Biografi Ibn Atha’illah

51 1288 M, tokoh yang menggantikan al-Syadziliyah sebagai mursyid setelah al- Syadzili wafat pada 1258 M. Ibn Atha‟illah adalah seorang ahli hukum Malikiyah yang termasyhur, walapun usianya masih muda. Semula ia menginginkan aktifitas mengajar hukum dan kesibukan dunia lainnya, tetapi al-Musri melarangnya, karena tidak ada halangan bagi pengikut Syadziliyah untuk tetap beraktifitas sosial di masyarakat. Ia pun tetap mengajar fikih menurut Mazhab Malikiyah di Universitas al-Azhar Kairo, dan Madrasah al- Mashuriyah Kairo yang didirikan Sultan al-Mansur Sayf al-Din Qalawun 678- 689 H di lingkungan kesultanan. Ibn Atha‟illah berguru kepada al-Musri dan selalu bersamanya selama dua belas tahun samapi gurunya wafat. Saat gurunya masih hidup, ia menulis kitab pertamanya yang sangat terkenal yaitu al-Hikam. Pada fase ketiga , Ibn Atha‟illah pindah dari Iskandariah ke Kairo, setelah gurunya yaitu al-Musri meninggal dunia pada 686 H 1288 M di Iskandariyah dan ia menggantikan posisi gurunya sebagai pemimpin Tarekat Syadziliyah dan tetap mengajar hukum. Muridnya banyak yang menjadi ulama besar, ahli tasawuf dan ahli fikih, antara lain Imam Taqiy al-Din al-Subki w. 756 H, ia adalah ayah dari Taj al-Din al-Subki w. 771 H pengarang Kitab Tabaqat al- Syafi‟iyyah al-Kubra. Dawud ibn Umar ibn Ibrahim al-Syadzili yang dikenal dengan nama Dawud al-Bakhli w. 733 H pengarang Kitab al- Latifa‟a al- Mardiyyah bi Syarh Hizb al-Syadziliyyah dan Syaikh Abu al-Hasan Ali al- Qarafi. 3 3 Ilyas Ismail, Asep Usman Ismail, Hamdani Anwar, Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008, cet. Ke 1, hal. 528. 52 Karya- karya Ibn Atha’illah Adapun karya-karya Ibn Atha‟illah adalah rangkaian ajaran-ajaran al- Syadzili dan al-Musri, yaitu Kitab al-Hikam yang berisi 264 hikmah spiritual aphorism. 1. Al-Hikamadalah kitab yang ditulisnya pada masa gurunya al-Musri masih hidup, dan ditulis dengan sistematis yang berisi tentang masalah-masalah tasawuf yang cenderung bercorak Ghazalian. Kitab al-Hikam adalah karyanya yang pertama yang ditulis dengan gaya bahasa yang indah dan menarik dalam bentuk ungkapan-ungkapan hikmah, pepatah, dan perumpamaan. 4 Salah satu contoh isi pokok hikmahnya yaitu:  “Ada orang yang nur kecerahan hati-nya mendahului zikirnya. Ada orang yang zikirnya mendahului nurnya. Ada pula orang yang nurnya berbarengan dengan zikirnya. Dan ada pula orang yang tanpa zikir dan tanpa nur kita berlindung kepada Allah dari hal ini”. 5 Al-Hikam disajikan dalam tiga bagian: pertama, tentang ungkapan- ungkapan hikmah spiritual aphorism; kedua, tentang risalah yang ditulis Ibn Atha‟illah untuk menjawab pertanyaan para muridnya; dan yang ketiga, adalah tentang doa-doa kepada Allah munajat. Ungkapan- ungkapan hikmah tersebut berjumlah 264 pepatah aphorism. Kitab tersebut menjadi pegangan dan rujukan para sufi berikutnya, terutama para murid Tarekat Syadziliyah untuk menyebarkan ajaran-ajarannya. 4 Ilyas Ismail, Asep Usman Ismail, Hamdani Anwar, Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008, cet. Ke 1, hal. 528 5 Fadhlala Haeri, Al- Hikam Rampai Hikmah Ibn Atha‟illah, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006, cet. 1, hal. 348. 53 2. Lata‟if al-Minan fi Manaqib al-Syaykh Abu al-Abbas al-Mursi wa Syaikhuh Abu Hasan al-Syadzili, yang berisi manaqib biografi dua pendahuluannya, yaitu Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili dan Syaikh Abu Abbas al-Mursi. Kitab tersebut juga berisi kesaksian terhadap kewalian al- Syadzili, penafsiran al-Syadzili terhadap ayat-ayat al- Qur‟an, hadis, dan ungkapan para ahli tasawuf ahwal al- haqa‟iq. Kitab Lata‟if al- Minanjuga dilengkapi dengan bacaan zikir-zikir al-Syadzili, doa-doanya, hizib-hizibnya, dan diakhiri dengan wasiatnya kepada saudaranya di Iskandariyah. 6 Contoh isi pokok kitab ini: Artinya: Ketahuilah, bahwa Allah Swt menyimpan segala cahaya rahasia malakut alam langit di segala macam bentuk taat ibadah. Karena orang yang tertinggal dari melakukan satu macam ibadah saja atau dia miskin dari melakukan ibadah sejenis, maka dia akan kehilangan suatu cahaya besar ibadah yang dia tinggalkan, oleh karenanya sedikitpun janganlah menunda dari melakukan ibadah jangan merasa cukup melakukan Wiid amal sholeh untuk mendapatkan Warid pahala atau karunia Allah. 3. Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah berisi metode zikir sufi yang sangat sistematis, antara lain, berisi dalil dari hadis Nabi SAW tentang zikir, macam-macam zikir seperti zikir keras al-Jahr, zikir sembunyi dan rahasia khafi dan sirri, keutamaan zikir, adab zikir, zikir dengan nama- nama indah Tuhan asma‟ husna‟, metode zikir la ilaha illallahnaïf 6 Ilyas Ismail, Asep Usman Ismail, Hamdani Anwar, Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008, cet. Ke 1, hal. 529. 54 isbat, metode zikir ahli tasawuf, dan dilengkapi dengan sedikit pembahasan tentang tauhid dan ma‟rifah. 4. Al-Tanwir fi Isqat al-Tadbir berisi tentang kebajikan dalam perspektif tasawuf. Kitab ini berisi penjelasan dari dalil Al- Qur‟an dan hadis, yaitu bahwa rekayasa atau keinginan keras manusia al-tadbir adalah tidak berdaya di hadapan Tuhan. Menurut pandangan Ibn Atha‟illah, pekerjaan atau rezeki seseorang sesungguhnya tealh ditentukan Allah. Broekelman melihat, bahwa Kitab al-Tanwir fi Isqat al-Tadbir mengandung anjuran kepasrahan kepada Allah tawakkal secara sempurna dan menunjukkan jalan untuk sampai kepada-Nya. 5. Al-Qasd al-Mujarrad fi Ma‟rifah al-Ism al-Mufrad berisi teori metafisi; nama-nama ilahi al- asma‟ al-husna‟. Pada bab pertama kitab tersebut berisi, antara lain asal-usul nam Tuhan, macam-macamnya, rincian hurufnya, hubungannya dan hokum-hukumnya, nama-nama yang sifat Zat- Nya kekal qadim, dan yang bersifat disucikan tanzih. Bab kedua, antara lain berisi pengetahuan keutamaan nama-nama Tuhan, kemuliaanya, menjelaskan arti-arti rahasinya, faedah-faedah khusus, dan zikir dengan nama-Nya. 6. Taj al-Arus al-Hawi li al-tahdzib al-Nufus, yang merupakan ringkasan Kitab al-Hikam, al-Tanwir, dan al- Lata‟if. Isi kitab tersebut, antara lain berupa keutamaan membaca shalawat Nabi SAW, tobat, ikhlas, taat, nikmat Allah pada hamba-Nya, perbedaan antara orang yang berbahagia dan celaka, akibat maksiat, akhir hayat yang baik su‟al-khatimah ahli 55 ma‟rifah, rendah hati al-Tawadu‟, sombong al-Kibr, hati orang mukmin, salat, ilmu, wali Allah, rezeki, rekayasa diri manusia terhadap dunia, yang diakhiri dengan munajat kepada Allah. Ustadz Ali Hasan al- Arid telah menulis sebuah Kitab yang berjudul Bahjat al-Nufus li ibn Atha‟illah al-Iskandari yang berisi penjelasan hal-hal penting dalam Kitab Taj al-Arus al-Hawi li al-tahdzib al-Nufus untuk memudah-kan memahaminya. 7

B. Kandungan dan Tujuan Kitab Al-Hikam karya Ibn Atha’illah

Di dalam kitab ini al-Hikam , Ibn Atha‟illah menguraikan pandangan atau penjelasannya tentang inti ketauhidan dan akhlak tasawuf Islam. Ibn Atha‟illah mengungkapkannya secara singkat, padat dan amat dalam. Bagaimana seorang hamba mengawali perjalanan rohaninya hingga mencapai puncak tujuannya. Apakah yang mesti dilakukan da etika yang harus dipegang teguh dalam perjalanannya, ketika matahari hatinya terbit menyibak rahasia- rahasia kegaiban, menembus batas-batas pembantas, melakukan perjalanan di alam gaib dan malakut sehingga terlihatlah berbagai pemandangan akan keajaiban dan keagungan, serta ketika hijab antara dia dan Allah telah tersingkap, sehingga bisa bermuwajahah tatap muka dalam sebuah perjumpaan yang sangat intens tak terbatas oleh ruang dan waktu, tenggelam dalam kepungan nur rahmat Allah yang meliputinya. 7 Ilyas Ismail, Asep Usman Ismail, Hamdani Anwar, Ensiklopedi Tasawuf, Bandung: Angkasa, 2008, cet. Ke 1, hal. 530 56 Pengungkapan dan penuturan Syaikh Ibn Atha‟illah di dalam Kitab ini, sungguh amat tajam dan mengenai sasaran, menembus hati nurani manusia yang paling dalam. Sebagai bimbingan pada pembentukkan kehalusan budi pekerti dan pensucian hati nurani. Kebersihan dan kesucian hati, mutlak diperlukan bagi setiap hamba yang menempuh perjalanan rohani menuju perjumpaan kehadirat Illahi. Baik oleh seorang sang salil yang menapaki jalan pendakian ke atas menuju kepada Allah; maupun oleh orang jadzab atau madjzub , yaitu seorang hamba yang serta merta secara tiba-tiba terseret oleh arus kuat anugrah besar menuju perjumpaan hingga berlabuh kehadhiratul Qudsi atau orang yag ditatik keharibaan Allah SWT tanpa melalui proses suluk.. 8 Dalam kitab ini pun dikemukakan tentang pandangan yang sesungguhnya bagaimana seharusnya akhlak seseorang yang menjadi hamba Allah Swt, bagaimana cara mengenal Allah atau dengan istilah para Ulama adalah “Makrifat kepada Allah Swt” Mengenal Allah SWT dengan penglihatan hati, yang merupakan terbukanya hijab untuk mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dan lain sebagainya. 9

C. Corak Ketasawufan Ibn Atha’illah

Tasawuf adalah nama lain dari “Mistisme Islam‟. Di kalangan Orientalis Barat dikenal dengan sebuta n “Sufisme” Kata “Sufisme” 8 Syamsi Hasan-Drs. Aswadi M.Ag, Menyelam ke Samudera Ma‟rifat Hakekat, Surabaya: Amelia, 2006. 9 Ahmad Daerobiy, Syarah Al-Hikam penjelasan Abdullah Asy-syarqawiy, jakarta: Darul Ulum Press, 2009, hal. 1. 57 merupakan istilah khusus mistisme Islam. Sehingga kata “Sufisme” tidak ada pada mistisme agama-agama lain. Tasawuf atau mistisme dalam Islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan” menjauhi kemewa han duniawi, dalam bentuk “tasawuf amaliakhlaki” kemudian “tasawuf falsafahfalsafi”. 10 Dalam sejarah perkembangannya, para ahli tasawuf membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku tasawuf akhlaki dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam tasawuf falsafi. Kedua orientasi tasawuf tersebut didasarkan atas kecenderungan ajaran yang dikembangkannya, yakni kecenderungan pada perilaku atau moral keagamaan dan kecenderungan pada pemikiran. Dua kecenderungan ini terus berkembang hingga menjadi jalan sendiri-sendiri yang akhirnya menjadi corak tasawuf tersendiri. Dengan munculnya para sufi yang juga filosofi, orang mulai membedakan dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yakni tasawuf akhlaqi, kemudian tasawuf akhlaki ini identik dengan tasawuf sunni. Hanya saja titik tekan penyebutan tasawuf sunni dilihat pada apa yang dilakukan oleh sufi-sufi yang memagari tasawufnya dengan al- Qur‟an dan al-Sunnah. Dengan demikian corak tasawuf menjadi dua: tasawuf sunni yang lebih mengkokohkan akhlak dan tasawuf falsafi yaitu tasawuf yang menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofi dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya shathahat. Tasawuf akhlaki sunni diwakili oleh para sufi dari abad ketiga 10 Mustafa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997, cet ke-4, hal. 206-207.