dan umumnya bagi anak bangsa dari berbagai Agama, berbagai suku, merasa kehilangan Cak Nur dalam arti yang sebenarnya, demikian sahabatnya Amin Rais
mengungkapkan.
26
Pemikiran-pemikiran Cak Nur terasa masih menggema di kalangan akademisi maupun kalangan ilmuwan, karena banyak dari pemikirannya
masih tetap dan terus diperbincangkan, dikritisi dan diaktualisasikan dalam kehidupan selanjutnya, entah itu dalam kancah perpolitikan maupun sosial
keagamaan.
B. Corak Pemikiran dan Konteks Sosio-Kultural Indonesia
Telah banyak orang tahu, bahwa prestasi Nurcholish lebih banyak terukir di pentas pemikiran. Terutama pemikirannya tentang Demokrasi, Pluralisme,
Humanisme dan Modernisme. Keyakinannya dalam memandang modernisasi atau modernisme bukan sebagai Barat, modernisme bukan Westernisme. Bagi Cak
Nur, modernisme adalah sama halnya dengan demokrasi rasionalisasi sebagai gejala Global. Gagasan Nurcholish tentang Pluralisme telah menempatkannya
sebagai intelektual muslim garda depan, pluralisme dalam bingkai Civil Society dan peradaban, terlebih di saat kondisi Indonesia sedang terjerumus dalam
berbagai kemerosotan dan juga ancaman disintegrasi bangsa. Cak Nur pun pernah menyatakan, “jika bangsa Indonesia ingin membangun peradaban, pluralisme
adalah inti dari nilai keadaan itu, termasuk di dalamnya, penegakan hukum yang adil dan pelaksanaan hak azasi manusia,” dengan kata lain bahwa membangun
26
Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual, h. 79.
sebuah peradaban dalam bangsa yang majemuk tidak akan terlaksana tanpa memperioritaskan paham pluralisme dalam masyrakat dan sistem kenegaraan.
27
Corak pemikiran Nurcholish selalu dalam konteks keindonesiaan, kendati ia pernah nyantri di Chicago namun tetap saja tema besar yang ia bawa tak pernah
lepas dari pandangan dan pemikiran-pemikirannya selalu dalam lingkaran konteks keindonesiaan. Juga wawasannya dalam keagamaan, teori sosial, filsafat dan
politik masih berada dalam bayangan keindonesiaan. Sepak terjang pemikiran Cak Nur dimulai ketika ia aktif di HMI dan
menjadi imam HMI selama dua periode, sebab itulah kesediaan Cak Nur untuk menjadi imam HMI yang kedua kalinya membuat geram dan kecewa para tokoh
senior HMI lainnya, salah satunya adalah Ahmad Wahib dan Djohan Effendi. Sehingga keduanya menjadi oposan dan memutuskan untuk keluar dari HMI.
Perjalanan pemikirannya berlanjut ketika HMI gabungan dan PII juga GPII mengadakan halal bi halal. Pada acara itu, Nurcholish Madjid mendapat
kesempatan ceramah di hadapan para aktivis dan ilmuwan. Merupakan kebanggaan tersendiri bagi Cak Nur bisa mendapat kesempatan itu yang
sebelumnya penceramah Dr. Alfian, peneliti LIPI dan kalangan dari PII Pemuda Islam Indonesia berhalangan hadir hingga akhirnya terpilih Cak Nur untuk
menggantikannya. Di saat ceramah itulah dari dua bibir Cak Nur keluar kata-kata yang sangat menggegerkan dan controversial, yakni slogan “Islam Yes, Partai
Islam No.” Ungkapan itu mengisyaratkan penolakannya terhadap apa yang kemudian dikenal sebagai Islam Politik.
27
Marwan Saridjo, Cak Nur diantara Sarung dan Dasi, h. 18.
Pada tahun 1972, Nurcholish diminta memberikan pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki dalam sebuah forum Intelektual dan Kebudayaan yang
sangat bergengsi dan prestisius itu. Dalam pidato itu, Cak Nur mempresentasikan posisi ide liberalnya, oleh sebab itulah HM. Rasjidi tergerak untuk menulis buku
kritikan terhadap Cak Nur yang baginya pemikiran-pemikirannya telah banyak dipengaruhi oleh pemikiran Barat.
Hakikatnya pemikiran-pemikiran Nurcholish penekanannya lebih kepada konteks Islam keindonesiaan,
28
yakni mengemas doktrin Islam yang menghormati kemajemukan dan beragamnya visi dan misi dalam pemikiran individu maupun
statement yang sudah menjadi konsensus dalam tiap-tiap komunitas. Nurcholish menghendaki kepada seluruh umat muslim Indonesia agar
menyikapi keragaman Etnis, Budaya dan yang paling utama perbedaan keyakinan untuk lebih arif dan bijaksana serta proporsional. Sebagai seorang muslim
tentunya kenal dan sudah paham terhadap fungsi ajaran umat Islam yang terkandung dalam rangkaian huruf ayat-ayat Alquran, hanya saja kaum muslimin
tinggal berupaya mengaktualisasikan pesan Tuhan yang terdapat dalam kitab suci Alquran di kehidupan nyata. Baginya agama hanya akan dipandang benar bila
memiliki komitmen emansipatoris dan solidaritas kemanusiaan,
29
dalam pemahaman lain bisa diuraikan bahwa agama memiliki kemampuan
membebaskan manusia dari kungkungan zamannya, seperti penindasan, kebodohan, keterbelakangan dan yang senada dengan itu.
28
Islam keindonesiaan yang berkembang pada saat Nurcholish hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan upaya merefleksikan ajaran Islam dalam konteks kekinian dan
keindonesiaan.
29
Nurcholish Madjid, Islamic Roots of Modern Pluralism: Indonesia Experience, Studia Islamika vol. I, UIN Jakarta, 1984.
Menurut Nurcholish, modernisasi adalah sesuatu yang bersifat rasional, ilmiyah dan sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku di alam. Baginya
modernisasi adalah suatu keniscayaan karena itu bagian dari perintah Tuhan Yang Maha Esa, Cak Nur menjelaskan bahwa modernitas atau sikap modern
mengandung arti yang lebih mendalam lagi, yakni pendekatan kepada kebenaran Mutlak, jadi modernitas berada dalam suatu proses yaitu proses penemuan
kebenaran-kebenaran yang relatif menuju penemuan kebenaran yang Mutlak yakni Allah SWT.
Untuk dapat melihat Neo-Modernisme yang di gulirkan Nurcholish Madjid, kita dapat melihatnya dengan hasil pemikirannya tentang peradaban Islam
dan Modernisme Islam. Ia juga sangat intens terhadap persoalan keimanan tauhid, akhlak, fiqih dan tasawuf yang kesemuanya bagian dari kajian
keislaman. Menurutnya, tantangan yang paling berat bagi orang yang beragama adalah syirik atau politeisme bukannya ateisme, karena syirik memberikan
peluang penyerahan kepada selain Tuhan Yang Maha Esa. Nurcholish mengingatkan bahwa manusia mempunyai hawa al nafs yang
kerap kali membuat kita angkuh atau arogan, sehingga menuhankan diri kita sendiri. Agar kita dapat menghindarinya dari itu semua manusia harus melakukan
pembebasan diri, karena pembebasan ini akan membawa kepada kerendahan hati sehingga akan menjadi orang yang selalu dalam ketakwaan, taat kepada Allah
SWT ataupun kepada sesame makhluk. Melihat pada konteks keindonesiaan, amatlah tidak mungkin bagi
masyarakat Indonesia untuk mengelak dari masuknya kultur luar yang semakin
gencar. Unsur-unsur keindonesiaan tidak bisa dipisahkan dengan keislaman ataupun sebaliknya, karena unsur-unsur keindonesiaan dan kemodernan ada dalam
Islam. Tentunya keterkaitan antara keindonesiaan dan kemodernan dengan
keislaman telah terlihat jelas dari beberapa jelas dari beberapa keterangan Nurcholish dalam corak pemikirannya yang terdapat pada sebagian karyanya.
30
Nurcholish mengungkapkan bahwa ide tentang pertumbuhan dan perkembangan dengan sendirinya mengandung makna proses dinamis, tahapan-
tahapan untuk selalu mencari sesuai dengan masanya. Baginya, dalam islam tidak ada penyelesaian satu kali untuk selamanya final, melainkan selalu berubah dan
berbeda pada seiap ruang dan waktu. Bangsa Indonesia harus mampu menyelesaikan masalahnya dengan terlebih dulu menyesuaikan dengan budayanya
masing-masing.
31
Cak Nur ingin memulai islam dalam konteks keindonesiaan dengan rekonstruksi dan reinterpretasi terhadap hukum klasik serta disesuaikan dengan
kebutuhan pada masa kini. Menurutnya, untuk konteks Indonesia sangat mungkin adanya akulturasi islam dengan budaya lokal, sebagaimana yang terdapat dalam
rumusan kaidah Ushul Fiqh bahwa adat atau kebiasaan masyarakat tertentu bisa dijadikan landasan hukum al ‘adatu muhakkamatun, tentunya tidak
bersebrangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Corak keislaman dengan keindonesiaan memiliki kesinambungan pada
ideologi Pancasila, Cak Nur berasumsi bahwa Pancasila sejalan dengan ajaran
30
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixviii.
31
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. IxxI.
Islam. Dari keterangan itu terlihat konsistensi Cak Nur dalam mengedepankan semangat Pluralisme.
Selain dalam corak pemikiran Nurcholish yang keindonesiaan juga terletak dalam pemikirannya yang kekinian atau kemodernan, Nurcholish mencoba
membawa pemahaman Islam dengan semangat kemodernan. Bahkan menurutnya, Islam pada dirinya sendiri secara inheren adalah agama yang selalu modern, kalau
dilihat dalam perspektif sejarah modernisasi adalah aktifitas dan kreatifitas manusia dalam mengatasi persoalan-persoalan dan kesulitan untuk memberi
kemudahan dalam hidup. Nurcholish mengungkapkan betapapun kreatifnya suatu bangsa yang
modern, namun bila dilihat ke belakang modernnya mereka hanyalah sebatas kealnjutan dari berbagai kreatifitas manusia sebelumnya. Modernitas merupakan
suatu perjalanan sejarah yang cukup logis dan tak mungkin terhindarkan, perjalanan modernitas bagi Cak Nur adalah sesuatu yang cukup logis, sehingga
harapan besar akan terjadinya modernitas juga diharapkan pada umat Islam. Berdasar pada pemahaman Nurcholish tentang Islam keindonesiaan dan
kemodernan seperti yang telah dipaparkan sekelumit corak pemikirannya di atas, terlihat bahwa Islam yang fleksibel, mendasar dan lebih menghormati pada nilai-
nilai kemanusiaan masih bisa dijadikan pijakan dasar untuk merekonstruksi paham keagamaan keislaman yang berbasis pada budaya lokal dan nasional
Indonesia.
C. Beberapa Karya Utama