Perkembangan Makna Humanisme HUMANISME SEBUAH DESKRIPSI UMUM

atas lebih pada penekanan ide-ide kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan kemanusiaan, kreatifitas untuk menciptakan prestasi kemanusiaan, penghormatan terhadap nilai-nilai dan hak azasi manusia

B. Perkembangan Makna Humanisme

Pemaknaan manusia dalam memahami humanisme sangat beragam dan menjadi bias ketika menusia memaknai pengertian humanisme berawal dari pemahaman-pemahaman yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat, baik itu doktrin agama, sistem sosial, rumusan filsafat dan lainnya. Persoalan humanisme selalu berkait dengan status telatif individu dan kekuasaan, seringkali Negara. Sejak Yunani Kuno telah terjadi perdebatan panjang antara mereka yang menghargai nilai kekuasaan. Plato mengatakan bahwa ketidaksamaan merupakan keadaan alamiah manusia natural, dan masyarakat merupakan pengatur tertinggi atas individu. 39 Tentunya pemahaman tentang humanisme ini lebih pada pemahaman ke filsafatnya. Memang humanisme lahir dari cikal bakalnya pemikiran yang menekankan kelebihan utama manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates 470-399 s.m. membangun pemikiran antroposentrisme secara tegas ―setelah Protagoras ―dalam mengenakan ukuran kebajikan dan kebenaran terletak pada akal manusia. 40 Manusia harus dapat mengembangkan kemampuan dari akal budinya untuk mendapatkan kebaikan hidupnya baik secara personal maupun kolektif. Yang masih mengembangkan kerangka berpikir antroposentrisme 39 Harun Nasution dan Bachtiar Effendy ed, Hak Azasi Manusia dalam Islam, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1987, h. 93. 40 Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari A Short History of Philosophy, oleh Saut Pasaribu Yogyakarta, Yayasan Benteng Budaya, 2002, h. 95. mikrokosmos adalah Plato 428-347 s.m. dan Aristoteles 348-322 s.m., kendatipun keduanya masih menunjukkan keterkaitannya dengan alam terbuka makrokosmos. Tokoh-tokoh di atas adalah wakil dari masa kebudayaan Romawi yang menempatkan manusia sebagai subjek yang mulia dan bisa terhadap segalanya. Filsafat Yunani, menampilkan manusia sebagai makhluk yang berpikir terus menerus untuk memahami dan bagian lingkungannya serta menentukan prinsip-prinsip bagi tindak tanduknya sendiri untuk mencapai kebahagiaan hidup eudaimonia. Masa inilah yang disebut sebagai humanisme klasik. 41 Memasuki Abad pertengahan Abad ke-5 M hingga Abad ke-15 M, pemikiran filsafat hampir seluruhnya dikuasai oleh para Pendeta, Uskup, Biarawan, Imam, Suster atau yang biasa disebut klerus, yang selalu menghubungkan pemikiran filsafatnya dengan wahyu serta ajaran agama Kristen. Kajian utamanya bukan mengenai manusia, melainkan apa yang mereka ―ajaran Bapak Gereja, Kitab Suci atau Bibel ―katakan mengenai manusia, sehingga penyelidikannya mengenai teks-teks yang dominan dan yang dianggap memiliki otoritas Tuhan. Berulang kali penelusuran teks-teks ini dilakukan dan dikomentari terus-menerus, sehingga menjadi mata kuliah wajib di skolastik, kalaupun ada pertanyaan – pertanyaan sulit, maka mengacu pada karya – karya Aristoteles dan lainnya yang dianggap memiliki otoritas. Akibat dari teosentrisme, para filosof, ilmuwan dan pemikir barat merasa harus mengurangi dominasi gereja dan agama untuk kemajuan berpikir manusia sendiri supaya merdeka terhadap nasib dan masa depannya. Akibatnya orang mencari inspirasi baru sebagai alternative 41 Simon Petrus L. Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern, Jakarta, STF Driyarkara, 1998, h. 6. kebudayaan tradisional kristiani. Perhatian mereka pun tertuju pada kebudayaan Yunani–Romawi, sebagai satu–satunya budaya yang mereka anggap baik, kebudayaan ini dijadikan patokan dan model terhadap segala dasar kehidupan dasar manusia. Pada zaman Renaissance, sekitar abad ke 15 dan abad ke 16, yang terjadi di eropa, humanisme kembali diangkat. Hanya saja di bandingkan humanisme klasik yang menekankan bahwa manusia adalah bagian dari alam dan polis Negara kota, maka humanisme renaissance menginginkan individualisme yang kuat. Ajaran ini mendorong pada pemujaan, tidak terbatas terhadap kecerdasan dan kemampuan individu. Karena kehendaknya adalah “manusia universal”. Para pemikir dan ilmuwan menyokong abad ini dengan menyumbangkan berbagai karyanya. Petrarka, Bocaccio, Michael Angelo, Raffael, menyelidiki dan menemukan hasil karya seni dan sastra yang berkualitas tinggi. Florenz, menerjemahkan tulisan – tulisan plato ke dalam bahasa latin. Johannes Gutenberg, menemukan mesin cetak. Galilea – Galileo 1564 – 1642, Leonardo Da Vinci 1452 – 1519, Niccon dengan “pengetahuan adalah kekuasaan” 1561 – 1626, mencoba melakukan penyeledikan Empiris – Experimental yang modern dan di anggap pasti, mengalahkan dominasi pandangan Aristotelian yang selama ini mengusai Eropa. 42 Dalam bidang keagamaan, Martin Luther 1483 – 1546, melakukan gerakan reformasi gereja. Muncul juga penyelidikan anatomi dalam kedokteran, penemuan kompas, senjata api, pembangunan kota roma kuno, melalui gereja raksasa di Vatikan 1506 dengan luas 44 hektar yang dibangun 42 Jostein Gardner, Dunia Sophie : Sebuah Novel Filsafat, Bandung : Mizan, 2002, Cet. XII, h. 224. selama 120 tahun, sebagai bukti keperkasaan manusia. Akhirnya penemuan ilmu pengetahuan dan kemajuan berpikir berdampak pada seluruh bidang kehidupan dan kebebasan serta kemampuan manusia mengusai alamnya. Kondisi ini semakin menguat di jaman pencerahan Aufklarung atau Enlightenment pada abad ke 17 dan ke 18. Di Inggris, abad ini di sebut juga dengan The Glorius Revolution, karena waktu itu terjadi revolusi inggris 1688, menggantikan raja James II oleh William Oranien, yang menghasilkan konstitusi pertama didunia secara modern. 43 Peraturan inilah yang menjadi “Declaration of Rights” 1689, dan “Bill of Rights”. 44 Pada jaman ini manusia di tuntut untuk mencari cahaya didalam akalnya sendiri. Sebagaimana Immanuel Kant 1724 – 1804 mengatakan bahwa manusia harus keluar dari sifat terlalu bebasnya sendiri sebagai akibat dari kesalahan yang diperbuatnya selama ini. 45 Dengan semangat jamannya, berbagai penemuanpun berlanjut, Isaac Newton 1643 – 1727 meletakkan dasar – dasar fisika dan hukum grafitasinya. John Locke 1632 – 1704 mendesak pengakuan hak – hak minoritas untuk beroposisi dalam pemerintahan. Di Perancis abad ini telah melahirkan agama baru yakni Deisme, agama kodrati yang berdasarkan rasio serta pendirian sebuah patung dewi rasio di dalam katedral Notre Dame, serta revolusi Perancis. Sementara di Jerman, pencerahan terlihat tenang, karena pusat perhatiannya tertuju pada bidang moral, mengetengahkan hubungan antara rasio 43 Simon Petrus L. Tjahjadi, sejarah filsafat barat modern, h. 9. 44 Simon Petrus L. Tjahjadi, sejarah filsafat barat modern, h. 10 dan wahyu Kristen. Di dalam periode idealisme Jerman, lahir aliran Neo – Humanisme, di samping idealisme Jerman dan Zaman klasik romantik. 46 Neo humanisme ingin mencapai manusia ideal, yang mana mengutamakan supaya semua nafsu dijinakkan, mencapai kesempurnaan antar tubuh dan jiwa, dan memanusiakan manusia Herder, 1744 – 1803. Bagi mereka bukan manusia rasional yang diperlukan sekarang, tapi manusia yang etis dan estetis. Sementara itu, Auguste Comte 1798 – 1897, menginginkan pendirian “agama kemanusiaan”. 47 Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, gerakan sosial-politik, demokratisasi, hak azasi manusia, globalisasi dan lainnya diklaim sebagai hasil jerih payah dari kelompok yang mengedepankan rasionalitas. Di Barat kecendrungan semacam ini membawa pada apa yang mereka sebut sebagai humanisme sekuler atau humanisme ateis. Salah seorang pemikir yang bisa dikategorikan masuk dalam humanisme ateis adalah Friedrich Nietzsche 1844- 1900, yang menyatakan bahwa “Tuhan telah Mati” God is Dead. 48 Setelah terjadinya invasi Amerika Serikat ke Irak, konflik yang diderita humanisme semakin kompleks. Padahal dalam manifesto I, tahun 1933 di Jerman, semangat gerakan humanisme adalah “satu dunia” one world di mana, “semua manusia bersaudara”, di atas segalanya. Humanisme ditujukan untuk mencapai tatanan masyarakat bebas dan universal, di mana manusia berpartisipasi secara cerdas dan suka rela untuk mencapai kebaikan bersama. Ketika itu pula kata “universal” menjadi istilah yang kabur mengingat komposisi geopolitik dunia kala 46 Simon Petrus L. Tjahjadi, sejarah filsafat barat modern, h. 12. 47 Robert C. Solomon dan Cathelen M. Higins, Sejarah Filsafat, h. 95. 48 Sindhunata, Kritik Humanisme Ateis, Basis Yogyakarta, 2000, h. 3. itu amat tegang dan kalang kabut menghadapi ancaman terorisme, sayangnya kemudian tatanan dunia justru terbangun oleh kategorisasi-kategorisasi yang saling bersaing secara tidak seimbang, seperti ekonomi-politik, kebangsaan, fundamentalisme, atau agama yang kemudian berimbas pada mekanisme distribusi akses kebutuhan manusia. Mengingat humanisme lahir dari kalangan elite intelektual, kelas menengah, mapan dan liberal, ada masalah saat mendefinisikan makna dari kata “universalitas”. Bahkan sebagian orang berpendapat, globalisme dan kosmopolitanisme adalah “universal” yang baik dan tepat, dan sebagian lagi menganggap ide-ide global justru menjadi penghalang mencapai makna hidup yang manusiawi. 49

C. Tauhid dan Humanisme dalam Perspektif Islam