha ke arah pelaksanaan pencetakan uang selanjutnya segera dilaksanakan oleh Menteri Keuangan yang pada masa itu dijabat oleh Mr. A.A. Maramis. Sebuah tim kemudian dibentuk yang anggotanya berasal dari serikat buruh percetakan G. kolff di Jakarta dan juga wakil buruh dari Surabaya. Tim ini kemudian ditugaskan melakukan peninjauan beberapa percetakan di daerah Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta yang dapat dipercaya dalam pelaksanaan

pencetakan uang.32

Pada tanggal 7 November 1945, Menteri Keuangan A.A. Maramis membentuk Panitia Penyelenggara Percetakan Uang R.I. yang bertugas untuk melaksanakan, mengawasi, dan mengamankan proses dan hasil pencetakan uang. Adapun susunan kepanitiaan ini terdiri dari Ir. R.P. Soerachman sebagai pengawas, dan T.R.B Sabarudin sebagai ketua panitia, keduanya berasal dari pegawai Kantor Besar Bank Rakyat Indonesia. Anggota-anggotanya yaitu, H.A. Padelaki (Kementrian

32

Tim Penyusun Penerbitan Naskah Sumber, Penerbitan Naskah Sumber: Oeang Republik Indonesia (ORI), Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 2003, hlm. 1.


(40)

Keuangan), M. Tabrani (Kementian Penerangan), M. Sugiono (Kantor Besar Bank Rakyat Indonesia), E. Koesnadi (Kas Negara Indonesia), R. Abubakar Winangun (Kementrian Keuangan), Osman (Pimpinan Serikat Buruh Percetakan Jakarta), Agoes

Soeryatama (Buruh percetakan Jakarta).33

Pada awalnya, Kota Surabaya direncanakan menjadi tempat pencetakan uang RI berdasarkan hasil penelitian tim awal yang telah dibentuk Mentri Keuangan. Persiapan kemudian dilaksanakan, bahkan pada tanggal 17 Oktober 1945, Menteri Keuangan telah membubuhkan tanda tangan pada bahan pencetak uang. Pada awal bulan November 1945 Panitia Pencetakan Uang RI telah menyiapkan klise yang dibutuhkan dan direncanakan uang baru akan dikeluarkan pada bulan Januari 1946. Namun semua persiapan yang telah direncanakan harus dibatalkan akibat pertempuran besar yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945.

Pertempuran yang terjadi di Kota Surabaya mengakibatkan rencana proses pencetakan Uang Republik Indonesia tertunda. Surabaya tidak mungkin lagi dijadikan sebagai tempat pencetakan uang, selanjutnya pilihan jatuh ke Kota Jakarta. Di kota ini bahan-bahan yang diperlukan untuk pencetakan uang diperoleh dari berbagai pabrik melalui bantuan para karyawan yang membantu secara sukarela. Selain itu, ada juga yang diperoleh dengan cara mencuri pada malam hari seperti

33

Team Penyusun Sejarah Percetakan Uang RI, Percetakan Uang RI dari Masa ke Masa, Cukilan Fakta dan Peristiwa dari Masa Perjuangan Fisik Hingga Tahun 1957, Jakarta: tanpa penerbit,1984, hlm. 28.


(41)

mesin aduk pembuat tinta yang diambil dari Pabrik Pieter Choen, dan kertas yang di

ambil dari Percetakan Kolff & Co.34

Upaya pembuatan desain dan bahan-bahan induk berupa negatif-negatif kaca

dilakukan di Percetakan Balai Pustaka serta pembuatan lithoghrafi dilakukan di

Percetakan De Unie.35 Pencetakan Uang Republik Indonesia baru kemudian dimulai

pada bulan Januari 1946 di Percetakan RI Salemba dengan cetakan pertama pecahan 100 Rupiah. Adapun uang yang direncanakan akan dicetak adalah dengan nilai 100 Rupiah, 10 Rupiah, 5 Rupiah, 1 Rupiah, ½ Rupiah, 10 sen, 5 sen, dan 1 sen.

Pada awal Desember 1945 semua kegiatan pencetakan uang Republik harus dihentikan akibat kondisi Kota Jakarta yang tidak kondusif setelah aksi-aksi profokasi yang dilakukan tentera NICA. Semua uang hasil cetakan yang belum diberi nomor seri dan segala alat percetakannya dipindahkan ke Yogyakarta dengan menggunakan kereta api. Pemindahan tersebut berlangsung secara tiba-tiba agar tidak diketahui oleh tentera Sekutu. Sesampainya di Yogyakarta, uang hasil cetakan Jakarta yang terdiri atas pecahan 100 Rupiah, 10 Rupiah dan 5 Rupiah diserahkan pada satu bagian Kementrian Keuangan di Jalan Malioboro. Adapun sisa uang pecahan yang direncanakan akan dicetak sebelumnya di Jakarta, belum sempat dilaksanakan akibat kondisi yang tidak memungkinkan. Pada tanggal 3 Januari 1946 Ibukota

34

Upaya dalam memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam mencetak uang dilakukan dengan cara mencuri karena pabrik-pabrik yang memiliki bahan keperluan pencetakan uang tersebut merupakan pabrik milik Belanda. Pabrik-pabrik tersebut telah dikuasai pasukan Sekutu sejak bulan Oktober 1945.

35


(42)

Pemerintahan Republik Indonesia juga turut dipindahkan ke Yogyakarta akibat kondisi kota Jakarta yang semakin tidak aman.

Pencetakan uang Republik Indonesia kemudian dilanjutkan di Yogyakarta dengan mengandalkan Percetakan Canisius dan Percetakan Kolff Yogyakarta. Percetakan Canisius kemudian bertugas melanjutkan pencetakan ORI pecahan 1 Rupiah, 10 sen, 5 sen, 1 sen, dan penyelesaian uang hasil percetakan RI Jakarta yang belum bernomor seri. Sedangkan di percetakan Kolff Yogyakarta dilakukan pencetakan ORI pecahan 100 Rupiah dibawah pimpinan Marsidi. Pencetakan ORI juga dilakukan di Percetakan Gading Surakarta di bawah pimpinan Soedarbo dan

Soekijo.36

Akibat keadaan yang semakin genting, pencetakan ORI juga dilaksanakan di

percetakan NIMEF (Nederlands-indische Metaalwaren en Emballage Fabriken)

Kedalpayak, Malang. Percetakan ORI di daerah ini mendapat bantuan kertas dari Serikat Buruh Kertas Padalarang yang dipimpin Amat Sumadisastra. Kertas ini diperoleh dari Pabrik Kertas Leces di Probolinggo sebelum pabrik tersebut dikuasai tentera Sekutu. Bahan-bahan kimia untuk mencetak uang kemudian didatangkan dari Jakarta, selain itu juga ada yang diperoleh dari dr. Mustafa Zakir yang bekerja sebagai dokter perusahaan gula di Kediri dan dari beberapa pabrik gula di Jawa Timur. Dalam segala kesulitan terkait pencetakan Uang Republik Indonesia, hal-hal yang berkaitan tentang rencana pengeluaran uang tersebut sangat dirahasiakan agar tidak diketahui tentara NICA yang siap menggagalkan upaya pencetakan ORI.

36


(43)

Demikian juga halnya kepada masyarakat, hal-hal yang berkaitan dengan rencana pengeluaran uang juga dirahasiakan agar tidak terjadi kegaduhan ekonomi akibat kebingungan masyarakat dengan munculnya jenis uang baru.

Sebelum ORI diedarkan di masyarakat, pemerintah harus menarik semua uang Jepang dan uang Belanda dari peredaran, namun penarikan berbagai jenis uang yang beredar tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba dan dengan menyatakan uang tersebut tidak berlaku lagi, hal ini guna menghindari kerugian besar yang akan dialami masyarakat jika kebijakan demikian dilaksanakan. Untuk itu, sebagai kebijakan pertama dari pemerintah, pada tanggal 9 Mei 1946 Presiden Soekarno mengeluarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional. Dalam kebijakan ini diharapkan masyarakat mau meminjamkan uang kepada pemerintahan negara yang diakuinya dengan sukarela dan tanpa paksaan, pinjaman ini akan dibayarkan kembali

kepada masyarakat selambat-lambatnya 40 tahun dengan bunga uang 4% per tahun.37

Jumlah pinjaman uang yang diperoleh dari kebijakan Pinjaman Nasional ini berkisar 1 miliar Rupiah, dimana pinjaman pertama dilaksanakan di Pulau Jawa dan Madura sebesar 500 juta Rupiah, dan tahap berikutnya di Pulau Sumatera. Uang hasil pinjaman tersebut akan dipergunakan untuk menutupi anggaran belanja pemerintah pada bulan Juni dan Juli 1946, serta menjadi modal dasar pendirian Pusat Bank Nasional Indonesia yang kemudian berdiri pada tanggal 19 September 1946 dan direncanakan menjadi bank sirkulasi Negara Republik Indonesia. Bank ini baru kemudian resmi dibuka pada tanggal 17 Agustus 1946 melalui peraturan pemerintah

37


(44)

pengganti undang-undang No. 2 tanggal 5 Juli 1946 dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI). BNI kemudian bersama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) menjadi ujung tombak penjualan obligasi dalam rangka kebijakan Pinjaman Nasional di setiap daerah. Kebijakan Pinjaman Nasional ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat, terbukti setelah kebijakan ini dibuka tanggal 15 Mei 1945 dan ditutup pada 15 Juni 1946, dari dana yang dibutuhkan pada tahap I sebesar 500 juta Rupiah,

telah diperoleh sebesar 70 % dari yang dibutuhkan.38

Langkah selanjutnya, untuk mengurangi jumlah uang yang masih banyak beredar, pemerintah kemudian mengeluarkan maklumat kementrian No. 11 tahun 1946 pada tanggal 12 April 1946. Peraturan itu kemudian dipertegas dengan ditetapkannya undang-undang No. 10 tahun 1946 oleh Presiden Soekarno. Dalam peraturan tersebut menekankan pembatasan pengiriman uang lewat pos atau bank lebih dari f. 1.000,- per hari. Dengan kebijakan ini pemerintah berharap adanya penekanan serbuan uang dari daerah yang dikuasai tentara NICA ke daerah kekuasaan Republik.

Sebagai tahap akhir dari persiapan pengeluaran ORI, pada tanggal 5 juli 1946 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 3 tahun 1946 tentang kewajiban menyimpan uang dalam bank.39

Peraturan ini membatasi penggunaan uang di masyarakat yaitu untuk satu kelurga diperkenankan memiliki uang paling banyak f. 3000, bagi orang yang hidup sendiri

38

Ibid,. hlm. 76. 39


(45)

(tidak dalam keluarga) diperkenankan memiliki uang paling banyak f. 1000,- Jika masyarakat memiliki uang yang lebih dari yang ditetapkan, dianjurkan untuk

menyimpan uangnya pada bank-bank yang telah disediakan pemerintah.40 Sementara,

untuk perusahaan-perusahaan diadakan peraturan-peraturan tersendiri.

Dalam upaya untuk menggiatkan masyarakat dalam menyimpan uang dalam bank dan persiapan menyambut peredaran ORI, pada tanggal 1 Oktober 1946 Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengeluarkan undang-undang No. 17 tahun 1946 untuk meyakinkan masyarakat bahwa uang Republik Indonesia akan

segera dikeluarkan.41 Selanjutnya pada tanggal 26 Oktober 1946, pemerintah kembali

mengeluarkan Undang-Undang no. 19 tahun 1946. Di dalam undang-undang ini pemerintah kemudian mentapkan dasar nilai dan dasar penukaran ORI terhadap uang pendudukan Jepang. Sebagai dasar nilai ORI ditentukan 10 Rupiah ORI sama dengan 5 gram emas murni. Untuk dasar penukaran ORI, di daerah Jawa ditentukan 1 Rupiah ORI sama dengan 50 Rupiah uang Jepang, sedangkan untuk daerah di luar Pulau

Jawa dan Madura ditetapkan 1 rupiah ORI sama dengan 100 Rupiah uang Jepang.42

Penukaran uang Jepang dan ORI hanya dilakukan melalui perantara bank dan untuk sementara, uang yang dapat ditukar dengan ORI adalah uang Jepang yang telah disimpan di dalam Bank.

40

Adapun bank yang ditunjuk sebagai penerima simpanan berdasarkan kewajiban menurut peraturan tersebut adalah: Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Kantor Tabungan Pos, dan bank-bank lain yang mendapat izin dari Menteri Keuangan. Lihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 1946.

41

Sekretariat Negara Republik Indonesia No. 343. (ARNAS) 42


(46)

Langkah peresmian berlakunya ORI kemudian ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. Ss/1/35 tanggal 29 Oktober 1946 tentang saat berlakunya ORI sebagai alat pembayaran yang sah, yaitu pada tanggal 30 Oktober 1946 tepat pukul 24.00. Selanjutnya mulai jam yang telah ditentukan, maka

uang Hindia Belanda dan Uang pendudukan Jepang dinyatakan tidak berlaku lagi.43

Sebelum ORI diedarkan, timbul permasalahan tentang jaminan uang yang akan diedarkan, namun Wakil Presiden Moh. Hatta pada waktu itu berpendapat bahwa uang yang baru diedarkan tersebut tidak perlu dikeluarkan oleh suatu bank tetapi oleh

pemerintah sendiri dengan dasar A-metalisme.44 Dalam hal ini kepercayaan rakyat

kepada pemerintahnya adalah dasar terpenting keabsahan uang tersebut. Melalui RRI (Radio Republik Indonesia) Yogyakarta, wakil presiden Moh. Hatta kemudian menyampaikan pidatonya menyongsong keluarnya ORI pada tanggal 29 Oktober 1946, adapun bunyi pidatonya yaitu:

“Besok mulai tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang

mengandung sejarah bagi tanah air kita! Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Uang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak berlaku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu, ikut pula tidak laku uang De Javasche Bank. Dengan ini tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia . Masa yang

penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita…”45

43

Team Penyusun Sejarah Percetakan Uang RI, op.cit., hlm. 30. 44

Tim Penyusun Penerbitan Naskah Sumber, op.cit., hlm. 3. 45

Dikutip dari I Wangsa Widjadja dan Meutia f. Swasono, Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato dari Tahun 1942 sampai dengan 1949, Djakarta: Yayasan I Dayu, 1981, hlm. 105-106.


(47)

Dalam pencetakan selanjutnya, ORI diterbitkan lima emisi, ORI emisi pertama bertuliskan “Djakarta 17 Oktober 1945” ditandatangani oleh A.A. Maramis, dalam 8 pecahan yaitu 1 sen, 5 sen, ½ Rupiah, 5 Rupiah, 10 Rupiah, dan 100 Rupiah. Emisi kedua bertuliskan “Djokjakarta 1 Januari 1947” ditandatangani oleh Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam 4 pecahan yaitu 5 Rupiah, 10 Rupiah, 25 Rupiah,

dan 100 Rupiah. Emisi ketiga bertuliskan “Djokjakarta 26 Djuli 1947” ditandatangi

oleh A.A. Maramis dalam pecahan ½ Rupiah, 2 ½ Rupiah, 25 Rupiah, 50 Rupiah, 100 Rupiah, dan 250 Rupiah. ORI Emisi keempat diterbitkan dengan bertuliskan “Djogjakarta 23 Agustus 1948” ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta dalam pecahan yang unik yaitu 40 Rupiah, 75 Rupiah,100 Rupiah, dan 400 Rupiah, sedangkan pecahan 600 Rupiah yang disiapkan belum sempat diedarkan. Emisi kelima bertuliskan “Djogjakarta 17 Agustus 1949” ditandatangani oleh Mr. Loekman Hakim dan merupakan Rupiah baru dalam pecahan 10 sen baru, ½ Rupiah baru, dan 100

Rupiah baru.46

Setelah beredar di Jawa dan Madura, peredaran ORI di Pulau Sumatera tidak sertamerta dapat terlaksana dengan baik. Belanda telah melakukan blokade ekonomi dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Pulau Sumatera. Pengiriman ORI yang direncanakan dilaksanakan lewat jalur laut pun terkendala keamanan sehingga pengiriman uang ke wilayah Pulau Sumatera harus ditunda untuk sementara waktu. Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan kebijakan bahwa untuk daerah di luar

46

Nani Maesraoh, Peranan Oeang Republik Indonesia (ORI) Dalam Periode Revolusi Kemerdekaan 1946-1950, Jurnal FIS Uiversitas Negeri Malang, Malang: 2013, hlm.18.


(48)

Pulau Jawa dan Pulau Madura, untuk sementara waktu tetap menggunakan uang Jepang. Namun seiring berjalannya waktu pengiriman ORI ke Pulau Sumatera tidak dapat terealisasikan. Agresi militer Belanda I pada tahun 1947 justru mempersulit keadaan dan tidak memungkinkan lagi untuk pelaksanaan pengiriman ORI. Di lain sisi, kebutuhan keuangan di Sumatera terus meningkat seiring dengan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sumatera serta untuk kebutuhan pendaanaan pemerintahan daerah.


(49)

BAB III

KONDISI POLITIK DAN EKONOMI SUMATERA UTARA HINGGA TAHUN 1947

3.1 Perkembangan Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera Utara

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dibacakan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi titik awal pembentukan pemerintahan negara merdeka di negeri ini. Upaya membentuk konstitusi negara dan struktur pemerintahan dari pusat hingga daerah segera dilaksanakan pada hari-hari berikutnya melalui sidang-sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 22 Agustus 1945, dalam sidang PPKI, diangkat Mr. T.M. Hasan sebagai wakil pemerintah untuk seluruh daerah Sumatera dan diberi kekuasaan penuh melaksanakan segala keputusan PPKI di Pulau

Sumatera.47 Dalam sidang ini juga diangkat Dr. Amir sebagai wakil T.M. Hasan

untuk menjalankan pemerintah dan sekaligus menetapkan Kota Medan menjadi Ibukota Provinsi Sumatera.

Pada tanggal 27 Agustus 1945, T.M Hasan beserta Dr. Amir tiba di Kota Medan setelah sebelumnya menghadiri sidang PPKI di Jakarta. Upaya pembentukan

47

Dwi Purwoko, Dr. Mr. T. Moehammad Hasan salah seorang pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa, Jakarta: PT. Penebar Swadaya, 1995, hlm. 41.


(50)

Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah48 segera dilakukan dengan mengundang

pemuka-pemuka masyarakat di Kota Medan. Usaha itu mengalami kegagalan karena adanya keragu-raguan para pemuka masyarakat melihat bahwa Jepang masih berkuasa di Kota Medan, bahkan di kalangan orang-orang Indonesia telah ada dibentuk “Comite van Ontvangst” yang mempersiapkan segala sesuatu untuk

menerima kedatangan Belanda.49 Akibat sikap keragu-raguan pemuka masyarakat

dan kondisi politik yang semakin memanas di Kota Medan, penjelasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia baru dapat disampaikan pada tanggal 31 September 1945. Penjelasan kemerdekaan itu disampaikan dihadapan 700 rakyat pada rapat Barisan Pemuda Indonesia (B.P.I) yang dilaksanakan di Sekolah Taman Siswa Medan.

Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera baru secara resmi di umumkan pada tanggal 3 Oktober 1945 melalui dekrit yang dikeluarkan oleh T.M. Hasan. Dekrit itu dikeluarkan setelah sebelumnya pada tanggal 29 September 1945, T.M.

Hasan diangkat menjadi Gubernur Sumatera berdasarkan surat keputusan presiden50

48

Komite Nasional Indonesia (KNI) berfungsi sebagai pembantu presiden dalam masa awal lahirnya pemerintahan Republik Indonesia sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD. Pada tanggal 22 Agustus 1945 PPKI menetapkan untuk membentuk Komite Nasional di seluruh tanah air dengan pusatnya ialah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta.

49

Team penyusun Naskah Penelitian dan Pencatatan Sejarah Daerah Sumatera Utara, Sejarah Daerah Sumatera Utara, Medan: Tanpa Penerbit, 1976, hlm. 167.

50

Surat keputusan pengangkatan T.M. Hasan sebagai Gubernur Sumatera dikeluarkan di Jogjakata dengan nomor : No/ P.1/2/15 oleh Departemen Urusan Dalam Negeri, dan diterima T.M Hasan melalui telegram pada awal Oktober 1945. Di lain sisi Dr. Amir yang sebelumnya menjabat sebagai wakil T.M Hasan dalam menjalankan pemerintahan di Sumatera, diangkat menjadi Menteri


(51)

dan diberi kuasa penuh untuk mengangkat pegawai negeri dan segala sesuatu yang berkaitan tentang pemerintahan di Provinsi Sumatera. Isi dekrit Gubernur T.M Hasan tanggal 3 Oktober 1945 itu diantaranya mengangkat sepuluh orang residen untuk seluruh Sumatera serta walikota Medan, Padang, dan Palembang. Sebagai Walikota Medan diangkat Mr. Mohamad Yusuf dan sebagai Residen Sumatera Timur diangkat Loeat Siregar, untuk Keresidenan Tapanuli yang berkedudukan di Tarutung diangkat Dr. F.L Tobing. T.M Hasan juga mengangkat delapan orang staf pembantu gubernur dalam menjalankan roda pemerintahan yang terdiri dari Mangaraja Soangkupon, Dr. Raden Pringadi, Mr. Moehammad Hanifah, Abu Bakar, Raden M. Amri, Abdul

Xarim M.S, dan Dr. Sahir Nitihardjo.51

Sebagai pendukung kegiatan pemerintahan Sumatera, T.M Hasan kemudian membuka Kantor Gubernur Sumatera di Balai Permohonan Rakyat Jalan Istana No. 15 (sekarang Jalan Brigjen Katamso), Medan. Gubernur Sumatra T.M Hasan juga memerintahkan mobilisasi umum dan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat,

pengambilalihan gedung pemerintahan dan instalasi penting lainnya.52 Pada tanggal 4

Oktober 1945 setelah menghadapi berbagai halangan dari pihak Jepang, bendera merah putih dikibarkan di Lapangan Esplande (lapangan merdeka) dan pengibaran itu diikuti oleh instansi-instansi pemerintahan yang baru dibentuk dan direbut dari pihak

Negara. Lihat Muhammad T.W.H., Gubernur Sumatera dan Para Gubernur Sumatera Utara, Medan: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Sumatera, 2006, hlm. 23.

51

Muhammad T.W.H., Ibid., hlm. 28. 52


(52)

Jepang. Selanjutnya pada tanggal 6 Oktober 1945 diadakan peresmian berdirinya Pemerintah Republik Indonesia yang diikuti dengan pawai raksasa di Kota Medan.

Pembentukan pemerintahan Republik Indonesia di Keresidenan Tapanuli dimulai di Tarutung yang merupakan ibu kota keresidenan itu. Badan Keamanan Rakyat (BKR) segera terbentuk di Kota Tarutung setelah Jepang mengumumkan kekalahannya atas pasukan Sekutu. Pemimpin-pemimpin BKR Tarutung antara lain, Dr. F. Lumban Tobing, Mr. Silitonga, Abdul Hakim, Mr. Rafenus Lumban Tobing,

Mr. H Silitonga dan Dr. Luhut Lumban Tobing.53 Badan ini pada mulanya bertugas

menjual barang-barang kebutuhan masyarakat yang diambil dari peninggalan Jepang.

Pada tanggal 8 September 1945 terbentuk sebuah badan di Tapanuli Selatan, tepatnya di Padang Sidempuan yang diketuai oleh Raja Junjungan. Panitia dalam badan ini pada akhirnya berpendapat bahwa penyusunan KNI sebaiknya dilakukan di Tarutung karena disana Ibukota Keresidenan Tapanuli, selain itu di daerah ini berkedudukan pemimpin-pemimpin besar BKR yang telah terbentuk sebelumnya. Raja Junjungan, Kari Usman, dan Fakhrudin Nasution sebagai pemuka masyarakat Tapanuli Selatan kemudian berangkat ke Tarutung pada 12 September 1945. Pertemuan dilakukan di Tarutung antara rombongan Raja Junjungan dari Tapanuli Selatan dan pengurus BKR Tarutung. Hasil pertemuan tersebut akhirnya menunjuk

53

Team Penyusun Naskah Penelitian dan Pencatatan Sejarah Daerah Sumatera Utara, op. cit., hlm. 172.


(53)

Abdul Hakim sebagai Formatur KNI, seiring dengan itu BKR kemudian dibubarkan dan diubah menjadi KNI.

Pada tanggal 3 Oktober 1945 diterima kawat dari Gubernur Sumatera tentang pengangkatan Dr. Ferdinand Lumban Tobing sebagai Residen Tapanuli dengan tugas menegakkan dan melaksanakan pemerintahan Republik Indonesia di Keresidenan

Tapanuli.54 Di hari yang sama KNI secara resmi mengumumkan proklamasi

kemerdekaan melalui rapat-rapat umum, dan dengan resmi pula dikibarkan bendera merah putih. Selanjutnya dilakukan pembentukan KNI disetiap wilayah atau kecamatan, untuk membiayai segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan dan perjuangan dibentuk Fonds Kemerdekaan pada tanggal 15 Oktober 1945. Puncak kegiatan menyambut kemerdekaan dilakukan pada tanggal 17 Oktober 1945 dalam suatu rapat umum di Tarutung yang dibanjiri 1.300.000 penduduk dari berbagai pelosok Keresidenan Tapanuli, dalam rapat ini juga diucapkan ikrar sumpah setia

kepada Pemerintah Republik Indonesia.55

Pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia di Pulau Nias dimulai sejak jatuhnya surat-surat selebaran tentang kekalahan Jepang yang ditandatangani oleh Van Mook pada tanggal 21 Agustus 1945. Kabar tentang kemerdekaan Indonesia kemudian mulai tersiar pada awal bulan Oktober 1945. Pada akhirnya, secara resmi

54

H. Afif Lumban Tobing, Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Nasional Dr. Ferdinand Lumban Tobing, Jakarta: Yayasan Pahlawan Nasional Dr. F.L. Tobing, 1997, hlm. 70.

55

Mansyur, The Golden Bridge “Jembatan Emas” 1945, Kisah Nyata Perjuangan Kemerdekaan R.I di Sumatera, Medan: Lembaga Juang 45 Medan Area, tanpa tahun, hlm. 44.


(54)

kebenaran kabar kemerdekaan tersebut diperoleh melalui kawat Residen Tapanuli pada tanggal 6 Oktober 1945. Bersamaan dengan kawat Residen Tapanuli itu ditujuk

D. Marinduri menjadi kepala afdeling dengan pangkat Asisten Residen.56 Pada

tanggal 8 Oktober 1945 dilaksanakan upacara menyambut proklamsi di Gunung Sitoli. Penyusunan pemerintahan dan pembentukan KNI dilaksanakan pada tanggal 13 Oktober 1945, P.R Telaumbanua kemudian ditunjuk sebagai ketua KNI Nias.

Pemerintah Republik Indonesia di Sumatera yang baru terbentuk harus mengalami rintangan lebih berat dalam menjalankan tugasnya. Pada tanggal 10 Oktober 1945 kekuatan militer Belanda/NICA/Sekutu mendarat di Belawan dan

mulai menduduki kota Medan.57 Masalah selanjutnya muncul akibat adanya

perbedaan sistem pemerintahan di Keresidenan Sumatera Timur dimana di wilayah ini masih terdapat kerajaan-kerajaan yang memerintah secara otokratis, padahal pemerintahan Republik Indonesia sudah terbentuk dengan menggunakan sistem demokrasi. T.M. Hasan sebelumnya telah membuktikan adanya dukungan pemerintah Republik kepada kerajaan dengan melibatkan para pembesar kerajaan didalam pemerintahan Republik di Sumatera Timur. Pada tanggal 29 Oktober 1945 T.M.

56

Team Penyusun Naskah Penelitian dan Pencatatan Sejarah Daerah Sumatera Utara, op. cit., hlm. 172-173.

57

Kontingen pertama yang mendarat di Pelabuhan Belawan adalah Brigade – 4 Divisi India ke-26 yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal TED Kelly, serta diikuti oleh pembesar NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Sebelum menuju Medan terlebih dahulu dilaksanakan upacara serah terima kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Jepang, diwakilkan oleh Jendral Sawamura sedangkan dipihak sekutu diwakilkan oleh Jendral TED Kelly. Lihat Edisaputra, Sumatera dalam Perang Kemerdekaan: Perlawanan Rakyat Semesta Menentang Jepang, Inggris, dan Belanda, Jakarta:


(55)

Hasan mengangkat Tengku Hafas dan Tulus dari Kerajaan Deli sebagai Residen Sumatera Timur dan Asisten Residen Republik di Deli. Pada saat yang bersamaan juga diangkat Mr. Mohamad Yusuf sebagai Walikota Medan, mengangkat Tengku Musa sebagai Asisten Republik daerah Labuhan Batu, serta Tengku Amir Hamzah sebagai Asisten Residen Republik untuk daerah Langkat. Di daerah Simalungun dan Tanah Karo diangkat Madja Purba sebagai Asisten Residen Republik di Simalungun

dan Negerajai Meliala sebagai Asisten Residen Republik di Tanah Karo.58

Sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah dualisme sistem pemerintahan di Sumatera Timur, pada bulan Januari 1946 diadakan rapat antara para raja dan sultan di Sumatera Timur dengan Gubernur Sumatera beserta KNI. Dalam rapat itu diputuskan agar para sultan dan raja mengubah sistem pemerintahannya dari otokrasi menjadi demokrasi. Para sultan dan raja di Sumatera Timur berjanji untuk menyesuaikan sistem tersebut, namun secara diam-diam mereka justru menimbulkan kesan berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan menyusun kekuatan dan organisasi-organisasi kerajaan untuk melindungi raja.

Sikap para sultan dan raja di Sumatera Timur mengakibatkan di beberapa tempat masyarakat mulai mengambil tindakan-tindakan terhadap raja. Pada tanggal 3 Maret 1946 berlangsunglah pergolakan di Sumatera Timur terhadap kekuasaan para raja dan sultan. Pergolakan terjadi di berbagai daerah seperti Asahan, Tanah Karo, Langkat, Serdang, Deli, dan Simalungun. Pada saat itu Gubernur Sumatera Mr. T.M

58


(56)

Hasan sedang berada di luar Sumatera Timur menjalankan inspeksi di daerah-daerah Sumatera. Mengatasi keadaan itu, maka pada tanggal 13 Maret 1946 Dr. Amir sebagai wakil Gubernur Sumatera membubarkan pemerintahan sipil di Sumatera

Timur dan memberlakukan pemerintahan Militer.59 Pemerintah Sipil di Sumatera

Timur diatur kembali dengan mengangkat Mr. Luat Siregar seorang yang bertugas

sebagai Residen diperbantukan pada Gubernur Sumatera sebagai pasifikator. Pada

tanggal 25 Maret 1946 akhirnya pemerintahan sipil di Sumatera Timur dapat

terbentuk kembali.60

Di daerah Tapanuli, masalah yang dihadapi oleh Pemerintahan Republik Indonesia juga berkaitan dengan masalah kedudukan para raja dan Kepala Kuria, Kepala Luhak atau Negeri. Kedudukan mereka yang turun-temurun menjadi sorotan masyarakat terutama setelah terjadinya revolusi sosial di Sumatera Timur. Pergolakan yang terjadi seperti yang menimpa para sultan dan raja di Sumatera Timur tidak sampai terjadi karena pada akhirnya para raja di daerah ini bersedia dengan rela mengundurkan diri dari kepemimpinannya. Selanjutnya dilakukan pemilihan pemerintahan desa secara demokratis, Residen Tapanuli kemudian mengeluarkan

59

Pemerintahan militer ialah pemerintahan yang secara taktis membawahi pemerintahan sipil dan merupakan alat negara di bawah perlindungan militer. Terlaksananya de facto militer dan de facto pemerintah merupakan tanggung jawab utama pemerintah militer, untuk itu pemerintah militer bertugas mengerahkan semua kekuatan masyarakat untuk pertahanan negara, menggerakkan tenaga sipil, serta melaksanakan kesejahteraan rakyat di bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Lihat Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, Sejarah TNI jilid I (1945-1949), Jakarta: Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, 2000, hlm. 274-275.

60

Team Penyusun Naskah Penelitian dan Pencatatan Sejarah Daerah Sumatera Utara, op.cit., hlm. 171.


(57)

surat ketetapan No. 274 tanggal 14 Maret 1946 dan diperkuat dengan surat ketetapan No. 1/DPT tertanggal 11 Januari 1947 tentang hak memilih bagi warga negara.

Setelah terjadinya revolusi sosial yang telah memakan banyak korban jiwa dari kalangan bangsawan kerajaan Melayu, dilakukan upaya mengembalikan sistem pemerintahan militer ke pemerintahan sipil dengan penetapan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur pada tanggal 9 April 1946. Sebelumnya Menteri Pertahanan

Mr. Amir Syarifuddin mencabut “Staat Van Oorlog en Beleg” (SOB) yang dijalankan

Tentara Keamana Rakyat (TKR) di bawah pimpinan kolonel Ahmad Tahir.61 Dalam

sidang penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur itu, juga diputuskan Sumatera Timur dibagi atas 6 Kabupaten, antara lain: Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli dan Serdang, Kabupaten Tanah Karo, Kabupaten Simalungun,

Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Labuhan Batu.62 Di daerah Keresidenan Tapanuli

juga dilakukan pembentukan pemerintahan kabupaten, Komite Nasional Daerah (KND) Kerseidenan Tapanuli pada bulan Juni 1946 membentuk 4 kabupaten terdiri dari: Kabupaten Nias, Kabupaten Padang Sidempuan, Kabupaten Sibolga, dan

Kabupaten Tanah Batak.63

61 Diberlakukannya “Staat Van Oorlog en Beleg

(SOB) oleh Kolonel Ahmad Tahir di Sumatera Timur karena dalam kekacauan Revolusi Sosial terdapat akses pembunuhan, pemerkosaan, dan perampokan di berbagai daerah di Sumatera Timur, sehingga pemerintahan daerah diambil alih oleh militer. Lihat Tuanku Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: Tanpa penerbit dan tahun terbit, hlm. 534.

62

Ibid., hlm. 546. 63

Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Medan: tanpa penerbit, 1995, hlm 215.


(58)

3.2 Keadaan Ekonomi dan Keuangan di Sumatera Utara Hingga Tahun 1947 Pada masa permulaan revolusi, keadaan ekonomi di Sumatera Utara sangat memprihatinkan, ditandai dengan kemunduran produksi pertanian, pertambangan, serta terganggunya perdagangan. Kemunduran produksi terjadi sejak masa pendudukan Jepang dengan sistem pemerintahan militernya. Pada masa pendudukan Jepang, hasil-hasil pertanian seperti beras dibeli dengan harga yang sangat murah oleh Pemerintah Militer Jepang, hal itu mengakibatkan para petani menjadi tidak bergiat dalam menjalankan pertanian. Kemunduran pertanian semakin parah ketika Pemerintah Jepang banyak merekrut masyarakat yang akan dipekerjakan sebagai Romusha (pekerja paksa) dan tentara militer untuk keperluan perang.

Di wilayah Sumatera Timur, sektor pertambangan yang banyak membantu perekonomian Sumatera Utara juga telah mengalami kehancuran. Tambang minyak di Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu telah dirusak oleh Belanda ketika Jepang memasuki daerah itu. Pengaktifan kembali sebagian dari pertambangan di Sumatera Timur telah diupayakan pemerintah Jepang semasa pendudukannya dengan menggunakan tenaga kerja Jepang dan Indonesia, namun produksi tambang tidak sebanyak sebelumnya akibat proses rehabilitasi yang tidak maksimal. Produksi hasil perkebunan di Sumatera Timur juga merosot akibat terbengkalainya perkebunan. Aktifitas perkebunan terganggu akibat banyak buruh yang direkrut sebagai pekerja paksa dan anggota militer Jepang.


(59)

Penjualan hasil produksi dari sektor pertambangan dan perkebunan di Sumatera Timur harus mengalami berbagai kendala yang begitu berat. Kondisi alat pengangkutan dan jalanan yang rusak parah sejak masa pendudukan Jepang mempersulit pengangkutan produksinya. Selain itu proses ekspor hasil tambang dan perkebunan juga terganggu akibat blokade ekonomi yang dilancarkan pihak Belanda

yang mulai beraksi sejak November 1945.64 Blokade itu dilakukan Belanda dengan

alasan mencegah masuknya senjata dan peralatan mliter ke Indonesia yang dapat memperkuat perlawanan-perlawanan pihak Republik dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan wilayahnya. Alasan lain Belanda melakukan blokade ekonomi ialah mencegah pengeluaran hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya serta melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan dan

perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh bukan bangsa Indonesia.65 Blokade

ekonomi yang dilakukan Belanda mengharuskan semua barang yang keluar dan masuk ke wilayah Indonesia harus memiliki lisensi Belanda dan diperiksa pada tempat-tempat tertentu.

Kondisi perekonomian di Tapanuli juga sangat memprihatinkan, selama tiga tahun di bawah pendudukan Jepang tidak ada barang impor yang masuk ke Tapanuli. Barang-barang peninggalan Belanda semuanya telah dikuasai oleh Jepang dalam pendudukannya. Memasuki masa penyerahan Jepang terhadap sekutu, persediaan

64

Kepolisian Negara RI No. 780 (ARNAS) 65

Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hlm. 173.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)