3. Islam dan Partisipasi Politik
Karena hakikat manusia pada dasarnya adalah cenderung ke arah kebenaran dan kebaikan hanîf. Dan pada saat yang bersamaan juga lemah dan
terbatas, sehingga memungkinkan ia berbuat hal-hal yang destruktif. Maka diberikanlah oleh Tuhan akal-pikiran dan kemudian agama agar dapat
membedakan antara yang benar dan palsu, sehingga dengan sendirinya manusia memiliki kebebasan dan hak untuk memilih jalannya sendiri, sekaligus
bertanggung jawab atasnya di hadapan Tuhan kelak. Berangkat dari premis-premis dasar di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa kebebasan untuk memilih jalan tertentu sekaligus mempertangung jawabkannya merupakan hak asasi dasar manusia yang tidak boleh diingkari oleh
siapa pun, seperti hak untuk mengekspresikan pikiran dan pilihan politiknya, termasuk menyangkut masalah keyakinan agama.
Kenyataan tersebut telah dibuktikan dan dicontohakan oleh Nabi SAW sendiri. Salah satunya adalah ketika Nabi SAW menempatkan pasukan sahabat
beliau pada suatu posisi sewaktu Perang Badar, kemudian al-Hubâb ibn al- Mundzir ibn al-Jamûm seorang shahabat bertanya, “Ini perintah yang diturunkan
Allah kepada engkau ataukah pendapat dan musyawarah?” Nabi menjawab, “Ini hanyalah pendapat dan musyawarah.” Maka dia al-Hubâb menyarankan kepada
beliau Nabi posisi lain yang lebih cocok untuk kaum Muslim, dan beliau menerima sarannya itu.
90
90
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 561.
Berdasarkan contoh kasus tersebut, menunjukkan bahwa Nabi SAW telah meletakkan dasar-dasar sistem sosial-politik yang terbuka, yang memberi
keluasan bagi adanya partisipasi warga masyarakat kaum beriman. Hal ini tentunya tidak lepas dari sifat watak dasar Islam itu sendiri yang sangat terbuka
dan toleran terhadap kebenaran yang datang dari luar dirinya. Inilah yang membuat R. N. Bellah, salah seorarang sosiolog agama kenamaan menyebut
masyarakat Islam paling dini tersebut modern.
91
Modern karena tingkat partisipasi politik yang terbuka dan tinggi dari seluruh jajaran anggota masyarakatnya. Juga
keterbukaan dan kemungkinan posisi pimpinan masyarakat itu untuk diuji kemampuan mereka berdasarkan ukuran-ukuran universal berlaku bagi semua
orang, yang dilambangkan dalam usaha melembagakan kepemimpinan tidak berdasarkan keturunan sebagaimana bangsa Arab Jahiliyyah, tapi pemilihan
apapun bentuk teknisnya saat itu. Tentunya, partisipasi politik kaum Muslim tersebut tidak mungkin
terwujud, jika nilai dasar dari pandangan Islam itu sendiri bersifat partikuar dan tertutup terhadap kebenaran-kebenaran yang datang dari luar lingkungannya. Oleh
sebab itu, menurut Cak Nur, pandangan tentang masyarakat Islam “modern” tersebut, sebagaimana digambarkan R. N. Bellah, pada hakikatnya berpangkal dari
pandangan hidup tauhid. Salah satu implikasi pokok dari tauhid ialah pemusatan kesucian hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan pelepasan kesucian itu
dari segala sesuatu selain Allah. Dalam konteks bangsa Arab, ujar Cak Nur, di zaman Nabi SAW. Pandangan ini berakibat dilepaskannya nilai kesucian dari
91
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 559.
pandangan kesukuan dan kepemimpinan kesukuan.
92
Maka dengan dasar pandangan tauhid itu manusia dibebaskan dari mitologi-mitologi, sehingga segala
sesuatu selain Allah, termasuk kepemimpinan dalam masyarakat, menjadi sasaran sikap, telaah dan kajian terbuka.
Dengan ungkapan lain, watak masyarakat Muslim yang terbuka, egaliter dan memiliki kesadaran partisipasi politik yang tinggi tersebut
yang dalam istilah Bellah disebut “modern”
tanpa ada ajaran pokok yang menopang dan mendorongnya mustahil terwujud. Artinya, tauhid-lah yang membuat kenyataan
itu menjadi mungkin dan terwujud.
D. Evaluasi-Kritis Konsep Tauhid-Humanis Nurcholish Madjid