Definisi Konsep dan Kepemimpinan

kalian sebagai khalīfah dan pengganti mereka di muka bumi. Kalian menguasai bumi dan menjadi penguasa setelah mereka.” 5 Firman Allah SWT, “dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, ” sesungguhnya dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa keadaan manusia berbeda-beda, dan Dia menjadikan status sebagian lebih tinggi dari sebagian lain dengan melapangkan rizki sebagian mereka, sehingga sebagian manusia menjadi lebih utama disebabkan rizki dan kekayaan yang dianugerahi kepada mereka lebih tinggi dari si fakir. Selanjutnya firman Allah SWT, “Untuk mengujimu tentang apa yang diberikan- Nya kepadamu,” maksudnya adalah untuk menguji manusia dengan apa yang dianugerahkan kepadanya berupa keutamaan dan rizki, sehingga dapat diketahui siapa di antara mereka yang taat kepada-Nya. Kemudian maksud dari, “Dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” adalah sesungguhnya Allah akan menutupi dosa orang-orang yang diberi ujian berupa kenikmatan, atau diuji dengan perintah dan larangan. Kemudian ia menerima dan taat kepada-Nya, maka Allah akan menutupi kehinanaan pada saat ia dihisab. 6 Sedangkan menurut Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, ayat ini menjelaskan di samping Allah SWT sebagai pemelihara segala sesuatu, “ Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa d i bumi,” yakni pengganti umat-umat yang lalu dalam mengembangkan alam. “Dan Dia meninggikan” derajat akal, ilmu, harta kedudukan sosial, kekuatan jasmani, dan lain- lain “sebagian kamu atas 5 Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al- Ṭ abarī , terj. Akhmad Affandi dkk. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, h. 787. 6 Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al- Ṭ abarī, h. 787. sebagian” yang lain “beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. “Sesungguhnya Tuhanmu wahai Nabi Muḥammad SAW “amat cepat siksaan-Nya” karena Dia tidak membutuhkan waktu, alat, dan tidak pula disibukkan oleh satu aktifitas untuk menyelesaikan aktifitas yang lain “dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun” bagi yang tulus bertaubat “lagi Maha Penyayang” bagi hamba-hamba-Nya yang taat. Kata khalāʼif adalah bentuk jamak dari kata khalīfah. Kata ini terambil dari kata khalf yang pada mulanya berarti d i belakang. Dari sini kata khalīfah seringkali diartikan yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Ini karena kedua makna itu selalu berada atau yang datang sesudah yang ada atau datang sebelumnya. 7 Kedua, prinsip yang sangat mendasar adalah keadilan sebagaimana di dalam al-Qur ʼān Allah berfirman:                                 Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalīfah penguasa di muka bumi, maka berilah keputusan perkara di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan Q.S. Ṣād: 26. Maksud ayat di atas dalam Tafsīr al-Ṭabarī adalah, Allah katakan kepada Dāwud, “Hai Dāwud, sesungguhnya Kami menjadikanmu sebagai khalīfah di 7 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Jakarta: Lentera Hati, 2001, Jilid IV, hal. 362. muka bumi sesudah Kami menjadikanmu sebagai rasul yang memutuskan perkara di antara penduduk bumi” 8 Kemudian, berilah keputusan secara adil dan tengah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, dalam memutuskan perkara di antara mereka sehingga engkau menyimpang dari kebenaran, karena hawa nafsu akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat di akhirat atas kesesatan mereka dari jalan Allah lantaran melupakan perintah Allah yang dalam hal ini tidak memberi keputusan secara adil dan tidak menaati Allah. 9 Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah dikatakan bahwa Allah SWT mengangkat Dāwud sebagai khalīfah, Allah berfirman: “Hai Dāwud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalīfah” yakni penguasa “di muka bumi, ” yaitu di Bayt al-Maqdis, “Maka berilah Keputusan” semua persoalan yang engkau hadapi “di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu” antara lain dengan tergesa-gesa menjatuhkan putusan sebelum mendengarkan semua pihak, sebagaimana yang engkau lakukan dengan kedua pihak yang berperkara tentang kambing itu, “karena” jika engkau mengikuti nafsu, apapun dan yang bersumber dari siapa pun, baik dirimu maupun mengikuti nafsu orang lain, maka “ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang- orang yang” terus-menerus hingga tiba ajalnya “sesat dari 8 Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al- Ṭ abarī , h. 144. 9 Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al- Ṭ abarī , h. 144. jalan Allah akan mendapat adzab yang berat” akibat kesesatan mereka itu, sedang kesesatan itu sendiri adalah “karena mereka melupakan hari perhitungan.” Kata khalīfah pada mulanya berarti “yang menggantikan” atau “yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya”. Pada masa Dāwud, terjadi peperangan antara dua penguasa besar Ṭālūt dan Jālūt. Dāwud adalah salah seorang pasukan Ṭālūt. Kepandaiannya menggunakan ketapel mengantarkannya pada keberhasilan dalam membunuh Jālūt, dan setelah keberhasilan itu dan setelah Ṭālūt meninggal, Allah mengangkatnya sebagai khalīfah menggantikan Ṭālūt. 10 Ketiga, tentang musyawarah, di dalam al-Qur ʼān Allah berfirman:             Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan Q.S. al- Syūrā: 38. Menurut Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, dalam Tafsīr al- Ṭabarī, Allah SWT berfirman, “Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan salat, ” maksudnya adalah orang- orang yang memenuhi seruan Allah saat dia menyeru mereka agar mengesakan- Nya, mengakui keesaan-Nya, dan terbebas dari penyembahan kepada setiap yang disembah selain Dia. 11 10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 132. 11 Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al- Ṭ abarī, h. 909. Dan firman Allah, “Dan mendirikan salat,” maksudnya adalah salat wajib sesuai dengan batas waktunya. Kemudian firman Allah, “Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka,” maksudnya adalah jika mereka menghadapi suatu perkara, maka mereka saling bermusyawarah. Lalu firman Allah, “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka, mereka nafkahkan ” maksudnya adalah mereka menginfakkan sebagian harta yang Allah anugerahkan kepada mereka di jalan Allah, dan menunaikan kewajiban mereka hak-hak orang-orang yang berhak menerimanya, berupa zakat dan infak kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya. 12 Sedangkan dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab disebutkan bahwa “ Dan ” kenikmatan abadi itu disiapkan juga bagi “orang-orang yang” benar- benar “menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan salat” secara berkesinambungan dan sempurna, yakni sesuai rukun serta syaratnya juga dengan khusyu kepada Allah, “dan” semua “urusan” yang berkaitan dengan masyarakat “mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka” yakni mereka memutuskannya melalui musyawarah, tidak ada di antara mereka yang bersifat otoriter dengan memaksakan pendapatnya, “dan” di samping itu mereka juga “dari sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka” baik harta maupun selainnya, “mereka” senantiasa “nafkahkan” secara tulus serta berkesinambungan baik nafkah wajib maupun sunnah. 12 Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al- Ṭ abarī, h. 909. Kata syūrā terambil dari kata syawur. Kata syūrā bermakna mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memerhadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain. Kata ini terambil dari kalimat syirtu al- asal yang bermakna: saya mengeluarkan madu dari wadahnya. Ini berarti memersamakan pendapat yang terbaik dengan madu, dan bermusyawarah adalah upaya meraih madu itu di mana pun ia ditemukan, atau dengan kata lain, pendapat siapa pun bisa dinilai benar tanpa memertimbangkan siapa yang menyampaikan. 13 Keempat, tentang ketaatan kepada pemimpin, Allah berfirman:                                Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ūlū al-amr di antara kamu. Kemudian jika kamu tarik-menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah al-Qur ʼān dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Demikian itu baik bagimu dan lebih baik akibatnya Q.S. al- Nisāʼ: 59. Dalam Tafsīr al-Ṭabarī, Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī mengatakan: maksudnya adalah, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah sebagai Tuhanmu, patuhilah segala perintah-Nya dan larangan-Nya. Serta taatilah Rasul-Nya yaitu Mu ḥammad SAW, karena sesungguhnya ketaatanmu kepada Mu ḥammad adalah bentuk ketaatanmu kepada Tuhanmu dan semata-mata karena menjalankan perintah Allah kepadamu. ” 14 13 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XII, hal. 512. 14 Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al- Ṭ abarī , h. 249. Para mufassir berbeda pend apat dalam menafsirkan makna ūlū al-amr pada ayat ini. Namun, Abū Ja fār mengatakan pendapatnya bahwa maksudnya adalah para pemimpin dan penguasa, berdasarkan ḥadīts ṣaḥīḥ dari Rasulullah SAW yang memerintahkan kita untuk taat kepada perintah yang mendatangkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin para imam dan penguasa. Dan f irman Allah, “Kemudian jika kamu tarik-menarik pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah al-Qur ʼān dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. ” Maksudnya adalah, wahai orang-orang beriman, jika kamu berbeda pendapat dalam urusan agama dengan pemimpin kalian, maka kembalikanlah ia kepada Allah al-Qur ʼān, yaitu kembalikanlah pengetahuan hukum yang kalian dan pemimpin kalian perselisihkan, kepada hukum Allah. Ikutilah apa yang kalian dapatkan di dalamnya. Kemudian ayat, “Demikian itu baik bagimu dan lebih baik akibatnya,” maksudnya adalah kembalikanlah apa saja yang kamu perselisihkan kepada Allah dan Rasul, karena itu lebih baik bagimu di sisi Allah pada hari kamu dikembalikan kelak, dan lebih baik dalam urusan duniamu, sebab itu mengajak kepada kasih sayang dan meninggalkan peselisihan serta perpecahan. 15 Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, maksud ayat di atas adalah memerintahkan kaum Mukmin agar menaati putusan hukum siapa pun yang berwenang menetapkan hukum. Secara berturut dinyatakan- Nya, “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah ” dalam perintah-perintah-Nya yang tercantum dalam 15 Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al- Ṭ abarī , h. 249-266. al-Qur ʼān “dan taatilah Rasul Nya” yakni Muḥammad, dalam segala macam perintahnya, baik perintah melakukan sesuatu, maupun perintah untuk tidak melakukan sesuatu, sebagaimana tercantum dalam sunnahnya yang sahih, “dan” perkenankan juga perintah “ūlū al-amr” yakni yang berwenang menangani urusan- urusan kamu, selama mereka merupakan bagian “di antara kamu” wahai orang- orang Mukmin, dan selama perintahnya tidak bertentangan dengan perintah Allah atau perintah rasul-Nya. “Kemudian jika kamu tarik-menarik” yakni berbeda “pendapat tentang sesuatu” karena kamu tidak menemukan secara tegas petunjuk Allah dalam al-Qur ʼān dan tidak juga petunjuk Rasul dalam sunnah yang sahih, “maka kembalikanlah ia kepada” nilai-nilai dan jiwa firman “Allah” yang tercantum dalam al-Qur ʼān serta nilai-nilai dan jiwa tuntunan “Rasul” yang kamu temukan dalam sunnahnya, “jika kamu benar-benar beriman” secara mantap dan berkesinambungan “kepada Allah dan hari kemudian. Demikian itu” yakni sumber hukum ini adalah “baik” lagi sempurna, sedang lainnya buruk atau memiliki kekurangan, “dan” di samping itu, ia juga “lebih baik akibatnya”, baik untuk kehidupan dunia kamu maupun kehidupan akhirat kelak. Pendapat ulama berbeda-beda tentang makna kata ūlū al-amr. Dari segi bahasa, ūlū adalah bentuk jamak dari walī yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata al-amr adalah perintah atau urusan. Dengan demikian, ūlū al-amr adalah orang-orang yang berwenang mengurus urusan kaum Muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Siapakah mereka? Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasapemerintah. Ada juga yang menyatakan bahwa mereka adalah ulama, dan pendapat ketiga adalah bahwa mereka yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya. 16 Kelima, tentang hubungan antar umat dari berbagai agama, Allah berfirman:                                               Allah tidak melarang kamu terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negeri kamu tidak melarang kamu berbuat baik bagi mereka dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka Itulah orang-orang yang zalim Q.S al-Mumta ḥanah: 8-9 Menurut Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī dalam Tafsīr al- Ṭabarī, maksud ayat di atas adalah Allah tidak melarang kita mencintai atau berkasih sayang kepada orang-orang yang tidak memerangi kita atas dasar agama, dan tidak pula mengusir kita dari rumah kita. Kita boleh berbuat baik kepada mereka dan melakukan tindakan adil, yaitu tetap berbuat baik kepada mereka. 17 16 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid II, h. 459. 17 Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al- Ṭ abarī, h. 942. Kemudian kita hanya dilarang oleh Allah untuk berbuat baik kepada orang yang memerangi karena agama dan mengusir kita. Dan siapa yang menjadikan mereka kawan, menjadikan mereka pembela selain yang diperbolehkan Allah atau menempatkan pertemanan itu bukan pada tempat seharusnya, berarti telah menyelisihi perintah Allah. 18 Akan tetapi menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah bahwa perintah untuk memusuhi kaum kafir non Muslim yang diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu boleh jadi menimbulkan kesan bahwa semua non Muslim harus dimusuhi. Untuk menampik kesan keliru ini, ayat-ayat di atas menggariskan prinsip dasar hubungan interaksi antara kaum Muslimin dan non Muslim. Ayat di atas secara tegas menyebut nama Yang Maha Kuasa dengan mengatakan: “Allah” yang memerintahkan kamu bersikap tegas terhadap orang kafir —walaupun keluarga kamu “tidak melarang kamu” menjalin hubungan dan berbuat baik “terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. ” Allah tidak melarang kamu “berbuat baik” dalam bentuk apapun “bagi mereka dan” tidak juga melarang kamu “berlaku adil pada mereka.” Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial mereka berada di pihak yang benar, sedang salah seorang dari kamu berada di pihak yang salah, maka kamu harus membela dan memenangkan mere ka. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah ” tidak lain “hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan memban tu” orang lain “untuk 18 Abū Ja fār Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al- Ṭ abarī, h. 942-947. mengusirmu. dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan ” tempat menyimpan rahasia, “maka mereka itulah” yang sungguh jauh kebejatannya dan “orang-orang yang zalim” yang sungguh mantap kezalimannya. 19 Tidak hanya itu, penulis juga akan membahas beberapa Ḥadīts Nabi yang berkaitan dengan kepemimpinan. Penulis mengungkapkan pendapat Ibn Khaldūn mengenai Ḥadīts. Hal ini dikarenakan Ibn Khaldūn memiliki pemikiran yang brilian tentang bagaimana memandang Ḥadīts. Seperti Ḥadīts yang mensyaratkan keturunan Quraysy untuk pemimpin negara, dan Ḥadīts lainnya yang terkait dengan masalah politik, Ibn Khaldūn berusaha meninjau kembali bagian-bagian dari Ḥadīts Nabi yang membahas tentang politik termasuk duniawi. Menurutnya Ḥadīts yang seperti itu tidak perlu dianggap sebagai suatu yang absolut dan suci yang mengatasi ruang dan waktu. Nabi Mu ḥammad, menurut Ibn Khaldūn, tidak ingin umatnya mengikuti secara taqlid tanpa melihat sebab-sebab atau alasan yang ada di baliknya. Lagi menurutnya, segala sesuatu yang dilakukan atau dikatakan oleh Nabi yang mengacu kepada urusan dunia harus ditempatkan dalam konteksnya yang temporal dan relatif, tidak sebagaimana tradisi agama murni. Tradisi sekular hanya patut untuk batasan ruang dan waktu di mana peristiwa itu berlangsung. 20 Dalam hal ini, Ibn Khaldūn dapat dianggap sebagai orang pertama dalam Islam yang menempatkan Ḥadīts Nabi dalam batas ruang dan waktu. Kepemimpinan dalam literatur Islam, khususnya sunnah Nabi Mu ḥammad SAW. baik dalam praktik politik, atau teks-teks Ḥadīts yang terkait dengannya, 19 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid XIV, hal. 168. 20 Fuad Baali Ali Wardi, Ibn Khaldūn dan Pola Pemikiran Islam Jakarta: Pustaka Hidayat, Cet. Ke-I, h. 50. juga perlu dikaji dengan seksama, agar didapat pengetahuan yang menyeluruh dan benar tentang masalah ini. Hal ini penting karena banyak pemahaman dan praktik politik kaum Muslimin yang tidak terlepas dari hasil pemahaman mereka terhadap Ḥadīts-Ḥadīts Nabi. Seluruh prinsip-prinsip bermasyarakat bernegara ini telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW. seperti Ḥadīts yang diriwayatkan ʼisyah istri Nabi, ketika ia ditanya tentang perilaku Rasulullah, ia menjawab bahwa segala perilaku Nabi adalah berlandaskan al-Qur ʼān kāna khuluquhu al-Qur ʼān dan diteruskan juga oleh para pengikut beliau yakni al- Khulafāʼ al-Rāsyidūn, yang dengan teguh dan konsisten memegang dan melaksanakan prinsip-prinsip al- Qur ʼān, dalam bermasyarakat bernegara dan memimpin umat. Ḥadīts paling terkenal populer yang berbicara mengenai kepemimpinan adalah Ḥadīts Nabi yang berbunyi: Dari Ibnu Umār r.a. berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Begitu pula seorang pemimpin bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya Ḥ.R. Bukhārī Muslim. 21 Di samping itu, dalam literatur Ḥadīts Nabi terdapat beberapa riwayat tentang istilah “khalīfah”, “imāmah”, dan juga “amīr al-muʼminīn”. Di antaranya adalah Ḥadīts yang diriwayatkan dari Abī Hazm RA: 21 Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyā ḍ al- Ṣ ali ḥ īn, terj. H. Salim Bahreisy Bandung: al- Ma ārif, 1987 Jilid I, h. 491. Aku telah berteman dengan Abū Hurayrah selama lima tahun, kemudian aku mendengarkan ia meriwayatkan Ḥadīts dari Nabi SAW: Bani Israel adalah kamu yang dipimpin oleh para nabi, ketika nabi mereka meninggal lalu diganti lagi oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada lagi nabi sesudahku, akan tetapi adalah para khalīfah pengganti, dan mereka banyak jumlahnya. Sahabat bertanya: Kemudian apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasulullah bersabda: Maka baiatlah mereka satu demi satu dan berikanlah hak mereka, karena sesungguhnya Allah yang nanti akan menanyai kepemimpinan mereka. 22 Dari Ḥadīts ini terdapat batasan tentang karakteristik sistem kekhilāfahan Islam yang berbeda dari sistem Yahudi. Dalam pandangan Yahudi kekuasaan agama menjadi satu dengan kekuasaan politik, karena mereka selalu dipimpin oleh seorang nabi, dan ketika nabi tersebut meninggal kemudian digantikan lagi oleh nabi yang lain. Sedangkan dalam Islam para khalīfah bukanlah nabi, karena nubuwwah tidak ada lagi sesudah wafat Rasulullah SAW. Kata “imārah” dan “amīr” adalah dua isilah yang sudah dikenal dan digunakan dalam literatur sunnah Nabi sebelum munculnya sistem khilāfah. Pada periode Nabi Mu ḥammad, istilah imārah digunakan untuk kepemimpinan pasukan tentara, pemimpin kota-kota, dan daerah-daerah. Sama halnya pula kata “umarāʼ”, seperti riwayat sebuah Ḥadīts: 22 Imām al-Nawawī, Ṣ a ḥ ī ḥ Muslim bi Syar ḥ al- Nawawī, jilid 12, dalam “Kitāb Imarāh” Cairo: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1987, h. 230. Barangsiapa yang taat kepadaku, maka sesungguhnya ia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa berbuat maksiat kepadaku, sesungguhnya ia telah maksiat kepada Allah. Barangsiapa yang taat kepada amīrku, maka sesungguhnya ia telah taat kepadaku, dan siapa orang berbuat maksiat terhadap amīrku, maka sesungguhnya ia telah berbuat maksiat terhadapku. 23 Riwayat Ḥadīts lain menyebutkan: Barang siapa melihat sesuatu kekurangan terhadap amīrnya pemimpinnya kemudian membencinya, maka hendaklah ia bersabar, karena tidak ada seorang yang berpisah dari jamaah kecuali ia mati dalam keadaan mati Jahiliyyah. 24 Dalam sunnah Nabi juga dijumpai cukup banyak istilah “imām” dan kebanyakan kata tersebut memberikan arti “yang terdepan”, “ketaqwaan”, “petunjuk”, dan “pengetahuan”. Ḥadīts yang diriwayatkan Ibn Awf dari Rasulullah SAW menyatakan: Sebaik- baik pemimpinmu imām adalah orang-orang yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, menghormati kalian, dan kalian menghormati mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin di antara kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka membenci kalian, dan orang-orang yang kalian murkai dan mereka murka pada kalian. 25 23 Lih. Ṣ a ḥ ī ḥ al- Bukhāri: Kitāb al-A ḥ kām, Jilid IX Kairo: Dār al-Sya b, h. 77-78. 24 Lih. Ṣ a ḥ ī ḥ al- Bukhāri: Kitb al-A ḥ kām,, h. 78. 25 Lih. Ṣ a ḥ ī ḥ Muslim bi Syar ḥ al- Nawawī, Jilid 12, h. 224. Dalam Ḥadīts ini tidak didapat pemahaman bahwa yang dimaksud dalam Ḥadīts ini adalah pemimpin pemerintah, atau pemimpin politik dan kepala negara. Dan Ḥadīts ini tidak pula menegaskan bahwa yang dimaksud imām di sini adalah para pemimpin agama, seperti dikatakan oleh Imam Muslim dalam kitab Ṣaḥiḥ- nya, di mana ia tidak mengkhususkan bahwa yang dimaksud adalah pemimpin tertinggi pemerintah atau bidang politik ataupun khusus pada pengertian lainnya. Tapi yang dimaksud imām di sini berlaku umum kepada siapa saja yang terdepan dalam sebuah kepemimpinan baik besar maupun kecil, agama maupun negara, dan lain sebagainya. Pada intinya, masalah kepemimpinan negara dalam Islam secara khusus tidak ditemukan teks-teks yang kuat untuk menjustifikasi praktik politik yang pada dasarnya adalah perbuatan manusia itu sendiri. Al-Qur ʼān dan Ḥadīts lebih kepada memberikan pedoman-pedoman atau garis besarnya saja dalam kehidupan manusia di dunia, kecuali beberapa hal yang terkait langsung dengan apa yang disebut sebagai ibadah ma ḥḍah ritual keagamaan murni. Karenanya kemudian, pemahaman terhadap teks-teks agama dalam masalah ini lebih kepada interpretasi manusia terhadap teks-teks tersebut yang hasilnya juga bersifat manusiawi. Karena itu untuk membantu memahami bentuk kepemimpinan negara banyak ulama yang lebih condong kepada upaya menelusuri praktik politik yang dijalankan langsung oleh Rasulullah SAW. dan para penerusnya, yaitu al- Khulafāʼ al- Rāsyidūn, sehingga didapat gambaran yang lebih jelas bagaimana sebenarnya inti dari konsep politik Islam.

B. Tugas dan Fungsi

Hal penting yang juga menjadi pembahasan dalam kajian kepemimpinan adalah masalah dasar dari fungsi dan tugas pemimpin. Di antara sekian banyak tokoh falsafat Islam klasik yang berbicara tentang politik, Ibn Abī Rabī menjadi pertimbangan penulis dalam berbicara tentang tugas dan fungsi pemimpin. Hal ini dikarenakan Ibn Abī Rabī hidup sebelum al-Fārābī. Dengan begitu kita dapat melihat bagaimana kondisi pemikiran falsafat politik sebelum al- Fārābī. Ibn Abī Rabī menulis karyanya di bidang politik dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, yang berpendirian bahwa monarki adalah bentuk pemerintahan yang terbaik. Dengan memberikan alasan rasional mengenai kekuasaan istimewa untuk raja dengan menyatakan bahwa seorang raja “yang memiliki segala keutamaan” yang serba lebih dibandingkan dengan para warga negara, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari negara, dan tidak harus tunduk kepada hukum negara seperti warga-warga negara lainnya. Bahkan raja merupakan hukum, sumber dan pelaksanaan hukum, karena serba lebih dalam segala keutamaan dan kemampuan politik. Seorang raja berhak memaksakan pandangan dan perintahnya tanpa merusak keserasian hubungan dengan negara selama kebijaksanaannya tetap untuk kepentingan negara. Selanjutnya Ibn Abī Rabī mencari dasar dari otoritas dan hak istimewa raja dari ajaran agama. Ia mengatakan, Allah telah memberikan keistimewaan kepada raja dengan segala keutamaan, telah memerkokoh kedudukan mereka di muka bumi, dan memercayakan hamba-hamba-Nya kepada raja atau pemimpin negara. Kemudian Allah mewajibkan para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan taat kepada perintah kepala negara. Dalam hubungan ini ia mengemukakan dua ayat al-Qur ʼān berikut:                        Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Q.S. al-An ām: 165.                                Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ūlū al-amr di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah al-Qur ʼān dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Q.S. al- Nisāʼ: 59. Jadi, dari pernyataan Ibn Abī Rabī itu, tampak bahwa dasar dari kekuasaan dan otoritas pemimpin negara adalah mandat dari Tuhan, atau merupakan tugas yang diberikan Tuhan dengan kedudukan istimewa berupa keutamaan dan keunggulan, demi memerkokoh kekuasaan pemimpin negara, dan memberikan kepada pemimpin negara untuk memerintah hamba-hamba-Nya dari semua tingkatan, atau tunduk dan taat kepada pemimpin negara demi kesejahteraan negara. 26

C. Pengangkatan Pemimpin

Terjadi perbedaan pendapat dalam hal kepemimpinan tentang cara-cara pengangkatan pemimpin, yaitu apakah pengangkatan tersebut berdasarkan nas penunjukan atau al-i khtiyār pemilihan. Inilah permasalahan pokok yang menjadi perdebatan di antara kaum Muslim seputar masalah pengangkatan pemimpin. Ada sekelompok kecil dari golongan ahl al-sunnah, ahli Ḥadīts, dan golongan al- Ẓāhiriyyah berpendapat bahwa pengangkatan kepala negara berdasarkan nas. Alasan mereka adalah bahwa khilāfah Abū Bakr itu berdasarkan nas dari Rasulullah. Mereka menyebut riwayat tersebut dari Ḥasan al-Baṣrī dan sejumlah ahli Ḥadīts. Salah satunya adalah yang diriwayatkan dari Aḥmad bin Hanbal dan Ibn Hazm dari al- Ẓāhiriyyah juga berpandangan sama dengan kelompok kecil yang disebut dengan golongan al-Bakriyyah. Akan tetapi mereka berbeda sudut pandang dalam argumen pemahaman nas dengan kelompok lainnya. Ibn Hazm menolak bahwa pengangkatan Abū Bakr sebagai khilāfah telah selesai, dengan menganalogikannya sebagai “imam salat” yang diberikan oleh Rasulullah menjelang wafatnya kepada Abū Bakr. 27 Terlepas dari itu, dalam hal ini Rasulullah mengungkapkan bahwa tidak boleh mengangkat seorang pemimpin terkecuali ditunjuk. Karena melalui 26 Munawir Sjadzali, Islam dan Ilmu Tata Negara, h. 47-48. 27 Ibnu Hazm, al- Ahkām fī U ṣ ul al-A ḥ kam Kairo: 1921, h. 986. penunjukan berarti seorang pemimpin itu mampu memenuhi kriteria dalam memimpin, sebagaimana sabda Nabi: Dari Abū Sa īd Abd al-Rahmān bin Samurah r.a. berkata: Rasulullah telah bersabda kepada saya: Ya Abd al- Rahmān bin Samurah, jangan menuntut kedudukan dalam pemerintahan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa meminta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya. Tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. Dan apabila kau telah bersumpah untuk sesuatu kemudian ternyata kau melakukannya dengan lebih baik, maka tebuslah sumpah itu dan kerjakan apa yang lebih baik itu Ḥ.R. Bukhari Muslim. 28 Hal tersebut juga senada dengan Ḥadīts Nabi di bawah ini: Dari Abū Dzarr r.a. berkata: Ya Rasulullah tidakkah kau memberi jabatan apa-apa kepadaku? Maka Rasulullah memukul bahuku sambil berkata: Hai Abū Dzarr kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanat yang pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang dapat memenuhi hak kewajibannya, dan mememuni tanggung jawabnya Ḥ.R. Muslim. 29 Dari pernyataan Ḥadīts di atas, nampaknya dalam persoalan mengangkat seorang pemimpin, yaitu menggunakan cara penunjukan. Hal ini dikarenakan melalui penunjukan seorang pemimpin itu berarti sudah memenuhi kriteria ideal. 28 Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyā ḍ al- Ṣ ali ḥ īn, h. 502 29 Imām Abū Zakariyyā Yaḥyā, Riyā ḍ al- Ṣ ali ḥ īn, h. 503.