Riwayat Hidup SKETSA BIOGRAFIS NURCHOLISH MADJID

1 11

BAB II SKETSA BIOGRAFIS NURCHOLISH MADJID

A. Riwayat Hidup

Nurcholish Madjid adalah seorang Intelektual Muslim garda depan, dan juga seorang guru bangsa yang mampu mengemas Islam dalam denyut humanisme serta humanitas, 16 sehingga benih-benih pemikirannya banyak dijadikan solusi oleh sebagian masyarakat Indonesia atas masalah-masalah kemanusiaan maupun keagamaan. Nurcholish Madjid dilahirkan di sudut kampung kecil Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Tepatnya pada tanggal 17 Maret 1939 M 26 Muharram 1358 H. 17 Cak Nur ―biasa disapa―genap pada usia 66 tahun kembali ke pangkuan Ilahi, Senin 29 Agustus 2005, bertepatan dengan tanggal 24 Rajab 1426 H, pukul 14. 05 WIB. 18 Sebelumnya Cak Nur menjalani operasi lever di Cina dan dilanjutkan ke Rumah Sakit Singapura, sampai ia kembali menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pondok Indah hingga akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya. 19 Sebagaimana anak-anak pada umumnya kala itu, Nurcholish oleh ayahanda tercinta Abdul Madjid dan ibundanya Nyai Fathonah disekolahkan di Sekolah Rakyat SR yang dilaksanakan pada pagi hari dan sore harinya Cak Nur belajar di Madrasah al-Wathoniyyah yang didirikan oleh ayahnya sendiri, 16 Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi Guru Bangsa, Jakarta: Paramadina, 2005, cet. I, h. X. 17 http:id.wikipedia.orgwiki:Nurcholish Madjid. 18 Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual: Mengiringi Guru Bangsa,,h. 1. 19 http:www.tokoh Indonesia.comensiklopedianNurcholish-Madjidindexs.shtml bertempat di kediamannya di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. 20 Sejak di Madrasah itulah Abdul Madjid salah seorang murid kesayangan KH. Hasyim Asyari mengetahui kecerdasan otak anaknya dari beberapa prestasi pelajaran yang sering mendapat nilai tertinggi di sekolahnya, tentunya ini sangat membuat bahagia hati sang ayah atas prestasi anaknya dalam menjalankan tugas sebagai seorang pelajar. Setelah tamat dari sekolah dasarnya pada usia 14 tahun lebih kurang, atau sekitar tahun 1955 sang ayah menganjurkan untuk melanjutkan pendidikannya di Daar al-Ulum Rejoso Jombang, Cak Nur pun yang memiliki cita-cita menjadi seorang Masinis kereta api itu mematuhi apa yang dianjurkan ayahnya. Tapi selang dua tahun kemudian, Nurcholish merasa tidak kerasan di Pesantren yang tidak begitu jauh dari tempat kediamannya itu. Konon tidak betahnya Nurcholish dikarenakan sering ia mendapat ejekan dari teman-temannya, sebagian guru- gurunya dan juga sebagian orang di Desanya; “masa anak tokoh Masyumi mondok di Pesantren NU sih.. yang santrinya dan juga guru-gurunya pakai sarung?”. demikian ungkapan yang sering terlontar padanya. Cak Nur pun merasa tidak nyaman dengan adanya kata-kata ejekan itu, akhirnya ia dipindahkan ke KMI kulliyyatul Mu’allimin al-Islamiyyah Pesantren Daar as-Salam Gontor Ponorogo, 21 sebuah institusi pendidikan yang menghargai pluralitas madzhab dan juga sistem pendidikan satu-satunya di Pulau Jawa yang telah menerapkan pendidikan sistem modern yang seirama dengan perkembangan zaman, karena 20 Marwan Saridjo, Cak Nur: Di antara Sarung dan DasiMusdah Mulia tetap Berjilbab Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2005, cet. I. hal. 2-3. 21 Marwan Saridjo, Cak Nur: Di antara Sarung dan DasiMusdah Mulia tetap Berjilbab, h. 4. pesantren Daar as-Salam mengajarkan dua bahasa bertarap Internasional, yakni bahasa Inggris dan bahasa Arab. Dan tidak lagi kegiatan belajar mengajarnya menggunakan sistem tradisional seperti sorogan. Kemudian Cak Nur melanjutkan pendidikannya ke salah satu perguruan tinggi di Jakarta yang sekarang berubah nama menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dulu IAIN setelah mengakhiri pendidikan pesantrennya, yang selesai pada tahun 1961. Ia masuk pada Fakultas Sastra dan Peradaban Islam, Jurusan Sastra Arab. Hingga pada tahun 1968 ia menyandang gelar Sarjana Muda dengan predikat terbaik tentunya setelah melalui kerja keras dan sungguh-sungguh serta keuletannya dalam belajar sebagai seorang pelajar yang sadar akan statusnya itu. Semenjak menjadi mahasiswa, Nurcholish Madjid seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan kemahasiswaan dan ia ―secara langsung maupun tidak langsung ―mampu menunjukkan kemampuan akademisnya itu pada dirinya, keluarganya, juga teman-teman sepejuangannya. Beberapa gerakan kemahasiswaan yang ia geluti adalah HMI Himpunan Mahasiswa Islam cabang Ciputat, sampai akhirnya ia terpilih menjadi ketua umum PB HMI selama dua periode langsung, yakni tahun 1966-1969 dan 1969-1971. selain di HMI, ia juga aktif di Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara PEMIAT, kiprahnya di persatuan itu menjabat sebagai presiden pertama tahun 1967-1969, ia menjabat di persatuan ini sampai ia selesai kuliahnya 1968. Keaktifannya dalam sebuah organisasi terus ia geluti, karena baginya sebuah organisasi merupakan medium pencerdasan generasi penerus perjuangan bangsa Indonesia, dan selain itu juga baginya peran sebuah organisasi adalah sebagai wadah untuk pengembangan diri dan sarang latihan menjadi seorang pemimpin. 22 Julukan Intelektual Muda telah melekat dalam diri Cak Nur, dikarenakan gagasan-gagasannya yang brilian tentang keagamaan banyak yang dianggap sebagai alternatif pencerahan intelektual dan yang selalu menjadi cubitan kecil dalam pemahaman tokoh keagamaan. Cak Nur punya keinginan melanjutkan studinya untuk menambah khazanah keilmuannya, Cak Nur pun menemukan jalan licin ketika tahun 1973 dua orang intelektual sekaliber internasional berkunjung ke Indonesia dalam rangka mencari peserta seminar dan loka karya, 23 dengan tema “Islam dan Tantangan Peradaban ke Depan”, yang bertempat di University of Chicago, yang dipromotori oleh Ford Fondation. Nama kedua intelektual itu adalah Fazlur Rahman dan Leonard Binder. Sebelumnya kedua intelektual itu telah memilih HM. Rasjidi tokoh Masyumi sebagai peserta loka karya dan seminar itu, namun karena umurnya yang tidak lagi muda maka pilihan pun beralih pada aktivis HMI itu, yakni Nurcholish Madjid. Pilihan kedua intelektual itu tidak serta merta beralih begitu saja, tentunya Nurcholish menjadi alternatif dari pilihan itu berkat pemikiran-pemikirannya yang selalu dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan, juga gagasan keagamaannya keislaman yang membuat namanya dikenal banyak orang khususnya kaum akademisi. 22 Muhammad Wahyuni Nafis dan Achmad Rifki, Kesaksian Intelektual, h. 223. 23 Greg Berton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2000, cet. I, h. 84. Untuk menjadi peserta seminar dan loka karya di Negeri Paman Sam itu Nurcholish harus terlebih dulu menjadi Pegawai Negeri Sipil PNS 24 sebagai persyaratan menjadi peserta. Setelah persyaratan itu terpenuhi dan keadaan fisik pun memadai akhirnya berangkatlah anak bangsa yang berprestasi itu ke Luar Negeri untuk menambah khazanah keilmuan dan pengalamannya. Program seminar dan loka karya telah usai, timbullah keinginan Cak Nur untuk tinggal lebih lama di Chicago untuk menimba ilmu di sana, Cak Nur pun memohon pada Leonard binder salah satu intelektual panitia loka karya dan seminar untuk melanjutkan studinya di Pascasarjana University of Chicago. Leonard Binder akhirnya mengabulkan permohonan Cak Nur untuk belajar ke Universitas itu. Awalnya Nurcholish dalam kajian politiknya di bawah bimbingan Leonard, namun Fazlur Rahman membujuknya terlebih dulu untuk mengambil kajian keislaman di bawah bimbingannya. Dengan sebab itulah banyak pemikirannya dipengaruhi dari pemikiran Fazlur Rahman sendiri, yaitu tentang konsep Neo-Modernisme yang diintrodusir oleh intelektual muslim asal Pakistan itu. Nurcholish Madjid mengakhiri studi doktoralnya Ph. D di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1984 dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu Taymiyyah ‘Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafah: A Problem of Reason and Revelation in Islam predikat Summa Cum Laude pun diraihnya. 24 Sutisna, “Pluralisme dalam Pemikiran Nurcholish Madjid”, Jakarta: Perpustakaan Utama UIN, 2004. h. 26. Layaknya seorang muslim pulang dari tanah suci, kembalinya Nurcholish dari Chicago pada tahun 1984, lebih dari seratus orang menyambutnya di Bandar Udara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Menyambut kedatangan seorang intelektual yang telah melakukan pendalaman keilmuan di Negeri yang konon sekuler itu, para tokoh Indonesia pun tidak mau ketinggalan, diantaranya: Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, AM Fatwa, dan para tokoh lainnya. 25 Kembalinya Nurcholish ke tanah air, tanpa berlama-lama santai setelah menjalani proses penggemblengan yang luar biasa dalam perjalanan pendidikannya, ia pun langsung berbenah diri menatap dan berusaha memberikan yang terbaik untuk bangsanya dengan kontribusi pemikirannya terhadap permasalahan-permasalahan kemasyarakatan, kenegaraan dan keagamaan yang tidak menentu. Langkah-langkah yang ia lakoni untuk bangsa ini, diantaranya; menjadi staf ahli IPSK-LIPI 1984-2005, mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina 1985-2005, menjadi anggota Komnas HAM RI 1993-2005, pengajar Pascasarjana IAIN UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1985-2005, anggota Dewan Pers Nasional 1990-1998, wakil ketua dewan penasehat ICMI 1990-1995, Fellow, Eisenhower Fellowship, Piladelphia, Ameika Serikat 1990, anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992-1997, serta pernah menjadi Profesor Tamu, McGill University, Montreal, Kanada, tahun 1991-1992. Nurcholish Madjid sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan muslim Indonesia sudah tidak lagi berada di tengah-tengah kita meninggal dunia dan kepergiannya merupakan suatu kehilangan besar bagi bangsa Indonesia khususnya 25 http:www.tokohindonesia.comensiklopedianNurcholish-Madjidindex.shtml. dan umumnya bagi anak bangsa dari berbagai Agama, berbagai suku, merasa kehilangan Cak Nur dalam arti yang sebenarnya, demikian sahabatnya Amin Rais mengungkapkan. 26 Pemikiran-pemikiran Cak Nur terasa masih menggema di kalangan akademisi maupun kalangan ilmuwan, karena banyak dari pemikirannya masih tetap dan terus diperbincangkan, dikritisi dan diaktualisasikan dalam kehidupan selanjutnya, entah itu dalam kancah perpolitikan maupun sosial keagamaan.

B. Corak Pemikiran dan Konteks Sosio-Kultural Indonesia