2. Islam dan Musyawarah
Menurut Cak Nur, dalam ajaran Islam , prinsip musyawarah adalah salah satau asas kemasyarakatan yang sedemikian pentingnya. Dikatakan demikian,
lanjut Cak Nur, dikarenakan sampai ada satu surah dalam Alquran yang diberi nama Syûrâ QS. No: 42, yang erat sekali kaitannya dengan musyawarah.
Biasanya, masih menurut Cak Nur, dalam sistem Alquran, hal yang menonjol atau meninggalkan kesan yang mendalam dalam suatu surah, itulah yang digunakan
dasar untuk memberi nama surah yang bersangkutan.
86
Jadi, bagi Cak Nur, prinsip musyawarah adalah salah satu isu sentral yang dibicarakan dalam Alquran.
Karena ia merupakan isu sentral, maka dengan sendirinya prinsip musyawarah merupakan elemen terpenting yang asasi dan harus diwujudkan dalam konteks
kehidupan bermasyarakat. Asumsi yang mendasari bahwa prinsip musyawah sebagai elemen yang
asasi dalam kemasyarakatan tersebut bukanlah tanpa dasar. Salah satu alasannya adalah berangkat dari sebuah premis teologis yang menyatakan bahwa manusia
sejak dalam kehidupannya dalam alam ruhani, berjanji untuk mengakui Tuhan Yang Maha Esa sebagai pusat orientasi hidupnya. Karena manusia sendiri dari
awal telah mengakui Tuhan Yang Maha Esa, hasilnya adalah kelahiran manusia dalam kesucian asal fitrah. Oleh karena kesucian asalnya, maka manusia adalah
makhluk yang hanîf , yakni, selalu merindukan dan secara alami memihak kepada yang benar dan baik. Oleh karena manusia itu fithrî dan hanîf, maka dengan
86
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 252.
sendirinya dia mempunyai potensi untuk benar dan baik sebagai potensi original manusi tersebut yang dibawa sejak lahir.
87
Disebabkan oleh watak dasar manusia yang fithrî dan hanîf tersebut, dengan selalu berpotensi untuk benar dan baik itulah, menjadi dasar hak seseorang
untuk didengar pendapatnya. Kemudian hak itu terefleksikan dalam adanya kewajiban orang lain untuk mendengar. “Didengar” dan “mendengar” inilah dasar
makanisme dan spirit dasar dari musyawarah . Kata musyawarah itu sendiri yang berasal dari Bahasa Arab Musyâwarah,yang secara etimologis mengandung arti
“saling memberi isyarat,” yakni saling memberi isyarat tentang apa yang benar dan baik; jadi bersifat timbal balik.
Namun pertanyaannya kemudian adalah jika masing-masing dari kita bersifat fithrî dan hanîf, mengapa kita tidak cukup dengan diri kita sendiri saja?
Mengapa kita masih perlu dan wajib mendengarkan orang lain? Menanggapi pertanyaan tersebut, Cak Nur menjelaskan, meskipun manusia itu fithrî dan hanîf,
namun dia juga bersifat lemah dan terbatas. Ini, kata Cak Nur, tidak mungkin pasti dan selamanya baik dan benar. Manusia hanya potensial baik dan benar. Maka
agar potensi baik dan benar itu menjadi aktual, seorang manusia tidak bolah hanya mengandalkan kemampuan dirinya sendiri. Dia harus menyertai orang lain dalam
mencari kebenaran dan itulah yang disebut dengan musyawarah.
88
87
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 192-93, dan Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 252.
88
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 253.
Dengan demikian, lebih lanjut Cak Nur menguraikan, musyawarah antara sesama warga masyarakat merupakan hakikat kaum beriman. Hal ini sesuai
dengan apa yang digambarkan dalam Alquran:
89
“Maka apapun yang diberikan kepadamu, hanyalah guna kesenangan hidup di dunia ini, Tapi yang ada pada Allah, lebih baik dan lebih lestari bagi
mereka yang bertawakal kepada Tuhan mereka, dan bagi mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan jika mereka marah tetap
memberi maaf, dan bagi mereka yang menyahut menerima dengan baik seruan Tuhan mereka, lagi pula menegakkan shalat, dan urusan sesama mereka adalah
musyawarah sesama mereka, dan mereka mendermakan sebagian rizki yang Kami anugrahkan kepada mereka, dan bagi mereka yang ditimpa kezhaliman ,
mereka membela diri.” QS. , 42:36.
Karena manusia adalah makhluk sosial, maka berdasarkan ayat tersebut, Cak Nur juga ingin menandaskan bahwa dalam bermusyawarah, sikap terbuka,
lapang dada, penuh pengertian dan kesedian untuk senantiasa memberi maaf secara wajar dan pada tempatnya, merupakan elemen dasar yang harus dimiliki
oleh setiap individu dalam bermusyawarah. Tanpa sikap-sikap terpuji tersebut, maka yang lahir adalah egoisme, otoriterianisme, tiranisme, dan lain-lain yang
serba berpusat kepada kepentingan diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan orang lain.
89
Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, h. 198.
3. Islam dan Partisipasi Politik