Inklusivisme Keagamaan Tauhîd dan Kemanusiaan: 1. Emansipasi Harkat dan Martabat Manusia

2. Inklusivisme Keagamaan

Absennya sikap toleran intra maupun antar ummat beragamayang pada akhirnya melahirkan konflik sosial-keagamaan di negeri ini, sedikit banyak mencerminkan bagaimana bangunan sikap keberagamaan itu sendiri. Apa yang termanifestasikan dalam keseharian seseorang adalah merefleksikan bagaimana pandangan dan pemahaman keagamaannya tersebut. Dengan ungkapan lain, dapat dikatakan bahwa toleran atau tidaknya seseorang yang beragama terhadap pemeluk agama lainnya adalah bergantung kepada inklusif atau eksklusifnya pemahaman keagamaan yang dimilikinya tersebut. Seseorang yang memiliki pandangan inklusif dengan sendirinya ia akan bersikap toleran, baik intra maupun antar umat beragama, sebaliknya, seorang yang eksklusif pun demikian. Ia akan lebih cenderung bersikap intoleran terhadap mereka yang bersebrangan terhadap paham maupun keyakinan agamanya. Terkait persoalan di atas, maka Cak Nur menekankan sekali perlunya paham inklusivisme bagi kaum Muslim. Seperti, toleransi, kebebasan, keadilan dan keterbukaan. Hal ini dikarenakan agama Islam, demikian Cak Nur berargumen, adalah agama universal untuk sekalian umat manusia, yang pada saat bersamaan tanpa harus mengurangi keyakinan seorang Muslim akan kebenaran agamanya. 72 Pokok pangkal kebenaran universal tersebut yang dengan sendirinya juga kebenaran tunggal adalah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid. Konsekuensi terpenting dari kemurnian tauhid ini, demikian Cak Nur berujar, 72 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 178-79. ialah pemutusan sikap pasrah sepenuhnya hanya kepada Allah; Tuhan yang Maha Esa, tanpa kemungkinan memberi peluang untuk melakukan sikap mendasar serupa kepada sesuatu apapun selain diri-Nya. Inilah al-Islâm, yang menjadi intisari semua agama yang benar, demikian dengan tegas Cak Nur berucap. 73 Dalam pada itu, bagi Cak Nur dengan mengutip pandangan Ibn Taymiyyah 74 hal itu juga menunjukkan bahwa al-Islâm dalam maknanya yang generik juga adalah inti dan saripati semua agama para nabi dan rasul. al-Islâm adalah spirit dasar dari kebertauhidan seorang Muslim yang dalam konteks formal keagamaan diwujudkan dengan tidak menyembah kepada siapapun selain diri-Nya, Dzat Yang Maha Esa. Jadi, bagi mereka sekalipun secara formal adalah seorang muslim, tapi jika dalam kehidupan praksis kesehariannya bertentangan dengan semangat tauhid atau al-Islâm itu sendiri, maka ia bukanlah Muslim sejati dan dengan sendirinya tertolak. Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut, maka menurut Cak Nur, Alquran mengajarkan paham kemajemukan keagamaan dalam artian bahwa semua agama diberi kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok. Bagi Cak Nur, semua agama pada prinsipnya mempunyai dasar yang sama, yaitu keharusan manusia berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga semuanya akan bermuara kepada satu ‘titik pertemuan common platform,’ yang 73 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 181. Lihat juga, Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001, h. 21-24. 74 “Oleh karena pangkal agama, yaitu “al-Islâm”, itu saatu, meskipun syariatnya bermacam-macam, maka nabi s.a.w. bersabda dalam hadits shahih, “Kami, golongan para nabi, agama kami adalah satu,” dan “para nabi itu semuanya bersaudara, tunggal ayah dan lain ibu,” dan “ Yang paling berhak kepda ‘Îsâ putera Maryam adalah aku.”Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182. dalam istilah Cak Nur disebut “kalimah sawâ’.” 75 Pandangan Cak Nur ini didasarkan dari Firman Tuhan: “Katakanlah,”Hai Ahli Kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat ketetapan yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu apa pun dan sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagi Tuhan selain Allah...” QS. 3:64. Lebih jauh lagi, dengan mengutip firman Tuhan lain, yang berbunyi,” Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata berbeda kebenaran dari kesesatan. Barang siapa menolak tirani dan percaya kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang kukuh yang tidak akan lepas. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” QS. 2:256. Cak Nur menegaskan bahwa pemaksaan agama terhadap orang lain kepada agama tertentu merupakan tindakan yang sangat dilarang dan bertentangan dengan ajaran dasar Islam itu sendiri. Bagi Cak Nur, berdasarkan ayat tersebut, manusia harus diberikan kebebasan untuk memilih suatu agama. Hal ini dikarenakan manusia sudah dianggap dewasa, sehingga dapat menentukan jalannya sendiri yang benar dan tidak perlu dipaksa-paksa. 76 Dengan kata lain, manusia saat ini adalah mereka yang telah tercerahkan serta mempunyai kemampuan dan tanggung jawab sendiri berdasarkan rasionalitas dan pengetahuannya. Dengan demikian, dalam pandangan Cak Nur, bersikap inklusif dalam bermasyarakat adalah sebuah keharusan dan keniscayaan teologis dari nilai-nilai dasar ajaran Islam itu sendiri. Toleransi, kebebasan, keterbukaan dan keadilan 75 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h.184. 76 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, h. 218. yang kesemua itu merupakan sisi dasar kemanusiaan kita hanya mungkin termanifestasikan melalui pandangan dan sikap yang inklusif sebagai konsekuensi logis dari paham ketauhidan kita.

3. Meneguhkan Keadilan Sosial