Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah

No. VariabelKlasifikasi Skor b. Sekolah Menengah Pertama SMP 1 Ada atau ≤ 2,5 km 2 2,5 km 1 c. Sekolah Menengah Umum SMU 1 Ada atau ≤ 2,5 km 2 2,5 km 1 d. Pasar 1 Ada atau ≤ 2 km 2 2 km 1 e. Pertokoan 1 Ada atau ≤ 2 km 2 2 km 1 f. Bioskop 1 Ada atau ≤ 5 km 2 5 km 1 g. Rumah Sakit 1 Ada atau ≤ 5 km 2 5 km 1 h. HotelBilyarDiskotekPanti PijatSalon 1 Ada 2 Tidak ada 1 i. Persentase Rumah Tangga Telepon 1 ≥ 8,00 2 8,00 1 j. Persentase Rumah Tangga Listrik 1 ≥ 90,00 2 90,00 1 Total Skor ≥ 10 = DesaKelurahan Perkotaan Urban Total Skor 10 = DesaKelurhan Pedesaan Rural Sumber: BPS, 2010

2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah

Perkotaan dan Pedesaan WHO 2014 menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi hipertensi adalah usia, kemiskinan, pelayanan kesehatan, genetik, stres, obesitas, aktivitas fisik, merokok, konsumsi alkohol, konsumsi makanan asin dan lemak berlebih dan kurang mengonsumsi sayur dan buah. Berikut ini merupakan pejelasan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi hipertensi. a. Jenis Kelamin Penelitian Kannan dan Satyamoorthy 2009 dan Mohan dkk. 2007 menyebutkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi. Penelitian Moreira dkk. 2013 di Brazil, risiko hipertensi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki- laki, baik wilayah rural maupun urban. Di wilayah rural Liaoning Cina, perempuan berisiko 1,293 mengalami hipertensi dibandingkan laki-laki Xu dkk., 2008. Di wilayah urban India, prevalensi hipertensi juga lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki Prabhakaran dkk., 2007. Perempuan akan lebih berisiko pada usia 50 tahun dibandingkan dengan laki pada usia yang sama Howteerakul dkk., 2006. Perempuan berusia 40 tahun lebih berisiko mengalami hipertensi daripada laki-laki karena pengaruh hormon estrogen. Hormon estrogen berperan dalam proteksi tekanan darah istirahat ketika adanya aktivitas saraf simpatis akibat dari peningkatan aktivitas saraf simpatis otot. Oleh karena itu, prevalensi ataupun risiko hipertensi akan meningkat pada perempuan yang telah menopouse Robertson, 2012. Namun, pada beberapa penelitian prevalensi ataupun risiko hipertensi justru lebih tinggi pada laki-laki. Di Chennai, prevalensi hipertensi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan laki- laki: 23,2 perempuan: 17,1 Mohan, 2007. Penelitian Howteerakul dkk. 2006 di wilayah rural Thailand menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penelitian Howteerakul dkk. 2006 menjelaskan bahwa laki- laki berusia 50 tahun berisiko mengalami hipertensi lebih tinggi dibandingkan perempuan pada usia yang sama. Hal ini karena mereka cenderung lebih sering terpapar oleh perilaku berisiko hipertensi, seperti konsumsi alkohol dan rokok. Hasil penelitian Peer dkk. 2013 juga menjelaskan prevalensi hipertensi lebih laki-laki tinggi dibandingakan perempuan karena perempuan lebih baik dalam mengontrol hipertensi. Hal tersebut dikarenakan perempuan lebih mudah menerima pengobatan dan lebih mudah mengubah gaya hidup. Selain itu, perempuan lebih sering mengunjungi tempat pelayanan kesehatan untuk keperluan kesehatan Ibu dan Anak sehingga mereka memiliki kesempatan memeriksakan tekanan darah. Sedangkan, laki-laki lebih tertarik pada urusan pekerjaan dibandingkan mengunjungi pelayanan kesehatan, terutama saat jam kerja masih berlangsung Peer dkk., 2013. b. Umur Umur sering dihubungkan dengan kejadian hipertensi. Hal ini karena seiring dengan pertembahan usia, elastisitas pembuluh darah arteri semakin berkurang. Hal ini dipengaruhi oleh adanya penumpukan kolagen dan hipertropi sel otot halus yang tipis, berfragmen dan patahan dari serat elastin. Selain itu, seiring pertambahan usia terjadi abnormalitas struktural berupa disfungsi endotel sehingga meningkatkan kekakuan pada pembuluh darah arteri orang tua Black dkk., 2007. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa adanya hubungan antara usia dengan hipertensi Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Howteerakul dkk., 2006; Xu dkk., 2008. Prevalensi dan risiko hipertensi akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia Hou, 2008; Musingizi dkk., 2013; Howteerakul dkk., 2006; Mohan dkk., 2007. Di Indonesia, risiko hipertensi terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia bahkan hingga 11,53 kali ketika seseorang berusia 75 tahun Rahajeng dan Tuminah., 2009. Laporan hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa sebagian besar lansia cenderung mengalami hipertensi, yaitu 57,6 kemudian disusul penyakit artritis 51,9 Kemenkes RI, 2013 Di Brazil, baik di wilayah rural maupun urban, risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Namun, risiko hipertensi lebih besar pada wilayah urban dibandingkan dengan wilayah rural Moreira dkk., 2013. Selain itu, penelitian di wilayah rural Thailand menunjukkan adanya hubungan antara usia dengan hipertensi dan orang dengan usia 40 tahun berisiko 4,2 kali mengalami hipertensi dibandingkan yang berusia ≤40 tahun Howteerakul dkk., 2006. c. Pendidikan Hasil penelitian Yang dkk. 2006 dan Okpechi dkk. 2013 membuktikan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan hipertensi. Penelitian Rahajeng dan Tuminah 2009 di Indonesia dan Penelitian Zhang dkk. 2013 di Cina menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula risiko mengalami hipertensi. Penelitian di wilayah urban Afrika Selatan menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ≤7 tahun dengan kejadian hipertensi Peer dkk., 2013. Selain itu, di Brazil, oran g yang menempuh pendidikan selama ≥15 tahun dapat terlindungi dari risiko hipertensi sebesar 0,69 kali di wilayah urban dan 0,75 kali di wilayah rural Moreira dkk., 2013. Hubungan antara pendidikan dengan hipertensi bisa dikatakan hubungan tidak langsung. Hal ini karena adanya peran pengetahuan, dimana tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan seseorang, pengetahuan yang baik kemudian akan menimbulkan kesadaran. Kesadaran masyarakat tentang faktor risiko hipertensi akan membuat mereka dengan sukarela mengubah gaya hidup Aung dkk., 2012; Anggara dan Prayitno., 2013. Tingkat pendidikan formal yang rendah merupakan salah satu hambatan untuk menimbulkan kesadaran terhadap faktor risiko hipertensi pada masyarakat desa dan penduduk minoritas Aung dkk., 2012. Hasil penelitian Aung dkk. 2012 pada masyarat desa etnis Karen di Thailand membuktikan bahwa responden yang memperoleh pendidikan formal 6,5 kali lebih tahu tentang hipertensi dibandingkan yang tidak memperoleh pendidikan formal. Penelitian Viera dkk. 2008 di California juga membuktikan bahwa responden dengan tingkat pendidikan rendah berisiko 2,43 kali memiliki pengetahuan tentang hipertensi yang rendah. Namun, tingkat pengetahuan cukup pun belum bisa menjamin terciptanya perilaku yang baik karena menurut teori Lehendroff dan Tracy perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan tetapi juga kemauan Sudarma M., 2008. Informasi yang diterima masyarakat di luar lingkungan pendidikannya juga berperan penting terhadap peningkatan pengetahuan Suhardi dkk., 2014; Shaikh, 2011. Oleh karena itu, metode penyuluhan yang diterapkan pun perlu diperhatikan agar menarik minat masyarakat. Hal ini karena setiap masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda Maulana H. D. J., 2009. d. Pekerjaan Penelitian Peer dkk. 2013, Kannan L. dan Satyamoorthy 2009 dan Yang dkk. 2006 diketahui bahwa ada hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian hipertensi. Di Brazil, orang yang bekerja dapat terhindar dari hipertensi sebesar 0,73-0,88 kali pada wilayah urban dan 0,79-0,81 kali pada wilayah rural dibandingkan dengan yang tidak bekerja Moreira dkk., 2013. Sedangkan di Indonesia, orang yang tidak bekerja berisiko 1,42 kali mengalami hipertensi Rahajeng dan Tuminah., 2009. Orang yang bekerja dapat terlindungi dari hipertensi karena dirinya melakukan aktivitas fisik yang baik untuk peredaran darah Kannan dan Satyamoorthy, 2009. Namun, Yang dkk. 2006 menjelaskan bahwa jam kerja yang panjang dapat meningkatkan risiko hipertensi melalui beberapa hal. Pertama, jam kerja yang panjang akan mengurangi waktu untuk pemulihan dan istirahat tidur sehingga berdampak gangguan proses psikologis. Kedua, jam kerja yang panjang berhubungan dengan gaya hidup dan perilaku, termasuk merokok, diet tidak sehat dan kurang aktivitas fisik. Lebih jauh lagi, jam kerja yang panjang membuat pekerja terpajan kondisi psikologis berbahaya di lingkungan kerja dalam waktu yang lama. Selain itu jenis dan kondisi lingkungan kerja dapat menjadi faktor risiko dari hipertensi. Contohnya, pekerja industri yang terpapar kondisi lingkungan kerja yang panas dan bising dapat berisiko terkena hipertensi Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Rodahl K., 2005; Levy B. S. dkk., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014. Kondisi lingkungan yang panas dapat menyebabkan stres yang dapat tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi Rodahl K., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014. Peningkatan tekanan darah juga dapat terjadi ketika kondisi lingkungan bising karena dapat mempengaruhi viskositas plasma dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014. Selain itu, jenis pekerjaan seperti pegawai negeri sipil, pekerja bank, supir, petugas pengamanan security dan pekerjaan yang mengandalkan mesin otomatis membuat para pekerja menjadi kurang beraktivitas fisik sehingga berisiko hipertensi Kumar P. dkk., 2002; Divan V. dkk., 2010; Bosu, 2014. Pengendalian risiko kesehatan kerja penting dilakukan sebagai upaya pencegahan hipertensi akibat kerja, baik itu melalui manajemen kerja, penggunaan alat pelindung diri APD, ataupun penguran sumber pemapar. Pengaturan waktu kerja penting untuk mengurangi keterpaparan suhu tinggi dan kebisingan di lingkungan kerja. Penyediaan alat pendingin ruangan ataupun ruang ruang pendingin khusus pekerja juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi lingkungan kerja yang panas. Selain itu, penggantian alat sumber kebisingan dengan alat yang lebih rendah tingkat kebisingannya dapat menjadi solusi untuk mengurangi kebisingan di lingkungan kerjaa Hughes P. dan Ferret E., 2011. e. Kemiskinan WHO 2011 menjelaskan bahwa kemiskinan secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti yang terlihat pada Bagan 2.1. Lebih khusus, pendapatan keluarga yang tinggi akan mempermudah seseorang dalam memperoleh informasi, cara pencegahan, pengobatan dan diagnosis segera penyakit hipertensi Mion dkk., 2004. Hasil penelitian Mion dkk. 2004 di Brazil menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,66 kali. Penelitian kohort oleh Conen dkk. 2009 pada tenaga kesehatan perempuan di Rumah Sakit juga membuktikan bahwa pendapatan yang rendah berhubungan dengan hipertensi P = 0,05. Semakin rendah pendapatan maka semakin meningkat risiko hipertensi. Penelitian Conen dkk. 2009 juga menjelaskan bahwa status sosial ekonomi yang rendah menyebabkan hipertensi karena adanya pengaruh akses ke pelayanan bekualitas, diet, dukungan sosial, stres emosional, dan lingkungan tetangga yang tidak menguntungkan. Bagan 2.1 Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit Tidak Menular Sumber: WHO, 2010 Kearney dkk. 2005 menjelaskan bahwa kemiskinan menjadi faktor dalam pemilihan makanan. Pendapatan yang rendah akan menurunkan kemampuan membeli makanan yang sehat. Selain itu, pendapatan yang rendah mendorong individu untuk bekerja lebih giat sehingga lebih memilih mengonsumsi makanan cepat saji di luar rumah. Hal ini sering terjadi pada masyarakat perkotaan. Di Indonesia, status ekonomi berhubungan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat miskin P = 0,000 Indrawati dkk., 2009. Penelitian Khanam dkk. 2015 pada masyarakat pedesaan di Bangladesh juga menunjukkan bahwa status ekonomi berhubungan dengan hipertensi P 0,0001. Sebaliknya, penelitian Khan dkk. 2013 tidak menunjukkan adanya hubungan dari status sosial ekonomi dengan hipertensi. f. Akses ke Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan berperan penting dalam penanggulangan penyakit kardiovaskular, terutama pelayanan kesehatan primer. Pelayanan kesehatan diharapkan dapat menyediakan obat-obatan yang cukup dan pemeriksaan untuk penyakit kardiovaskular. Sulitnya akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan akan mempersulit masyarakat untuk memperoleh informasi, pemeriksaan dan pengobatan penyakit kardivaskular WHO, 2014. Hasil systematic review Maimaris dkk. 2013 menunjukkan bahwa jarak ke pelayanan kesehatan berhubungan dengan hipertensi, dimana dalam penelitian Ambaw dkk 2012 jarak 30 menit meningkatkan risiko hipertensi sebesar 2,02 kali. Di Indonesia, sebagian besar masyarakat memerlukan waktu 16-30 menit 34,4- 37,7 untuk sampai ke sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit. Selain itu, sebagian besar masyarakat memerlukan waktu 15 menit 60-80 untuk sampai ke Puskesmas, Puskesmas pembantu, praktik dokterklinik, praktik bidan atau rumah bersalin, Pos Kesehatan Desa Poskesdes, Pos Lintas Desa Polindes dan Posyandu Kemenkes RI, 2013. Untuk pergi ke sarana pelayanan kesehatan, sebagian besar masyarakat menggunakan sepeda motor sekitar 70 dan biaya transportasi menuju unit kesehatan berbasis masyarakat terdekat adalah ≤ Rp.10.000.. Namun, ada sekitar 5 masyarakat dengan status ekonomi rendah yang harus menggunakan alat transportasi lebih dari satu. Selain itu, sekitar 45 masyarakat ekonomi rendah menempuh perjalanan ke Rumah Sakit pemerintah terdekat selama 60 menit Kemenkes RI, 2013. Secara finansial, upaya pencegahan hipertensi dan pelayanan kesehatan terhadap penderita hipertensi telah ditanggulangi oleh pemerintah Indonesia melalui Jaminan Kesehatan Nasional JKN BPJS, 2014. Indonesia juga memiliki Pos Pembinaan Terpadu Posbindu sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan berbasis masyarakat yang berperan penting terhadap deteksi dini penyakit jantung dan pembuluh darah dan pembinaan gaya hidup sehat pada masyarakat Kemenkes RI, 2013. Namun, berdasarkan hasil penelitian Handayani 2012 pemanfaatan Posbindu oleh para lansia di Kecamatan Ciomas masih rendah, yaitu 23. Jarak, dukungan keluarga, peran kader dan peran petugas kesehatan adalah faktor yang berhubungan dengan rendahnya pemanfaatan Posbindu Handayani, 2012. g. Genetik Faktor genetik berpengaruh terhadap hipertensi karena memiliki peran dalam metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel Depkes, 2006. Namun, Hipertensi secara patofisiologis tidak hanya dipengaruhi oleh regulasi otak dan ginjal. Namun, menurut paradigma biologi molekular, hipertensi juga dipengaruhi oleh regulasi endotel Relaxing factor dapat diproduksi oleh endotel yang berperan sebagai gas vasoaktif, yaitu nitric oxide NO Sulastri, 2011. Produksi NO dikendalikan oleh gen eNOS3. Glu298Asp merupakan salah satu polimorfisme gen eNOS3 yang berhubungan dengan kejadian hipertensi. Mutasi yang terjadi berupa subtitusi guanine menjadi timin pada exon 7 posisi 894 yang menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi protein matur dari glutamat menjadi aspartat pada posisi 298. Polimorfisme Glu298Asp G894T sebagai varian yang berperan terjadinya hal tersebut menyebabkan penurunan ketersediaan biologi dari senyawa NO Sulastri, 2011. Hubungan fungsi NO dengan kejadian hipertensi adalah NO menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dengan cara menghambat pelepasan renin dan norepinefrin secara tidak langsung. Sintesis NO juga di bawah nilai basal normal 25 µML-45 µML pada penderita hipertensi esensial. Akibatnya, terjadi peningkatan tahanan perifer karena efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah menurun Sulastri, 2011. Selain gen eNOS3, gen CYP11B2 varian T-344C adalah salah satu polimorfisme yang berhubungan dengan hipertensi. Gen ini merupakan polimorfisme single nucleotide varian T-344C dan satu-satunya penyandi aldosterone synthase. Polimorfisme gen yang lebih sering ditemukan pada ras Asia ini terjadi pada promoter region yang mempengaruhi putative binding site steroidogenic transcription factor-1 SF-1 Sundari, 2013. Penelitian Sundari dkk, 2013 menjelaskan bahwa telah terjadi mutasi genetik pada gen CYP11B2 varian T-344C, yaitu basa Thymine T substitusi menjadi Cytosine C pada kodon 344. Mutasi terjadi pada 8,3 individu dengan genotip homozigot CC. Hal ini berarti dapat diasumsikan bahwa telah terjadi polimorfisme pada promoter region gen CYP11B2 varian T-344C pada pasien hipertensi di wilayah pantai. Mutasi ini kemudian terkait dengan peningkatan kadar aldosteron yang dapat merangsang aktivitas epithelial Na+ channel EnaC yang merupakan etiologi hipertensi esensial. Penelitian Sundari 2013 juga menunjukkan bahwa individu dengan homozigot TT akan lebih rentan terkena hipertensi dibandingkan TC dan CC. Hal ini dimungkinkan individu homozigot TT kurang adaptif sehingga promoter region polimorfisme gen CYP11B2 varian T-344C sensitif terhadap stimulus angitensin II. Akibatnya, terjadi peningkatan angiotensin II dalam plasma yang membuat individu homozigot rentan mengalami hipertensi. Selain mutasi dua gen tersebut, ada juga mutasi gen NPHS2 412C→T, 419delG yang manifestasi klinisnya adalah hipertensi. Namun, penelitian Rachmadi dkk. 2011 tidak menemukan adanya hubungan antara mutasi gen tersebut dengan kemunculan hipertensi sebagai manifestasi klinis dari sindrom nefrotik resisten steroid pada anak. Selain itu, ada beberapa mutasi gen lain yang menyebabkan terjadinya hipertensi. Ada sekitar sepuluh mutasi genetik yang terkait dengan kejadian hipertensi berdasarkan hukum Mendelian. Liddle’s syndrome adalah salah satu contohnya Carretero, 2000. h. Stres Stres dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Stres yang kronis akan berdampak pada perubahan patologis tubuh karena adanya kelainan organis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag Kemenkes RI, 2006. Berdasarkan penelitian Sirait dan Riyadina 2010 pada pekerja industri di kawasan industri Pulogadung, stres berhubungan dengan hipertensi 0,013. Penelitian South dkk. 2014 juga menunjukkan adanya hubungan antara stres dengan hipertensi P = 0,002. Sebaliknya, penelitian Rahajeng dan Tuminah 2009 dan Agyei dkk. 2014 menunjukkan tidak adanya hubungan antara stres dengan hipertensi. Selain berhubungan langsung dengan hipertensi, stres juga memicu orang untuk berperilaku merokok. Penelitian Liu dkk. 2015 dan Cui dkk. 2012 menjelaskan bahwa faktor stres adalah penyebab perilaku merokok pada imigran Cina yang tinggal di kota, terutama stres kerja. Penelitian kualitatif pada mahasiswi di Kota Makassar juga menunjukkan bahwa stres menjadi salah satu faktor pemicu para mahasiswi berperilaku merokok Tarupay, dkk., 2014. Stres juga menjadi penyebab perilaku merokok pada remaja laki-laki di kota Medan Hasnida dan Kemala, 2005. i. Obesitas Obesitas adalah kondisi dimana indeks masa tubuh 27 kgm 2 Kemenkes RI, 2013. Namun, WHO mendefinisikan obesitas sebagai keadaan dimana indeks masa tubuh ≥30 kgm 2 WHO, 2014. Hasil penelitian sebelumnya di Ghana menunjukkan bahwa indeks massa tubuh pada masyarakat perkotaan 29,9 lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan 25,3 Obirikorang, 2015. Berbagai penelitian membuktikan bahwa obesitas berisiko menyebabkan hipertensi Sobngwi dkk., 2004; Howteerakul dkk., 2006; Mendez-Chacon, 2008; Gao dkk., 2013; Forman, 2009. Penelitian di wilayah rural Brazil menunjukkan bahwa obesitas berisiko 1,21 kali menyebabkan hipertensi pada laki-laki dan 5,45 kali pada perempuan Pimenta dkk., 2008. Di Chennai, obesitas menimbulkan risiko 2,37 kali mengalami hipertensi dibandingkan orang normal Mohan dkk., 2007. Di Indonesia, seseorang yang mengalami obesitas berisiko 2,79 kali mengalami hipertensi Rahajeng dan Tuminah, 2009. Penderita obesitas akan lebih mudah mengalami hipertensi. Hal ini karena pada penderita obesitas terjadi ketidaknormalan mekanisme kontrol terhadap tekanan arterial. Ketidaknormalan itu umumnya berupa hiperinsulinemia yang meyebabkan aktivasi system saraf simpatis dan penyimpanan sodium sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah dan hipertensi Goran M. I. dan Sothern, 2006; Hu, 2008. Penderita obesitas juga dapat menyebabkan diabetes terlebih dulu sebelum hipertensi. Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor yang berhubungan dengan diabetes Jelantik dan Heryati, 2014; Hussain A. dkk., 2010. j. Riwayat Diabetes Diabetes merupakan salah satu faktor risiko dari hipertensi. Hal ini karena orang dengan diabetes dapat menderita resistensi insulin. Resistensi insulin akan meningkatkan tekanan darah karena hilangnya aktivitas vasodilator normal dari insulin atau efek jangka panjang dari hiperinsulinemia Holt, 2011. Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antra diabetes dengan hipertensi Peer dkk., 2013; Gao dkk., 2013. Di Brazil, riwayat diabetes meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4,43 kali urban dan 4,61 kali rural Moreira dkk., 2013. Di India, orang yang diabetes berisiko 4,32 kali mengalami hipertensi Kannan dan Satyamoorthy, 2009. Penelitian Basuki dan Setianto 2001 pada masyarakat Sunda di Kabupaten Bogor membuktikan bahwa riwayat diabetes berisiko 2,45 kali mengalami hipertensi. Namun, penelitian Rahajeng di Indonesia justru menunjukkan bahwa riwayat diabetes tidak memberikan risiko yang signifikan untuk mengalami hipertensi Rahajeng dan Tuminah, 2009. k. Konsumsi Alkohol Peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume eritrosit serta kekentalan darah diduga berperan dalam menaikkan tekanan darah. Konsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap hari akan memberikan efek terhadap tekanan darah Depkes RI, 2006. Penelitian kohort Forman 2009 pada para mahasiswa keperawatan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan banyaknya alkohol yang dikonsumsi. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi alkohol dengan hipertensi Sobngwi dkk., 2003; Xu dkk., 2008; Hou, 2008; Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Yao dkk., 2010; Khan dkk., 2013. Penelitian Kannan dan Satyamoorthy 2009 di Tamilnadu menunjukkan bahwa seorang alkoholik berisiko 3,812 kali mengalami hipertensi. Penelitian Agyemang dkk. 2006 di Ghana membuktikan bahwa orang yang mengonsumsi alkohol berisiko 1,60 kali mengalami hipertensi l. Aktivitas Fisik Aktivitas fisik mempengaruhi tekanan darah karena aktivitas fisik terkait dengan peningkatan dan reduksi saraf simpatis dan para simpatis Mohler dan Townsend, 2006. Selain itu, aktivitas fisik yang rutin dapat mengurangi lemak jenuh, meningkatkan eliminasi sodium akibat terjadinya perubahan fungsi ginjal dan mengurangi plasma renin serta aktivitas katekolamin. Oleh karena itu, aktivitas fisik yang rutin dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik sehingga mampu mencegah hipertensi Rahl, 2010. Durasi, intensitas dan frekuensi aktivitas fisik akan mempengaruhi manfaat aktivitas fisik bagi kesehatan Carnethon, 2009. WHO menganjurkan aktivitas fisik sebaiknya berlangsung selama ≥ 600 MET WHO, 2013. MET merupakan ukuran lamanya waktu menit beraktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot tertentu Kemenkes RI, 2013. Berikut ini jenis tingkatan aktivitas fisik Kemenkes RI, 2013. 1 Berat: kegiatan yang dilakukan selama minimal 10 menit secara terus-menerus sampai denyut nadi meningkat dan napas lebih cepat dari biasanya misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll selama minimal tiga hari dalam satu ming gu dan total waktu beraktivitas ≥1500 MET minute. Bobot MET value untuk aktivitas fisik berat adalah 8 kalori 2 Sedang: apabila melakukan aktivitas fisik sedang menyapu, mengepel, dll minimal lima hari atau lebih dengan total lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Bobot MET value untuk aktivitas fisik sedang adalah 4 kalori WHO, 2015 3 Ringan: aktivitas yang tidak termasuk dalam aktivitas berat maupun sedang. Hasil penelitian Peer N. 2013 menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik yang rutin yang kurang 150 menit dengan kejadian hipertensi. Penelitian Forman 2009 pada wanita dewasa yang berpofesi sebagai perawat menunjukkan bahwa latihan rutin 7 hari per minggu mampu menurunkan risiko hipertensi hingga 0,87 kali dibandingkan yang 1 hari per minggu. Sedangkan di Brazil, semakin meningkat aktivitas fisik responden justru semakin meningkatkan risiko hipertensi. Namun, hal ini hanya terjadi pada wilayah rural, sedangkan wilayah urban tidak menunjukkan hubungan yang signifikan Moreira dkk., 2013. Penelitian di daerah Urban Uttarakhand membuktikan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi P = 0,046 Pooja dan Mittal, 2013. Hasil penelitian South dkk. 2014 di Minahasa Utara menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan kuat dengan hipertensi P = 0.000, r = 0,584. Hasil penelitian Rahajeng dan Tuminah 2009 di Indonesia juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi. Namun, perbedaan risiko hipertensi antara responden yang memiliki aktivitas fisik kurang dengan yang memiliki aktivitas fisik cukup hanya 1,05 kali. m. Kebiasaan Merokok Kebiasaan merokok dapat memicu terjadinya hipertensi karena rokok mengandung bahan-bahan berbahaya, seperti nikotin dan karbon dioksida. Nikotin akan meningkatkan asam lemak dan mengaktiviasi trombosit, memicu aterosklerosis dan penyempitan pembuluh darah Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006. Sedangkan karbon monoksida akan membuat hemoglobin dalam darah rusak sehingga akan ditampung di membran pembuluh kapiler dan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah Schnitzer, 2000; Depkes RI, 2006. Di wilayah urban Chennai, merokok berhubungan dengan kejadian hipertensi dan risiko orang merokok adalah 1,5 kali lebih besar dibandingkan yang tidak merokok Mohan dkk., 2007. Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa perilaku merokok dapat meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,2 kali pada masyarakat perkotaan dan 1,24 kali pada masyarakat pedesaan Moreira dkk., 2013. Selain itu, Di India, orang yang merokok 2,4 kali lebih berisiko mengalami hipertensi dibandigkan yang tidak merokok Kannan dan Satyamoorthy, 2009. Penelitian Anggara dan Prayitno 2013 di Cikarang Barat juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan hpertensi dan merokok dapat meningkatkan risiko hipertensi sebesar 8,1 kali. Namun, Di China, perokok ringan tidak menunjukkan risiko yang signifikan terhadap hipertensi dan perokok berat justru dapat terhindar 0,96 kali dari hipertensi Hou, 2008. Durasi merokok juga berperan dalam meningkatkan risiko hipertensi. Penelitian Thuy A. B. 2010 menunjukkan bahwa kebiasaan merokok menyebabkan hipertensi dipengaruhi oleh lama waktu menjadi perokok. Perokok pasif pun dapat berisiko mengalami hipertensi. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Lina dkk. 2013 di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo Kota Surabaya yang menunjukkan bahwa perokok pasif berisiko mengalami hipertensi sebesar 1,37 kali dibandingkan yang bukan perokok pasif. Dalam penelitian tersebut, hubungan keluarga, jenis rokok, jumlah perokok, lama paparan, jumlah rokok dan lokasi merokok merupakan variabel paparan asap rokok yang berisiko menimbulkan hipertensi. n. Konsumsi Makanan Asin Konsumsi makanan asin atau yang mengandung garam tinggi dapat menyebabkan volume cairan dalam tubuh meningkat. Hal ini karena garam menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan oleh tubuh sehingga meningkatkan volume dan tekanan darah Depkes RI, 2006. Dalam buku Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dijelaskan bahwa salah satu faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah pada penduduk umur 18 tahun ke atas adalah sering makan makanan asin ≥1 kalihari Kemenkes RI, 2010. Data WHO menunjukkan bahwa 1,7 juta orang meninggal di tahun 2010 karena penyakit kardiovaskular, dimana konsumsi garam berlebih merupakan salah satu faktor pemicunya. Data WHO juga menunjukkan bahwa secara global rata-rata konsumsi garam masyarakat adalah sekitar 10 g per hari 4 ghari sodium. Asia Tenggara merupakan kawasan dengan tingkat konsumsi garam yang tinggi. Padahal, konsumsi garam melebihi 5 ghari lebih dari 1 sendok teh per hari berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah WHO, 2014. Hasil penelitian He 2005 diketahui bahwa pengurangan konsumsi garam berhubungan dengan penurunan tekanan darah P = 0,002. Penelitian Bartwal dkk. 2014 di Haldwani membuktikan bahwa ada hubungan antara asupan garam dengan hipertensi x 2 = 12,42. Hasil analisis multivariat penelitian Indrawati dkk. 2009 menunjukkan ada hubungan antara konsumsi makanan asin dengan hipertensi P = 0,001 walaupun tidak ada perbedaan risiko hipertensi antara yang sering atau jarang makan makanan asin dengan yang tidak pernah makan makanan asin. Penelitian terkait pola konsumsi makanan harus dapat menjelaskan pola konsumsi makanan dengan baik. Pengukuran pola konsumsi makanan yang digunakan saat Riskesdas 2013 adalah berdasarkan frekuensi makan sehingga kurang valid dan subjektif Rahajeng dan Tuminah, 2009. Oleh karena itu, penelitian Rahajeng dan Tuminah 2009 justu menunjukkan bahwa konsumsi makanan asin berlebih tidak ada berhubungan dengan kejadian hipertensi. o. Konsumsi Makanan Berlemak Konsumsi makanan berlemak secara berlebihan akan menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia akan menyebabkan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL danatau penurunan kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol berperen penting dalam proses terjadinya aterosklerosis yang kemudian menghambat aliran darah sehingga tekanan darah menjadi tinggi Depkes RI, 2006. Konsumsi makanan berlemak terlalu sering adalah mencapai ≥ 1 kalihari Kemenkes RI, 2010. Hasil analisis konsumsi lemak pada penduduk Indonesia menunjukkan bahwa persentase lemak total penduduk Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan, yaitu 25. Namun, persentase lemak jenuh mencapai 18,2 sehingga melebihi persentase lemak jenuh yang dianjurkan WHO yaitu 10 Hardiansyah, 2011. Penelitian Stefhany 2012 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara P = 0,010 dan pra lansia dan lansia yang sering mengonsumsi lemak berisiko 2,785 kali mengalami hipertensi. Di Afrika, konsumsi lemak berlebih berhubungan dengan hipertensi P = 0,024 dan meningkatkan risiko hipertensi hingga 2,08 kali Ramirez dkk., 2010. Penelitian Indrawati dkk. 2009 juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi makanan berlemak dengan hipertensi. Namun, sering mengonsumsi lemak justru memberikan efek protektif terhadap hipertensi p. Konsumsi Sayur dan Buah Konsumsi sayur dan buah dapat memproteksi diri dari hipertensi. Sayuran mengandung serat yang merupakan jenis karbohidrat istimewa karena resisten terhadap enzim pencernaan manusia. Serat ini dapat mengurangi tingkat insulin, dimana hiperinsulinemia menyebabkan intoleransi glukosa yang dapat menyebabkan hipertensi Lin dan Laura, 2012. Sedangkan, buah mengandung polifenol yang dapat melindungi jantung. Selain itu, beberapa jenis buah memiliki beban glikemik yang rendah sehingga tidak berisiko menyebabkan hipertensi McFarlane dan Bakris, 2012. Konsumsi buah 3 kali porsihari dan sayur 2 kali porsihari dapat berisiko mengalami penyakit kardiovaskular. Sedangkan, DASH Dietary Approach to Stop Hypertension menganjurkan untuk mengonsumsi buah dan sayur sebanyak 4-5 porsihari Grodner dkk., 2004. Hasil peneletian Utsugi dkk. 2008 di Jepang menunjukkan bahwa mengkonsumsi buah dan sayur yang banyak berhubungan dengan rendahnya risiko terkena hipertensi. Hasil penelitian dari Bazzano dkk 2002 menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayur berhubungan dengan hipertensi P 0,001. Selain itu, hasil penelitian pada masyarakat rural Bangladesh menunjukkan bahwa konsumsi sayur dan buah berhubungan dengan hipertensi P = 0,0006 dan P = 0,0138 Khanam dkk., 2015 Di Indonesia, konsumsi buah dan sayur berhubungan dengan kejadian hipertensi P = 0,000. Namun, tidak ada perbedaan risiko hipertensi antara yang mengonsumsi buah dan sayur 3 porsihari dengan yang ≥ 3 porsihari Indrawati dkk., 2009. Sebaliknya, penelitian Rahajeng dan Tuminah 2009 di Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi sayur dan buah dengan hipertensi.

D. Kerangka Teori