Kehidupan Sosial Politik RIWAYAT HIDUP AL-
Pengaruh Plato bisa dilihat ketika al- Fārābi membahas tentang kelas-kelas
sosial dalam masyarakat. Sebagaimana ditulis dalam Ta ḥṣīl alā Sabīl al-Sa ādah,
dia menyatakan bahwa, sesuai pekerjaannya, masyarakat terbagi menjadi tiga golongan yaitu;
āmmah, khāṣṣah dan akhaṣṣ al-khāṣṣ, dengan menjunjung tinggi keadilan sebagai barometer kebaikan.
8
Keadilan merupakan hal yang penting dalam menciptakan suatu masyarakat yang ideal.
Pendapat ini tak jauh berbeda dari pandangan Plato yang mengatakan bahwa negara yang ideal harus berdasar keadilan. Keadilan ini tercapai apabila
tiap-tiap orang melakukan pekerjaannya. Berhubungan dengan pekerjaan, Plato membagi penduduk dalam tiga golongan yaitu, golongan terbawah yang terdiri
dari rakyat jelata, golongan tengah sebagai penjaga dan golongan atas adalah pemerintah atau failasuf.
9
Golongan bawah adalah mereka yang bekerja untuk menghasilkan kebutuhan sehari-hari bagi ketiga golongan. Mereka tak boleh turut andil dalam
pemerintahan tetapi boleh memiliki hak milik, harta, rumah tangga sendiri, dan hidup dalam rumah masing-masing. Penekanan pendidikan pada golongan ini
adalah budi yang pandai menguasai diri. Golongan tengah adalah mereka yang bertugas memertahankan serangan
dari musuh dan menegakkan undang-undang. Mereka tidak boleh memiliki harta perseorangan dan keluarga karena hidup dalam sistem komunisme, termasuk
dalam hal perempuan dan anak-anak. Anak-anak yang lahir dipelihara negara. Mereka mengaku semua penjaga sebagai bapak, begitu pula sikap terhadap ibu.
8
Al- Fārābī, Ta
ḥṣ
īl al-Sa ādah Hyderabad: Majlis Dā’irah al-Ma ārif al- Utsmāniyyah, 1349 H., h. 36-37.
9
K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani Yogyakarta: Kanisius, 1999, h. 145
Laki-laki dan perempuan mendapat pendidikan yang sama juga kesempatan untuk menjadi penjaga. Keberanian adalah budi yang dituntut golongan ini.
Golongan paling atas adalah pemerintah atau failasuf. Mereka adalah orang-orang terpilih dari kelas penjaga setelah melewati proses khusus. Tugas
mereka adalah membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaannya. Selain itu, waktu luang yang dimiliki digunakan untuk memerdalam falsafat dan
pengetahuan tentang idea kebaikan sehingga memerdalam kesempurnaan budi kebijaksanaan.
Plato, dengan bertitik tolak dari manusia yang harmonis dan adil, menggunakan jiwa manusia atas tiga fungsi, yaitu keinginan, energi dan rasio
ephitymia, enerji, thymas dan logos. Jika keinginan dan enerji – di bawah
pimpinan rasio – dapat berkembang sebagaimana mestinya, menurut Plato, akan
muncullah manusia yang harmonis dan adil. Secara analogis dengan bagian- bagian jiwa ini, Plato menganggap bahwa negara itu laksana manusia besar,
sebagai organisme tertinggi dari tiga bagian atau tiga golongan, yang masing- masing sepadan dengan bagian jiwa. Tiga bagian tersebut ialah; pertama,
golongan produktif, yang terdiri dari buruh, petani, dan pedagang, ephitymia. Kedua, golongan penjaga yang terdiri dari prajurit-prajurit, thymas. Ketiga,
golongan pejabat yang memegang pucuk pimpinan dan kekuasaan.
10
Plato adalah pencipta ajaran serba cita idenleer, karena itu falsafatnya disebut idealisme. Ajaran Plato lahir karena pergaulannya dengan kaum sofis.
Plato beranggapan bahwa pengetahuan yang diperoleh berkat pengamatan panca
10
P.A. Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens dari Grote Filosofen over de Mens Jakarta: Gramedia, 1988, h. 16-17
indera adalah bersifat relatif. Memang, lanjut Plato, kebajikan tidak mungkin ada tanpa adanya pengetahuan, namun pengetahuan yang sebenarnya tidak hanya
terbatas pada pengamatan inderawi. Pengetahuan, bagi Plato, lahir dari alam, bukan benda. Bentuk-bentuk dari benda yang diamati melalui panca indera
hanyalah bayangan dari kenyataan-kenyataan alam bukan benda, di mana benda- benda itu ada dalam bentuk yang lebih murni. Cita ide kuda misalnya, yang
memunyai sifat-sifat benda dalam bentuk yang murni tidak dapat diamati di dunia ini. Kuda yang kita lihat sekarang, berbeda sama sekali dalam bentuk, warna dan
sifatnya. Kemudian Plato bertanya kepada diri sendiri, “Apa sebabnya kita
mengenali kuda dalam gejala yang sedemikian rupa?” “Karena,” dia menjawab sendiri, “Jiwa manusia telah bermukim lebih dahulu dalam alam serba cita murni
sebelum ia memasuki badan, di alam serba cita itu, manusia telah melihat cita dari kuda itu dan kemudian ia kenal kuda tersebut dalam bentuknya yang kurang
sempurna di dunia ini.”
11
Dalam pandangan politik al- Fārābī juga tidak lepas dari pengaruh kedua
failasuf besar Yunani Plato dan Aristoteles. Ketika berbicara tentang politik dan negara, al-
Fārābī, selain mengaitkan dalam proposisi-proposisi teologis, berpijak dalam dunia nyata dengan memberi alternatif pada kemungkinan tidak
ditemukannya pimpinan negara pada peringkat yang paling sempurna, dengan mendistribusikan kecakapan individual kepada kecakapan dan profesionalitas
kolektif.
12
Berkenaan dengan pemikiran politik Aristoteles, pada umumnya, orang hanya menganggap sebagai langkah penting ke arah lebih maju dari Plato karena
11
P.A. Van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, h. 16-17.
12
Al- Fārābī, rā
ʼ
Ahl al- Madīnah al-Fā
ḍ
ilah, h. 126.