Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

HIPERTENSI DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN

INDONESIA TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Oleh: Dina Adlina Amu

1111101000036

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Agustus 2015

Dina Adlina Amu NIM. 1111101000036


(3)

ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

Skripsi, 18 Agustus 2015

Dina Adlina Amu, NIM: 1111101000036

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

xv + 159 halaman, 14 tabel, 4 bagan, 4 lampiran ABSTRAK

Latar Belakang: Prevalensi hipertensi di perkotaan Indonesia lebih besar dibandingkan di pedesaan, yaitu 26,1% versus 25,5%. Perubahan gaya hidup akibat urbanisasi dan globalisasi berperan dalam perbedaan prevalensi hipertensi tersebut. Gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti diet tidak sehat dan kurang aktivitas fisik membuat masyarakat perkotaan lebih berisiko mengalami hipertensi. Sedangkan, diet tradisional dan gaya hidup aktif melindungi masyarakat desa dari hipertensi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia tahun 2013. Metode: Penelitian ini adalah analisis lanjut dari Riskesdas tahun 2013 sehingga desain studi yang digunakan pun mengikuti Riskesdas, yaitu cross sectonal. Jumlah sampel penelitian ini adalah 616.986 masyarakat berusia ≥ 15 tahun. Hubungan antara faktor risiko dengan hipertensi ditentukan melalui nilai Prevalence Odds Ratio (POR) dan 95% confidence interval (CI). Hasil: Aktivitas fisik < 600 MET/minggu [PORkota 1,051

(1,025-1,078)] [PORdesa 1,184 (1,152-1,217)], pernah merokok [PORkota 2,133

(2,06-2,31)] [PORdesa 2,024 (1,95-2,10)], konsumsi makanan asin ≥ 1 kali/hari

[PORkota 0,970 (0,950-0,991)] [PORdesa 1,028 (1,008-1,048)] dan konsumsi buah

< 2 porsi/hari [PORkota 0,821 (0,771-0,847)] [PORdesa 0,883 (0,808-0,965)] adalah

faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan Indonesia. Sedangkan, konsumsi sayur < 3 porsi/hari [POR 0,952 (0,933-0,970)] hanya berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dan konsumsi

makanan berlemak ≥ 1 kali/hari [POR 1,046 (1,027-1,064)] hanya berhubungan dengan hipertensi di pedesaan. Simpulan: Hampir tidak ada perbedaan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dengan di pedesaan. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian hipertensi sangat penting dilakukan untuk menurunkan prevalensi dan risiko hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia.

Kata Kunci: hipertensi, kota, desa Daftar bacaan: 141 (2000-2015)


(4)

ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION Undergraduate Thesis, 18th August 2015 Dina Adlina Amu, NIM: 1111101000036

Factors that Related to Hypertension in Urban and Rural Indonesia 2013 xv + 159 pages, 14 tables, 4 charts, 4 attachments

ABSTRACT

Background: The prevalence of hypertension in urban areas of Indonesia is greater than in the rural areas, i.e. 26.1% versus 25.5%. Lifestyle changes due to urbanization and globalization has different roles in the hypertension prevalence. The lifestyles in urban communities, such as unhealthy diet and the lack of physical activity make urban communities has the higher risk for hypertension. Meanwhile, traditional diet and physically active lifestyles tend to protect the rural communities from hypertension. Therefore, this study aims to determine the associated factors of hypertension in urban and rural Indonesia in 2013. Methods: This study is an advanced Riskesdas 2013 data analysis, so that the study design is the same as Riskesdas, cross sectional. The number of samples of this study is

616,986 individuals aged ≥ 15 years. The relationship between risk factors and

hypertension is determined by the value of Prevalence Odds Ratio (POR) and 95% confidence intervals (CI). Results: Physical activity <600 MET/week [PORurban 1.051 (1.025 to 1.078)] [PORrural 1.184 (1.152 to 1.217)], ex-smoker

[PORurban 2.133 (2.06 to 2.31)] [PORrural 2.024 (1.95 to 2.10)], salty foods consumption ≥ 1 time/day [PORurban 0.970 (0.950 to 0.991)] [PORrural 1,028

(1,008- 1.048)] and fruit consumption <2 servings/day [PORurban 0.821 (0.771 to

0.847)] [PORrural 0.883 (0.808 to 0.965)] are the factors that associated with

hypertension in urban and rural areas. Meanwhile, vegetable consumption <3 servings/day [POR 0.952 (0.933 to 0.970)] are only associated with hypertension

in urban areas and fatty foods consumption ≥ 1 time/day [POR 1.046 (1.027 to 1.064)] is only associated with hypertension in rural areas. Conclusion: There are almost no differences between the factors associated with hypertension in the urban and rural areas. Therefore, prevention and control of hypertension are essential to decrease the prevalence and risk of hypertension in urban and rural area in Indonesia.

Keywords: hypertension, urban, rural Reading list: 141 (2000-2015)


(5)

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan Judul:

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN INDONESIA TAHUN 2013

Disusun Oleh: Dina Adlina Amu NIM. 1111101000036

Telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 18 Agustus 2015

Pembimbing I Pembimbing II

Catur Rosidati, SKM, MKM NIP. 197502102008012018

Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D NIP. 197904272005012005


(6)

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, 18 Agustus 2015

Penguji I

dr. Yuli Prapanca Satar, MARS NIP. 19530730 198011 1 001

Penguji II

Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes NIP. 19750215 200901 2 003

Penguji III


(7)

vi

Kupersembahkan Skripsi ini untuk Mama dan Papa yang tak henti berdoa

untukku hingga selalu ada semangat dan harapan baru untukku bangkit dari

segala kesedihan dan kelelahan dalam

menuntut ilmu…


(8)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

DATA DIRI

Nama : Dina Adlina Amu

Tempat, tanggal lahir

: Manado, 10 Desember 1993 Jenis Kelamin : Perempuan

Kewarganegaraan : Indonesia

Suku : Gorontalo

No. Telp : 081244714014/081527412391 Alamat email : dina.amu@gmail.com

Alamat : Linawan, RT 001, Desa Linawan, Kecamatan Pinolosian, Kabupaten Bolmong Selatan, Sulawesi Utara

Hobi : Membaca, traveling, penelitian

Kemampuan : Public speaking, pengoperasian komputer, bahasa Inggris, enumerator, analisis data (SPSS, Epidata) Nama Orang Tua : Ayah : Drs. Sofyan Amu, M.Si

Ibu : Djartin Monoarfa Pekerjaan Orang

Tua

: Ayah : PNS

Ibu : Ibu rumah tangga RIWAYAT PENDIDIKAN

TK Al-Hasanah, Yogyakarta (1998-1999)

SDN 1 Sagan, Yogyakarta SDN 05 Manado

SDN 1 Tataaran, Tondano Selatan

(1999-2001) (2001) (2001-2005)

Mts. Pondok Pesantren Assalam Manado (2005-2008)

MAN Insan Cendekia Gorontalo (2008-2011)

Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT. atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013ditujukan untuk menjelaskan secara ilmiah faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia tahun 2013 sehingga kedepannya diharapkan dapat dilaksanakan penanggulangan dan pengendalian yang tepat.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orangtua yang senantiasa memberikan dukukungan moral dan materi sehingga penulis menjadi lebih bersemangat dalam menyelesaikan proposal skripsi ini.

2. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM dan Ibu Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D selaku Dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran, arahan dan motivasi.

3. Laboratorium data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia yang telah memenuhi permintaan data Riskesdas tahun 2013 sebagai bahan penelitian

4. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


(10)

5. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Teman-teman seperjuangan Epidemiologi 2011 tercinta yang selalu memberikan dukungan semangat, perhatian dan saran untuk perbaikan skripsi ini. “Kalian luar biasa!”

7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 PSKM FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga memberi dukungan semangat sehingga memotivasi penulis agar bisa wisuda bersama

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan proposal skripsi ini, dimana tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Dalam pembuatan skripsi ini tentu masih memiliki keterbatasan dan perlu perbaikan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kemajuan penelitian selanjutnya.

Jakarta, 18 Agustus 2015


(11)

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Pertanyaan Penelitian ... 5

D. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan Umum ... 6

2. Tujuan Khusus ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ... 7

2. Manfaat bagi Masyarakat Indonesia ... 8

3. Manfaat bagi Peneliti Lain ... 8

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9


(12)

1. Definisi Hipertensi ... 9

2. Pengukuran Tekanan Darah ... 10

3. Jenis dan Patofisiologis Hipertensi ... 12

4. Gejala Klinis ... 13

B. Epidemiologi Hipertensi ... 14

1. Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ... 15

2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan ... 22

D. Kerangka Teori ... 46

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 49

A. Kerangka Konsep ... 49

B. Definisi Operasional ... 53

C. Hipotesis ... 57

BAB IV METODE PENELITIAN ... 59

A. Desain Penelitian ... 59

B. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 59

C. Populasi dan Sampel Penelitian ... 59

1. Populasi Penelitian ... 59

D. Metode Pengumpulan Data ... 61

E. Instrumen Pengumpulan Data ... 63

F. Manajemen Pengumpulan Data ... 71

1. Filter ... 71

2. Cleaning Data ... 71


(13)

xii

G. Analisa Data ... 75

BAB V HASIL ... 77

A. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 77

B. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 79

C. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 79

D. Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 81

E. Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 83

F. Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 84

BAB VI PEMBAHASAN ... 87

A. Keterbatasan Penelitian ... 87

B. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 89

1. Faktor Sosiodemografi ... 89

2. Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit ... 99

3. Faktor Gaya Hidup ... 103

BAB VII PENUTUP ... 117

A. Simpulan ... 117


(14)

DAFTAR PUSTAKA ... 121

LAMPIRAN 1 ... 132

LAMPIRAN 2 ... 134

LAMPIRAN 3 ... 136


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa ... 10

Tabel 2.2 Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia . 21 Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Riskesdas 2013 ... 50

Tabel 3.2 Definisi Operasional Penelitian ... 53

Tabel 4.1 Perhitungan Skor MET Berdasarkan Kriteria Intensitas Aktivitas Fisik ... 69

Tabel 4.2 Daftar Variabel dan Kuesioner ... 71

Tabel 4.3 Jumlah Sampel Hasil Penyeleksian Data ... 73

Tabel 4.4 Pengkodean Baru dan Pengkodean Ulang Data Riskesdas 2013 ... 74

Tabel 5.1 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 77

Tabel 5.2 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 79

Tabel 5.3 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 79

Tabel 5.4 Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 82

Tabel 5.5 Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 83

Tabel 5.6 Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ... 84


(16)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit Tidak

Menular ... 30

Bagan 2.2 Kerangka Teori ... 48

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ... 50

Bagan 4.1 Alur Penyeleksian Data... 72


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular yang menjadi isu kesehatan global saat ini. Data World Health Organization (WHO) tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia ≥ 25 tahun di dunia adalah sekitar 38,4%. Data tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Asia Tenggara mencapai 36,6%. Indonesia adalah negara dengan prevalensi hipertensi tertinggi kedua setelah Myanmar untuk kawasan Asia Tenggara, yaitu sekitar 41% (WHO, 2013; Krishnan dkk., 2013).

Trend kasus hipertensi pun terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan terjadinya transisi epidemiologi. Berdasarkan data WHO diketahui terjadi peningkatan kasus sebanyak 400 kasus dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2008 dan diprediksikan kasus hipertensi akan mencapai 1,56 miliar di tahun 2025 (WHO, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia menunjukkan bahwa 7,2% responden pernah didiagnosis dokter mengalami hipertensi di tahun 2007 dan meningkat menjadi 9,4% di tahun 2013 (Kemenkes RI, 2008; Kemenkes RI, 2013).

Karakteristik penyakit hipertensi yang asimtomatis menyebabkan penyakit hipertensi diketahui setelah penyakit sudah parah (WHO, 2013). Jika penyakit hipertensi tidak segera diobati maka berisiko menyebabkan penyakit lain seperti, stroke, infark miokard, kerusakan jantung, demensia, kerusakan


(18)

ginjal dan kebutaan (WHO, 2014). Hasil penelitian Walker di Tanzania, penderita hipertensi berisiko 2,14 kali terkena stroke (Walker, 2013). Hasil meta-analisis Fowkes di seluruh negara di dunia menunjukkan bahwa orang dengan hipertensi juga memiliki risiko 1,47 kali menderita penyakit arteri periferal (Fowkes dkk., 2013).

Hipertensi juga menyebabkan kehilangan sekitar 3 tahun kesempatan hidup pada penderita penyakit kardiovaskular (Rapsomaniki, 2014). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Cina, hipertensi merupakan risiko terjadinya disability-adjusted life-years (DALYs), dimana terjadi peningkatan kasus DALYs lebih dari 40% dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2010 (Yang dkk., 2013).

Dampak terburuk dari hipertensi adalah kematian dimana saat ini hipertensi diperkirakan dapat menyebabkan 7,5 miliar kematian atau 12,8% dari seluruh kematian (WHO, 2014). Penelitian Lim SS et al tahun 2012 juga menunjukkan bahwa komplikasi akibat hipertensi menyebabkan 9,4 miliar kematian di seluruh dunia setiap tahun (WHO, 2013). Di Asia Tenggara, hipertensi menyebabkan 1,5 miliar kematian setiap tahun (WHO, 2011).

Urbanisasi dan globalisasi merupakan penyebab tidak langsung dari peningkatan prevalensi hipertensi (Peer dkk., 2013). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keduanya merupakan faktor terjadinya perbedaan prevalensi hipertensi antara wilayah perkotaan dengan pedesaan (Addo dkk., 2007; Prabhakaran dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Musinguzi dan Nuwaha, 2013).


(19)

3

Penelitian Musinguzi dan Nuwaha pada masyarakat Uganda tahun 2012 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan pedesaan, yaitu 23,6% di perkotaan dan 21% di pedesaan (Musinguzi dan Nuwaha, 2013). Hasil analisis Riskesdas di Indonesia tahun 2013 juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di perkotaan lebih besar dibandingkan pedesaan, yaitu 26,1% di perkotaan dan 25,5% di pedesaan.

Dampak dari urbanisasi dan globalisasi paling nyata terjadi di perkotaan dimana gaya hidup masyarakat kota yang tidak sehat berisiko menyebabkan hipertensi (Prabhakaran dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Peer dkk., 2013). Masyarakat kota memiliki gaya hidup modern yang diikuti dengan perubahan pola konsumsi makanan yang mengandung garam dan lemak tinggi. Pola konsumsi makanan tersebut dapat mempengaruhi berat badan, dimana biasanya disertai dengan konsumsi rokok, kurangnya aktivitas fisik dan stres sehingga meningkatkan risiko terkena hipertensi (The Lancet, 2012).

Namun, gaya hidup masyarakat desa justru menunjukkan hal sebaliknya. Diet tradisional masyarakat desa yang tinggi protein seperti susu fermentasi yang mengandung bahan tambahan saponin dan fenolik dari tumbuhan dapat mencegah hipertensi dengan menurunkan kadar kolesterol dalam darah (Ngoye, 2014). Selain itu, gaya hidup aktif seperti lebih sering berjalan kaki setiap hari memungkinkan masyarakat desa lebih terlindungi dari hipertensi (Moore, 2001). Oleh karena itu, kemungkinan ada perbedaan antara faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dengan di pedesaan.


(20)

Penelitian Moreira dkk. (2013) menunjukkan bahwa jenis kelamin, usia, kebiasaan merokok dan riwayat diabetes berisiko merupakan faktor risiko hipertensi di wilayah perkotaan Brazil. Sedangkan, jenis kelamin, usia, pendapatan rumah tangga yang rendah dan tidak adanya asuransi kesehatan merupakan faktor risiko hipertensi di pedesaan.

Penelitian Mohan dkk. (2007) dan Hou dkk. (2008) menunjukkan bahwa usia, jenis kelamin, obesitas dan kebiasaan merokok merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada masyarakat perkotaan. Sedangkan, penelitian Mohan dkk. (2007) dan Hou dkk. (2008) pada masyarakat desa memperlihatkan bahwa faktor ekonomi dan kurangnya pengetahuan terkait risiko hipertensi berhubungan dengan kejadian hipertensi di wilayah peredesaan.

Tempat tinggal di pedesaan dan perkotaan berperan terhadap perubahan gaya hidup berisiko hipertensi pada masyarakat di kedua tempat tersebut. Penelitian terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia belum pernah dilakukan. Selain itu, sampel Riskesdas telah mewakili seluruh masyarakat Indonesia sehingga dapat mendiskripsikan kejadian hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia. Oleh karena itu, dengan tersedianya data terkait hipertensi dalam Riskesdas tahun 2013, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013 penting untuk dilakukan.


(21)

5

B. Rumusan Masalah

Kecenderungan prevalensi hipertensi secara global maupun nasional terus meningkat seiring dengan terjadinya transisi epidemologi. Di samping itu, prevalensi hipertensi di Indonesia lebih tinggi di wilayah perkotaan dibandingkan di pedesaan. Urbanisasi dan globalisasi menjadi faktor yang berperan penting karena keduanya mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti pola konsumsi makanan yang tidak sehat dan aktivitas fisik yang kurang membuat masyarakat perkotaan lebih berisiko mengalami hipertensi. Sebaliknya, diet tradsional dan budaya berjalan kaki membuat masyarakat desa lebih terlindungi dari hipertensi. Oleh karena itu, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi antara wilayah perkotaan dengan pedesaan di Indonesia pada tahun 2013 perlu dilakukan.

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan karakteristik sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

2. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

3. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi


(22)

makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

4. Apakah ada hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

5. Apakah ada hubungan antara faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

6. Apakah ada hubungan antara faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia pada tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan karakteristik

sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013


(23)

7

b. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

c. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013 d. Diketahuinya hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin,

umur, pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

e. Diketahuinya hubungan faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

f. Diketahuinya hubungan faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

E. Manfaat Penelitian

Berikut ini adalah berbagai manfaat dari penelitian ini.

1. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam pembuatan program pencegahan dan penanggulangan masalah hipertensi di Indonesia,


(24)

khususnya dalam menentukan program yang tepat untuk wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

2. Manfaat bagi Masyarakat Indonesia

Penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan untuk memperbanyak pengetahuan masyarakat, baik penderita hipertensi maupun bukan penderita hipertensi, terkait berbagai faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Selanjutnya, masyarakat diharapkan mampu untuk mencegah dan menanggulangi masalah hipertensi baik secara individu maupun komunitas.

3. Manfaat bagi Peneliti Lain

Peneliti lain dapat melakukan analisis lanjutan berupa analisis multivariat untuk melihat faktor gaya hidup apa yang lebih dominan dalam mempengaruhi kejadian hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain cross sectional yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli tahun 2015 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, penelitian ini menggunakan data Riskesdas tahun 2013 sebagai bahan analisis untuk menjawab pertanyaan penelitian.


(25)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi

1. Definisi Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan suatu kondisi ketika pembuluh darah terus-menerus mengalami peningkatan tekanan (WHO, 2015). Tekanan darah adalah kekuatan yang dibutuhkan untuk mendorong atau memompa darah agar dapat mengalir di dalam pembuluh darah (Gunawan, 2001). Semakin tinggi tekanan, semakin kuat jantung memompa darah (WHO, 2015).

Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter merkuri (mmHg) dan dinyatakan dalam dua angka, yaitu sistolik dan diastolik. Sistolik adalah tekanan tertinggi pada pembuluh darah dan terjadi ketika jantung berkontraksi atau berdetak. Sedangkan, diastol adalah tekanan terendah ketika otot-otot jantung mengalami relaksasi (WHO, 2013).

Tekanan darah orang dewasa normal adalah kurang dari 120 mmHg untuk diastol dan 80 mmHg. Sedangkan, tekanan darah tinggi atau biasa disebut hipertensi adalah ketika tekanan darah telah mencapai ataupun melebihi 140 mmHg (sistol) dan 90 mmHg (diastol). Berikut ini adalah klasifikasi tekanan darah menurut Joint National Committee 7 (JNC 7) (JNC, 2004).


(26)

Tabel 2.1

Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa

Klasifikasi Tekanan Darah SBP* (mmHg) DBP** (mmHg)

Normal <120 <80

Prahipertensi 120-139 80-89

Hipertensi Level 1 140-159 90-99

Level 2 ≥160 ≥100

*Systolic Blood Pressure **Diastolic Blood Pressure Sumber: Joint National Comitee (JNC), 2004

Beberapa referensi menyebutkan bahwa hipertensi adalah kondisi dimana tekanan darah sistolik ≥140 dan tekanan darah diastolik ≥90 seperti yang dijelaskan dalam JNC 7. Namun, nilai tekanan darah tersebut merupakan hasil rata-rata dari dua kali pengukuran tekanan darah pada setiap dua atau lebih kunjungan setelah skrining awal. Selain itu, kenaikan tekanan darah ini harus mempertimbangkan kondisi pasien, dimana terdapat kondisi yang menyebabkan kenaikan tekanan darah sesaat (Aiyagari, 2011; Kaplan dan Michael, 2010; Klabunde, 2005). 2. Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah sebaiknya memperhatikan jenis alat yang digunakan, ukuran dan penempatan manset, penempatan stetoskop, posisi tubuh dan lengan, keahlian pengukur serta frekuensi pengukuran (Pickering dkk., 2005). Berikut ini adalah cara mengukur tekanan darah yang sebaiknya dilakukan (Pickering dkk., 2005).

a. Spignomanometer merkuri sejauh ini masih menjadi gold standar dalam pengukuran tekanan darah. Namun, penggunaan spinomanometer ini dapat mengontaminasi lingkungan. Oleh karena belum ada pengganti yang berlaku umum untuk spignomanometer


(27)

11

ini maka penggunaannya masih diperbolehkan dengan syarat harus dilakukan pemeliharaan yang baik untuk menghindari kontaminasi merkuri ke lingkungan. Selain itu petugas yang mengukur tekanan darah pun harus: (1) terlatih; (2) mengetahui keadaan pasien yang dapat mempengaruhi pengukuran tekanan darah, seperti kecemasan dan baru mengonsumsi nikotin, sebaiknya pasien tidak mengonsumsi rokok 30 menit sebelum pengukuran (Aiyagari, 2011); (3) mengatur posisi pasien dengan benar (4) pemilihan dan penempatan manset yang tepat dan (5) mengukur dengan metode oskilometrik auskulasi atau otomatis serta merekam hasilnya dengan akurat.

b. Pasien harus duduk dengan nyaman menggunakan sandaran punggung dan lengan atas dibiarkan terbuka tanpa tertupi oleh pakaian yang tebal (Kaplan dan Michael, 2010). Lengan baju tidak boleh digulung semedikan rupa sehingga memberikan efek torniket. Kaki tidak perlu disilangkan.

c. Lengan harus disejajarkan dengan posisi jantung dan kantung manset harus mengelilingi minimal 80% dari lingkar lengan (Kaplan dan Michael, 2010). Apabila pengukuran dilakukan pada pasien dengan posisi berbaring maka sebaiknya lengan ditopang dengn bantal. d. Jarak antara fossa antecubital dengan ujung bahwah manset harus

sekitar 2-3 cm sehingga ada ruang untuk menempatkan stetoskop (Kaplan dan Michael, 2010). Ukuran manset harus sesuai dengan lingkar lengan pasien.


(28)

e. Kolom merkuri harus turun hingga 2 sampai 3 mm/s, suara pertama yang terdengar akan menjadi tekanan sistolik dan suara yang didengar terakhir kali akan menjadi tekanan diastolik. Kolom harus dibaca dengan ketelitian 2 mmHg.

f. Baik pasien maupun pengamat harus berbicara selama pengukuran. g. Pengukuran sebaiknya dilakukan 2 kali dengan selang waktu 1-2

menit (Kaplan dan Michael, 2010). Rata-rata dari kedua hasil tersebut kemudian menjadi hasil akhir tekanan darah pasien. Namun, ketika ada perbedaan 5 mmHg atau 10 mmHg antara pengukuran pertama dengan kedua maka dilakukan pengukuran ulang kemudian hasilnya dirata-ratakan (Kaplan dan Michael, 2010; Kemenkes RI, 2013). Hasil rata-rata dari semua pengukuran tersebut kemudian menjadi tekanan darah akhir pasien.

3. Jenis dan Patofisiologis Hipertensi

Hipertensi terbagi 2, yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer (esensial) adalah hipertensi yang hingga sekarang tidak jelas penyebabnya. Interaksi faktor genetik dengan lingkungan yang rumit kemudian dihubungkan oleh pejamu mediator neuro-hormonal merupakan ciri dari hipertensi esensial. Sejauh ini hipertensi primer disebabkan oleh peningkatan aktifitas sistem rennin-angiotensin-aldosteron, system saraf simpatis, gangguan transport garam dan interaksi yang kompleks antara resistensi insulin dengan fungsi endotel (Brashers, 2003).


(29)

13

Berbeda dengan hipertensi primer, hipertensi sekunder lebih jelas penyebabnya, yaitu karena adanya penyakit atau gangguan tertentu. Contohnya, penyakit renovaskular yang terjadi karena aterosklerosis yang menyebabkan penyempitan arteri renalis dikarenakan berkurangnya perfusi ginjal. Selain itu ada juga hipertensi akibat peningkatan volume darah (Baradero, 2005).

4. Gejala Klinis

Gejala klasik dari hipertensi adalah sakit kepala, epistaksis, perdarahan hidung, dan pusing. Namun, berbagai studi mengindikasikan frekuensi yang rendah atas gejala-gejala tersebut di populasi. Gejala lain yang lebih umum di populasi adalah kemerahan, berkeringat, dan pandangan kabur. Walaupun begitu, tidak sedikit juga yang asimtomatik (tidak menunjukkan gejala) (Lilly, 2011).

Peningkatan tekanan, termasuk hipertropi ventrikel kiri dan retinopati adalah beberapa tanda-tanda dari hipertensi. Selain itu, hipertensi dengan komplikasi aterosklerosis akan menyebabkan arterial bruits, khususnya pada karotid dan arteri femoral (Lilly, 2011).

5. Pencegahan Hipertensi

Penanggulangan kejadian hipertensi di masyarakat dapat dilakukan dengan pengendalian faktor risiko. Pengendalian faktor risiko hipertensi dapat dilakukan melalui upaya promosi kesehatan, yaitu komunikasi-informasi-edukasi (KIE). Posbindu berperan besar dalam pelaksanaan KIE di masyarakat (Kemenkes RI, 2013). Pengendalian faktor risiko meliputi (Kemenkes RI, 2013):


(30)

a. Makan gizi seimbang, yaitu dianjurkan untuk mengonsumsi sayur dan buah 5 porsi/hari, melakukan pembatasan konsumsi gula, garam dan makanan berlemak.

b. Mengatasai obesitas.

c. Olahraga teratur, yaitu disarankan senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit (sejauh 3 kilometer) lima kali per minggu. d. Berhenti merokok. Saran untuk berhenti merokok mungkin sulit

untuk dilakukan, tetapi konseling terkait rokok harus dilakukan agar perokok dapat terus mendapatkan dorongan untuk berhenti merokok. Selain itu, metode lain yang dapat digunakan adalah menyarankan perokok untuk mennganti rokok dengan permen yang mengandung nikotin dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu kebiasaan merokok perlahan-lahan dapat ditinggalkan.

B. Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi telah menjadi masalah global. Data WHO tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia 25 tahun atau lebih adalah sekitar 38,4% (WHO, 2014). Penelitian Rapsomaniki dkk. (2014) terhadap 1,25 miliar orang di Inggris diketahui bahwa 87% di antaranya mengalami hipertensi.

Di Afrika, prevalensi pada tahun 2010 adalah sebesar 30,8% (Adeloye dan Basquill, 2014). Di Brazil, prevalensi hipertensi tahun 2008 mencapai 20,9% (Moreira dkk., 2013). Di Cina, prevalensi hipertensi tahun 2006 pada orang dewasa sebesar 26,6% (Xu dkk., 2008).


(31)

15

1. Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan

Urbanisasi dan globalisasi merupakan faktor penyebab tidak langsung dari hipertensi (WHO, 2014; Peer, 2013; Sobngwi, 2004). Beberapa penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa urbanisasi dan globalisasi menjadi faktor penting yang menyebabkan adanya perbedaan prevalensi hipertensi antara wilayah urban dengan rural (Prabhakaran dkk., 2007; Addo dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Musinguzi dan Nuwaha, 2013). Prevalensi hipertensi di wilayah urban lebih tinggi dibandingkan wilayah rural (Prabhakaran dkk., 2007; Addo dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Chang, 2003; Paibul, 2003).

Urbanisasi sendiri didefinisikan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Berbagai alasan masyarakat desa memilih untuk migrasi ke kota di antaranya adalah (Santy dan Buhari, 2015):

a. Masyarakat ingin hidup modern dan mewah. Media masa cetak dan eloktronik memberikan informasi terkait kehidupan modern dan mewah di kota sehingga mempengaruhi masyarakat desa untuk bisa menikmatinya juga.

b. Kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Perkembangan industri di kota mempengaruhi masyarakat desa berpikir akan memperoleh pekerjaan yang lebih baik jika mereka tinggal di kota. c. Pendidikan. Kualitas pendidikan di desa yang minim menjadi alasan

masyarakat pindah ke kota agar memperoleh pendidikan yang lebih baik. Fasilitas dan jenjang pendidikan di desa juga minim sehingga


(32)

masyarakat desa pindah ke kota agar dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, seperti universitas. d. Fasilitas dan infrastruktur di kota lebih lengkap, seperti pelayanan

kesehatan, lapangan pekerjaan dan pendidikan. Selain itu, ada juga fasilitas lain seperti tempat hiburan (bioskop, pusat perbelanjaan modern, dan lain-lain).

e. Kesempatan untuk menjadi lebih maju dan hebat.

f. Memperoleh kebebasan personal. Beberapa orang menghindari kehidupan di desa yang penuh kontrol sosial yang ketat.

Saat ini, kondisi urbanisasi di Indonesia semakin berkembang. Pertambahan penduduk kota Indonesia yang diperkirakan mencapai 95% dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2025 (Santoso, 2006). Selain itu, perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia tahun 2010-2015 adalah 17,26%. Perbedaan tersebut diprediksikan akan terus meningkat setiap 5 tahun, yaitu mencapai 20,98% di periode tahun 2030-2035 (BPS, 2013).

Selain perkembangan urbanisasi, globalisasi juga semakin berkembang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi terus berkembang di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia. Walaupun penggunaan internet di pedesaan masih minim, tetapi bukan berarti tidak ada pengguna internet di pedesaan. Selain itu, telepon dan televisi bukan merupakan hal baru di pedesaan (APJII, 2012; Hadiyat Y. D., 2014). Pada tahun 2011, 95,56% rumah tangga di Indonesia adalah pengguna televisi, 90% adalah pengguna telepon dan hanya 37,51% rumah tangga


(33)

17

yang memiliki akses internet. Artinya, sebagian besar masyarakat kota maupun desa memperoleh informasi dari media televisi (Kemenkominfo, 2011).

Dampak buruk dari kemudahan memperoleh informasi di antaranya adalah masyarakat tergiur dengan pengaruh iklan. Contohnya iklan makanan cepat saji dan produk tekonologi yang mendorong masyarakat, terutama remaja untuk mengonsumsinya dan menjadikannya gaya hidup (Hutagalung I., 2004; Emalia R. D. dkk., 2009; Arief E. dkk., 2011; APJII, 2013).

Selain itu, gadget atau smartphone yang tersambung dengan jaringan internet sedang digemari oleh para generasi muda saat ini. Hal ini membuat mereka menjadi jarang bergerak dan berolahraga karena digunakan terlalu sering. Hasil penelitian Syamsoedin W. K. P. dkk (2015) diketahui 30,6% remaja SMA Negeri 9 Manado mengakses internet 5-6 jam/hari. Artinya, hampir seperempat dari kehidupan sehari-hari mereka digunakan untuk mengakses internet.

Perkembangan urbanisasi dan globalisasi menjadi masalah ketika tanpa didukung oleh fasilitas, peluang pekerjaan dan tempat tinggal. Dampaknya adalah terjadi perubahan gaya hidup masyarakat desa, dimana masyarakat desa mulai mengikuti gaya hidup modern (Santy dan Buhari, 2015). WHO (2014) juga menjelaskan bahwa urbanisasi memberikan pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat sehingga masyarakat berisiko mengalami hipertensi. Gaya hidup berisiko yang


(34)

dimaksud adalah diet tidak sehat, aktvitas fisik kurang, merokok dan konsumsi alkohol (WHO, 2014).

Penelitian di India menunjukkan prevalensi hipertensi lebih tinggi pada wilayah urban dibandingkan wilayah rural. Penelitinya berpendapat bahwa urbanisasi berperan penting dalam hal ini karena urbanisasi mengubah siklus kehidupan dan secara otomatis mengubah gaya hidup, terutama terkait pola makan dan aktivitas fisik. Pola makan lebih cenderung pada makanan yang mengandung lemak dan garam dibandingkan yang mengandung serat seperti sayuran dan buah-buahan (Prabhakaran dkk., 2007).

Sebuah penelitian di Afrika juga menununjukkan prevalensi hipertensi lebih tinggi pada wilayah urban dibandingkan wilayah rural disebabkan oleh adanya perbedaan gaya hidup di antara kedua wilayah tersebut. Tingkat obesitas yang tinggi, konsumsi makanan berlemak dan bergaram yang berlebih serta komitmen dengan jenis pekerjaan yang menyebabkan kurangnya aktivitas fisik menjadi alasan mengapa prevalensi hipertensi lebih tinggi di wilayah urban (Addo dkk., 2007). Keberadaan dan ketersediaan sistem transportasi, mesin pencuci piring, mesin cuci dan remote control di era globalisasi mengurangi aktivitas fisik masyarakat kota (Ekezie dan Anthony, 2011).

Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi antara wilayah urban dengan rural tidak jauh berbeda (Adeloye dan Basquill, 2014; Moreira dkk, 2013; Okpechi dkk., 2014). Misalnya, prevalensi hipertensi pada wilayah urban dengan wilayah rural di Brazil


(35)

19

yang tidak jauh berbeda, yaitu 21% dan 20,1% (Moreira dkk., 2013). Hal ini karena golabalisasi tidak selamanya memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta berkembangnya kualitas dan fasilitas pelayanan kesehatan di perkotaan justru dapat memudahkan masyarakat untuk memperoleh informasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas (Martens P. dkk., 2010).

Selain itu, sebenarnya sulit untuk melakukan pembedaan antara masyarakat perkotaan dengan pedesaan. Seberapa kecilnya suatu desa masih bisa terpengaruh oleh masyarakat kota. Hal ini karena adanya hubungan antara konsentrasi masyarakat dengan gejala-gejala sosial berupa urbanisme. Urbanisme merupakan kondisi dimana adanya masyarakat desa yang tinggal di kota sesekali kembali ke desa dan membawa gaya hidup di kota sehingga sebagian masyarakat desa ada yang menirunya (Soekanto, 2009). Penduduk desa yang datang ke kota bahkan dapat mengalami peningkatan tekanan darah sekalipun hanya berkunjung dalam rentang waktu satu bulan (Ekezie dan Anthony, 2011)

Berdasarkan peraturan No. 37 Tahun 2010, pengertian perkotaan dan pedesaan adalah sebagai berikut.

a. Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat desa/kelurahan yang memenuhi klasifikasi wilayah perkotaan.

b. Pedesaan adalah suatu wilayah administrasi setingkat/desa/kelurahan yang belum memenuhi klasifikasi wilayah perkotaan.


(36)

Kriteria klasifikasi wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia terdapat dalam Tabel 2.3. Sedangkan, berikut ini adalah perbedaan antara masyarakat kota dan desa (Soekanto, 2009).

a. Masyarakat Perkotaan

1) Jumlah penduduk tidak tentu 2) Masyarakat bersifat individualis

3) Perubahan sosial terjadi secara cepat, menimbulkan konflik antara golongan muda dengan golongan orang tua

4) Interaksi lebih disebabkan faktor kepentingan daripada faktor pribadi

5) Perhatian lebih pada penggunaan kebutuhan hidup yang dikaitkan dengan masalah gengsi

6) Kehidupan keagamaan lebih longgar

7) Banyaknya pengangguran, meningkatnya kriminalitas, persoalan rumah dan lain-lain yang merupakan dampak negatif dari kedatangan para migran yang berasal dari daerah

b. Masyarakat Pedesaan

1) Antarwarga memiliki hubungan yang lebih erat

2) Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar kekeluargaan

3) Umumnya hidup dari pertanian 4) Golongan orang tua berperan penting

5) Dari sudut pemerintahn, hubungan antara penguasa dengan rakyat bersifat informal


(37)

21

6) Masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pokok 7) Kehidupan keagamaan lebih kental

8) Banyak yang berurbanisasi ke kota

Dalam penentuan wilayah sesungguhnya tidak dapat langsung digolongkan menjadi desa atau kota. Hal ini karena tidak semua desa merupakan daerah tertinggal. Hanya 30% desa terpencil yang berlokasi di wilayah Barat Indonesia sedangkan sisanya berada di Indonesia bagian Timur. (Kemendesa, 2013). Oleh karena itu, sebaiknya ada tingkatan dalam pengkategorian wilayah desa atau kota.

Tabel 2.2

Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia

No. Variabel/Klasifikasi Skor

Total Skor

 Skor minimum  Skor maksimum

2 26 1. Kepadatan penduduk

< 500 500 - 1.249 1.250 - 2.499 2.500 - 3.999 4.000 - 5.999 6.000 - 7.499 7.500 - 8499 8.500 < 1 2 3 4 5 6 7 8 2. Persentase rumah tangga pertanian

70,00 < 50,00 – 69,99 30,00 – 49,99 20,00 – 29,99 15,00 – 19,99 10,00 – 14,99 5,00 – 9,99 < 5,00 1 2 3 4 5 6 7 8

3. Akses fasilitas umum 0, 1, 2, …, 10

a. Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) 1) Ada atau ≤ 2,5 km

2) > 2,5 km

1 0


(38)

No. Variabel/Klasifikasi Skor b. Sekolah Menengah Pertama (SMP)

1) Ada atau ≤ 2,5 km 2) > 2,5 km

1 0 c. Sekolah Menengah Umum (SMU)

1) Adaatau ≤ 2,5 km 2) > 2,5 km

1 0 d. Pasar

1) Ada atau ≤ 2 km 2) > 2 km

1 0 e. Pertokoan

1) Adaatau ≤ 2 km 2) > 2 km

1 0 f. Bioskop

1) Ada atau ≤ 5 km 2) > 5 km

1 0 g. Rumah Sakit

1) Ada atau ≤ 5 km 2) > 5 km

1 0 h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon

1) Ada 2) Tidak ada

1 0 i. Persentase Rumah Tangga Telepon

1) 8,00 2) < 8,00

1 0 j. Persentase Rumah Tangga Listrik

1) 90,00 2) < 90,00

1 0 Total Skor ≥ 10 = Desa/Kelurahan Perkotaan (Urban)

Total Skor < 10 = Desa/Kelurhan Pedesaan (Rural) Sumber: BPS, 2010

2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan

WHO (2014) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi hipertensi adalah usia, kemiskinan, pelayanan kesehatan, genetik, stres, obesitas, aktivitas fisik, merokok, konsumsi alkohol, konsumsi makanan asin dan lemak berlebih dan kurang mengonsumsi sayur dan buah. Berikut ini merupakan pejelasan


(39)

23

faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi hipertensi.

a. Jenis Kelamin

Penelitian Kannan dan Satyamoorthy (2009) dan Mohan dkk. (2007) menyebutkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi. Penelitian Moreira dkk. (2013) di Brazil, risiko hipertensi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, baik wilayah rural maupun urban.

Di wilayah rural Liaoning Cina, perempuan berisiko 1,293 mengalami hipertensi dibandingkan laki-laki (Xu dkk., 2008). Di wilayah urban India, prevalensi hipertensi juga lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Prabhakaran dkk., 2007). Perempuan akan lebih berisiko pada usia >50 tahun dibandingkan dengan laki pada usia yang sama (Howteerakul dkk., 2006).

Perempuan berusia >40 tahun lebih berisiko mengalami hipertensi daripada laki-laki karena pengaruh hormon estrogen. Hormon estrogen berperan dalam proteksi tekanan darah istirahat ketika adanya aktivitas saraf simpatis akibat dari peningkatan aktivitas saraf simpatis otot. Oleh karena itu, prevalensi ataupun risiko hipertensi akan meningkat pada perempuan yang telah menopouse (Robertson, 2012).

Namun, pada beberapa penelitian prevalensi ataupun risiko hipertensi justru lebih tinggi pada laki-laki. Di Chennai, prevalensi hipertensi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan


(40)

(laki-laki: 23,2% perempuan: 17,1%) (Mohan, 2007). Penelitian Howteerakul dkk. (2006) di wilayah rural Thailand menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Penelitian Howteerakul dkk. (2006) menjelaskan bahwa laki-laki berusia <50 tahun berisiko mengalami hipertensi lebih tinggi dibandingkan perempuan pada usia yang sama. Hal ini karena mereka cenderung lebih sering terpapar oleh perilaku berisiko hipertensi, seperti konsumsi alkohol dan rokok.

Hasil penelitian Peer dkk. (2013) juga menjelaskan prevalensi hipertensi lebih laki-laki tinggi dibandingakan perempuan karena perempuan lebih baik dalam mengontrol hipertensi. Hal tersebut dikarenakan perempuan lebih mudah menerima pengobatan dan lebih mudah mengubah gaya hidup. Selain itu, perempuan lebih sering mengunjungi tempat pelayanan kesehatan untuk keperluan kesehatan Ibu dan Anak sehingga mereka memiliki kesempatan memeriksakan tekanan darah. Sedangkan, laki-laki lebih tertarik pada urusan pekerjaan dibandingkan mengunjungi pelayanan kesehatan, terutama saat jam kerja masih berlangsung (Peer dkk., 2013).

b. Umur

Umur sering dihubungkan dengan kejadian hipertensi. Hal ini karena seiring dengan pertembahan usia, elastisitas pembuluh darah arteri semakin berkurang. Hal ini dipengaruhi oleh adanya


(41)

25

penumpukan kolagen dan hipertropi sel otot halus yang tipis, berfragmen dan patahan dari serat elastin. Selain itu, seiring pertambahan usia terjadi abnormalitas struktural berupa disfungsi endotel sehingga meningkatkan kekakuan pada pembuluh darah arteri orang tua (Black dkk., 2007).

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa adanya hubungan antara usia dengan hipertensi (Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Howteerakul dkk., 2006; Xu dkk., 2008). Prevalensi dan risiko hipertensi akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Hou, 2008; Musingizi dkk., 2013; Howteerakul dkk., 2006; Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, risiko hipertensi terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia bahkan hingga 11,53 kali ketika seseorang berusia 75 tahun (Rahajeng dan Tuminah., 2009). Laporan hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa sebagian besar lansia cenderung mengalami hipertensi, yaitu 57,6% kemudian disusul penyakit artritis 51,9% (Kemenkes RI, 2013)

Di Brazil, baik di wilayah rural maupun urban, risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Namun, risiko hipertensi lebih besar pada wilayah urban dibandingkan dengan wilayah rural (Moreira dkk., 2013). Selain itu, penelitian di wilayah rural Thailand menunjukkan adanya hubungan antara usia dengan hipertensi dan orang dengan usia >40 tahun berisiko 4,2 kali mengalami hipertensi dibandingkan yang berusia


(42)

c. Pendidikan

Hasil penelitian Yang dkk. (2006) dan Okpechi dkk. (2013) membuktikan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan hipertensi. Penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia dan Penelitian Zhang dkk. (2013) di Cina menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula risiko mengalami hipertensi. Penelitian di wilayah urban Afrika

Selatan menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ≤7

tahun dengan kejadian hipertensi (Peer dkk., 2013). Selain itu, di Brazil, orang yang menempuh pendidikan selama ≥15 tahun dapat terlindungi dari risiko hipertensi sebesar 0,69 kali di wilayah urban dan 0,75 kali di wilayah rural (Moreira dkk., 2013).

Hubungan antara pendidikan dengan hipertensi bisa dikatakan hubungan tidak langsung. Hal ini karena adanya peran pengetahuan, dimana tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan seseorang, pengetahuan yang baik kemudian akan menimbulkan kesadaran. Kesadaran masyarakat tentang faktor risiko hipertensi akan membuat mereka dengan sukarela mengubah gaya hidup (Aung dkk., 2012; Anggara dan Prayitno., 2013).

Tingkat pendidikan formal yang rendah merupakan salah satu hambatan untuk menimbulkan kesadaran terhadap faktor risiko hipertensi pada masyarakat desa dan penduduk minoritas (Aung dkk., 2012). Hasil penelitian Aung dkk. (2012) pada masyarat desa etnis Karen di Thailand membuktikan bahwa responden yang


(43)

27

memperoleh pendidikan formal 6,5 kali lebih tahu tentang hipertensi dibandingkan yang tidak memperoleh pendidikan formal. Penelitian Viera dkk. (2008) di California juga membuktikan bahwa responden dengan tingkat pendidikan rendah berisiko 2,43 kali memiliki pengetahuan tentang hipertensi yang rendah.

Namun, tingkat pengetahuan cukup pun belum bisa menjamin terciptanya perilaku yang baik karena menurut teori Lehendroff dan Tracy perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan tetapi juga kemauan (Sudarma M., 2008). Informasi yang diterima masyarakat di luar lingkungan pendidikannya juga berperan penting terhadap peningkatan pengetahuan (Suhardi dkk., 2014; Shaikh, 2011). Oleh karena itu, metode penyuluhan yang diterapkan pun perlu diperhatikan agar menarik minat masyarakat. Hal ini karena setiap masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Maulana H. D. J., 2009).

d. Pekerjaan

Penelitian Peer dkk. (2013), Kannan L. dan Satyamoorthy (2009) dan Yang dkk. (2006) diketahui bahwa ada hubungan antara status pekerjaan dengan kejadian hipertensi. Di Brazil, orang yang bekerja dapat terhindar dari hipertensi sebesar 0,73-0,88 kali pada wilayah urban dan 0,79-0,81 kali pada wilayah rural dibandingkan dengan yang tidak bekerja (Moreira dkk., 2013). Sedangkan di Indonesia, orang yang tidak bekerja berisiko 1,42 kali mengalami hipertensi (Rahajeng dan Tuminah., 2009).


(44)

Orang yang bekerja dapat terlindungi dari hipertensi karena dirinya melakukan aktivitas fisik yang baik untuk peredaran darah (Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Namun, Yang dkk. (2006) menjelaskan bahwa jam kerja yang panjang dapat meningkatkan risiko hipertensi melalui beberapa hal. Pertama, jam kerja yang panjang akan mengurangi waktu untuk pemulihan dan istirahat tidur sehingga berdampak gangguan proses psikologis. Kedua, jam kerja yang panjang berhubungan dengan gaya hidup dan perilaku, termasuk merokok, diet tidak sehat dan kurang aktivitas fisik. Lebih jauh lagi, jam kerja yang panjang membuat pekerja terpajan kondisi psikologis berbahaya di lingkungan kerja dalam waktu yang lama.

Selain itu jenis dan kondisi lingkungan kerja dapat menjadi faktor risiko dari hipertensi. Contohnya, pekerja industri yang terpapar kondisi lingkungan kerja yang panas dan bising dapat berisiko terkena hipertensi (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Rodahl K., 2005; Levy B. S. dkk., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Kondisi lingkungan yang panas dapat menyebabkan stres yang dapat tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi (Rodahl K., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014).

Peningkatan tekanan darah juga dapat terjadi ketika kondisi lingkungan bising karena dapat mempengaruhi viskositas plasma dan menyebabkan penyempitan pembuluh darah (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Selain itu, jenis pekerjaan seperti pegawai negeri sipil, pekerja bank, supir, petugas


(45)

29

pengamanan (security) dan pekerjaan yang mengandalkan mesin otomatis membuat para pekerja menjadi kurang beraktivitas fisik sehingga berisiko hipertensi (Kumar P. dkk., 2002; Divan V. dkk., 2010; Bosu, 2014).

Pengendalian risiko kesehatan kerja penting dilakukan sebagai upaya pencegahan hipertensi akibat kerja, baik itu melalui manajemen kerja, penggunaan alat pelindung diri (APD), ataupun penguran sumber pemapar. Pengaturan waktu kerja penting untuk mengurangi keterpaparan suhu tinggi dan kebisingan di lingkungan kerja. Penyediaan alat pendingin ruangan ataupun ruang ruang pendingin khusus pekerja juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi lingkungan kerja yang panas. Selain itu, penggantian alat sumber kebisingan dengan alat yang lebih rendah tingkat kebisingannya dapat menjadi solusi untuk mengurangi kebisingan di lingkungan kerjaa (Hughes P. dan Ferret E., 2011).

e. Kemiskinan

WHO (2011) menjelaskan bahwa kemiskinan secara tidak langsung dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti yang terlihat pada Bagan 2.1. Lebih khusus, pendapatan keluarga yang tinggi akan mempermudah seseorang dalam memperoleh informasi, cara pencegahan, pengobatan dan diagnosis segera penyakit hipertensi (Mion dkk., 2004). Hasil penelitian Mion dkk. (2004) di Brazil menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,66 kali.


(46)

Penelitian kohort oleh Conen dkk. (2009) pada tenaga kesehatan perempuan di Rumah Sakit juga membuktikan bahwa pendapatan yang rendah berhubungan dengan hipertensi (P = 0,05). Semakin rendah pendapatan maka semakin meningkat risiko hipertensi. Penelitian Conen dkk. (2009) juga menjelaskan bahwa status sosial ekonomi yang rendah menyebabkan hipertensi karena adanya pengaruh akses ke pelayanan bekualitas, diet, dukungan sosial, stres emosional, dan lingkungan tetangga yang tidak menguntungkan.

Bagan 2.1

Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit Tidak Menular

Sumber: WHO, 2010

Kearney dkk. (2005) menjelaskan bahwa kemiskinan menjadi faktor dalam pemilihan makanan. Pendapatan yang rendah akan menurunkan kemampuan membeli makanan yang sehat. Selain itu, pendapatan yang rendah mendorong individu untuk bekerja lebih giat sehingga lebih memilih mengonsumsi makanan cepat saji di luar rumah. Hal ini sering terjadi pada masyarakat perkotaan.


(47)

31

Di Indonesia, status ekonomi berhubungan dengan kejadian hipertensi pada masyarakat miskin (P = 0,000) (Indrawati dkk., 2009). Penelitian Khanam dkk. (2015) pada masyarakat pedesaan di Bangladesh juga menunjukkan bahwa status ekonomi berhubungan dengan hipertensi (P < 0,0001). Sebaliknya, penelitian Khan dkk. (2013) tidak menunjukkan adanya hubungan dari status sosial ekonomi dengan hipertensi.

f. Akses ke Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan berperan penting dalam penanggulangan penyakit kardiovaskular, terutama pelayanan kesehatan primer. Pelayanan kesehatan diharapkan dapat menyediakan obat-obatan yang cukup dan pemeriksaan untuk penyakit kardiovaskular. Sulitnya akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan akan mempersulit masyarakat untuk memperoleh informasi, pemeriksaan dan pengobatan penyakit kardivaskular (WHO, 2014).

Hasil systematic review Maimaris dkk. (2013) menunjukkan bahwa jarak ke pelayanan kesehatan berhubungan dengan hipertensi, dimana dalam penelitian Ambaw dkk (2012) jarak >30 menit meningkatkan risiko hipertensi sebesar 2,02 kali. Di Indonesia, sebagian besar masyarakat memerlukan waktu 16-30 menit (34,4-37,7%) untuk sampai ke sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit. Selain itu, sebagian besar masyarakat memerlukan waktu < 15 menit (60-80%) untuk sampai ke Puskesmas, Puskesmas pembantu, praktik dokter/klinik, praktik bidan atau rumah bersalin, Pos


(48)

Kesehatan Desa (Poskesdes), Pos Lintas Desa (Polindes) dan Posyandu (Kemenkes RI, 2013).

Untuk pergi ke sarana pelayanan kesehatan, sebagian besar masyarakat menggunakan sepeda motor (sekitar 70%) dan biaya transportasi menuju unit kesehatan berbasis masyarakat terdekat

adalah ≤ Rp.10.000.. Namun, ada sekitar 5% masyarakat dengan status ekonomi rendah yang harus menggunakan alat transportasi lebih dari satu. Selain itu, sekitar 45% masyarakat ekonomi rendah menempuh perjalanan ke Rumah Sakit pemerintah terdekat selama > 60 menit (Kemenkes RI, 2013).

Secara finansial, upaya pencegahan hipertensi dan pelayanan kesehatan terhadap penderita hipertensi telah ditanggulangi oleh pemerintah Indonesia melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (BPJS, 2014). Indonesia juga memiliki Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan berbasis masyarakat yang berperan penting terhadap deteksi dini penyakit jantung dan pembuluh darah dan pembinaan gaya hidup sehat pada masyarakat (Kemenkes RI, 2013). Namun, berdasarkan hasil penelitian Handayani (2012) pemanfaatan Posbindu oleh para lansia di Kecamatan Ciomas masih rendah, yaitu 23%. Jarak, dukungan keluarga, peran kader dan peran petugas kesehatan adalah faktor yang berhubungan dengan rendahnya pemanfaatan Posbindu (Handayani, 2012).


(49)

33

g. Genetik

Faktor genetik berpengaruh terhadap hipertensi karena memiliki peran dalam metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel (Depkes, 2006). Namun, Hipertensi secara patofisiologis tidak hanya dipengaruhi oleh regulasi otak dan ginjal. Namun, menurut paradigma biologi molekular, hipertensi juga dipengaruhi oleh regulasi endotel Relaxing factor dapat diproduksi oleh endotel yang berperan sebagai gas vasoaktif, yaitu nitric oxide (NO) (Sulastri, 2011).

Produksi NO dikendalikan oleh gen eNOS3. Glu298Asp merupakan salah satu polimorfisme gen eNOS3 yang berhubungan dengan kejadian hipertensi. Mutasi yang terjadi berupa subtitusi guanine menjadi timin pada exon 7 posisi 894 yang menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi protein matur dari glutamat menjadi aspartat pada posisi 298. Polimorfisme Glu298Asp (G894T) sebagai varian yang berperan terjadinya hal tersebut menyebabkan penurunan ketersediaan biologi dari senyawa NO (Sulastri, 2011).

Hubungan fungsi NO dengan kejadian hipertensi adalah NO menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dengan cara menghambat pelepasan renin dan norepinefrin secara tidak langsung. Sintesis NO juga di bawah nilai basal (normal 25 µM/L-45 µM/L) pada penderita hipertensi esensial. Akibatnya, terjadi peningkatan tahanan perifer karena efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah menurun (Sulastri, 2011).

Selain gen eNOS3, gen CYP11B2 varian T(-344)C adalah salah satu polimorfisme yang berhubungan dengan hipertensi. Gen ini merupakan polimorfisme single nucleotide varian T(-344)C dan satu-satunya penyandi aldosterone synthase. Polimorfisme gen yang lebih sering ditemukan pada


(50)

ras Asia ini terjadi pada promoter region yang mempengaruhi putative binding site steroidogenic transcription factor-1 (SF-1) (Sundari, 2013).

Penelitian Sundari dkk, (2013) menjelaskan bahwa telah terjadi mutasi genetik pada gen CYP11B2 varian T(-344)C, yaitu basa Thymine (T) substitusi menjadi Cytosine (C) pada kodon 344. Mutasi terjadi pada 8,3% individu dengan genotip homozigot CC. Hal ini berarti dapat diasumsikan bahwa telah terjadi polimorfisme pada promoter region gen CYP11B2 varian T(-344)C pada pasien hipertensi di wilayah pantai. Mutasi ini kemudian terkait dengan peningkatan kadar aldosteron yang dapat merangsang aktivitas epithelial Na+ channel (EnaC) yang merupakan etiologi hipertensi esensial.

Penelitian Sundari (2013) juga menunjukkan bahwa individu dengan homozigot TT akan lebih rentan terkena hipertensi dibandingkan TC dan CC. Hal ini dimungkinkan individu homozigot TT kurang adaptif sehingga promoter region polimorfisme gen CYP11B2 varian T(-344)C sensitif terhadap stimulus angitensin II. Akibatnya, terjadi peningkatan angiotensin II dalam plasma yang membuat individu homozigot rentan mengalami hipertensi.

Selain mutasi dua gen tersebut, ada juga mutasi gen NPHS2 (412C→T, 419delG) yang manifestasi klinisnya adalah hipertensi. Namun, penelitian Rachmadi dkk. (2011) tidak menemukan adanya hubungan antara mutasi gen tersebut dengan kemunculan hipertensi sebagai manifestasi klinis dari sindrom nefrotik resisten steroid pada anak. Selain itu, ada beberapa mutasi gen lain yang menyebabkan terjadinya hipertensi. Ada sekitar sepuluh mutasi genetik yang terkait dengan kejadian hipertensi berdasarkan hukum Mendelian. Liddle’s syndrome adalah salah satu contohnya (Carretero, 2000).


(51)

35

h. Stres

Stres dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Stres yang kronis akan berdampak pada perubahan patologis tubuh karena adanya kelainan organis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag (Kemenkes RI, 2006).

Berdasarkan penelitian Sirait dan Riyadina (2010) pada pekerja industri di kawasan industri Pulogadung, stres berhubungan dengan hipertensi (0,013). Penelitian South dkk. (2014) juga menunjukkan adanya hubungan antara stres dengan hipertensi (P = 0,002). Sebaliknya, penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) dan Agyei dkk. (2014) menunjukkan tidak adanya hubungan antara stres dengan hipertensi.

Selain berhubungan langsung dengan hipertensi, stres juga memicu orang untuk berperilaku merokok. Penelitian Liu dkk. (2015) dan Cui dkk. (2012) menjelaskan bahwa faktor stres adalah penyebab perilaku merokok pada imigran Cina yang tinggal di kota, terutama stres kerja. Penelitian kualitatif pada mahasiswi di Kota Makassar juga menunjukkan bahwa stres menjadi salah satu faktor pemicu para mahasiswi berperilaku merokok (Tarupay, dkk., 2014). Stres juga menjadi penyebab perilaku merokok pada remaja laki-laki di kota Medan (Hasnida dan Kemala, 2005).


(52)

i. Obesitas

Obesitas adalah kondisi dimana indeks masa tubuh >27 kg/m2 (Kemenkes RI, 2013). Namun, WHO mendefinisikan obesitas

sebagai keadaan dimana indeks masa tubuh ≥30 kg/m2

(WHO, 2014). Hasil penelitian sebelumnya di Ghana menunjukkan bahwa indeks massa tubuh pada masyarakat perkotaan (29,9) lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat pedesaan (25,3) (Obirikorang, 2015). Berbagai penelitian membuktikan bahwa obesitas berisiko menyebabkan hipertensi (Sobngwi dkk., 2004; Howteerakul dkk., 2006; Mendez-Chacon, 2008; Gao dkk., 2013; Forman, 2009).

Penelitian di wilayah rural Brazil menunjukkan bahwa obesitas berisiko 1,21 kali menyebabkan hipertensi pada laki-laki dan 5,45 kali pada perempuan (Pimenta dkk., 2008). Di Chennai, obesitas menimbulkan risiko 2,37 kali mengalami hipertensi dibandingkan orang normal (Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, seseorang yang mengalami obesitas berisiko 2,79 kali mengalami hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

Penderita obesitas akan lebih mudah mengalami hipertensi. Hal ini karena pada penderita obesitas terjadi ketidaknormalan mekanisme kontrol terhadap tekanan arterial. Ketidaknormalan itu umumnya berupa hiperinsulinemia yang meyebabkan aktivasi system saraf simpatis dan penyimpanan sodium sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah dan hipertensi (Goran M. I. dan Sothern, 2006; Hu, 2008). Penderita obesitas juga dapat


(53)

37

menyebabkan diabetes terlebih dulu sebelum hipertensi. Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor yang berhubungan dengan diabetes (Jelantik dan Heryati, 2014; Hussain A. dkk., 2010).

j. Riwayat Diabetes

Diabetes merupakan salah satu faktor risiko dari hipertensi. Hal ini karena orang dengan diabetes dapat menderita resistensi insulin. Resistensi insulin akan meningkatkan tekanan darah karena hilangnya aktivitas vasodilator normal dari insulin atau efek jangka panjang dari hiperinsulinemia (Holt, 2011).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antra diabetes dengan hipertensi (Peer dkk., 2013; Gao dkk., 2013). Di Brazil, riwayat diabetes meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4,43 kali (urban) dan 4,61 kali (rural) (Moreira dkk., 2013). Di India, orang yang diabetes berisiko 4,32 kali mengalami hipertensi (Kannan dan Satyamoorthy, 2009).

Penelitian Basuki dan Setianto (2001) pada masyarakat Sunda di Kabupaten Bogor membuktikan bahwa riwayat diabetes berisiko 2,45 kali mengalami hipertensi. Namun, penelitian Rahajeng di Indonesia justru menunjukkan bahwa riwayat diabetes tidak memberikan risiko yang signifikan untuk mengalami hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009).


(54)

k. Konsumsi Alkohol

Peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume eritrosit serta kekentalan darah diduga berperan dalam menaikkan tekanan darah. Konsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap hari akan memberikan efek terhadap tekanan darah (Depkes RI, 2006). Penelitian kohort Forman (2009) pada para mahasiswa keperawatan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan banyaknya alkohol yang dikonsumsi.

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi alkohol dengan hipertensi (Sobngwi dkk., 2003; Xu dkk., 2008; Hou, 2008; Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Yao dkk., 2010; Khan dkk., 2013). Penelitian Kannan dan Satyamoorthy (2009) di Tamilnadu menunjukkan bahwa seorang alkoholik berisiko 3,812 kali mengalami hipertensi. Penelitian Agyemang dkk. (2006) di Ghana membuktikan bahwa orang yang mengonsumsi alkohol berisiko 1,60 kali mengalami hipertensi

l. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik mempengaruhi tekanan darah karena aktivitas fisik terkait dengan peningkatan dan reduksi saraf simpatis dan para simpatis (Mohler dan Townsend, 2006). Selain itu, aktivitas fisik yang rutin dapat mengurangi lemak jenuh, meningkatkan eliminasi sodium akibat terjadinya perubahan fungsi ginjal dan mengurangi plasma renin serta aktivitas katekolamin. Oleh karena itu, aktivitas


(55)

39

fisik yang rutin dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun diastolik sehingga mampu mencegah hipertensi (Rahl, 2010).

Durasi, intensitas dan frekuensi aktivitas fisik akan mempengaruhi manfaat aktivitas fisik bagi kesehatan (Carnethon, 2009). WHO menganjurkan aktivitas fisik sebaiknya berlangsung

selama ≥ 600 MET (WHO, 2013). MET merupakan ukuran lamanya

waktu (menit) beraktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot tertentu (Kemenkes RI, 2013). Berikut ini jenis tingkatan aktivitas fisik (Kemenkes RI, 2013).

1) Berat: kegiatan yang dilakukan selama minimal 10 menit secara terus-menerus sampai denyut nadi meningkat dan napas lebih cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll) selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas ≥1500 MET minute. Bobot (MET value) untuk aktivitas fisik berat adalah 8 kalori

2) Sedang: apabila melakukan aktivitas fisik sedang (menyapu, mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan total lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Bobot (MET value) untuk aktivitas fisik sedang adalah 4 kalori (WHO, 2015) 3) Ringan: aktivitas yang tidak termasuk dalam aktivitas berat

maupun sedang.

Hasil penelitian Peer N. (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik yang rutin yang kurang (<150 menit)


(56)

dengan kejadian hipertensi. Penelitian Forman (2009) pada wanita dewasa yang berpofesi sebagai perawat menunjukkan bahwa latihan rutin 7 hari per minggu mampu menurunkan risiko hipertensi hingga 0,87 kali dibandingkan yang <1 hari per minggu. Sedangkan di Brazil, semakin meningkat aktivitas fisik responden justru semakin meningkatkan risiko hipertensi. Namun, hal ini hanya terjadi pada wilayah rural, sedangkan wilayah urban tidak menunjukkan hubungan yang signifikan (Moreira dkk., 2013).

Penelitian di daerah Urban Uttarakhand membuktikan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi (P = 0,046) (Pooja dan Mittal, 2013). Hasil penelitian South dkk. (2014) di Minahasa Utara menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan kuat dengan hipertensi (P = 0.000, r = 0,584). Hasil penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi. Namun, perbedaan risiko hipertensi antara responden yang memiliki aktivitas fisik kurang dengan yang memiliki aktivitas fisik cukup hanya 1,05 kali. m. Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok dapat memicu terjadinya hipertensi karena rokok mengandung bahan-bahan berbahaya, seperti nikotin dan karbon dioksida. Nikotin akan meningkatkan asam lemak dan mengaktiviasi trombosit, memicu aterosklerosis dan penyempitan pembuluh darah (Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006). Sedangkan karbon monoksida akan membuat hemoglobin dalam darah rusak


(57)

41

sehingga akan ditampung di membran pembuluh kapiler dan menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah (Schnitzer, 2000; Depkes RI, 2006).

Di wilayah urban Chennai, merokok berhubungan dengan kejadian hipertensi dan risiko orang merokok adalah 1,5 kali lebih besar dibandingkan yang tidak merokok (Mohan dkk., 2007). Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa perilaku merokok dapat meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,2 kali pada masyarakat perkotaan dan 1,24 kali pada masyarakat pedesaan (Moreira dkk., 2013).

Selain itu, Di India, orang yang merokok 2,4 kali lebih berisiko mengalami hipertensi dibandigkan yang tidak merokok (Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Penelitian Anggara dan Prayitno (2013) di Cikarang Barat juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan hpertensi dan merokok dapat meningkatkan risiko hipertensi sebesar 8,1 kali. Namun, Di China, perokok ringan tidak menunjukkan risiko yang signifikan terhadap hipertensi dan perokok berat justru dapat terhindar 0,96 kali dari hipertensi (Hou, 2008). Durasi merokok juga berperan dalam meningkatkan risiko hipertensi. Penelitian Thuy A. B. (2010) menunjukkan bahwa kebiasaan merokok menyebabkan hipertensi dipengaruhi oleh lama waktu menjadi perokok.

Perokok pasif pun dapat berisiko mengalami hipertensi. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Lina dkk. (2013) di wilayah kerja


(58)

Puskesmas Mulyorejo Kota Surabaya yang menunjukkan bahwa perokok pasif berisiko mengalami hipertensi sebesar 1,37 kali dibandingkan yang bukan perokok pasif. Dalam penelitian tersebut, hubungan keluarga, jenis rokok, jumlah perokok, lama paparan, jumlah rokok dan lokasi merokok merupakan variabel paparan asap rokok yang berisiko menimbulkan hipertensi.

n. Konsumsi Makanan Asin

Konsumsi makanan asin atau yang mengandung garam tinggi dapat menyebabkan volume cairan dalam tubuh meningkat. Hal ini karena garam menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan oleh tubuh sehingga meningkatkan volume dan tekanan darah (Depkes RI, 2006). Dalam buku Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dijelaskan bahwa salah satu faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah pada penduduk umur 18 tahun

ke atas adalah sering makan makanan asin (≥1 kali/hari) (Kemenkes

RI, 2010).

Data WHO menunjukkan bahwa 1,7 juta orang meninggal di tahun 2010 karena penyakit kardiovaskular, dimana konsumsi garam berlebih merupakan salah satu faktor pemicunya. Data WHO juga menunjukkan bahwa secara global rata-rata konsumsi garam masyarakat adalah sekitar 10 g per hari (4 g/hari sodium). Asia Tenggara merupakan kawasan dengan tingkat konsumsi garam yang tinggi. Padahal, konsumsi garam melebihi 5 g/hari (lebih dari 1


(59)

43

sendok teh per hari) berkontribusi terhadap peningkatan tekanan darah (WHO, 2014).

Hasil penelitian He (2005) diketahui bahwa pengurangan konsumsi garam berhubungan dengan penurunan tekanan darah (P = 0,002). Penelitian Bartwal dkk. (2014) di Haldwani membuktikan bahwa ada hubungan antara asupan garam dengan hipertensi (x2 = 12,42). Hasil analisis multivariat penelitian Indrawati dkk. (2009) menunjukkan ada hubungan antara konsumsi makanan asin dengan hipertensi (P = 0,001) walaupun tidak ada perbedaan risiko hipertensi antara yang sering atau jarang makan makanan asin dengan yang tidak pernah makan makanan asin.

Penelitian terkait pola konsumsi makanan harus dapat menjelaskan pola konsumsi makanan dengan baik. Pengukuran pola konsumsi makanan yang digunakan saat Riskesdas 2013 adalah berdasarkan frekuensi makan sehingga kurang valid dan subjektif (Rahajeng dan Tuminah, 2009). Oleh karena itu, penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) justu menunjukkan bahwa konsumsi makanan asin berlebih tidak ada berhubungan dengan kejadian hipertensi. o. Konsumsi Makanan Berlemak

Konsumsi makanan berlemak secara berlebihan akan menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia akan menyebabkan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan/atau penurunan kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol berperen penting dalam proses terjadinya aterosklerosis yang


(1)

Crosstab

Status Hipertensi

Total Hipertensi Normal

Aktivitas Fisik <600 MET/Minggu Count 7562 22544 30106

% within Aktivitas Fisik 25.1% 74.9% 100.0%

% within Status Hipertensi 10.3% 8.8% 9.1%

>= 600 MET/Minggu Count 66114 233290 299404

% within Aktivitas Fisik 22.1% 77.9% 100.0%

% within Status Hipertensi 89.7% 91.2% 90.9%

Total Count 73676 255834 329510

% within Aktivitas Fisik 22.4% 77.6% 100.0%

% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Aktivitas Fisik (<600 MET/Minggu / >= 600

MET/Minggu) 1.184 1.152 1.217

For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.137 1.114 1.161

For cohort Status Hipertensi = Normal .961 .955 .968

N of Valid Cases 329510

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 145.249a 1 .000

Continuity Correctionb 145.074 1 .000

Likelihood Ratio 141.672 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 145.248 1 .000

N of Valid Casesb 329510

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6731,48. b. Computed only for a 2x2 table


(2)

Crosstab

Status Hipertensi

Total Hipertensi Normal

Kebiasaan Merokok Merokok Count 25686 93313 118999

% within Kebiasaan Merokok 21.6% 78.4% 100.0%

% within Status Hipertensi 34.9% 36.5% 36.1%

Pernah merokok Count 5234 9268 14502

% within Kebiasaan Merokok 36.1% 63.9% 100.0%

% within Status Hipertensi 7.1% 3.6% 4.4%

Tidak pernah merokok Count 42756 153253 196009

% within Kebiasaan Merokok 21.8% 78.2% 100.0%

% within Status Hipertensi 58.0% 59.9% 59.5%

Total Count 73676 255834 329510

% within Kebiasaan Merokok 22.4% 77.6% 100.0%

% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Crosstab

Status Hipertensi

Total Hipertensi Normal

Konsumsi Makanan Asin >=1 kali/hari Count 16705 56778 73483

% within Konsumsi Makanan

Asin 22.7% 77.3% 100.0%

% within Status Hipertensi 22.7% 22.2% 22.3%

<1 kali/hari Count 56971 199056 256027

% within Konsumsi Makanan

Asin 22.3% 77.7% 100.0%

% within Status Hipertensi 77.3% 77.8% 77.7%

Total Count 73676 255834 329510

% within Konsumsi Makanan

Asin 22.4% 77.6% 100.0%

% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1650.062a 2 .000

Likelihood Ratio 1479.695 2 .000

Linear-by-Linear Association .430 1 .512

N of Valid Cases 329510

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3242,54.


(3)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 7.616a

1 .006

Continuity Correctionb 7.588 1 .006

Likelihood Ratio 7.594 1 .006

Fisher's Exact Test .006 .003

Linear-by-Linear Association 7.616 1 .006

N of Valid Casesb 329510

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16430,26. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Konsumsi Makanan Asin (>=1 kali/hari / <1

kali/hari) 1.028 1.008 1.048

For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.022 1.006 1.037

For cohort Status Hipertensi = Normal .994 .989 .998

N of Valid Cases 329510

Crosstab

Status Hipertensi

Total Hipertensi Normal

Konsumsi Makanan Berlemak >=1 kali/hari Count 22879 77020 99899

% within Konsumsi Makanan

Berlemak 22.9% 77.1% 100.0%

% within Status Hipertensi 31.1% 30.1% 30.3%

<1 kali/hari Count 50797 178814 229611

% within Konsumsi Makanan

Berlemak 22.1% 77.9% 100.0%

% within Status Hipertensi 68.9% 69.9% 69.7%

Total Count 73676 255834 329510

% within Konsumsi Makanan

Berlemak 22.4% 77.6% 100.0%


(4)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 24.338a

1 .000

Continuity Correctionb 24.293 1 .000

Likelihood Ratio 24.260 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 24.338 1 .000

N of Valid Casesb 329510

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22336,68. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Konsumsi Makanan Berlemak (>=1 kali/hari /

<1 kali/hari) 1.046 1.027 1.064

For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.035 1.021 1.050

For cohort Status Hipertensi = Normal .990 .986 .994

N of Valid Cases 329510

Crosstab

Status Hipertensi

Total Hipertensi Normal

Konsumsi Sayur <2 porsi/hari Count 54985 190638 245623

% within Konsumsi Sayur 22.4% 77.6% 100.0%

% within Status Hipertensi 74.6% 74.5% 74.5%

>=2 porsi/hari Count 18691 65196 83887

% within Konsumsi Sayur 22.3% 77.7% 100.0%

% within Status Hipertensi 25.4% 25.5% 25.5%

Total Count 73676 255834 329510

% within Konsumsi Sayur 22.4% 77.6% 100.0%


(5)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .395a

1 .529

Continuity Correctionb .389 1 .533

Likelihood Ratio .396 1 .529

Fisher's Exact Test .533 .266

Linear-by-Linear Association .395 1 .529

N of Valid Casesb 329510

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18756,51. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Konsumsi Sayur (<2 porsi/hari / >=2 porsi/hari) 1.006 .987 1.025

For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.005 .990 1.020

For cohort Status Hipertensi = Normal .999 .994 1.003

N of Valid Cases 329510

Konsumsi Buah * Status Hipertensi Crosstabulation

Status Hipertensi

Total Hipertensi Normal

Konsumsi Buah <3 porsi/hari Count 73023 253829 326852

% within Konsumsi Buah 22.3% 77.7% 100.0%

% within Status Hipertensi 99.1% 99.2% 99.2%

>=3 porsi/hari Count 653 2005 2658

% within Konsumsi Buah 24.6% 75.4% 100.0%

% within Status Hipertensi .9% .8% .8%

Total Count 73676 255834 329510

% within Konsumsi Buah 22.4% 77.6% 100.0%

% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 7.526a 1 .006

Continuity Correctionb 7.398 1 .007

Likelihood Ratio 7.360 1 .007

Fisher's Exact Test .006 .003

Linear-by-Linear Association 7.526 1 .006


(6)

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 594,31. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Konsumsi Buah (<3 porsi/hari / >=3 porsi/hari) .883 .808 .965

For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .909 .851 .972

For cohort Status Hipertensi = Normal 1.030 1.007 1.052