Penelitian Lily A. Arasaratnam 2009 Penelitian Yukiko Inoue 2007

commit to user 67

5.3. Penelitian Lily A. Arasaratnam 2009

128 Arasaratnam mencoba mengukur tingkat kompetensi komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa dengan menggunakan metodologi kuantitatif. Penelitiannya mengambil sampel sebanyak 302 responden mahasiswa dari berbagai latar belakang budaya di sebuah universitas di Sidney. Penelitiannya kali ini akan menggambarkan perkembangan dan uji empiris dari instrumen baru kompetensi komunikasi antarbudaya. Dengan menggunakan analisis regresi, faktor, dan korelasi, instrument penelitian ini telah dipastikan keabsahannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kebenaran dan konstruksi dari pengukuran kompetensi komunikasi antarbudaya yang baru. Yang menjadi variabel independen adalah etnosentrisme, motivasi, sikap terhadap budaya lain, dan keterlibatan interaksi. Sedangkan kompetensi komunikasi antarbudaya menjadi variabel dependen. Hasil penelitian Asaratnam mengungkapkan bahwa variabel sikap terhadap budaya lain, motivasi, dan keterlibatan interaksi adalah unsur penunjang kompetensi yang diklaim Asaratnam sebagai model komunikasi antarbudaya. Instrumen ini dibangun berdasarkan gagasan kognitif, afektif, dan perilaku yang digunakan pada penelitian sebelumnya. 128 The Development of a New Instrument of Intercultural Communication Journal of Intercultural Communication, Volume 20 Mei 2009, diunduh dari http:www.immi.seinterculturalnr20arasaratnam.htm pada 26 Agustus 2010 pukul 10.00 WIB. commit to user 68

5.4. Penelitian Yukiko Inoue 2007

129 Dengan fokus kepada negara Jepang dan Amerika Serikat karena kedua negara tersebut mempunyai bentuk komunikasi nonverbal yang berbeda penelitian Inoue mengkaji budaya dan beberapa hal, yakni 1 dasar penelitian komunikasi antarbudaya; 2 kebersediaan dan kelancaran budaya untuk berkomunikasi; dan 3 kata-kata dibandingkan dengan haragei sebuah konsep Jepang, di dalam komunikasi antarbudaya dalam bisnis. Inoue lebih mengkaji komunikasi antarbudaya secara lintas budaya cross culture dengan membandingkan budaya Jepang dan Amerika Serikat dalam beberapa konsep komunikasi bisnis seperti, kemampuan negosiasi, membangun hubungan dengan orang lain, tawar-menawar, dan mencapai kesepakatan. Dalam kesimpulannya, Inoue menemukan tantangan baru bagi kelancaran budaya cultural fluency sebagai sebuah pedoman bagi komunikasi antarbudaya yang efektif adalah untuk menghasilkan pendekatan penelitian tentang bagaimana orang yang berbeda budaya dan bahasa saling mempengaruhi satu sama lain dalam konteks khusus antarbudaya. Akhirnya, bagi orang Jepang, kesadaran kritis dan keterampilan praktis dalam bahasa Inggris menjadi sangat penting. 129 tercultural Communication: The Journal of Intercultural Communication, Volume 15 November 2007, diunduh dari http:www.immi.seinterculturalnr15inoue.htm pada 26 Agustus 2010 pukul 10.00 WIB. commit to user 69

F. Kerangka Pemikiran

Gambar 3. Kerangka Pikir Bagan tersebut merepresentasikan proses komunikasi antarbudaya yang kompeten yang manifestasinya berupa adanya rasa saling menghargai antara pihak-pihak yang saling berkomunikasi yang berasal dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda-beda kepercayaan, nilai, dan norma terjadi apabila masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki motivasi, pengetahuan, dan keterampilan yang tidak serta merta dipengaruhi etnosentrisme, stereotip, dan prasangka. Hasil komunikasi antarbudaya yang kompeten tersebut juga memberikan masukan bagi perkembangan kompetensi individu dalam melakukan komunikasi berikutnya. Selama lebih dari 70 tahun, PMS mampu menjadi sarana interaksi etnis Tionghoa dan Jawa yang baik. Hal ini menandakan bahwa masing-masing anggota PMS mampu melakukan komunikasi antarbudaya yang kompeten. Meminjam teori kompetensi