Diagnosa dan biomarker pelatihan fisik berlebih

berlebih. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme pembentukan ROS saat pelatihan, walaupun pada saat ini kita masih fokus bahwa sumber ROS terdapat di mitokondria dan XO. Pada aktifitas fisik berlebih terjadi peningkatan metabolisme tubuh, peningkatan inflamasi dan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, sehingga terjadi peningkatan kebocoran elektron bebas oleh mitokondria, yang akan menjadi SOR Sauza et al., 2005. Pada organ yang tidak mendapat O2 dan nutrisi yang cukup akan menimbulkan keadaan iskemik dan kerusakan mikrovaskular. Keadaan ini disebut dengan Reperfusion Injury, yang memicu terjadinya kerusakan jaringan dan peningkatan Radikal Bebas.

2.6.2 Diagnosa dan biomarker pelatihan fisik berlebih

Di bidang kedokteran olahraga, beberapa marker panel pemeriksaan telah dijadikan standar tes skrining yang komprehensif untuk calon atlet meliputi fungsi ginjal, kalium, magnesium, dan glukosa, hitung darah lengkap, laju endap darah, C-reaktif protein, besi, creatine kinase, dan thyroid stimulating hormone Petibois et al., 2002. Selain itu penanda biokimia telah dipelajari dalam berbagai populasi atlet untuk mendiagnosis overtraining. Tidak ada kadar tertentu atau sensitifitas yang ditetapkan untuk creatine kinase, urea, atau iron Urhausen dan Kindermann, 2002. Biomarker stres oksidatif juga telah terbukti berkorelasi dengan status beban latihan Margonis et al., 2007. Marker hormonal menunjukkan beberapa hasil yang menjanjikan namun memiliki banyak variabel pengganggu seperti siklus menstruasi, status gizi Meeusen et al., 2006. Kadar kortisol belum pernah diteliti antara atlet normal dan atlet dengan overtraining Kreher dan Schwartz, 2012. Rasio testosteron terhadap kortisol juga telah dibuktikan dapat digunakan sebagai marker overtraining, dimana rasio ini akan menurun dengan bertambahnya intensitas overtraining Halson dan Jeukendrup, 2004. Sebuah studi prospektif ditemukan peningkatan yang signifikan pada kadar kortisol urin semalam selama periode beban latihan yang tinggi pada atlet. Gouarne et al., 2005. 2.7 Dampak Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Pankreas Beban kerja berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen 100-200 kali lipat dibandingkan kondisi istirahat. Peningkatan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, menyebabkan terjadinya peningkatan kebocoran elektron dari mitokondria yang memproduksi ROS atau Reactive Oxygen Species Clarkson and Thomson, 2000. Pelatihan Fisik berlebih akan mengaktifkan kondisi hipoksia relatif yang terjadi di dalam organ hati, ginjal, dan usus disebabkan redistribusi aliran darah ke otot yang bekerja. Keadaan ini akan menyebabkan aktivasi xantine oksidase dengan reduksi satu elektron oksigen sehingga akan meningkatkan pembentukan radikal superoksida Ji, 2000. Selain itu beban kerja berlebih dapat merangsang respon biomarker stress oksidatif Murray et al., 2000. Stres oksidatif ini dapat merusak semua sel di dalam tubuh termasuk sel-sel pankreas. Studi laboratorium menyatakan bahwa peningkatan stres oksidatif sistemik dapat menurunkan konsentrasi insulin Hoeldtke et al., 2003. Hal ini disebabkan oleh karena pada stress oksidtatif terjadi invasi makrofag dan sel dendritik DCs pada region islet pankreas dan menstimulasi sel DTH delayed type hypersensitivity untuk merusak sel β pankreas. Makrofag dan DCs sebagai faktor primer terjadinya diabetes melitus tipe I yang teraktivasi oleh ROS intraseluler Delmastro dan Piganelli, 2011. Gambar 2.5 Mekanisme terjadinya diabetes melitus tipe I yang teraktivasi oleh ROS intraseluler Delmastro and Piganelli, 2011. Sebaliknya kondisi pra-overtraining adalah penurunan kinerja jangka pendek yang diikuti pemulihan lengkap dalam beberapa hari atau bahkan terjadi peningkatan kinerja fisik supercompensation Gleeson, 2002. Hal ini yang mendasari banyak pelatih menegaskan bahwa perlu untuk menginduksi keadaan pra-overtraining selama proses pelatihan Urhausen dan Kindermann, 2002. Sebagai contoh nyata stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan sel- β pankreas adalah cara kerja aloksan. Aloksan yang banyak digunakan oleh peneliti sebagai agen spesifik penyebab diabetes melitus tipe I, bekerja dengan menginduksi pembentukan ROS yang merusak sel β pankreas Mesa et al., 2011. Sel β pankreas menjadi sasaran utama stress oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas karena rendahnya antioksidan endogen dalam jaringan islet pankreas Azavedo-Martins et al., 2003. Penelitian sebelumnya dengan menggunakan 36 ekor tikus jantan yang sehat dapat diamati hilangnya granula-granula sitoplasma pada sel beta pankreas kelompok tikus yang diberi perlakuan aktivitas fisik maksimal dengan periode pemulihan selama 48 jam dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Tahapan awal dari nekrosis dapat teramati pada kelompok ini, yaitu inti sel nampak mengalami piknosis, pecahnya sejumlah inti sel β karyoreksis dan berakhir pada kematian sel nekrosis. Begitu pula pada kelompok sampel dengan perlakuan overtraining yang lebih intensif, dimana teramati beberapa sel yang telah mengalami nekrosis dan beberapa debris sel. Batas antar sel β dengan sel lainnya disekitar pulau Langerhans tidak nampak jelas. Banyak sel yang mengalami piknosis teramati pada kelompok ini Siswanto et al., 2015. Hasil penelitian kuantitatif terhadap jumlah sel β pankreas menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan p0,05 Tabel 2.2 Siswanto et al., 2015. Tabel 2.2. Rata-rata jumlah sel- β Pankreas Tikus dalam Pulau Langerhans 2.8. Dampak Pelatihan Fisik Berlebih terhadap Otot Reactive oxygen species ROS yang banyak dihasilkan selama overtraining telah banyak dibuktikan terlibat dalam kerusakan jaringan, termasuk jaringan otot Kang et al., 2009. Senyawa reaktif ini termasuk anion superoksida, hidrogen peroksida dan radikal hidroksil. ROS dapat menyebabkan cedera sel, seperti peroksidasi lipid, inaktivasi enzim intraseluler, perubahan status redoks dan kerusakan DNA Halliwell dan Gutteridge, 2007 . Namun sel memiliki sistem pertahanan enzimatik untuk mengurangi risiko cedera oksidatif, yaitu superoxide dismutase, glutation peroksidase dan katalase Yaegaki et al., 2008. Peningkatan produksi ROS terjadi selama latihan fisik dan menyebabkan kerusakan oksidatif pada otot, hati, darah dan jaringan lain Margonis et al., 2007. Pelatihan fisik yang berlebih telah dibuktikan sangat berperan terhadap peningkatan konsumsi oksigen dalam otot rangka Santalla et al., 2009, peningkatan peroksidasi lipid, dan inhibisi enzim mitokondria seperti citrate synthase dan malate dehydrogenase Margonis et al., 2007. Gambar 2.6. Patofisiologi Kerusakan Sel Akibat Overtraining Dong et al., 2011 Kadar enzim otot skletal dalam serum merupakan penanda atau marker yang potensial untuk mengetahui status fungsional jaringan otot dan kadar ini dapat bervariasi pada kondisi patologis dan fisiologis. Peningkatan enzim ini dalam serum dapat menggambarkan indeks nekrosis seluler dan kerusakan jaringan otot pada keadaan cedera akut maupun kronis. Namun perubahan kadar enzim otot dan isoenzimnya juga dapat ditemukan pada subyek normal dan pada atlet setelah pelatihan berat karena kadar enzim otot dalam darah dipengaruhi oleh aktivitas fisik Brancaccio et al., 2007. Enzim creatine kinase CK merupakan enzim khas yang terdapat dalam otot, aktivitas CK yang diukur dari biopsi otot menunjukkan kadar yang berbeda sebelum dan sesudah pelatihan Simmons et al., 2003. Penelitian juga membuktikan bahwa terjadi perubahan kadar CK serum pada atlet yang diberikan intensitas dan frekuensi pelatihan yang berbeda Klapcinska et al., 2001 Kadar CK serum dapat meningkat akibat kerusakan jaringan otot sebagai konsekuensi dari pelatihan dengan frekuensi yang lama dan intensitas yang tinggi. Hal ini mungkin akibat dari proses metabolisme dan penyebab mekanik. Proses metabolisme yang mendasari kerusakan otot akibat overtraining adalah penurunan resistensi membran yang diikuti dengan peningkatan ion kalsium bebas intraseluler, yang menginduksi aktivasi kalium channel. Mekanisme lain yang menyebabkan kerusakan jaringan lokal otot adalah degenerasi sarcomer Z-disk. CK merupakan indikator nekrosis otot baik akibat proses metabolisme ataupun mekanik, yang akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya beban aktivitas fisik Brancaccio et al., 2007. Studi CK dalam kedokteran olahraga memungkinkan untuk mendapatkan informasi tentang keadaan otot. Tingginya kadar CK serum pada subyek yang tampak sehat dapat berkorelasi dengan status pelatihan fisik yang dijalankan. Namun, jika level CK tetap tinggi pada saat istirahat, kemungkinan merupakan tanda dari penyakit otot subklinis, seperti profound fatigue Angeli et al., 2004 Cratine Kinase CK merupakan protein dimer globular yang terdiri dari dua subunit dengan massa molekul 43 kDa. CK merupakan buffer seluler terhadap keseimbangan ATP dan ADP dengan mengkatalisis pertukaran reversibel ikatan fosfat berenergi tinggi antara phosphocreatine dan ADP yang dihasilkan selama kontraksi. Terdapat lima isoform dari CK, tiga diantaranya berada dalam sitoplasma CK-MM, CK-MB dan CK-BB dan dua sisanya berada dalam mitokondria non-sarcomeric dan sarcomeric. Kadar isoenzim CK memberikan informasi spesifik terhadap kerusakan jaringan karena lokalisasi jaringan dari CK yang spesifik. Di dalam tubuh, CK-MM ditemukan di beberapa domain dari myofibril dimana konsumsi ATP tinggi dan merupakan penanda penyakit otot. Kadar CK-MB akan meningkat pada infark miokard akut, dan CK-BB meningkat pada kerusakan jaringan otak. Kadar CK mitokondria meningkat pada kasus mitochondrial myopathies Ruiz-Gines et al., 2006 CK-MM secara khusus terikat pada myofibril M-Line sarkomer, struktur kompleks yang mengandung setidaknya 28 protein yang berbeda. Terdapat sekitar 5-10 dari total CK-MM pada myofibril M-Line Hornemann et al., 2003. Keberadaan CK-MM menunjukkan bahwa M-line memiliki peran struktural dan enzimatik untuk meregenerasi ATP di daerah yang mengkonsumsi energi tinggi, sehingga memberikan myosin dengan ATP yang cukup untuk bekerja bahkan pada kondisi overtraining. Oleh karena itu, kadar CK yang tinggi dalam serum menunjukkan adanya kerusakan yang timbul pada sarcomer baik akibat olahraga berat atau kondisi patologi otot lainnya Hornemann et al., 2000 2.9 Anggur Bali Vitis vinifera 2.9.1. Karakteristik tanaman anggur bali Pohon anggur merupakan semak yang tumbuh memanjat dan memiliki keistimewaan ranting-rantingnya yang mampu mengeluarkan buah yang lebat dan lezat Wongsodipuro, 2010. Karena keistimewaan ini, anggur dibudidayakan sebagai tanaman penghasil buah Nurcahyo, 2010. Di Indonesia terdapat dua jenis spesies anggur yang umum dibudidayakan dan bisa dikonsumsi, yakni Vitis vinifera dan Vitis labrusca. Kedua jenis anggur ini memiliki karakter yang berbeda dengan kebutuhan tempat hidup yang berbeda pula Wiryanta, 2008 Buah anggur berbentuk bulat. Buah yang matang kulitnya berwarna ungu kehitaman dan mengandung tepung atau lilin yang tebal. Daging buahnya berwarna putih dengan rasa manis. Setiap buah berisi 2-3 biji yang ukurannya cukup besar, berbentuk lonjong, dan berwarna coklat muda. Setiap 100 buah mempunyai bobot 535 g. Umur panennya antara 105-110 hari setelah pangkas Yusuf, 2009. Karakteristik tanaman anggur lainnya antara lain batang yang berbentuk tegak, silindris, berkayu dan coklat kehijauan. Daunnya tunggal, lonjong, berseling, tepi bergigi, berambut, panjang 10-16 cm, lebar 5-8 cm, bertangkai panjang dengan panjang 10 cm dan berwarna hijau Nurcahyo, 2010. Klasifikasi ilmiah dari anggur adalah sebagai berikut Depkes RI, 2013 : Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Vitales Famili : Vitaceae Genus : Vitis Species : V. vinifera Nama Binomial : Vitis vinifera

2.9.2. Kandungan kimia buah anggur bali

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR (VITIS VINIFERA L.) TERHADAP MOTILITAS DAN VIABILITAS SPERMATOZOA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS STRAIN WISTAR) JANTAN YANG DIBERI PAPARAN ASAP ROKOK

0 5 16

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis Vinifera) TERHADAP KERUSAKAN SEL OTAK ATEROSKLEROSIS PADA TIKUS PUTIH JANTAN ( Rattus Norvegicus Strain Wistar)

0 5 24

PENGARUH EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera) TERHADAP PENURUNAN RASIO LDL/HDL PLASMA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR YANG DIINDUKSI DIET TINGGI KOLESTERO

0 4 26

PENGARUH EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera) TERHADAP PERBAIKAN HISTOLOGIS SEL BETA PANKREAS TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) STRAIN WISTAR MODEL DIABETIKUM

0 6 26

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera L.) TERHADAP PENURUNAN KADAR METHEMOGLOBIN TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIINDUKSI ALKOHOL

0 8 27

EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera L.) TERHADAP KADAR SGOT DAN SGPT PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIINDUKSI ALKOHOL SUBAKUT

1 7 28

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (vitis vinifera) TERHADAP PENURUNAN JUMLAH SEL MESANGEAL PADA TIKUS PUTIH (rattus novergicus strain wistar) MODEL DIABETIK

0 4 5

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI SEL HEPAR TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus novergicus strain wistar) YANG DIINDUKSI ALKOHOL

0 3 26

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL ANGGUR (Vitis vinifera) MENCEGAH PENURUNAN OSTEOBLAS DAN DENSITAS TULANG SERTA MENCEGAH PENINGKATAN OSTEOKLAS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) JANTAN DENGAN AKTIVITAS FISIK BERLEBIH.

0 1 85

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ANGGUR HITAM (Vitis vinifera) TERHADAP KADAR High Density Lipoprotein (HDL) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus ) JANTAN YANG DIINDUKSI HIPERKOLESTEROL - Repository UNRAM

0 0 8