Keragaman Genetik Populasi Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) Berdasarkan Analisis DNA Mitokonria

(1)

TIRAM MUTIARA (

Pinctada margaritifera

)

BERDASARKAN ANALISIS DNA MITOKONDRIA

RINI SUSILOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

Bogor, Agustus 2008

RINI SUSILOWATI C 151 060 151

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir “Keragaman Genetik Populasi Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) Berdasarkan Analisis DNA Mitokondria” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.


(3)

Pearl Oyster (Pinctada margaritifera) Assesed by Mitochondrial DNA Analysis. under direction of Komar Sumantadinata, Dinar Tri Soelistyowati, and Achmad Sudradjat

The black-lipped pearl oyster (Pinctada margaritifera) is one of important species in pearl industry. The objective of this study was to determine of genetic diversity by mtDNA RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) method from five populations. A total of 50 individual P. margaritifera were analyzed for genetic variation within a 750-base pair region of the mitochondrial DNA COI gene using RFLP analysis. The percentages of polymorphic loci and the genetic diversity were comparable among populations. Five populations of P. margaritifera formed three groups subpopulation with the values of Nei’s genetic distance were small among the Sumbawa and North Bali populations (0.017) and high between these and the South Sulawesi populations (0.142). The South Sulawesi populations possess uniqueness based on distribution haplotipe of BBCAA (60%) with the values of genetic diversity were lower (0.105) compared others populations (0.177-0.328). These case related to geographical condition, where characteristic of bay were semi-closed with high salinity.


(4)

margaritifera) Berdasarkan Analisis DNA Mitokondria. Dibimbing oleh Komar Sumantadinata, Dinar Tri Soelistyowati, dan Achmad Sudradjat

Tiram mutiara Pinctada margaritifera atau the black-lipped merupakan salah satu spesies penting yang digunakan dalam industri mutiara. Meskipun penggunaan stok benih hatchery meningkat, namun banyak perusahaan yang masih bergantung pada stok benih alam karena lebih efektif. Ketersediaan benih tiram mutiara alam terbatas, sementara eksploitasi semakin meningkat, hal ini akan mengakibatkan kelestarian populasi terancam, sehingga menuntut diperlukannya manajemen yang baik untuk tercapainya kelestarian populasi.

Salah satu manajemen untuk kelestarian populasi tiram mutiara ini adalah dengan budidaya. Kegiatan budidaya sebagai salah satu manajemen pelestarian populasi tidak terlepas dengan tersedianya stok induk unggul dan mampu menurunkan keturunan yang unggul pula. Salah satu upaya menghasilkan stok induk unggul yaitu dengan seleksi dan hibridisasi, yang dilakukan atas dasar informasi keragaman genetik.

Salah satu metode pengukuran keragaman genetik adalah analisis DNA mitokondria (mtDNA) dengan teknik PCR-RFLP. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan keragaman genetik intrapopulasi dan perbedaan genetik interpopulasi dengan teknik mtDNA PCR–RFLP tiram mutiara Indonesia yang berasal dari Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung, dan Sulawesi Selatan serta memetakan hubungan filogenetik dari lima populasi tiram mutiara tersebut.

Penelitian dilakukan dengan metode survei (pengambilan contoh) dan pengamatan di laboratorium. Pengambilan contoh dilakukan dari bulan Mei– Desember 2007. Lima puluh tiram mutiara dikoleksi dari lima lokasi yang mewakili sebaran tiram mutiara di Indonesia, yaitu Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung, dan Sulawesi Selatan. Analisis laboratorium dilaksanakan dari bulan Februari–Juni 2008 di Laboratorium Rekayasa Genetik Loka Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air Tawar, Sukamandi. Analisis laboratorim meliputi ekstraksi DNA, amplifikasi mtDNA dengan menggunakan primer universal COI

forward: 5’-ATA ATG ATA GGA GGR TTT GG-3’ reverse: 5’-GCT CGT GTR CTA CRT CCA T-3’, dan digesti dengan enzim restriksi (FokI, HaeIII, NlaIV, DpnII, Eco0190I).

Hasil penelitian menunjukkan amplifikasi daerah COI mtDNA menghasilkan fragmen DNA berukuran sekitar 750 pb dan ditemukan pada semua populasi contoh tiram mutiara. Keragaman jumlah situs dan ukuran fragmen restriksi (RFLP) yang diperoleh dari hasil digesti mtDNA dengan lima enzim adalah 13 tipe restriksi (genotipe) yaitu FokI dengan empat tipe restriksi (A, B, C, D), HaeIII dengan tiga tipe restriksi (A, B, C), NlaIV dengan empat tipe restriksi (A, B, C, D), sedangkan DpnII dan Eco0190I menghasilkan masing-masing satu tipe restriksi (A) yang monomorfik, serta 34 fragmen restriksi. Analisis composite

haplotipe menghasilkan 24 compocite haplotipe pada seluruh populasi, tiap populasi terdiri dari tiga sampai delapan haplotipe yang berbeda dengan kisaran ragam haplotipe tertinggi pada populasi Selat Sunda yaitu 0,328 dan terendah pada populasi Sulawesi Selatan sebesar 0,105 dengan rata-rata keragaman


(5)

berkisar antara 0,000−0,0016. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan nilai

p<0,01 sehingga dapat dikatakan frekuensi haplotipe intrapopulasi terdistribusi sesuai dengan keseimbangan populasi Hardy-Weinberg. Hasil perhitungan jarak genetik menunjukkan jarak terkecil (terdekat) antara populasi Sumbawa dan Bali Utara yaitu sebesar 0,017; sedangkan jarak genetik terbesar (terjauh) adalah antara populasi Belitung dan Sulawesi Selatan yaitu sebesar 0,142. Berdasarkan dendrogram kekerabatan lima populasi tiram mutiara menunjukkan pemisahan antara dua kelompok populasi yang terdiri dari populasi Sumbawa dan Bali Utara di satu pihak dengan populasi Selat Sunda dan Belitung dan di pihak lain terhadap populasi Sulawesi Selatan yang memiliki tingkat kedekatan genetik paling jauh yang diduga terkait dengan distribusi haplotipe BBCAA (60%).


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam


(7)

BERDASARKAN ANALISIS DNA MITOKONDRIA

RINI SUSILOWATI

TESIS

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(8)

Halaman Pengesahan

Judul : KERAGAMAN GENETIK POPULASI TIRAM MUTIARA (Pinctada margaritifera) BERDASARKAN ANALISIS

DNA MITOKONDRIA

Nama : RINI SUSILOWATI NRP : C151060151

Program Studi : ILMU PERAIRAN

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, MSc Ketua

Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA Prof. Riset. Dr. Achmad Sudradjat

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Ilmu Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

(10)

Bogor, Agustus 2008

RINI SUSILOWATI

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas kehendak-Nya sehingga tesis dengan judul “Keragaman Genetik Populasi Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) Berdasarkan Analisis DNA Mitokondria” ini dapat penulis selesaikan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata M.Sc., selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA selaku anggota komisi pembimbing dan Prof. Riset. Dr. Achmad Sudradjat selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan kesempatan untuk ikut dalam kegiatan penelitian, atas keikhlasan dan kesabaran memberikan bimbingan, nasehat, arahan, dan dorongan semangat dalam menyelesaikan tesis ini; Prof. Dr. Ir. Enang Harris, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu Perairan atas bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Perairan, SPs IPB; Ibu Ir. Retna Utami, M.Sc dan Dr. Ir. Imron, M.Si atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menggunakan fasilitas di Laboratorium Rekayasa Genetik, Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air Tawar, Sukamandi; Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (ASBUMI) yang telah membantu dalam penyediaan data untuk penelitian ini; Ayahanda Surono, Ibunda Sutarti, Dek Hendry Tiyas TDR atas dukungan, do’a, dan nasehat selama ini; ‘sam’ Ahmad Zahid dan rekan mahasiswa AIR ’06 atas dukungan, kritik, saran dan kebersamaan selama ini; dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat dalam rangka pengembangan budidaya perairan, khususnya budidaya tiram mutiara di Indonesia.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dengan nama lengkap Rini Susilowati dilahirkan di Madiun pada tanggal 6 Mei 1981 dari pasangan Bapak Surono dan Ibu Sutarti. Pendidikan formal ditempuh dari SD, SMP, dan SMU sejak tahun 1987–1999 di Ngawi. Pendidikan Program Diploma (D3) diselesaikan tahun 2002 di Universitas Airlangga pada Program Studi Budidaya Perikanan, Program Sarjana (S1) diselesaikan pada tahun 2006 di Universitas Diponegoro pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perikanan, dan pada tahun 2006 melanjutkan studi Program Magister Sains (S2) pada Program Studi Ilmu Perairan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dalam rangka penyelesaian studi di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Keragaman Genetik Populasi Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) Berdasarkan Analisis DNA Mitokondria”. Sebagian hasil penelitian ini telah disampaikan pada Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur II pada tanggal 14 Agustus 2008 dengan judul Karakteristik Genetika Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) Terkait dengan Distribusinya di Perairan Indonesia.


(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan dan Pendekatan Masalah ... 2

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) ... 4

2.1.1 Aspek Biologi Reproduksi ... 4

2.2.2 Distribusi Geografis ... 6

2.2 Polimorfisme Genetik Tiram Mutiara... 7

2.2.1 Keragaman Genetik mtDNA... 8

2.2.2 Metode Analisis PCR – RFLP ... 11

2.3 Parameter Kualitas Air yang Berhubungan dengan Kelangsungan HidupTiram Mutiara ... 12

2.4 Perairan Pulau Panjang, Selat Alas ... 14

2.5 Teluk Pegametan, Bali ... 15

2.6 Perairan Pulau Handeuleum, Selat Sunda... 15

2.7 Perairan Selat Ru, Belitung ... 16

2.8 Perairan Teluk Awerange, Sulawesi Selatan ... 17

BAHAN DAN METODE PENELITAN... 19

3.1 Waktu dan Lokasi Pengambilan Contoh... 19

3.2 Metode ... 19

3.2.1 Metode Pengambilan Contoh... 19

3.2.2 Analisis DNA Mitokondria ... 19

3.3 Analisis Keragaman Genetik mtDNA... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN... 23

4.1 Hasil ... 23

4.1.1 Amplifikasi Daerah Cytochrome Oxidase Subunit I (COI )... 23

4.1.2 Pola Restriksi Fragmen mtDNA Teramplifikasi... 23

4.1.3 Identifikasi Fragmen Restriksi (RFLP)... 26

4.1.4 Keragaman Genetik Intrapopulasi... 27

4.1.5 Perbedaan Genetik Interpopulasi ... 29

4.2 Pembahasan... 30

4.2.1 Keragaman Haplotipe ... 30

4.2.2 Filogenetis ... 33

4.2.3 Apikasi pada Budidaya Tiram Mutiara ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN ... 37


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Tipe ukuran fragmen digesti mtDNA daerah COI dengan

lima enzim restriksi (FokI, HaeIII, NlaIV, DpnII dan Eco0190I) ... 24 2. Distribusi genotipe (tipe restriksi) pada lima populasi tiram mutiara... 27 3. Distribusi frekuensi dan komposisi haplotipe pada lima populasi

tiram mutiara (Pinctada margaritifera) ... 28 4. Jarak genetik antar populasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera) .... 29


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Tiram mutiara (Pinctada margaritifera) ... 4

2. Siklus hidup tiram mutiara ... 6

3. Peta distribusi penyebaran tiram mutiara ... 7

4. Struktur DNA mitokondria ... 10

5. Fragmen mtDNA teramplifikasi dengan primer universal COI ... 23

6. Digesti mtDNA dengan FokI (4 tipe restriksi: A, B, C, D) ... 24

7. Digesti mtDNA dengan HaeIII(4 tipe restriksi: A, B, C) ... 25

8. Digesti mtDNA dengan NlaIV (4 tipe restriksi: A, B, C, D) ... 25

9. Digesti mtDNA dengan DpnII (1 tipe restriksi: A)... 26

10. Digesti mtDNA dengan Eco0190I(1 tipe restriksi: A)... 26

11. Dendrogram hubungan kekerabatan (filogeni) lima populasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera)... 29

12. Distribusi genotipe pada lima populasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera) dan pola arus umum di perairan Indonesia ... 35


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Nama-nama Perusahaan Mutiara Indonesia ... 44 2. Jenis-jenis Tiram Mutiara ... 45 3. Lokasi Pengambilan Contoh Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) . 46 4. Nama enzim restriksi dan situs digestinya ... 47 5. Analisis deskriptif pada lima populasi tiram mutiara

(Pinctada margaritifera)... 48 6. Distribusi haplotipe pada lima populasi tiram mutiara (Pinctada

margaritifera)... 53 7. Analisis keseimbangan Hardy-Weinberg ... 54 8. Analisis jarak genetik (genetic distance) pada lima populasi tiram

mutiara (Pinctada margaritifera)... 56 9. Parameter kualitas air di lima lokasi pengambilan sampel dan kondisi perairan untuk kelangsungan hidup tiram mutiara


(16)

I. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Tiram mutiara Pinctada margaritifera atau the black-lipped merupakan salah satu spesies penting yang digunakan dalam industri mutiara (Smith et al.

2003). Budidaya tiram mutiara di Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1928 di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara dan menghasilkan mutiara south sea pearl pertama di dunia. Sampai tahun 2002 perusahaan mutiara yang terdaftar sebagai anggota ASBUMI (Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia) sekitar 37 perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia (Poernomo 2002). Nama-nama dan alamat perusahaan disajikan pada Lampiran 1.

Meskipun penggunaan stok benih hatchery meningkat, namun banyak perusahaan yang masih bergantung pada stok benih alam karena lebih efektif (Benzie et al. 2003). Ketersediaan benih tiram mutiara alam terbatas, sementara eksploitasi semakin meningkat, hal ini akan mengakibatkan kelestarian populasi terancam, sehingga menuntut diperlukannya manajemen yang baik untuk tercapainya kelestarian populasi.

Salah satu manajemen untuk kelestarian populasi tiram mutiara ini adalah dengan budidaya (Haig dan Nordstrom 1991). Kegiatan budidaya sebagai salah satu manajemen pelestarian populasi tidak terlepas dengan tersedianya stok induk yang unggul dan mampu menurunkan keturunan yang unggul pula (Alfsen 1987). Salah satu upaya menghasilkan stok induk unggul yaitu dengan seleksi dan hibridisasi yang dilakukan atas dasar informasi keragaman genetik.

Menurut Masyud (1992), kemampuan organisme beradaptasi terhadap perubahan lingkungan alam ditentukan oleh keragaman genetiknya, keragaman genetik dipandang sebagai bahan dasar bagi evolusi yang menyebabkan populasi dapat beradaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Sumantadinata (1982) menyatakan bahwa evaluasi keragaman genetik penting dilakukan sebagai dasar pengetahuan untuk pengembangan kegiatan budidaya dan manajemen sumberdaya perikanan.

Beberapa penelitian terkait dengan genetik tiram mutiara populasi Indonesia antara lain P. maxima populasi Madura dan Lombok (Benzie et al. 2003),


(17)

populasi Sumbawa dan Lombok (Widowati et al. 2007). Penelitian keragaman genetik juga telah banyak dilakukan pada beberapa populasi dari genus Pinctada

diantaranya yaitu populasi P. albina, P. maculata, P. radiata (Haond et al. 2002),

P. martensii (Hosoi et al. 2004), P. imbricata (Yu et al. 2006).

Keragaman genetik berdasarkan distribusi geografis beberapa spesies tiram mutiara populasi alam telah banyak dilaporkan di beberapa negara, misalnya populasi alam P. margaritifera yang terpisah ratusan kilometer di Polynesia Perancis menunjukkan perbedaan pada keragaman alelnya (Blanc dan Durand 1989). Hasil yang sama juga dilaporkan pada spesies P. margaritifera populasi Jepang (Durand et al. 1993) dan Australia (Benzie dan Ballment 1994). Penelitian yang dilakukan Evans et al. (2006) dan Smith et al. (2003) yang menggunakan penanda microsatellite untuk P. maxima populasi Australia dan Indonesia, serta penelitian genetik P. imbricata oleh Masaoka dan Kobayashi (2005).

Beberapa metode dapat diterapkan untuk memetakan struktur genetik, antara lain metode meristik dan morfometrik, analisis polimorfisme protein dan polimorfisme DNA. Secara umum metode polimorfisme DNA dianggap memiliki tingkat akurasi yang tinggi dibandingkan dengan metode lain karena tidak terpengaruh oleh perubahan lingkungan dan strukturnya dibedakan oleh urutan basa yang khas dalam DNA. Analisis polimorfisme DNA dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik yaitu DNA mitokondria RFLP, DNA RAPD, DNA

microsatellite dan lain-lain.

1.2 Perumusan dan Pendekatan Masalah

Tiram mutiara (P. margaritifera) bersifat sedenter, namun populasinya memiliki distribusi yang luas dengan kelimpahan yang tidak merata, diperkirakan terdapat keragaman genetik populasi pada tiap unit populasinya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang keragaman genetik tiram mutiara ini perlu dipahami untuk membantu dalam penentuan manajemen konservasi dan budidaya populasi ini.

Peranan keragaman genetik dalam budidaya merupakan salah satu indikator dalam penentuan potensi genetik untuk seleksi dan hibridisasi dalam menentukan populasi stok unggul. Populasi stok unggul ini diperlukan dalam manajemen stok induk yang diharapkan dapat menghasilkan benih unggul untuk kelangsungan industri tiram mutiara. Pelaksanaan program seleksi dan hibridisasi memerlukan


(18)

informasi mengenai potensi genetik tiram mutiara lokal yang ada. Informasi keragaman genetik dapat diperoleh melalui pemetaan DNA dan menganalisis keragaman genetiknya.

Salah satu metode pengukuran keragaman genetik adalah analisis mitokondria DNA (mtDNA) dengan teknik PCR-RFLP. Keunggulan metode ini, antara lain pewarisan mtDNA berlangsung dari induk betina (maternal inheritance) kepada keturunannya melalui gamet betina, dengan demikian pada setiap generasi yang berasal dari induk betina yang sama akan memiliki pola genetik yang sama, mtDNA mempunyai laju polimorfisme yang tinggi dengan laju evolusinya sekitar 5−10 kali lipat dari DNA inti, bersifat klonal yaitu tidak mengalami segregasi dan rekombinasi, mempunyai copy number yang tinggi (Anderson et al. 1981).

Penelitian tentang polimorfisme mtDNA tiram mutiara menjadi tahap awal dalam program pemuliaan yang sasarannya adalah untuk menentukan potensi genetik tiram mutiara yang unggul terkait dengan pola adaptasi atau distribusi penyebarannya. Informasi tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam pengelolaan sumber genetik tiram yang berkelanjutan, baik untuk pengembangan produksi maupun konservasi.

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan keragaman genetik intrapopulasi dan perbedaan genetik interpopulasi dengan teknik mtDNA PCR–RFLP tiram mutiara Indonesia yang berasal dari Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung, dan Sulawesi Selatan serta memetakan hubungan filogenetik dari lima populasi tiram mutiara tersebut.

Informasi mengenai keragaman genetik intrapopulasi dan perbedaan genetik interpopulasi serta jarak genetik (genetic distance) tiram mutiara tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan dalam program pemuliaan yang sasarannya adalah menghasilkan penyediaan induk tiram mutiara unggul yang berkesinambungan atau lestari.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tiram Mutiara (Pinctada margaritifera) 2.1.1 Aspek Biologi Reproduksi

Tiram mutiara merupakan hewan bertubuh lunak atau moluska yang hidup di laut, tubuhnya dilindungi oleh sepasang cangkang yang tipis dan keras, termasuk dalam kelas Bivalva dan famili Pteriidae. Menurut Temkin (2006), nama filum Moluska berasal dari bahasa latin molluscus yang berarti lunak merupakan ilustrasi sinonim dari mollusc menjadi mollusca.

Pinctada margaritifera disebut juga “Black-lipped Pearl Oyster,” merupakan salah satu spesies dari genus Pinctada yang dikenal dapat menghasilkan mutiara berukuran besar, warnanya indah dan berkualitas tinggi. Tiram mutiara (P. margaritifera) terlihat pada Gambar 1 dan beberapa jenis tiram mutiara lainnya disajikan pada Lampiran 2. Klasifikasi tiram mutiara menurut Temkin (2006) adalah sebagai berikut:

Filum : Mollusca Kelas : Pelecypoda Sub Kelas : Lamellibranchiata Ordo : Anycomyaria Famili : Pteriidae Genus : Pinctada

Spesies : Pinctada margaritifera

Gambar 1. Tiram mutiara (Pinctada margaritifera) (Haws dan Ellis 2000) 1 cm


(20)

Moluska diketahui menunjukkan variasi dalam kebiasaan siklus reproduksinya, hal ini tergantung adanya sinyal dari lingkungannya. Gametogenesis yang singkat dimulai sesudah pertumbuhan dan pematangan gonad. Pematangan gamet dipengaruhi beberapa faktor eksogen seperti suhu, periode bulan, kedalaman, faktor mekanis, kelimpahan dan ketersediaan pakan, serta intensitas cahaya dan adanya faktor endogen yaitu genetik dan hormon (Mackie 1984).

Menurut Dharmaraj et al. (1987) proses reproduksi diawali dengan fertilisasi eksternal yang terjadi dalam air, selanjutnya telur dibuahi oleh sperma. Selama proses pemijahan biasanya induk jantan memijah terlebih dahulu, kemudian sekitar 45 menit kemudian diikuti induk betina mengeluarkan sel-sel telur. Hasil pengamatan Saoruddin (2004) yang dilakukan di laboratorium menunjukkan bahwa induk betina akan mengeluarkan telurnya 30–35 menit kemudian setelah induk jantan memijah. Proses pembuahan segera terjadi setelah induk melakukan pemijahan.

Menurut Haws dan Ellis (2000) tahapan perubahan siklus hidup pada Gambar 2 dapat dijelaskan sebagai berikut: pada awal perubahan terjadi penonjolan polar, lalu membentuk polar lube II yang merupakan awal proses pembelahan sel. Proses pembelahan sel terjadi 40 menit setelah pembuahan. Lima menit kemudian sel mulai membelah menjadi dua sel, 13 menit berikutnya sel membelah menjadi empat sel. Pembelahan berikutnya menjadi 8, 16, 32 sel, dan selanjutnya menjadi multisel atau fase morula setelah 2,5 jam. Fase blastula

dicapai setelah larva berumur 3,5 jam dengan gerakannya aktif berputar-putar. Pada fase gastrula yang berumur tujuh jam bersifat fotonegatif dan bergerak dengan silia.

Tahap berikutnya adalah fase trocofor yang dicapai beberapa menit setelah silia menghilang. Terdapat flagela tunggal pada bagian anterior yang berfungsi sebagai alat gerak. Beberapa jam kemudian trocofor berkembang menjadi veliger

(larva bentuk D). Fase ini dicapai setelah larva berumur 18–20 jam dan berukuran 70x80 µm, tumbuh organ mulut dan pencernaan, bersifat fotopositif sehingga tampak berenang-renang di permukaan air.


(21)

Gambar 2. Siklus hidup tiram mutiara (Haws dan Ellis 2000)

Fase umbo dicapai setelah larva berumur 12–14 hari dengan ukuran 130x 135µm yang ditandai dengan adanya tonjolan (umbo) pada bagian dorsal. Fase bintik mata (eye spot) terjadi pada hari ke-16–17 dengan ukuran 200x190 µm. Posisi eye spot berada di sebelah bawah primordia kaki. Fase pediveliger (umbo

akhir) yang berumur 18–20 hari dengan ukuran 210x200 µm. Larva ini mulai mencari tempat untuk menempel atau menetap. Fase plantigrade merupakan fase transisi atau fase akhir kehidupan planktonis larva, terjadi pada hari ke 20–22. Ukuran larva plantigrade sekitar 130x210 µm yang ditandai dengan tumbuhnya cangkang baru di sepanjang periphery dan memproduksi benang-benang bisus untuk menempelkan diri pada substrat, selanjutnya akan berubah menjadi bentuk spat atau bentuk tiram mutiara dewasa, hanya garis-garis pertumbuhannya masih terlihat jelas atau transparan.

2.1.2 Distribusi Geografis

Menurut Martin (2004), penyebaran tiram mutiara terbatas pada ekosistem terumbu karang. Hampir seluruh perairan laut di Indo-Pasifik bahkan hingga ke perairan Indo-Australia memiliki ekosistem yang cocok sebagai habitat tiram


(22)

mutiara. Populasi P. margaritifera di Indonesia banyak tersebar di wilayah Indonesia Barat dan Tengah, seperti Laut Jawa, Sumbawa dan Kalimantan dan di wilayah Indonesia Timur seperti Sulawesi, gugusan Laut Arafura dan Irian Jaya (Gambar 3).

Gambar 3. Peta distribusi penyebaran tiram mutiara (Martin 2004) 2.2 Polimorfisme Genetik Tiram Mutiara

Polimorfisme tiram mutiara telah banyak dipelajari dan diteliti untuk kepentingan konservasi dan pemuliabiakannya. Beberapa penelitian yang terkait antara lain Haond et al. (2002) menganalisis heterosigositas P. margaritifera

populasi Polynesia Perancis dengan metode Direct Amplification of Length Polymorphism (DALP) dan Exon Primed Intron Crossing (EPIC). Hasil analisis menunjukkan nilai heterosigositas berkisar 0,44–0,69 (metode DALP) dan 0,29– 0,31 (metode EPIC). Metode DALP dan EPIC juga digunakan Haond et al. (2003) untuk mengevaluasi keragaman genetik pada spat tiram mutiara P. margaritifera cumingi pada populasi alam dan budidaya di Polynesia Perancis. Hasilnya menunjukkan bahwa heterosigositas populasi berkisar antara 0,275–0,366 pada sampel budidaya dan 0,294–0,366 pada sampel alam.

Karakteristik loci P. maxima dari Australia bagian utara menggunakan

microsatellite menunjukkan delapan loci polimorfik, jumlah alel per lokus 14–68 dan nilai heterosigositas berkisar 0,479–0,879 (Smith et al. 2003). Evans et al.


(23)

(2006) menganalisis karakteristik loci P. maxima dari Australia dan Indonesia menggunakan microsatellite menunjukkan 6–17 alel dengan nilai heterosigositasnya 0,172–0,813.

Benzie et al. (2003) menganalisis keragaman haplotipe P. maxima dari Australia dan Indonesia yaitu populasi Madura dan Sumbawa menggunakan metode mtDNA menghasilkan delapan haplotipe (62% dari seluruh haplotipe) ditemukan di Australia dan tiga haplotipe (38%) ditemukan di Indonesia. Pengamatan keragaman genetik pada P. maxima di kawasan Indonesia-Australia Archipelago (IAA) dengan menggunakan metode microsatellite menghasilkan nilai Fst sebesar 0,027 yang mengindikasikan bahwa sejarah biogeografi atau faktor oseanografi terkait pada pembentukan struktur populasi genetik di kawasan tersebut (Lind et al. 2007).

2.2.1 Keragaman Genetik mtDNA

Mitokondria adalah organel sel eukariot yang berfungsi sebagai organ respirasi pembangkit energi dengan menghasilkan adenosin triphosphat (ATP). Mitokondria ditemukan dalam jumlah banyak pada sel yang aktivitas metabolismenya tinggi yaitu sel-sel kontraktil seperti sperma pada bagian ekornya, sel otot jantung, dan sel yang aktif membelah seperti epitelium, akar rambut, dan epidermis kulit. Mitokondria memiliki perangkat genetik sendiri yang disebut DNA mitokondria (mtDNA), terletak pada matriks semi cair di bagian paling dalam mitokondria. Satu mitokondria dapat mengandung puluhan mtDNA (Toha 2001).

mtDNA yang berukuran relatif kecil dan terdapat dalam jumlah berlimpah serta bersifat klonal dan maternal inheretance memungkinkan analisis mtDNA ini potensial untuk mengetahui hubungan maternal antar individu, mempelajari antropologi, serta biologi evolusi berbagai makhluk hidup. mtDNA sangat potensial digunakan sebagai sistem untuk pengamatan hubungan genetik antar spesies maupun di dalam spesies. Peranan mtDNA dalam studi keragaman genetik dan biologi populasi pada hewan cukup besar, karena mtDNA memiliki derajat polimorfisme yang tinggi (Toha 2001).

Teknik-teknik eksplorasi dalam biologi molekuler dapat dimanfaatkan untuk penggalian informasi yang terkandung dalam genom mitokondria. Salah satunya


(24)

yaitu dengan menggunakan teknik RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dengan melihat variasi jumlah dan ukuran fragmen DNA yang dihasilkan dari hasil digesti enzim restriksi pada genom mitokondria suatu organisme. Selanjutnya tiap fragmen restriksi dapat ditelaah secara lebih terperinci dengan mengetahui urutan basa-basa nukleotida penyusunnya dengan melalui teknik sekuensing.

Umumnya genom mitokondria berbentuk sirkular dan berutas ganda yang terdiri dari utas berat (heavy strand) dan utas ringan (light strand) (Gambar 4). Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu daerah penyandi (coding region) dan daerah bukan penyandi (noncoding region). Daerah penyandi terdiri dari 37 gen, yaitu 13 gen penyandi protein, dua gen penyandi rRNA dan 22 gen penyandi tRNA. Gen-gen tersebut tersebar pada kedua utas mtDNA. Utas ringan dari mtDNA hewan umumnya terdiri dari satu gen penyandi protein yaitu NADH Dehydrogenase 6 (ND 6) dan delapan gen penyandi tRNA yaitu Glutamid acid (tRNA Glu), Proline (tRNA Pro),

Serine (tRNA Ser), Tyrosine (tRNA Tyr), Cysteine (tRNA Cys), Asparagine (tRNA Asn

), Alanine (tRNA Ala) dan Glutamine (tRNA Gln), sedangkan sisanya terdapat pada utas berat, yaitu dua gen penyandi Dehydrogenase (ND): ND1, ND2, ND3, ND4, ND5, ND4L; Cytochrome c Oxidase (CO): COI, COII, COIII; Cytochrome b, ATPase 6 dan Leucine (tRNA Leu), Isoleucine (tRNA Ile), Methionine (tRNA Met

), Tryptophen (tRNA Trp), Aspartic acid (tRNA Asp), Lysine (tRNA Ser), Threonine (tRNA Thr). Daerah bukan penyandi hanya terdiri dari daerah kontrol (control region) yang memegang peranan penting dalam proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Anderson et al. 1981).

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa bagian-bagian dari genom mitokondria memiliki laju evolusi yang berbeda-beda. Beberapa bagian mengalami perubahan yang sangat lambat (conserved), sedangkan bagian yang lainnya mengalami perubahan yang sangat cepat, sehingga menjadi bagian yang paling bervariasi (hypervariable) (Roderick 1996). Dikatakan pula bahwa umumnya gen-gen yang terkonservasi dengan baik (berevolusi lambat) dapat dijadikan dasar penelusuran asal muasal atau filogeni, sedangkan gen-gen yang tidak terkonservasi dengan baik (berevolusi cepat) dapat digunakan untuk


(25)

identifikasi galur-galur baru. Oleh sebab itu, maka analisis keragaman genetik dapat dilakukan pada sebagian gen dari genom mitokondria hewan.

Gambar 4. Struktur DNA mitokondria (Lemire 2005) (ket: : penyandi protein, : penyandi rRNA, : penyandi tRNA)

Analisis keragaman genetik dengan mtDNA pada bivalva telah banyak dilakukan diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Smith et al. (2004) yang menggunakan mtDNA dalam analisis heterosigositas pada Mytilidae di Selandia Baru. Milbury et al. (2004) juga menggunakan metode ini untuk mengamati perbaikan genetik Crassostrea virginica. Menurut Pie et al. (2006) menyatakan metode ini juga efektif dalam membedakan spesies bivalva (Crassostrea brasiliana, C. rhizophorae, dan C. gigas) yang dibudidayakan.

Beberapa penelitian pada genus Pinctada yang menggunakan metode mtDNA telah banyak dilaporkan diantaranya yaitu Haond et al. (2003) menggunakan dua gen mitokondria yaitu COI dan 12S rRNA dalam penelitiannya yang mengamati tiram mutiara P. margaritifera populasi Pasifik Tengah. Masaoka dan Kobayashi (2005) menggunakan mitokondria daerah 16S rRNA pada spesies P. imbricata, P. martensii dan P. fucata populasi Jepang, Cina dan Australia. Penelitian Benzie et al. (2003) yang menggunakan mitokondria daerah


(26)

COI untuk mengamati keragaman genetik populasi P. maxima Indonesia dan Australia.

2.2.2 Metode Analisis PCR – RFLP

Prosedur awal dalam analisis mtDNA adalah memecah sel untuk mengesktrak mtDNA. Tahap berikutnya adalah amplifikasi yaitu proses perbanyakan (sintesis) sekuen mtDNA. Amplifikasi dapat dilakukan secara in vitro dengan menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) atau in vivo

melalui teknik kloning pada sel hidup. Jaringan contoh yang digunakan dapat berupa hati, otot, darah, sel kultur atau jaringan lain, baik dalam kondisi segar, telah difiksasi ataupun beku (Erlich 1989).

Pada prinsipnya teknik PCR adalah proses enzimatis untuk memperbanyak DNA dengan memanfaatkan sifat replikasi DNA dan perubahan fisik DNA terhadap suhu. Proses ini dibantu dengan enzim Taq-DNA polymerase pada tahap ekstensi polinukleotida primer (Zyskind dan Bernstein 1993). Replikasi terjadi jika terdapat untai tunggal DNA yang bertindak sebagai cetakan (template) dan basa nukleotida (dNTP). Enzim DNA polimerase membantu dalam pembentukan DNA untai lainnya. Primer adalah potongan pendek DNA terdiri dari 20–30 nukleotida yang melakukan hibridisasi pita secara berpasangan dengan sekuen tertentu yang mengapit (flanking) daerah DNA target amplifikasi pada tiap pita DNA (Erlich 1989).

Pada kondisi normal, DNA berada dalam keadaan heliks ganda. Heliks ini terdiri atas dua utas tunggal DNA yang saling berpasangan dan terikat non-kovalen oleh ikatan hidrogen. Pada awal proses PCR, utas ganda ini didenaturasi pada suhu tinggi hingga menjadi utas tunggal. Selanjutnya, suhu diturunkan untuk memungkinkan primer utas tunggal menempel pada daerah target. DNA polimerase kemudian digunakan untuk pemanjangan sekuen dengan bantuan suplai empat basa nukleotida (dNTP; Adenin, Guanin, Timin, dan Sitosin) dan buffer. Dengan cara ini dapat menghasilkan duplikat daerah target dan siklus ini biasanya berlangsung 20–40 kali (Erlich 1989).

Kelebihan teknik PCR adalah proses isolasi cepat, jumlah sekuen DNA yang dihasilkan dapat mencapai 300.000 kopi, sangat sensitif dalam mendeteksi sekuen DNA target dari sampel dan tidak memerlukan enzim lain selama siklus. Selain


(27)

itu, suhu tinggi dalam sintesa DNA (75 °C) dapat meningkatkan ketelitian sehingga meminimumkan ekstensi primer yang tidak sesuai dengan template

(Zyskind dan Bernstein 1993). Dalam prosedur PCR ini, struktur sekunder dari

template DNA yang dapat menghalangi aktivitas enzim polimerase juga akan direduksi melalui denaturasi sekuen pada suhu tinggi, namun demikian beberapa faktor harus diperhatikan supaya pita-pita yang dihasilkan baik dan utuh, antara lain konsentrasi DNA, ukuran dan komposisi basa primer dan suhu hibridisasi (Erlich 1989).

Metode RFLP merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengetahui perbedaan profil ukuran fragmen DNA dari individu yang berbeda, dengan menggunakan enzim restriksi untuk memotong sekuen mtDNA teramplifikasi. Hansen et al. (1997) menyatakan bahwa teknik RFLP menggunakan suatu enzim restriksi endonuklease yang dapat memotong fragmen besar DNA pada situs restriksi tertentu menjadi fragmen yang lebih kecil. Visualisasi hasil pemotongan dapat menunjukkan pola fragmen yang khas tergantung jenis DNA dan enzim yang digunakan. Organisme yang berbeda memiliki perbedaan urutan DNA, sehingga teknik RFLP dapat membedakan jenis organisme pada tingkat spesies atau strain dan telah banyak digunakan diantaranya pada moluska. Kombinasi antara teknik PCR dan penggunaan enzim retriksi atau teknik sekuensing nukleotida dapat menggambarkan karakter atau profil DNA individual yang berguna untuk menjelaskan hubungan filogenetik populasional dalam takson. 2.3 Parameter Kualitas Air yang Berhubungan dengan Kelangsungan

Hidup Tiram Mutiara

Kegiatan manajemen broodstock membutuhkan populasi calon induk yang memiliki (viabilitas dan fertilitas) dan kebugaran potensial (potentialfitness) yang bagus. Fitness terkait dengan peluang kelangsungan hidup (survival rate) atau fekunditas dan kebugaran potensial (potential fitness) terkait dengan tingkat polimorfisme (keragaman genetik) dan pola adaptasi melalui seleksi alam terhadap perubahan lingkungan. Pola adaptasi terkait dengan kemampuan individu menyediakan ragam genetik dalam mekanisme evolusi sehingga mampu bertahan hidup (survive) dan terlibat dalam PRE (Populasi Reproduktif Efektif) serta berkontribusi dalam pewarisan genetik pada generasi berikutnya.


(28)

Faktor yang mempengaruhi fitness dalam populasiantara lain: pola breeding yang dipengaruhi oleh Ne (populasi efektif), predasi atau eksploitasi terkait dengan manajemen sistem budidaya dan lingkungan (geografi), seperti barier geografi dan kondisi perairan.

Suhu adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme laut, karena mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan organisme tersebut. Suhu rata-rata organisme tiram mutiara dapat hidup adalah 25–28 °C (Tarwiyah, 2000). Pada suhu antara 26–29°C, tiram mutiara (P. margaritifera) sangat aktif melakukan kegiatan metabolisme dan mampu tumbuh dengan baik (Doroudi et al. 1999).

Salinitas air laut mempengaruhi penyebaran hewan bentos seperti bivalva, karena organisme laut hanya dapat bertoleransi terhadap perubahan salinitas yang kecil dan perlahan (Meade 1989). Menurut penelitian Doudori et al. (1999), salinitas yang baik untuk pertumbuhan optimal tiram mutiara P. margaritifera

berkisar antara 27–32‰.

Oksigen terlarut umumnya menjadi faktor pembatas bagi kelangsungan hidup organisme akuatik (Meade 1989). Hasil penelitian Dharmaraj et al. (1987) tentang kebutuhan oksigen terlarut tiram mutiara P. fucata, menunjukkan bahwa tiram berukuran 40–50 mm mengkonsumsi oksigen 1,339 µl/jam, ukuran 50–60 mm mengkonsumsi 1,650 µl/jam dan ukuran 60–70 mm mengkonsumsi 1,810 µl/jam.

Menurut Nayar dan Mahadevan (1987), pada prinsipnya habitat tiram mutiara berada pada perairan dengan pH lebih tinggi dari 6,75; namun tiram mutiara tidak bereproduksi bila pH lebih tinggi dari 9, pH air yang layak untuk kehidupan tiram mutiara P. maxima berkisar antara 7,8–8,6; sedangkan pada pH 7,9–8,2 tiram mutiara dapat berkembang biak dan tumbuh dengan baik.

Faktor kecerahan suatu perairan berpengaruh terhadap kehidupan organisme di dalamnya. Tinggi rendahnya tingkat kecerahan sangat dipengaruhi intensitas cahaya matahari yang dapat menembus kedalaman lapisan perairan. Tiram mutiara hidup pada dasar perairan, sehingga kecerahan perairan yang dibutuhkan tiram mutiara pada umumnya mencapai dasar perairan. Kedalaman perairan untuk budidaya tiram mutiara berkisar antara 15–25 m (Tarwiyah 2000).


(29)

2.4 Pulau Panjang, Selat Alas

Perairan Pulau Panjang yang termasuk dalam perairan Selat Alas terletak di antara pulau Lombok dan pulau Sumbawa Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan luas perairan sekitar 20541.695 km2; lebar mulut selat bagian utara sekitar 20.372 km, sedangkan di bagian selatan sekitar 35.188 km (Wasilun dan Amin 1989). Kedalaman perairan Selat Alas berkisar antara 16–268 m (Anonim 1990) dan rata-rata kedalaman < 100 m (Suharsono et al. 1995).

Suhu permukaan laut Selat Alas pada musim tenggara relatif lebih rendah dari pada musim barat laut dan kedua musim peralihan di antaranya. Nilai rata-rata suhu pada musim tenggara (Juni–Agustus) sekitar 26 °C, sedangkan pada musim barat laut (Desember–Februari) dan musim peralihan dua (September– November) nilai rata-rata suhu sekitar 28 °C dan pada musim peralihan satu (Maret–Mei) nilai rata-rata suhunya sekitar 29 °C (Hartati et al. 2001).

Konsentrasi oksigen terlarut di perairan Selat Alas baik pada musim barat laut, tenggara, dan kedua musim peralihan diantaranya cukup mendukung untuk kehidupan biota perairan, yaitu berkisar antara 3,7–4,4 mg/L, sedangkan salinitas permukaan laut Selat Alas berkisar antara 33–34‰ (Hartati et al. 2001).

Hasil pengamatan Tasywiruddin (1999), pengukuran karakteristik perairan Selat Alas menunjukkan kelimpahan plankton relatif sama baik di perairan Selat Alas bagian dalam maupun Selat Alas bagian luar. Kisaran rata-rata kelimpahan plankton di perairan Selat Alas bagian dalam adalah 8.115–143.888 individu/m3, sedangkan perairan Selat Alas bagian luar adalah 84.000–14.263 individu/m3.

Secara oseanografis kondisi perairan Selat Alas dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang terjadi di perairan Laut Flores dan Samudera Hindia. Pada musim barat (Desember–Februari), massa air perairan Selat Alas berasal dari Laut Jawa, sedangkan pada musim timur (Mei/Juni–September) terjadi perubahan arah arus dari utara ke selatan Laut Flores (Hartati et al. 2001).

Pada musim timur (Mei–September) terjadi proses air naik (up welling) di sepanjang pantai selatan Jawa–Sumbawa (Wyrtki 1961). Di sekitar perairan tersebut, suhu air permukaan biasanya turun sampai 25 °C, karena massa air yang dingin dan kaya akan nutrien dari lapisan bawah terangkat ke atas, sehingga kelimpahan fitoplankton meningkat beberapa kali lipat. Tasywiruddin (1999),


(30)

menyatakan bahwa nilai kisaran rata-rata kekeruhan di perairan Selat Alas yaitu 8,18–11,73 NTU. Hasil pengamatan Mahrus (1996) pH pada perairan Selat Alas berkisar antara 6,5–7,4.

2.5 Teluk Pegametan, Bali Utara

Teluk Pegametan merupakan bagian perairan Selat Bali, sehingga menyebabkan Teluk Pegametan lebih cenderung dipengaruhi oleh massa air dari Selat Bali yaitu dari Samudera Hindia. Perubahan yang dialami Teluk Pegametan akan sama dengan perubahan yang dialami oleh Selat Bali, pada saat musim angin timur terjadi proses umbalan air atau naiknya zat hara yang kaya akan nutrien akibat desakan Arus Pantai Jawa (APJ) dan Arus Khatulistiwa Selatan (AKS).

Menurut penelitian Hanafi et al. (2004) menyatakan pada Teluk Pegamtan suhu permukaan laut berkisar 25,1–28 °C yang didominasi oleh suhu 26,1–28 °C. Dikatakan pula bahwa suhu perairan Teluk Pegametan terukur dari 0–100 m di bawah permukaan air laut, nilai berkisar antara 20–27,5 °C.

Berdasarkan pengamatan Hanafi et al. (2004), sebaran fitoplankton mulai terlihat pada bulan Mei dibagian barat Teluk Pegametan, kemudian mulai meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya berkisar antara 0,7–3 mg/m3 begitu pula pada bulan-bulan selanjutnya. Dikatakan pula puncak performansi kuantitas dan kualitas sebaran fitoplankton terjadi pada bulan Agustus dan September dan pada bulan November dan Desember sudah tidak terlihat lagi, selanjutnya dikatakan pula bahwa nilai salinitas di perairan Teluk Pegametan berkisar antara 31,5–33‰, nilai salinitas rendah terkonsentrasi pada kedalaman 10 m, salinitas kurang dari 30‰ terdapat pada kedalaman 2–3 m dan pada kedalaman 70 m salinitas di atas 30,5‰.

2.6 Pulau Handeuleum, Selat Sunda

Selat Sunda merupakan selat penghubung antara Laut Jawa dan Samudera Hindia yang memiliki keunikan sifat oseanografis tersendiri karena ditempati oleh dua massa air yaitu dari Laut jawa dan Samudera Hindia. Bagian utara selat lebih sempit dan lebih dangkal dibandingkan bagian selatan, pada bagian tersempit hanya sekitar 24 km lebarnya dengan kedalaman kurang dari 80 m. melalui hubungan yang sempit dan dangkal ini, pertukaran air antara laut Jawa dan


(31)

Samudera Hindia lemah. Karakteristik oseanografi selat ini di bawah pengaruh Laut Jawa dan Samudera Hindia (Hendiarty 2003).

Pengamatan dengan sensor SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor) oleh Hendiarty (2003), memperlihatkan bahwa perairan Selat Sunda pada musim angin timur (Juni–September) terjadi fenomena pergerakan massa air Laut Jawa menuju Samudera Hindia melalui Selat Sunda yang dicirikan dengan kandungan klorofil-a perairan sebesar 0,8 mg/m3, sementara pada musim angin barat (November–Maret) perairan tersebut pada musim barat umumnya kurang subur yang dicirikan dengan kandungan klorofil-a yang lebih rendah.

Suhu rata-rata bulanan permukaan laut Selat Sunda relatif stabil sepanjang tahun berkisar antara 28–29 oC, dengan suhu maksimum ditemui pada bulan Mei dan suhu minimum pada bulan Oktober (Wyrtki 1961). Kondisi temperatur permukaan pada kedalaman satu meter berkisar antara 28,32–29,68 oC (Paryono 2004).

Salinitas permukaan di perairan Selat Sunda berkisar antara 32,5–33,6‰, salinitas minimum ditemui pada bulan Januari dan salinitas maksimum pada bulan Agustus (Wyrtki 1961). Menurut Paryono (2004) salinitas Selat Sunda pada kedalaman 1 m, berkisar antara 33,28–33,49‰, sedangkan menurut Romimohtarto (1983), salinitas permukaan di selat bagian utara biasanya lebih rendah daripada di bagian selatan, salinitas Selat Sunda bervariasi dari 31,5– 33,5‰. Rendahnya salinitas permukaan di selat bagian utara disebabkan oleh masuknya massa air dari laut Jawa ke Selat Sunda hampir sepanjang tahun. Salinitas dekat dasar di selat bagian selatan juga lebih tinggi daripada di bagian utara. Kecerahan 80 cm sementara pH terukur antara 6,5–8,5 (Anonim 2007). 2.7 Selat Ru, Belitung

Selat Ru merupakan salah satu selat yang berada di antara Pulau Ru dan Pulau Nado, di bagian barat Pulau Belitung. Secara keseluruhan Selat Ru termasuk dalam Selat Gaspar yang berada di antara Pulau Bangka dan Belitung. Perairan di Selat Ru dipengaruhi oleh kondisi perairan di Laut Cina Selatan dan Selat Gaspar.

Hasil pengamatan Wati (2004) menyatakan pada musim barat konsentrasi pada klorofil-a > 50 mg/m3 terdapat di sepanjang pantai timur Sumatera yaitu


(32)

mulai dari Riau (Pulau Singkep) sampai ke selatan Sumatera Pulau Bangka dan Belitung. Dikatakan pula pada musim timur arus dari Laut Jawa memberikan sumbangan terhadap kesuburan fitoplankton di Selat Karimata. Hasil penelitian Sofian (2004) menunjukkan variasi suhu pada Selat Ru 26,3–28 °C, salinitas 30– 32,6; pH 7,6–8; Kecerahan pada kedalaman 5–10 m adalah 40–100%.

2.8 Teluk Awerange, Sulawesi Selatan

Teluk Awerange berada di wilayah Kecamatan Soppeng Riaja Kabupaten Barru. Sebelah utara teluk berbatasan dengan Desa Batu Pute, terdapat pelabuhan rakyat Awerange, pemukiman nelayan dan pantai pasir putih, sebelah timur berbatasan dengan Desa Siddo, sebelah timur pesisir Teluk Awerange terdapat pemukiman nelayan, tambak tradisional dan semi intensif serta hutan bakau, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Lawallu, sebelah barat teluk berbatasan dengan Selat Makassar yang merupakan sumber pemasukan air laut (Rusman 2003).

Menurut Rusman (3003), secara umum perairan di Teluk Awerange pada musim kemarau dan musim hujan tidak mengalami perbedaan yaitu berkisar antara 25–26 °C. Pada perairan yang dangkal tidak terdapat lapisan termoklin yang dapat menyebabkan perbedaan suhu yang ekstrim di setiap kedalaman perairan. Selain itu Teluk Awerange merupakan perairan yang semi tertutup sehingga suhu perairan teluk hampir merata. Kedalaman Teluk Awerange berkisar antara 1–40 m, perbedaan ini disebabkan karena kontur dasar perairan yang tidak merata. Kedalaman terbesar berada di sekitar mulut dan bagian tengah perairan teluk.

Hasil penelitian Rusman (2003) pada perairan Teluk Awerange menunjukkan rata-rata kecerahan perairan adalah 60–100%. Pada musim hujan penurunan kecerahan sebesar 20% dari kecerahan perairan musim kemarau. Arus permukaan yang terjadi di perairan Teluk Awerange umumnya disebabkan oleh pasang surut dan angin yang bertiup di permukaan. Kondisi geografis Teluk Awerange dengan mulut teluk yang sempit dan terumbu karang merupakan penghalang arus yang berasal dari perairan Selat Makassar. Rusman (2003) melaporkan bahwa sepanjang tahun pergerakan massa air di Selat Makassar mengarah ke selatan. Selanjutnya dikatakan pula bahwa pada bulan November–


(33)

Maret massa air Laut Jawa bergerak ke arah timur sedangkan pada bulan Mei– September massa air bergerak ke arah barat.

Penelitian Rusman (2003) menunjukkan beberapa parameter kimia di perairan Teluk Awerange yaitu pH berkisar antara 7,5–8,4; oksigen terlarut berkisar antara 5–8,7 mg/l, salinitas 34–35‰. Hasil pengamatannya, bentos di perairan Teluk Awerange pada 20 titik pengambilan contoh diperoleh sebanyak 105 spesies, dengan kisaran kepadatan antara 33–497667 ind/m3. Hal ini memberikan gambaran bahwa perairan Teluk Awerange sangat kaya dengan organisme bentos.


(34)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Pengambilan Contoh

Penelitian dilakukan dengan metode survei (pengambilan contoh) dan pengamatan di laboratorium. Pengambilan contoh dilakukan dari bulan Mei– Desember 2007 dan analisis laboratorium dilaksanakan dari bulan Februari–Juni 2008. Tiram mutiara contoh dikoleksi dari lima lokasi yang mewakili sebaran tiram mutiara P. margaritifera di Indonesia, yaitu Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung, dan Sulawesi Selatan. Peta pengambilan contoh dapat dilihat pada Lampiran 3.

3.2 Metode

3.2.1 Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh tiram mutiara dilakukan dengan penyelaman ke dasar perairan atau dari tempat budidaya tiram setempat. Contoh tiram dari Sumbawa berasal dari perairan Pulau Panjang, Selat Alas, tiram mutiara Bali Utara berasal dari Teluk Pegametan, Bali, tiram mutiara Selat Sunda berasal dari perairan Pulau Handeuleum, Selat Sunda, tiram mutiara Belitung berasal dari perairan Selat Ru, sedangkan tiram mutiara Sulawesi Selatan berasal dari Teluk Awerange, Barru. Jumlah contoh tiram mutiara adalah 10 ekor untuk masing-masing lokasi dengan ukuran sekitar 10–30 cm. Contoh tiram mutiara yang dikoleksi disimpan dalam larutan alkohol 70−100% untuk keperluan analisis DNA di laboratorium. Analisis DNA contoh tiram mutiara dilakukan di Laboratorium Rekayasa Genetik Loka Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air Tawar, Sukamandi.

Data sekunder mengenai sifat fisik dan kimia perairan lokasi sampling yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan distribusi tiram mutiara, meliputi kedalaman, suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan produksi primer, dikumpulkan dari berbagai literatur.

3.2.2 Analisis DNA mitokondria Ekstraksi DNA

Ekstrak DNA yaitu melakukan tahapan penghancuran sel, eliminasi protein dan RNA, serta pengendapan protein. Tahap penghancuran sel yaitu


(35)

menghaluskan potongan daging sebanyak 20 mg/contoh dengan scapel kemudian dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml yang telah diisi 250 µl larutan sel lisis yang terdiri 10 µl Tris pH 8; 100 mM EDTA pH 8; 2% SDS, lalu ditambahkan 5 µl protein kinase dan inkubasi pada suhu 55 oC selama 4–24 jam. Tahap berikutnya adalah tahap eliminasi protein dan RNA yaitu dengan menambahkan 250 µl amonium asetat ke dalam larutan kemudian dihomogenkan (aduk kencang) selama lima menit hingga tercampur rata. Diaduk perlahan selama 15 menit pada suhu ruang, selanjutnya dimasukkan dalam suhu 4 oC selama 10 menit. Tahap selanjutnya adalah tahap pengendapan protein dengan sentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 10 menit. Larutan supernatant (lapisan cair) dipindahkan ke dalam tabung baru dan ditambahkan etanol 100% sebanyak dua kali volume

supernatant, lalu disentrifugasi kembali pada kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit kemudian etanol dibuang, lalu ditambahkan alkohol 70% sebanyak 600 µl dan disentrifugasi pada kecepatan 13.000 selama 3 menit. Lapisan etanol dibuang dan dikeringanginkan selama 30 menit, ditambahkan 50 µl buffer T10E0.1 dan inkubasi pada suhu 65 oC selama 1 jam (Nguyen et al. 2006).

Amplifikasi mtDNA dengan PCR

mtDNA diamplifikasikan menggunakan primer universal Cytochrome Oxidase I (COI) forward: 5’-ATA ATG ATA GGA GGR TTT GG-3’ dan

reverse: 5’-GCT CGT GTR CTA CRT CCA T-3’ (Williams dan Benzie 1997). Amplifikasi dilakukan menggunakan metode polymerase Chain Reaction (PCR) dengan komposisi premiks yaitu dH2O 13,6 µl, 10 x Buffer 5 µl; 25 mM MgCl2 1,5 µl; 2,5 mM dNTP 0,5 µl; 10 pM primer masing-masing 1,6 µl; 5 unit/µl Taq-DNA polymerase 0,2 µl; genom DNA sebanyak 1 µl, sehingga volume akhir tiap mikrotube adalah 25 µl. Tube yang berisi contoh dimasukkan ke dalam mesin PCR yang telah diprogram menurut Benzie et al. (2003) yaitu proses denaturasi

pada suhu 94 °C selama 1 menit, annealing pada suhu 45 °C selama 1 menit, dan

extension pada suhu 72 °C selama 1 menit, sebanyak 30 siklus. Hasil PCR dapat langsung dianalisis dengan elektroforesis atau disimpan di dalam refrigerator.

Bahan-bahan yang digunakan dalam proses elektroforesis dengan agarose 3% yaitu bubuk agarose sebanyak 0,9 g, tris borate (TBE) 30 ml, contoh DNA


(36)

hasil PCR, gel loading buffer dan penanda DNA.

Gel agarose dibuat dengan cara memanaskannya di atas hotplate dan diaduk rata. Setelah gel larut dan berwarna bening, larutan tersebut dibiarkan sampai hangat, kemudian teteskan etidium bromida sebanyak 0,1 ml; kemudian dituangkan ke dalam cetakan yang telah terpasang sisir pembuat lubang dengan ketebalan 3–5 mm, selanjutnya gel dibiarkan sampai membeku dan dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang berisi buffer elektroforesis.

Contoh dan marker DNA masing-masing dicampur dengan gel loading buffer lalu dimasukkan dalam lubang-lubang yang terdapat pada gel dengan menggunakan mikropipet. Setelah running selama 5 jam atau migrasi sepanjang ¾ bagian dari panjang gel, kemudian keberadaan DNA dilihat dengan ultraviolet illuminator.

Digesti mtDNA dengan enzim retriksi

Digesti mtDNA dilakukan menggunakan enzim restriksi. Tahapannya adalah mencampur 15,5 µl dH2O; 2,0 µl DNA hasil amplifikasi PCR, buffer enzim 2,0 µl, enzim restriksi 0,5 µl sehingga total larutan 20 µl dalam tabung Eppendorf

steril dan dilakukan on ice karena enzim sangat sensitif terhadap suhu dan mudah rusak kemudian campuran dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1–4 jam, selanjutnya elektroforesis untuk mengetahui hasil digesti enzim dan untuk pengamatan jumlah dan ukuran fragmen restriksi (bend) menggunakan ultraviolet illuminator

3.3Analisis Keragaman Genetik mtDNA

Fragmen hasil restriksi mtDNA teramplifikasi dapat ditera berdasarkan marker. Setiap pola fragmen terdiri dari satu atau lebih fragmen DNA hasil digesti sebagai genotipe individu dari setiap enzim restriksi. Genotipe individual dari suatu enzim dicirikan dengan kode huruf (letter code), dan kombinasi genotipe dari enzim restriksi tersebut merupakan tipe haplotipe dari setiap individu tiram.

Keragaman genetik intrapopulasi diukur berdasarkan parameter ‘diversitas haplotipe’ (h). Diversitas haplotipe (h) dihitung menurut persamaan Nei (1987):

Keterangan: n: ∑ contoh, Xi: frekuensi haplotipe sampai ke-i dari suatu populasi

) 1 ( 1

2

∑ − −

= xi n

n h


(37)

Perbedaan genetik interpopulasi diukur berdasarkan parameter jarak genetik (genetic distance) (Nei 1987) yang dianalisis dengan menggunakan program TFPGA dan hubungan filogenetik interpopulasi digambarkan dalam bentuk dendrogram berdasarkan analisis kluster terhadap nilai jarak genetik menurut metode jarak rata-rata UPGMA (Bermingham 1990) dalam program TFPGA.


(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Hasil

Lima puluh contoh tiram mutiara P. margaritifera yang dianalisis berasal dari lima lokasi yaitu di Sumbawa (SB), Bali Utara (BA), Selat Sunda (SS), Belitung (BL), dan Sulawesi Selatan (SL).

4.1.1 Amplifikasi mtDNA pada Daerah Cytochrome Oxidase I (COI ) Amplifikasi daerah COI mtDNA pada tiram mutiara P. margaritifera

menggunakan primer universal COI menghasilkan fragmen DNA berukuran sekitar 750 pb pada semua populasi contoh tiram mutiara yaitu populasi Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung, dan Sulawesi Selatan. Fragmen yang teramplifikasi didigesti dengan enzim restriksi. Fragmen mtDNA teramplifikasi dengan primer universal COI disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Fragmen mtDNA teramplifikasi dengan primer universal COI

Ket: M: marker, pb: pasangan basa, SB: Sumbawa, BA: Bali Utara, SS: Selat Sunda, BL: Belitung, SL: Sulawesi Selatan

4.1.2 Pola Restriksi Fragmen mtDNA Teramplifikasi

Pada penelitian ini telah dicoba 16 enzim restriksi (Lampiran 4), namun hanya tiga enzim yang memberikan hasil digesti polimorfik yaitu FokI, HaeIII,

NlaIV, dua enzim menghasilkan digesti yang monomorfik yaitu DpnII dan

Eco0190I, dan 11 enzim lainnya tidak terjadi digesti. Keragaman jumlah situs dan ukuran fragmen restriksi (RFLP) yang diperoleh dari hasil digesti mtDNA dengan lima enzim adalah 13 tipe restriksi (genotipe) yaitu FokI dengan empat tipe restriksi (A, B, C, D), HaeIII dengan tiga tipe restriksi (A, B, C), NlaIV dengan empat tipe restriksi (A, B, C, D), sedangkan DpnII dan Eco0190I menghasilkan


(39)

masing-masing satu tipe restriksi (A) yang monomorfik, serta 34 fragmen restriksi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tipe fragmen restriksi mtDNA daerah COI dengan lima enzim restriksi (FokI, HaeIII, NlaIV, DpnII dan Eco0190I)

Enzim

Panjang

fragmen FokI HaeIII NlaIV DpnII Eco0190I

(pb) A B C D A B C A B C D A A

600 ▬▬ ▬▬ ▬▬

500 ▬▬ ▬▬ ▬▬

450 ▬▬

400 ▬▬ ▬▬

300 ▄▄▄ ▬▬ ▄▄▄ ▬▬ ▄▄▄ ▄▄▄

250 ▬▬ ▬▬ ▬▬

200 ▬▬

150 ▬▬ ▬▬ ▬▬ ▬▬ ▬▬ ▬▬

100 ▬▬ ▬▬

50 ▬▬ ▬▬ ▬▬

Jumlah 2 3 2 2 4 2 2 3 3 2 3 3 3

Keterangan: ▄▄▄ : pita ganda ▬▬ : pita tunggal

a. Digesti dengan enzim restriksi FokI

Digesti fragmen mtDNA teramplifikasi dengan enzim restriksi FokI menghasilkan empat tipe yaitu A (600, 150 pb), B (300, 300, 150 pb), C (500, 250 pb), dan D (450, 300 pb). Digesti mtDNA dengan enzim FokI disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6. Digesti mtDNA dengan FokI(empat tipe restriksi: A, B, C, D)

Ket: M: marker, PCR: DNA amplifikasi, pb: pasangan basa, SS: Selat Sunda

b. Digesti dengan enzim restriksi HaeIII

Digesti fragmen DNA teramplifikasi dengan enzim restriksi HaeIII menghasilkan tiga tipe digesti yang berbeda, yaitu tipe A (300, 300, 100, 50 pb),


(40)

B (600, 150 pb), C (500, 250 pb). Digesti mtDNA dengan enzim HaeIII dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Digesti mtDNA dengan HaeIII (tiga tipe restriksi A, B, C)

Ket: M: marker, PCR: DNA amplifikasi, pb: pasangan basa, SL: Sulawesi Selatan, SS: Selat Sunda

c. Digesti dengan enzim restriksi NlaIV

Digesti mtDNA teramplifikasi dengan enzim restriksi NlaIV memberikan empat tipe restriksi yaitu A (400, 250, 100 pb), B (500, 200, 50 pb), C (600, 150 pb), dan D (400, 300, 50 pb) (Gambar 8).

Gambar 8. Digesti mtDNA dengan NlaIV (empat tipe restriksi: A, B, C, D)


(41)

d. Digesti dengan enzim restriksi DpnII

Digesti DNA teramplifikasi dengan enzim restriksi DpnII menghasilkan tipe restriksi yang monomorfik yaitu tipe A (300, 300, 150 pb) (Gambar 9).

Gambar 9. Digesti dengan DpnII (satu tipe restriksi: A)

Ket: M: marker, PCR: DNA amplifikasi, pb: pasangan basa, SB: Sumbawa, BA: Bali Utara, SS: Selat Sunda, BL: Belitung, SL: Sulawesi Selatan

e. Digesti dengan enzim restriksi Eco0190I

Digesti dengan enzim restriksi Eco0190I menghasilkan tipe restriksi monomorfik yaitu tipe A (300, 300, 150 pb) (Gambar 10).

4.1.3 Identifikasi Fragmen Restriksi (RFLP)

Rekapitulasi identifikasi genotipe (tipe restriksi) mtDNA teramplifikasi hasil digesti dengan lima enzim (FokI, HaeIII, NlaIV, DpnII, Eco0190I) disajikan pada Tabel 2.

Gambar 10. Digesti dengan Eco0190I (satu tipe restriksi: A)

Ket: M: marker, PCR: DNA amplifikasi, pb: pasangan basa, SB: Sumbawa, BA: Bali Utara, SS: Selat Sunda, BL: Belitung, SL: Sulawesi Selatan


(42)

Tabel 2. Distribusi genotipe (tipe restriksi) pada lima populasi tiram mutiara

Enzim Tipe

restriksi Sumbawa Bali Utara Selat Sunda Belitung

Sulawesi Selatan

FokI A B C D - 10 - - 2 8 - - 4 1 4 1 10 - - - - 8 2 -

HaeIII A

B C 8 - 2 6 - 4 4 - 6 7 3 - 3 7 -

NlaIV A

B C D 3 3 4 - 3 3 - 4 3 - 7 - 3 7 - - - - 10 -

DpnII A 2 2 2 2 2

Eco0190I A 2 2 2 2 2

Enzim FokI menghasilkan tipe restriksi A monomorfik pada populasi Belitung dan tipe B monomorfik pada populasi Sumbawa, sedangkan pada populasi Bali Utara dan Sulawesi Selatan tipe B lebih dominan dan empat tipe restriksi (A, B, C, D) pada populasi Selat Sunda.

Enzim HaeIII menghasilkan dua tipe restriksi pada semua populasi, namun berbeda situs restriksi. Tipe A dominan ditemukan pada semua populasi, kecuali pada populasi Selat Sunda dan Sulawesi Selatan, berturut-turut tipe C dan B lebih dominan dari pada tipe A. Selain di Sulawesi Selatan tipe B ditemukan pula di Belitung, sedangkan tipe C ditemukan juga pada populasi Sumbawa dan Bali Utara.

Enzim NlaIV menghasilkan tipe restriksi C monomorfik pada populasi Sulawesi Selatan dan dominan pada populasi Sumbawa dan Selat Sunda, dua tipe restriksi ditemukan pada Selat Sunda dan Belitung dan tiga tipe restriksi pada populasi Sumbawa dan Bali Utara. Tipe A terdapat pada seluruh populasi kecuali Sulawesi Selatan, tipe B dominan pada populasi Belitung, dan tipe D hanya pada populasi Bali Utara.

Enzim DpnII dan Eco0190I menghasilkan tipe restriksi A monomorfik pada seluruh populasi.

4.1.4 Keragaman Genetik Intrapopulasi

Analisis composite haplotipe menghasilkan 24 composite haplotipe pada seluruh populasi, tiap populasi terdiri dari tiga sampai delapan haplotipe yang berbeda dengan kisaran ragam haplotipe antara 0,105 dan 0,328 (Tabel 3 dan


(43)

Lampiran 5) atau rata-rata 0,225±0,093. Distribusi composite haplotipe pada kelima populasi tiram mutiara disajikan pada Tabel 3 dan Lampiran 6.

Tabel 3. Distribusi frekuensi dan composite haplotipe pada lima populasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera)

No. Composite

Haplotipe Total Sumbawa Bali Utara

Selat

Sunda Belitung

Sulawesi Selatan

1. BAAAA 4 0,3 0,1 − − −

2. BACAA 6 0,4 – – – 0,2

3. BCBAA 4 0,2 0,2 − − –

4. BABAA 2 0,1 0,1 – – −

5. BADAA 2 – 0,2 − − –

6. AAAAA 7 − 0,1 0,3 0,3 −

7. AADAA 1 – 0,1 − − –

8. BCAAA 1 − 0,1 – – −

9. BCDAA 1 – 0,1 − − –

10. AACAA 1 − − 0,1 – −

11. DCCAA 1 – – 0,1 − –

12. CCCAA 4 − − 0,4 – −

13. BCCAA 1 – – 0,1 − –

14. ABBAA 3 − − − 0,3 −

15. AABAA 4 – – – 0,4 –

16. BBCAA 6 − − − − 0,6

17. CBCAA 1 – – – – 0,1

18. BBCAA 1 − − − − 0,1

Jumlah sampel 50 10 10 10 10 10

Jumlah haplotipe 4 8 5 3 4

Keragaman haplotipe 0,206 0,307 0,328 0,177 0,105 Composite haplotipe BBCAA terdapat dalam frekuensi tertinggi pada populasi Sulawesi Selatan, dan tidak ditemukan pada populasi lainnya, demikian pula AABAA pada Belitung dan CCCAA pada Selat Sunda, sedangkan BACAA pada populasi Sumbawa dan Sulawesi Selatan. Composite haplotipe AAAAA terdistribusi pada tiga populasi dari lima populasi yang dianalisis yaitu Bali Utara, Selat Sunda, dan Belitung.

Berdasarkan analisis keseimbangan distribusi genotipik populasi menurut Hardy-Weinberg menggunakan metode tests for Hardy-Weinberg equilibrium

dalam program TFPGA menghasilkan nilai p-value berkisar antara 0,000−0,0016 (Lampiran 7). Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan dengan nilai p<0,01

sehingga dapat dikatakan frekuensi haplotipe intrapopulasi terdistribusi sesuai dengan keseimbangan populasi Hardy-Weinberg.


(44)

4.1.5 Perbedaan Genetik Interpopulasi

Jarak genetik antar populasi (D) dan dendrogram hubungan kekerabatan antar populasi (filogeni) pada lima populasi tiram mutiara menurut metode UPGMA menggunakan program TFPGA disajikan pada Tabel 4, Gambar 11, dan

Lampiran 8. Tabel 4. Jarak genetik interpopulasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera)

Populasi Sumbawa Bali Utara Selat Sunda Belitung Sulawesi Selatan Sumbawa

Bali Utara Selat Sunda Belitung Sulawesi Selatan

-

0,017 0,067 0,056 0,105

- 0,084 0,091 0,115

- 0,069 0,080

-

0,142 -

Hasil perhitungan jarak genetik menunjukkan jarak terkecil (terdekat) antara populasi Sumbawa dan Bali Utara yaitu sebesar 0,017; sedangkan jarak genetik terbesar (terjauh) adalah antara populasi Belitung dan Sulawesi Selatan yaitu sebesar 0,142.

Berdasarkan dendrogram kekerabatan lima populasi tiram mutiara (Gambar 11) menunjukkan pemisahan antara dua kelompok populasi yang terdiri dari populasi Sumbawa dan Bali Utara yaitu sebesar (D=0,017) di satu pihak dengan populasi Selat Sunda dan Belitung (D=0,069) di pihak lain terhadap populasi Sulawesi Selatan yang memiliki tingkat kedekatan genetik paling jauh (D=0,142).

Gambar 11. Dendrogram hubungan kekerabatan (filogeni) lima populasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera)


(45)

4.2 Pembahasan

4.2.1 Keragaman Haplotipe

Distribusi composite haplotipe BBCAA tertinggi ditemukan pada populasi Sulawesi Selatan (60%), namun tidak ditemukan pada populasi lainnya, demikian pula CCCAA (40%) pada populasi Selat Sunda dan AABAA (40%) pada populasi Belitung. Populasi Bali Utara, Selat Sunda, dan Belitung dicirikan dengan distribusi composite haplotipe AAAAA, dan populasi Sumbawa dan Sulawesi Selatan dicirikan oleh distribusi composite haplotipe BACAA. Terkait dengan kondisi lingkungan perairan yang berbeda pada lokasi pengambilan sampel (Lampiran 9), diduga memberi pengaruh terhadap munculnya keragaman genetik populasi tiram mutiara, seperti pada populasi Selat Sunda dan Bali Utara yang memiliki ragam haplotipe yang tertinggi (0,328 dan 0,307). Hal ini terkait dengan kemampuan individu menyediakan ragam genetik dalam mekanisme evolusi sehingga bertahan hidup dan bereproduksi. Koehn et al. (1976) dan Koehn et al.

(1984) menyatakan bahwa perbedaan genetik dapat terjadi karena letak geografis, perbedaan salinitas dan suhu. Perubahan keragaman alel yang mempengaruhi keragaman genotipe juga disebabkan oleh migrasi, seleksi dan genetic drift

(Frankham et al. 2002).

Berdasarkan beberapa tipe haplotipe populasi Sumbawa (BAAAA, BCBAA, BABAA) yang juga ditemukan pada populasi Bali Utara, menunjukkan kedekatan secara geografis dan pertukaran populasi tiram mutiara terkait dengan budidaya yang dilakukan oleh pembudidaya. Petani Sumbawa dan Bali Utara memperoleh stok induk berasal dari wilayah timur, seperti Maluku dan Papua, sehingga kemungkinan telah terjadi interbreeding antara populasi dari stok yang berbeda dan introduksi keragaman jenis haplotipe baru. Menurut Hamzah et al. (2003), induk tiram mutiara untuk kawasan tengah Indonesia tidak selamanya matang gonad sepanjang tahun. Kawasan tengah Indonesia termasuk Sumbawa dan Bali Utara, proses pematangan gonadnya mulai berlangsung dari awal bulan September hingga Maret dan pada bulan April–Agustus telur kosong, sehingga para pembudidaya mengalami kesulitan mencari induk lokal yang matang gonad dan mereka umumnya mendatangkan dari daerah lain termasuk dari Maluku dan Papua.


(46)

Pada populasi Sumbawa dan Sulawesi Selatan yang secara geografis sangat jauh, namun terdapat haplotipe yang sama BACAA pada populasi Sumbawa (40%) yang juga ditemukan pada populasi Sulawesi Selatan (20%) diduga secara genetik kedua populasi tersebut memiliki asal stok yang sama, terkait dengan distribusinya yang secara geografis letak Selat Alas menghubungkan Laut Flores di sebelah utara dan Samudera Hindia di sebelah Selatan, sehingga kontribusi massa air selat tersebut dipengaruhi oleh Laut Flores dan Samudera Hindia. Menurut Rusman (2003) menyatakan bahwa sepanjang tahun pergerakan massa air di Selat Makassar mengarah ke selatan menuju Samudera Hindia melalui Selat Lombok dan Laut Flores serta massa air oseanik masuk secara tetap ke Laut Jawa melalui Selat Makassar yang berasal dari Samudera Pasifik dan Laut Flores yang berasal dari Samudera Hindia. Adanya massa air oseanik dari Selat Makassar ini kemungkinan arusnya membawa telur tiram dan larva fase planktonik. Menurut Stenzel (1971) bahwa pada kehidupan organisme tiram yang hidup di perairan laut, ketika pada masa planktonik dapat secara mudah terdispersi oleh arus, misalnya pada larva genus Crassostrea di daerah Gulf-Stream dapat terdispersi sampai 1000–1300 km pada kecepatan arus 2 m/detik.

Sebaran composite haplotipe AAAAA yang merupakan haplotipe umum (common haplotipe) pada populasi Bali Utara, Selat Sunda, dan Belitung diduga dipengaruhi oleh faktor oseanografi, geografis dan hubungannya dengan perairan di sekitarnya (Laut Flores, Selat Makassar dan Laut Cina Selatan), aliran arus pada perairan Selat Bali, Selat Sunda, dan Belitung masuk dalam perairan Laut Jawa. Rusman (2003) menyatakan bahwa di perairan Laut Jawa terdapat dua massa air yaitu massa air tercampur dan massa air oseanik. Massa air tercampur berfluktuasi secara musiman dan dikendalikan oleh massa air dari Laut Cina Selatan (oseanik), curah hujan dan run off dari daratan Kalimantan, sedangkan massa air oseanik masuk secara tetap ke Laut Jawa melalui Selat Makassar yang berasal dari Samudera Pasifik dan Laut Flores yang berasal dari Samudera Hindia. Mengingat bahwa populasi tiram mutiara dalam siklus hidupnya mengalami stadia planktonis selama 20–22 hari (Haws dan Ellis 2000), sehingga diduga telah terjadi aliran gen pada ketiga populasi tersebut.


(47)

genetik, perbedaan interpopulasi tiram di perairan dipengaruhi oleh faktor distribusi spasialnya karena tiram melalui tingkatan kehidupan dua fase (fase planktonik dan bentik) serta migrasi dan seleksi alam yang menyertai pola adaptasinya. Selanjutnya, menurut Bayne (1983), selain faktor arus, fase planktonik yang cukup lama juga dapat menyebabkan distribusi spasial organisme tiram menjadi sangat luas, seperti C. virginica di daerah litoral Amerika Utara, yang mempunyai fase planktonik tiga minggu dapat ditemukan kesamaan genetiknya dari daerah Nouvelle-Ecosse sampai daerah Yucatan, sedangkan jenis

Pecten maximus dari Norwegia mempunyai kesamaan genetik dengan jenis yang ditemukan di Maroko Selatan.

Nilai keragaman haplotipe (h) (Tabel 3), menunjukkan kisaran nilai tersebut lebih rendah dari keragaman haplotipe pada P. maxima populasi Australia dan Indonesia yang dilaporkan oleh Benzie et al. (2003), yaitu sebesar 0,129–0,582;

C. gigas populasi Cina yang dikemukakan oleh Appleyard dan Ward (2006), yaitu 0,266–0,486. Keragaman haplotipe pada populasi tiram mutiara Selat Sunda adalah yang tertinggi (0,328) dibanding populasi lainnya, hal ini diduga karena populasi Selat Sunda berada di daerah konservasi dan tidak terpengaruh oleh intervensi dari luar. Soca et al. (2006) menjelaskan bahwa keragaman genetik dalam suatu populasi merupakan faktor yang berperan penting pada adaptasi spesies terhadap perubahan lingkungan, yang selanjutnya berperan dalam kelangsungan hidupnya.

Digesti mtDNA teramplifikasi menggunakan lima enzim restriksi menghasilkan tipe restriksi monomorfik (DpnII dan Eco0190I) serta 11 tipe restriksi polimorfik yakni FokI (empat tipe restriksi), HaeIII (tiga tipe) dan NlaIV (empat tipe). Distribusi genotipe (Gambar 12) menunjukkan digesti FokI menghasilkan tipe restriksi yang berbeda pada populasi Belitung (tipe A) dan Sumbawa (tipe B) yang mengindikasikan bahwa kedua populasi merupakan stok yang berbeda, demikian juga monomorfik pada tipe restriksi C (NlaIV) dari populasi Sulawesi Selatan .

Tipe restriksi A monomorfik (FokI) pada populasi Belitung juga ditemukan dominan pada populasi Selat Sunda (40%) dan Bali Utara (10%). Hal ini menggambarkan bahwa aliran materi genetik berlangsung pada ketiga populasi


(48)

tersebut dengan populasi Selat Sunda yang menunjukkan keragaman haplotipe tertinggi yang mengindikasikan populasi tersebut terisolir. Sedangkan tipe B monomorfik (FokI) pada populasi Sumbawa juga ditemukan dominan pada populasi Bali Utara (80%) dan Sulawesi Selatan (80%) diduga ketiga populasi tersebut merupakan stok serupa yang penyebarannya didukung oleh arus yang menuju ke selatan dari Selat Makassar ke Laut Jawa dan genotipe tersebut berkembang baik pada populasi Sumbawa, kemungkinan genotipe dominan Sulawesi Selatan menyebar bersamaan aliran arus menuju selatan dari Selat Makassar ke Laut Jawa.

Tipe restriksi C (NlaIV) yang monomorfik pada populasi Sulawesi Selatan, ditemukan juga dominan pada populasi Sumbawa (40%) dan Selat Sunda (70%) menunjukkan bahwa distribusi ketiga populasi tersebut berlangsung melalui arus timur dan barat dari perairan Laut Jawa. Demikian pula distribusi tipe restriksi A (HaeIII) yang dominan pada populasi Sumbawa (80%) dan Bali Utara (60%) juga ditemukan pada kedua populasi lainnya dengan frekuensi kurang dari 50%. Tipe C pada populasi Selat Sunda ditemukan pada populasi Bali Utara dan Sumbawa dan tipe B dominan pada Sulawesi Selatan ditemukan pada populasi Belitung, Rusman (2003) menyatakan bahwa pergerakan massa air di Selat Makassar sepanjang tahun mengarah ke selatan dan pada bulan November–Maret massa air dari Laut Jawa bergerak ke arah timur dan pada bulan Mei–September massa air bergerak ke arah barat.

Berdasarkan digesti kedua enzim DpnII dan Eco0190I yang memberikan tipe restriksi monomorfik pada keseluruhan populasi tiram mutiara, menunjukkan bahwa populasi tersebut masih dalam satu distribusi geografis dari spesies P. margaritifera.

4.2.2Filogenetis

Analisis dendrogram berdasarkan UPGMA (Gambar 11) menunjukkan ada strukturasi yang jelas dalam populasi tiram mutiara di lima populasi yaitu kelompok I terdiri dari Sumbawa dan Bali Utara, kelompok II terdiri dari Selat Sunda dan Belitung, dan populasi Sulawesi Selatan yang secara geografis relatif jauh membentuk satu kelompok terpisah dari kedua kelompok lainnya. Jarak geografi dan pola migrasinya diperkirakan mempengaruhi pemisahan kelompok


(49)

tiram mutiara tersebut. Perbedaan nilai rata-rata jarak genetik terbesar antar populasi ditunjukkan pada populasi Sulawesi Selatan dengan ke empat populasi lainnya (Sumbawa, Bali Utara, Selat Sunda, Belitung) (Tabel 4). Dugaan pemisahan genetik pada populasi tiram mutiara ini didukung oleh perbedaan distribusi haplotipe (Tabel 3), pada populasi Sulawesi Selatan ditemukan satu jenis haplotipe (BBCAA) dengan frekuensi tinggi (60%) dan unik karena tidak ditemukan di empat populasi tiram mutiara lainnya. Namun populasi Sulawesi Selatan masih termasuk di dalam wilayah distribusi spesies yang sama dengan ke empat populasi tiram mutiara lainnya berdasarkan indikator haplotipe monomorfik DpnII dan Eco0190I.

Adanya pemisahan populasi tiram mutiara P. margaritifera pada kelima populasi di Indonesia menjadi tiga unit populasi diperkirakan terkait dengan faktor oseanografi dan geografis, tiram mutiara muda dan dewasa hidup sedenter sehingga pengaruh hidrologis permukaan perairan lebih kecil dibandingkan dengan kondisi hidrologis perairan lapisan dalam dan pengaruh lebih besar terjadi pada fase dispersal telur dan larva yang bersifat planktonik. Letak geografis yang relatif dekat mengakibatkan kedua populasi tersebut berada dalam satu kelompok (D=0,017). Kedekatan genetik antara populasi Selat Sunda dan Belitung (D=0,069) diduga karena di perairan Belitung massa air tercampur secara fluktuatif dan musiman dikendalikan oleh Laut Cina Selatan yang masuk ke Laut Jawa, sementara pola sirkulasi Laut Jawa secara umum selalu mengarah ke Samudra Hindia melalui Selat Sunda (Wyrtki 1961). Hal ini memungkinkan struktur genetik kedua populasi tersebut mempunyai kemiripan dan berada dalam satu kelompok, sedangkan perairan sekitar Sulawesi Selatan sangat dipengaruhi perubahan lingkungan perairan di Selat Makassar bagian Timur. Salinitas yang tinggi akibat dari kondisi geografis mulut Teluk Awerange yang sempit dan terdapat terumbu karang merupakan penghalang arus yang berasal dari perairan Selat Makassar sehingga pengenceran pada teluk ini tergolong rendah dan dalam waktu yang lama diperkirakan telah menciptakan lingkungan khusus bagi munculnya haplotipe BBCAA yang tidak ditemukan pada populasi lain serta terbentuknya unit populasi tersendiri yang berbeda dengan keempat populasi lainnya.


(50)

Keterangan:

Tipe restriksi : Lokasi : SB: Sumbawa : Arus musim timur BA: Bali Utar : Arus musim barat SS : Selat Sunda

BL: Belitung

SL : Sulawesi Selatan

Gambar 12. Distribusi genotipe pada lima populasi tiram mutiara (Pinctada margaritifera) dan pola arus umum di perairan Indonesia


(51)

4.2.3Aplikasi pada Budidaya Tiram Mutiara

Pada bidang budidaya tiram mutiara diperlukan usaha untuk meningkatkan dan memperbaiki mutu baik kualitas maupun kuantitas hasil produksi. Menurut Elliot (2000) terdapat empat manajemen input dalam usaha akuakultur yang dapat meningkatkan hasil produksi, yaitu (1) ukuran lahan, (2) sarana dan prasana (bak pembesaran, bak pembenihan, dan lain-lain), (3) pakan, dan (4) genetik. Lebih lanjut dikatakan ketiga faktor di atas berhubungan dengan lingkungan dan teknologi budidaya, namun faktor lainnya yaitu genetik berkaitan dengan potensi biologi dari spesies untuk memberdayakan lingkungan habitatnya. Tujuan eksploitasi potensi biologi dari spesies tiram mutiara yang meliputi program perbaikan genetik yaitu peningkatan produksi mutiara dengan memanipulasi keragaman genetik spesies tersebut. Perbaikan genetik dapat dilakukan melalui beberapa metode, salah satunya adalah manajemen stok induk dengan seleksi

breeding atau perkawinan silang.

Seleksi dan breeding tiram mutiara untuk manajemen stok diperlukan informasi dasar mengenai keragaman genetik spesies tiram mutiara yang didapatkan dari jarak genetik dan keragaman haplotipenya. Perbedaan jarak genetik dan keragaman haplotipenya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keragaman genetik tiram mutiara melalui persilangan dan perkawinan antar lokasi. Diharapkan dengan perbaikan genetik pada stok induk tiram mutiara dapat menghasilkan benih unggul yang terkait dengan pola adaptasi, kelangsungan hidup, dan pertumbuhan. Menurut Ward et al. (2000) syarat untuk melakukan seleksi breeding adalah (1) menentukan satu ciri atau lebih untuk perbaikan genetik, (2) ciri tersebut harus menunjukkan keragaman, dan (3) sebagian keragaman tersebut merupakan hasil keragaman secara genetik.


(1)

Lampiran 6. Distribusi haplotipe pada lima populasi tiram mutiara

(

Pinctada margaritifera

)

Enzim

FokI HaeIII NlaIV DpnII Eco0901I Populasi

No. contoh

A B C D A B C A B C D A A

Composite haplotipe

SB 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 BAAAA

2 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 BAAAA

3 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 BACAA

4 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 BACAA

5 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 BACAA

6 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 BACAA

7 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 BCBAA

8 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 BCBAA

9 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 BABAA

10 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 BAAAA

BA 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 BADAA

2 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 BADAA

3 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 AAAAA

4 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 1 AADAA

5 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 BCAAA

6 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 BCDAA

7 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 BAAAA

8 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 BABAA

9 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 BCBAA

10 0 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 BCBAA

SS 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 AAAAA

2 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 AACAA

3 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 AAAAA

4 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 AAAAA

5 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 1 DCCAA

6 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 CCCAA

7 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 CCCAA

8 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 CCCAA

9 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 CCCAA

10 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 BCCAA

BL 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 AAAAA

2 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 AAAAA

3 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 1 AAAAA

4 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 ABBAA

5 1 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 ABBAA

6 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 AABAA

7 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 AABAA

8 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 AABAA

9 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 1 AABAA

10 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 ABBAA

SL 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 BBCAA

2 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 CBCAA

3 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 BBCAA

4 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 BBCAA

5 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 BBCAA

6 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 BBCAA

7 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 BACAA

8 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 BACAA

9 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 BBCAA

10 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 BBCAA

Keterangan:

SB = Sumbawa SS = Selat Sunda SL = Sulawesi Selatan BA = Bali BL = Belitung A-D = tipe restriksi


(2)

Lampiran 7. Analisis keseimbangan Hardy-Weinberg

7/7/2008 6:00:37 AM

Analysis of C:\TFPGA\HABFIX

Data set contains genotypes of individuals sampled from populations. TESTS FOR HARDY-WEINBERG EQUILIBRIUM

GOODNESS OF FIT TESTS FOR EACH POPULATION Population 1 Locus 2

Genotype Observed Expected 1 1 8 6.4000

1 3 0 3.2000 3 3 2 0.4000 Chi-square: 10.0000 df = 1 p = 0.0016

Population 1 Locus 3

Genotype Observed Expected 1 1 3 0.9000

1 2 0 1.8000 1 3 0 2.4000 2 2 3 0.9000 2 3 0 2.4000 3 3 4 1.6000 Chi-square: 20.0000 df = 3 p = 0.0002

Population 2 Locus 1

Genotype Observed Expected 1 1 2 0.4000

1 2 0 3.2000 2 2 8 6.4000 Chi-square: 10.0000 df = 1 p = 0.0016

Population 2 Locus 2

Genotype Observed Expected 1 1 6 3.6000

1 3 0 4.8000 3 3 4 1.6000 Chi-square: 10.0000 df = 1 p = 0.0016

Population 2 Locus 3

Genotype Observed Expected 1 1 4 1.6000

1 2 0 2.4000 1 4 0 2.4000 2 2 3 0.9000 2 4 0 1.8000 4 4 3 0.9000 Chi-square: 20.0000 df = 3 p = 0.0002

Population 3 Locus 1

Genotype Observed Expected 1 1 4 1.6000

1 2 0 0.8000 1 3 0 3.2000


(3)

Lanjutan

1 4 0 0.8000 2 2 1 0.1000 2 3 0 0.8000 2 4 0 0.2000 3 3 4 1.6000 3 4 0 0.8000 4 4 1 0.1000 Chi-square: 30.0000 df = 6 p = 0.0000

Population 3 Locus 2

Genotype Observed Expected 1 1 4 1.6000

1 3 0 4.8000 3 3 6 3.6000 Chi-square: 10.0000 df = 1 p = 0.0016

Population 3 Locus 3

Genotype Observed Expected 1 1 3 0.9000

1 3 0 4.2000 3 3 7 4.9000 Chi-square: 10.0000 df = 1 p = 0.0016

Population 4 Locus 2

Genotype Observed Expected 1 1 7 4.9000

1 2 0 4.2000 2 2 3 0.9000 Chi-square: 10.0000 df = 1 p = 0.0016

Population 4 Locus 3

Genotype Observed Expected 1 1 3 0.9000

1 2 0 4.2000 2 2 7 4.9000 Chi-square: 10.0000 df = 1 p = 0.0016

Population 5 Locus 1

Genotype Observed Expected 2 2 9 8.1000

2 3 0 1.8000 3 3 1 0.1000 Chi-square: 10.0000 df = 1 p = 0.0016

Population 5 Locus 2

Genotype Observed Expected 1 1 2 0.4000

1 2 0 3.2000 2 2 8 6.4000 -Chi-square: 10.0000 df = 1 p = 0.0016


(4)

Lampiran 8. Analisis jarak genetik (

genetic distance)

pada lima populasi tiram

mutiara (

Pinctada margaritifera

)

7/7/2008 12:43:17 AM

Analysis of C:\TFPGA\HAPFIX

Data set contains genotypes of individuals sampled from populations. Organism Type: Haploid

GENETIC DISTANCES

NEI'S (1972/1978) IDENTITIES/DISTANCES Populations unbiased unbiased compared dist. ident. dist. ident. 1 vs. 2 0.0221 0.9782 0.0170 0.9832 1 vs. 3 0.0727 0.9299 0.0668 0.9354 1 vs. 4 0.0597 0.9421 0.0556 0.9459 1 vs. 5 0.1089 0.8968 0.1046 0.9007 2 vs. 3 0.0907 0.9133 0.0840 0.9195 2 vs. 4 0.0963 0.9082 0.0914 0.9126 2 vs. 5 0.1203 0.8867 0.1152 0.8912 3 vs. 4 0.0744 0.9283 0.0687 0.9336 3 vs. 5 0.0864 0.9172 0.0805 0.9227 4 vs. 5 0.1463 0.8639 0.1423 0.8674


(5)

Lampiran 9. Parameter kualitas air pada lima lokasi pengambilan sampel dan kondisi perairan untuk kelangsungan hidup tiram mutiara

(

Pinctada margaritifera

)

Tabel 1. Parameter kualitas air pada lima lokasi pengambilan sampel tiram mutiara (

Pinctada margaritifera

)

Tabel 2. Kondisi perairan untuk kelangsungan hidup tiram mutiara dan (

Pinctada margaritifera

)

Parameter kualitas air Kisaran Referensi

Suhu (°C) 28–30 Hamzah (2007)

Salinitas (ppt) 32–35 Hamzah (2007)

DO (mg/l) 3–3,5 Tarwiyah (2000)

pH 7,9–8,2 Nayar dan Mahadevan (1987)

Kecerahan (m) Sampai dasar perairan Tarwiyah (2000)

Populasi Parameter

kualitas air Sumbawa Bali Selat Sunda Belitung Sulawesi selatan DO (mg/l) 3,7–4,4 (Hartati et al. 2001) 3,5 (Hanafi et al. 2004) 3 (Paryono 2004) 3,4–3,8 (Sofian 2004) 5– 8,7 (Rusman 2003) Salinitas (ppt) 32–33 (Hartati et al. 2001) 32,5–34 (Hanafi et al.

2004)

32,5–33,6 (Wyrtki 1961) 31–32,6 (Sofian 2004)

34–35 (Rusman 2003) Suhu (°C) 26–29 (Hartati et al. 2001) 26,1–28 (Hanafi et al.

2004)

28,32–29,68 (Paryono 2004) 26,3–28 (Sofian 2004)

25–26 (Rusman 2003) pH 6,50 – 7,40 (Mahrus, 1996) 6,5–7 (Hanafi et al.

2004)

6,5–8,5 (Anonim 2007). 7,6 – 8 (Sofian 2004) 7,5 – 8,(Rusman 2003) Kedalaman

(m)

16–268 (Anonim 1990) 0–100 (Hanafi et al. 2004)

<80 ( Paryono 2004) 70 (Sofian 2004) 1–40 (Rusman 2003) Kecerahan 8,18–11,73 NTU

(Tasywiruddin 1999)

75 cm (Hanafi et al. 2004)

80 cm (Anonim 2007). 40–100% (Sofian 2004)

60–100% (Rusman 2003)

Produktivitas Primer

0,9–3 mg /m3 (Tasywiruddin 1999)

0,7–3 mg/m3 (Hanafi et al. 2004)

0,8 mg /m3 (Hendiarty 2003)

1–2,1 mg/m3 (Wati 2004)

133,3–497667,7 ind/m3 (Rusman 2003)


(6)