Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

16

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi sudah menarik minat para ahli ekonomi sejak masa Adam Smith sampai dengan banyak para ahli ekonomi dewasa ini yang pada waktu-waktu yang lalu perhatian para ahli-ahli ekonomi itu terutama hanya tertuju pada masalah pertumbuhan ekonomi negara- negara maju, dewasa ini perhatian sebagian dari mereka telah pula diarahkan pada masalah pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk diantaranya Indonesia, dalam konteks ini lebih spesifik lagi Pemerintah KabupatenKota se- Propinsi Aceh. Pertumbuhan ekonomi KabupatenKota se-Propinsi Aceh sepanjang tahun 2005 hingga tahun 2008 cenderung mengalami penurunan bahkan mencapai minus 2 digit, seperti terlihat pada tahun 2005 PDRB Migas sebesar -10.12, naik pada tahun 2006 menjadi 1.56, kembali mengalami penurunan pada tahun 2007 dan 2008 masing – masing -2.36 dan -5.27. Hal senada juga terjadi PDRB Tanpa Migas namun masih positif, seperti pada tahun 2005 sebesar 1.22, naik pada tahun 2006 menjadi 7.70 dan turun pada tahun 2007 dan 2008 masing – masing 7.23 dan Universitas Sumatera Utara 1.88. Untuk lebih jelasnya, Pertumbuhan ekonomi KabupatenKota se- Propinsi Acehsepanjang tahun 2005 hingga tahun 2008 dapat dilihat Tabel 1.1. dibawah ini. Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Propinsi Aceh Menurut Lapangan Usaha Tahun 2005 – 2008 Persentase Lapangan Usaha Industrial Origin 2005 2006 2007 2008 1 2 3 4 5 1 PertanianAgriculture -3,89 1,52 3,62 0,81 2 Pertambangan dan PenggalianMining and Quarrying -22,62 -2,58 -21,10 -27,31 a.Pertambangan MigasOil Gas Mining -22,99 -4,27 -22,56 -28,85 b.Penggalian dan Penggaraman Mining and Quarrying 0,78 78,77 16,58 -1,01 3 Industri PengolahanManufacturing Industries -22,30 -13,18 -10,10 -7,73 a.Industri MigasOil Gas Industries -26,19 -17,33 -16,74 -12,96 b.Industri Tanpa MigasNon Oil Gas Industries -5,11 1,08 8,57 3,57 4 Listrik dan Air minumElectricity and water supply -1,95 12,06 23,70 12,73 5 Bangunan konstruksiBuilding construction -16,14 48,41 13,93 -0,85 6 Perdagangan, hotel restoranTrade, hotel restaurants 6,64 7,41 1,70 4,59 7 Pengangkutan KomunikasiTransportation Communication 14,39 10,99 10,95 1,38 8 Bank Lembaga keuangan lainnyaBanking Other Financial Intermediaries -9,53 11,77 6,02 5,16 9 Jasa-jasaServices 9,65 4,41 14,30 1,21 PDRB Migas GRDP Oil and Gas -10,12 1,56 -2,36 -5,27 PDRB Tanpa Migas GRDP Non Oil and Gas 1,22 7,70 7,23 1,88 Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh Universitas Sumatera Utara Masalah pertumbuhan ekonomi sebagaimana ditunjukkan pada fenomena yang dialami KabupatenKota se-Propinsi Aceh di atas, dapat dipandang sebagai masalah makro ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi merupakan kunci dari tujuan ekonomi makro. Hal ini didasari oleh tiga alasan. Pertama, penduduk selalu bertambah. Bertambahnya jumlah penduduk ini berarti angkatan kerja juga selalu bertambah. Pertumbuhan ekonomi akan mampu menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja. Jika pertumbuhan ekonomi yang mampu diciptakan lebih kecil daripada pertumbuhan angkatan kerja, hal ini mendorong terjadinya pengangguran. Kedua, selama keinginan dan kebutuhan selalu tidak terbatas, perekonomian harus selalu mampu memproduksi lebih banyak barang dan jasa untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut. Ketiga, usaha menciptakan kemerataan ekonomi economic stability melalui retribusi pendapatan income redistribution akan lebih mudah dicapai dalam periode pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Berbicara tentang makro ekonomi, maka tidak terlepas dari peran serta Pemerintahan suatu Negara sebagai pengatur Kebijaksanaan dan pembuat Undang – Undang. Menyikapi fenomena di atas, pada tahun 1999 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang – Undang No. 22 dan Undang – Undang No. 25 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selanjutnya pada tahun 2004, Pemerintah kembali menerbitkan UU No, 32 dan 34 Tahun 2004 sebagai pengganti kedua Undang – Undang tersebut. Hakekat kedua Undang – Undang tersebut itu sendiri adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian Saragih 2003, dan desentralisasi fiskal merupakan implikasi Universitas Sumatera Utara langsung dari kewenanganfungsi yang diserahkan kepada daerah yaitu menyangkut kebutuhan dana yang cukup besar, sehingga perlu diatur dan diupayakan perimbangan keuangan secara vertikal antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. Bagi daerah- daerah yang memiliki potensi sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat lepasnya campur tangan pemerintah akan memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi pemerintah pusat, tetapi benar-benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan potensi yang selama era sentralisasi bisa dikatakan terpasung Mardiasmo 2002. Sebagian kalangan berpandangan bahwa pelaksanaan desentralisasi sebagai pendekatan Bing Bang karena jangka waktu persiapan yang terlalu pendek untuk ukuran negara yang begitu besar dengan kondisi geografis yang cukup menyulitkan Brodjonegoro 2003. Terlebih ditengah-tengah upaya bangsa melepaskan diri dari krisis ekonomi moneter yang berkepanjangan dari pertengahan tahun 1997. Akibatnya kebijakan ini memunculkan kesiapan fiskal daerah yang berbeda satu dengan yang lain, terlebih kebijakan ini terlahir disaat disparitas pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Universitas Sumatera Utara Usman, et. el. 2007 menunjukkan bahwa sejak tanggal 1 Januari 2001 struktur pengelolaan APBD telah berubah sesuai dengan kebijakan baru tentang desentralisasi dan otonomi daerah. Alokasi dana dari pusat untuk APBD yang sebelumnya berupa sumbangan daerah otonom SDO dan dana pembangunan daerah DPD, sekarang disatukan dalam DAU. Secara umum DU yang diterima oleh daerah Propinsi dan daerah KabupatenKota lebih besar daripada SDO ditambah DPD. Namun, karena sekarang biaya operasional instansi daerah dan gaji pegawai di daerah dibiayai oleh DAU, maka kebanyakan DAU yang diterima hanya cukup untuk anggaran rutin. Sebenarnya Pemda masih mempunyai sumber lain untuk memenuhi kebutuhannya, yaitu dari bagi hasil pajak dan bukan pajak, tetapi banyak yang memperkirakan bahwa jumlahnya lebih kecil daripada dana sektor yang selama ini dialokasikan ke daerah melalui tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pada dasarnya alokasi ”dana sektoral” masih mungkin diterima daerah melalui pelaksanaan kedua tugas tersebut, namun peraturan pendukung atas tugas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang diamanatkan oleh UU No 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 sebagaimana telah diperbaharui melalui UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004. Studi hubungan desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi tidak konsisiten. Ebel dan Yilmaz dalam Wibowo 2008 menemukan hubungan positif antara desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi, Akai dan Sakata 2002. Martinez dan Robert 2005 menemukan desentralisasi mendorong pertumbuhan ekonomi di India dan China. Mello dalam Wibowo 2008 menemukan desentralisasi mendorong ketidakseimbangan fiskal. Davoodi dan Zou 1998 dengan data panel 46 negara berkembang dan maju pada 1970-1989 menemukan desentralisasi menyebabkan pertumbuhan ekonomi rendah, juga pada studi Xie et. al. 1999. Untuk Indonesia, Swasono 2005 menemukan dampak negatif desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Disisi lain bagi beberapa daerah, otonomi bisa jadi menimbulkan persoalan tersendiri mengingat adanya tuntutan untuk meningkatkan kemandirian daerah. Daerah mengalami peningkatan tekanan fiskal fiscal stress yang lebih tinggi Universitas Sumatera Utara dibanding era sebelum otonomi. Daerah dituntut untuk mengoptimalkan setiap potensi maupun kapasitas fiskalnya dalam rangka untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Dualisme konsekuensi penerapan desentralisasi dan tekan fiskal sebagaimana disebutkan di atas sudah cukup lama mengundang perdebatan di kalangan praktisi ekonomi . Isu utama yang menarik untuk senantiasa didiskusikan adalah mengenai keterkaitan antara desentralisasi fiskal dan tekanan fiskal dengan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat, yakni pertumbuhan ekonomi. Disatu sisi, desentralisasi fiskal dan tekanan fiskal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan disisi lain berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti : Bohte dan Meier 2000 melakukan komparasi pertumbuhan ekonomi pada pemerintahan yang tersentralisasi dengan pemerintahan terdesentralisasi. Kedua peneliti ini menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan lebih tinggi ternyata terjadi pada pemerintahan yang terdesentralisasi. Lebih lanjut Martinez dan Robert 2005 menemukan bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi belum tentu mempunyai dampak secara langsung. Desentralisasi akan mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi apabila desentralisasi fiskal dipusatkan pada pengeluaran atau pembelanjaan publik. Mahi 2001 menemukan bahwa 1 dana alokasi umum lebih menjanjikan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan yang lainnya walaupun desain kebijakan dana alokasi umum tidak mendukung pemerataan ekonomi antar daerah. 2 Bagi hasil pajak dan bukan pajak menurunkan pertumbuhan ekonomi. 3 Kebutuhan bagi hasil sumber Universitas Sumatera Utara daya alam berpotensi mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesenjangan antar daerah. Brodjonegoro dan Dartanto 2003 mengatakan bahwa setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal kesenjangan keuangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Sasana 2006 menemukan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Shamsub Akoto 2004 menyebutkan salah satu penyebab timbulnya fiscal stress adalah kondisi ekonomi seperti pertumbuhan yang menurun dan resesi. Menurut Govindarajan dalam Lucyanda 2001, diperlukan upaya untuk merekonsiliasi ketidakkonsistenan hubungan desentralisasi fiskal dan tekanan fiskal dengan pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan cara mengidentifikasikan faktor-faktor kondisional antara kedua variabel tersebut dengan pendekatan kontijensi. Penggunaan pendekatan kontijensi tersebut memungkinkan adanya variabel-variabel lain yang bertindak sebagai variabel moderating atau variabel intervening. Lebih lanjut Govindarajan dalam Lucyanda 2001 mengatakan pendekatan kontijensi berdimensi variabel intervening mempengaruhi hubungan antara desentralisasi fiskal dan fiscal stress dengan pertumbuhan ekonomi pada saat hubungan antara desentralisasi fiskal dan fiskal stress dengan pertumbuhan ekonomi tidak searah atau berbanding terbalik. Universitas Sumatera Utara Pendekatan kontijensi berdimensi variabel intervening yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah kinerja keuangan daerah. Penggunaan variabel ini didasarkan atas temuan penelitian : Hamzah 2006 menemukan bahwa secara langsung antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian1, rasio kemandirian2, dan rasio efisiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektifitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Purnaninthesa 2006 membuktikan bahwa fiscal stress berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah kabupatenkota di Jawa Tengah. Purnaninthesa 2006 menyimpulkan bahwa fiscal stress pada suatu daerah dapat menyebabkan motivasi bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya yang pada akhirnya akan bermuara pada bertumbuhnya perekonomian suatu daerah. Setiyawan dan Adi 2006 menemukan bahwa Fiscal Stress mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan PAD dan fiscal stress mempunyai pengaruh yang positif terhadap tingkat pertumbuhan belanja pembangunanmodal. Fiscal Stress yang tinggi menunjukkan semakin tingginya upaya daerah untuk meningkatkan PAD-nya. Sejalan dengan hal itu, harapan untuk terus meningkatkan penerimaan sendiri ini akan sulit terwujud apabila alokasi belanja untuk modal pembangunan tidak ditingkatkan. Hasil penelitian Setiyawan dan Adi 2006 memberikan implikasi diperlukannya suatu upaya yang lebih intensif melalui penggalian potensi sumber-sumber penerimaan daerah kabupatenkota di propinsi Jawa Tengah agar mampu meningkatkan pertumbuhan PAD. Salah satu langkah yang Universitas Sumatera Utara dapat ditempuh adalah pemerintah kabupatenkota harus lebih efektif dalam pengalokasian belanja modalpembangunan dalam guna memenuhi kepentingan publik, baik yang mendukung pertumbuhan ekonomi maupun untuk pelayanan publik secara langsung. Deskripsi latar belakang di atas merupakan ide yang mendasari dilakukannya penelitian replikasi tentang hubungan desentralisasi fiskal, fiscal stress, kinerja keuangan daerah dan pertumbuhan ekonomi dengan jalinan struktur hubungan variabel kinerja keuangan daerah sebagai variabel intervening.

1.2. Perumusan Masalah