PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL ANGGUR (Vitis vinifera) MENCEGAH PENURUNAN OSTEOBLAS DAN DENSITAS TULANG SERTA MENCEGAH PENINGKATAN OSTEOKLAS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) JANTAN DENGAN AKTIVITAS FISIK BERLEBIH.

(1)

TESIS

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL ANGGUR (Vitis

vinifera) MENCEGAH PENURUNAN OSTEOBLAS

DAN DENSITAS TULANG SERTA MENCEGAH

PENINGKATAN OSTEOKLAS PADA TIKUS (Rattus

norvegicus) JANTAN DENGAN AKTIVITAS FISIK

BERLEBIH

IFTITAH YUNIAR SASANTHI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

TESIS

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL ANGGUR (Vitis

vinifera) MENCEGAH PENURUNAN OSTEOBLAS

DAN DENSITAS TULANG SERTA MENCEGAH

PENINGKATAN OSTEOKLAS PADA TIKUS (Rattus

norvegicus) JANTAN DENGAN AKTIVITAS FISIK

BERLEBIH

IFTITAH YUNIAR SASANTHI NIM. 1490761028

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI BIOMEDIK-ANTI AGING MEDICINE

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL ANGGUR (Vitis

vinifera) MENCEGAH PENURUNAN OSTEOBLAS

DAN DENSITAS TULANG SERTA MENCEGAH

PENINGKATAN OSTEOKLAS PADA TIKUS (Rattus

norvegicus) JANTAN DENGAN AKTIVITAS FISIK

BERLEBIH

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Biomedik-Anti Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas Udayana

IFTITAH YUNIAR SASANTHI NIM. 1490761028

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI BIOMEDIK-ANTI AGING MEDICINE

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

iv

Lembar Persetujuan Pembimbing

USULAN PENELITIAN TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 24 NOVEMBER 2015

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. dr. I. G. M. Aman, Sp. FK Dr. dr. GDE. Ngurah Indraguna P, NIP. 194606191976021001 M.Sc, Sp. GK

NIP.195805211985031002

Mengetahui

Ketua Program Studi Biomedik-Anti Aging Medicine Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr. dr. GDE. Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp. GK NIP.195805211985031002


(5)

v

PENETAPAN PENGUJI

Tesis ini telah diuji pada

Tanggal 30 Mei 2016

Penguji tesis berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,

No : ……./UN14.4/HK/β016, Tanggal ………

Ketua : Prof. dr. I. G. M. Aman, Sp. FK

Sekretaris : Dr. dr. GDE. Ngurah Indraguna P, M.Sc, Sp. GK Anggota : 1. Prof. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And.,FAACS

2. Prof dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And. 3. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes, M.Sc.


(6)

vi

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : dr. Iftitah Yuniar Sasanthi

NIM : 1490761028

PROGRAM STUDI : ILMU BIOMEDIK

JUDUL TESIS : PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL ANGGUR (Vitis vinifera) MENCEGAH PENURUNAN OSTEOBLAS DAN DENSITAS TULANG SERTA MENCEGAH PENINGKATAN OSTEOKLAS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) JANTAN DENGAN AKTIVITAS FISIK BERLEBIH

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukit terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 15 Maret 2016


(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankan penulis memanjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya kepada Alloh Yang Maha Esa atas berkah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tulisan ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang telah dijalankan oleh penulis untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine, Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa hormat, penghargaan, dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD. selaku Rektor Universitas Udayana dan Prof. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)., sebagai Direktur Program Pascasarjana atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana.

2. Prof. dr. I. G. M. Aman, Sp. FK selaku pembimbing utama yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan petunjuk, dorongan, pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.

3. Dr. dr. GDE. N. Indraguna P, M.Sc, Sp. GK selaku pembimbing II yang meluangkan waktu dan dengan sabar serta teliti memberikan arahan, masukan, pengetahuan serta bimbingan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini.


(8)

viii

4. Para penguji tesis ini, yaitu Prof. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And.,FAACS, Prof dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And dan Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes, M.S yang yang telah dengan sabar memberikan masukan, saran, sanggahan, bimbingan dan koreksi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

5. Prof dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And. sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan moril selama penulis menjalani program pendidikan sampai selesai.

6. Saudara Ferbian Milas Siswanto, Bapak Gede Wiranatha, dan drh. Ida Bagus Oka Winaya atas bantuannya yang tak terkira sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

7. Seluruh dosen Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama masa pendidikan yang sangat bermanfaat untuk masa depan penulis.

8. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada seluruh staf biomedik bapak Eddy Suantara, Geg Wahyu , Geg Ami dan Geg Enni yang selalu membesarkan hati penulis selama studi.

9. Semua teman-teman selama perkuliahan AAM Angkatan IX yang telah memberikan semangat, bantuan moril serta perhatian kepada penulis sepanjang menempuh pendidikan dan menyelesaikan penulisan tesis. 10.Keluarga tercinta yaitu suami saya Andri Suryo Muktiarto, anak saya


(9)

ix

saya Ir. Santoso H serta kedua mertua saya atas dukungan, pengertian, pengorbanan dan kesabaran yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini walaupun sudah melewati beberapa kali ujian masih ada kesalahan dalam penulisan tesis ini, untuk itu segenap kritik, saran dan masukan sangat diharapkan. Semoga apa yang tertulis dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Akhir kata, semoga Alloh Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkah dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

Denpasar, Maret 2016


(10)

x

ABSTRAK

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL ANGGUR (Vitis vinifera) MENCEGAH PENURUNAN OSTEOBLAS DAN DENSITAS TULANG

SERTA MENCEGAH PENINGKATAN OSTEOKLAS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) JANTAN DENGAN AKTIVITAS FISIK BERLEBIH

Pada pelatihan fisik berlebih terjadi peningkatan kadar Reactive Oxygen Species yang dapat menurunkan jumlah osteoblas dan densitas tulang. Selain itu, stres oksidatif dapat meningkatkan osteoklas. Antioksidan dapat menghambat kerusakan oksidasi pada suatu molekul target. Buah anggur merupakan sumber antioksidan dengan kandungan polifenol dan antosianin yang cukup tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa pemberian ekstrak ethanol buah anggur dapat mencegah penurunan osteoblast dan densitas tulang, serta mencegah peningkatan osteoklas pada tikus wistar dengan aktivitas fisik berlebih.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan completely randomized post test only control group design yang menggunakan 36 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan, dewasa (berumur 2,5-3 bulan), yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing berjumlah 18 ekor tikus, satu kelompok sebagai kelompok kontrol yang diberikan aquabides dalam volume 1 ml, 1kali perhari ditambah pelatihan fisik berlebih (P0) selama 28 hari dan kelompok lainnya adalah kelompok perlakuan yang diberi ekstrak ethanol buah anggur dengan dosis 250mg/200g tikus dalam volume 1 ml, 1 kali perhari ditambah pelatihan fisik berlebih (P1) selama 28 hari.

Hasilnya adalah rerata jumlah osteoblas pada kelompok kontrol (P0) setelah perlakuan (post test) adalah 125,44±7,770 sel per lapang pandang, sedangkan pada kelompok perlakuan (P1) adalah 137,06 ± 12,037 sel per lapang pandang. Pada kedua kelompok ini sesudah perlakuan memiliki rerata jumlah osteoblas yang berbeda sangat bermakna (p<0,01). Rerata densitas tulang pada kelompok kontrol (P0) setelah perlakuan (post test) adalah 308,84±17,195 µm, sedangkan pada kelompok perlakuan (P1) adalah 438,11 ± 25,940 µm. Pada kedua kelompok ini sesudah perlakuan memiliki rerata densitas tulang yang berbeda sangat bermakna (p<0,01). Rerata jumlah osteoklas pada kelompok kontrol (P0) setelah perlakuan (post test) adalah 19,89±3,411 sel per lapang pandang, sedangkan pada kelompok perlakuan (P1) adalah 13,33 ± 4,485 sel per lapang pandang. Pada kedua kelompok ini sesudah perlakuan memiliki rerata jumlah osteoklas yang sangat berbeda bermakna (p<0,01).

Dari penelitian ini disimpulkan pemberian ekstrak ethanol buah anggur (Vitis vinifera) dapat mencegah penurunan osteoblas dan densitas tulang, serta mencegah peningkatan osteoklas pada tikus wistar dengan aktivitas fisik berlebih.

Kata kunci : ekstrak ethanol buah anggur, osteoblas, densitas tulang, osteoklas, aktivitas fisik berlebih.


(11)

xi

ABSTRACT

ETHANOL EXTRACT OF GRAPES FRUIT (Vitis vinifera) PREVENT THE DECREASE OF OSTEOBLAST, BONE DENSITY AND PREVENT

THE INCREASE OF OSTEOCLAST IN OVERTRAINING MALE WISTAR RATS (Rattus norvegicus)

Reactive Oxygen Species (ROS) is steadily increase during excessive physical exercise that can reduce the number of osteoblasts and bone density. In addition, oxidative stress can increase osteoclast. It has been known that antioxidants can inhibit oxidation damage. The grapes are sources of antioxidants with high concentration of polyphenols and anthocyanins. The aim of this study is to prove that the ethanol extract of grapes prevent a decrease in osteoblasts and bone density, and prevent an increase in osteoclasts in overtraining Wistar male rats.

This study was an experimental research using a completely randomized post test only control group design. The sample was 36 male rats (Rattus norvegicus), adult (aged 2.5-3 months), which was divided into two groups. One group as a control group were given aquabides in 1 ml volume, once daily + excessive physical activity (P0) for 28 days and the other group were given ethanol extract of grape at a dose of 250mg / 200g rat in 1 ml volume, once daily + excessive physical activity (P1) for 28 days.

The result showed that the average number of osteoblasts in the control group (P0) after treatment (post test) was 125.44 ± 7.770 cells per field of view, while the treatment group (P1) is 137.06 ± 12.037 cells per field of view. In both groups after treatment had a significantly different of mean number of osteoblasts (p<0.01). The mean of bone density in the control group (P0) after treatment (post

test) was γ08.84 ± 17.195 μm, whereas the treatment group (P1) was 438.11 ±

β5.940 μm. In both groups after treatment had a significantly different of bone density (p <0.01). The mean number of osteoclasts in the control group (P0) after treatment (post test) was 19.89 ± 3.411 cells per field of view, while the treatment group (P1) was 13.33 ± 4.485 cells per field of view. In both groups after treatment, there was a significantly difference of osteoclasts numbers (p <0.01).

This study concluded that the extract ethanol grapes (Vitis vinifera) prevented the decrease of osteoblasts and bone density, and prevented the increase of osteoclasts in overtraining Wistar male rats.

Keywords: ethanol extract of grapes, osteoblasts, bone density, osteoclasts, excessive physical activity.


(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENETAPAN PENGUJI ... v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR SINGKATAN ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.3.1 Tujuan Umum …….. ... 7


(13)

xiii

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Teoritis ……. ... 8

1.4.β Praktis ……. ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Penuaan ... 9

2.1.1 Defisini Penuaan ... 9

2.1.2 Penyebab Proses Penuaan ... 10

2.1.3 Teori Proses Penuaan ... 11

2.1.4 Faktor yang Mempercepat Penuaan ... 13

2.1.5 Upaya Menghambat Penuaan ... 15

2.1.6 Tanda Penuaan ... 17

2.1.7 Penuaan dan Osteoporosis ... 19

2.2 Pelatihan Fisik Berlebih ... 21

2.2.1 Patofisiologi Pelatihan Fisik Berlebih …. ... 23

2.2.2 Diagnosis dan Biomarker Pelatihan Fisik Berlebih... 24

2.2.3 Pelatihan Fisik Berlebih dan Stres Oksidatif... ... 25

2.2.4 Pelatihan Fisik Berlebih dan Osteoporosis... ... 29

2.3 Tulang ... 32

2.3.1 Struktur Tulang ... 32

2.3.2 Proses Pembentukan Tulang ... 33

2.3.3 Osteoblas ... 35

2.3.4 Osteoklas ... 36


(14)

xiv

2.4 Osteoporosis ... 39

2.4.1 Penyebab Osteoporosis ... 41

2.4.2 Jenis-jenis Osteoporosis ... 41

2.4.3 Faktor yang Mempengaruhi Osteoporosis ... 43

2.4.4 Peran Radikal Bebas terhadap Penuaan dan Osteoporosis ... 47

2.5 Anggur ( Vitis vinifera ) ... 48

2.5.1 Karakteristik Tanaman Anggur ... 48

2.5.2 Kandungan Buah Anggur ... 50

2.5.2.1 Flavonoid ... 50

2.5.2.2 Fenol ... 53

2.5.2.3 Resveratrol ... 54

2.5.3 Manfaat Buah Anggur ... 55

2.5.4 Anggur sebagai Antioksidan untuk Osteoporosis .... 55

2.6 Hewan Coba Tikus (Rattus novergicus) ... ... 61

2.6.1 Penggunaan Tikus ... 62

2.6.2 Pemberian Makanan dan Minuman ... ... 64

2.6.3 Pemantauan Keselamatan Tikus ... ... 64

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 65

3.1 Kerangka Berpikir ... 65

3.2 Konsep Penelitian ... 67


(15)

xv

BAB IV METODE PENELITIAN ... 69

4.1 Rancangan Penelitian ... 69

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 70

4.3 Subyek dan Sampel ... 70

4.3.1 Subyek ... 70

4.3.2 Kriteria Sampel ... 70

4.3.3 Besar Sampel ... 71

4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 72

4.4 Variabel ... 72

4.4.1 Hubungan antar Variabel ... 73

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 73

4.5 Bahan Penelitian dan Hewan Coba ... 75

4.5.1 Bahan Penelitian... .. 75

4.5.2 Hewan Percobaan ... ... 75

4.6 Instrumen Penelitian ... 76

4.7 Prosedur Penelitian ... 76

4.7.1 Pembuatan Ekstrak Ethanol Anggur ... 76

4.7.2 Penentuan Jumlah Hari Perlakuan ... 77

4.7.2 Pemilihan dan Pemeliharaan Hewan Uji... ... 77

4.7.3 Prosedur Perlakuan ... ... 78

4.7.4 Prosedur Pembuatan Preparat Histopatologi .. ... 79

4.7.5 Prosedur Pewarnaan .. ... 80


(16)

xvi

4.8 Alur Penelitian ... 82

4.9 Analisa Data ... ... 83

BAB V HASIL PENELITIAN ... 84

5.1 Analisis Deskriptif ... 84

5.2 Uji Normalitas Data ... 86

5.3 Uji Homogenitas Data antar Kelompok ... 86

5.4 Analisis Komparabilitas ... 87

5.4.1 Analisis Komparabilitas Jumlah Osteoblas... ... 87

5.4.2 Analisis Komparabilitas Densitas Tulang... ... 88

5.4.3 Analisis Komparabilitas Jumlah Osteoklas... ... 89

5.5 Gambaran Histologis Tulang masing-masing Kelompok .. 90

BAB VI PEMBAHASAN ... 91

6.1 Subjek Penelitian ... 91

6.2 Distribusi dan Varian Data Hasil Penelitian ... 92

6.3 Pengaruh Pelatihan Fisik Berlebih terhadap Jumlah Osteoblas, Densitas Tulang dan Jumlah Osteoklas ... 92

6.3 Pengaruh Pemberian Anggur Terhadap Jumlah Osteoblas, Densitas Tulang dan Jumlah Osteoklas ... 95

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 100

7.1 Simpulan ... 100

7.2 Saran ... 100


(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Spesies Oksigen Reaktif dan Antioksidannya ... 59

2.2 Data Biologis Tikus ... 63

5.1 Analisis Deskriptif Hasil Penelitian ... 85

5.2 Hasil Uji Normalitas Data Hasil Penelitian ... 86

5.3 Hasil Uji Homogenitas Data Hasil Penelitian ... 87

5.4 Rerata Jumlah Osteoblas antar Kelompok ... 87

5.5 Rerata Densitas Tulang antar Kelompok ... 88


(18)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Definisi Overtraining ... 22

2.2 Proses Peroksidasi Lipid ... 26

2.3 Iskemia dan Reperfusion Injury ... 28

2.4 Stres Oksidatif Mengaktifkan Jalur NF-kB ……… ... 30

2.5 Peran ROS dalam Osteoporosis ………….. ... 31

2.6 Skema Remodeling Tulang ... 34

2.7 Gambaran Histologis Osteoblas, Osteoklas dan Osteosit .. ... 36

2.8 Struktur Kimia Flavonoid ... ... 51

2.9 Flavonoid dan Aktifasi Sintesis Antioksidan Endogen melalui jalur Nrf 2 ... ... 60

2.10 Tikus Putih... ... 62

3.1 Konsep Penelitian ... 67

4.1 Rancangan Penelitian ... 69

4.2 Hubungan antar Variabel ... ... 73

4.3 Alur Penelitian ... 82

5.1 Gambaran Histologis Osteoblast dan Osteoklas pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan dengan Pembesaran 400x ... 90

5.2 Gambaran Histologis Kepadatan Tulang pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan dengan Pembesaran 400x ... 90


(19)

xix

DAFTAR SINGKATAN

AAM : Anti Aging Medicine CD : Conjugated Dienes CT : Calcitonin

DHEA : Dehydroepiandrosterone DNA : Deoxiribo Nucleic Acids

ERKs : Extracellular signal-regulated kinases FITT : Frequency, Intensity, Time, Type FSH : Follicle Stimulating Hormone GH : Growth Hormone

GST : Gluthation-s-tranferase HSF : Heat Shock Factor JNK : c-Jun N-terminal kinase LH : Luteinizing Hormone LOOH : Lipid Hydroperoxide

M-CSF : Macrofag Colony Stimulating Factor MDA : Malondyaldehide

NF- κ : Nuclear factor-κ OPG : Osteoprotegrin

OTS : Overtraining syndrome PLC-c1 : Fosfolipase C-c1

PPAR : Peroxisome Proliferator-Activated Receptors PTH : Parathyroid Hormone


(20)

xx

RANKL : Receptor activator of NF-kB ligand ROS : Reactive Oxigen Species

SOD : Superoksid dismutase TCF : T-Cell Factor


(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Ethical Clearance ... 113

Lampiran 2. Hasil Analisis Fitokimia ... 114

Lampiran 3. Hasil Penelitian Pendahuluan ... 115

Lampiran 4. Hasil Penelitian ... 116

Lampiran 5. Analisis Statistik ... 118


(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Aktivitas fisik merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh. Namun, aktivitas fisik berlebih ternyata dapat menimbulkan kerusakan sel dan osteoporosis. Hal ini yang menyebabkan tulang mengalami gangguan dan terjadi penuaan dini.

Penuaan atau menjadi tua adalah proses yang akan dilewati oleh semua makhluk hidup di dunia. Siklus ini ditandai dengan mulai menurunnya berbagai fungsi organ tubuh dan seringkali dihubungkan dengan penurunan kualitas hidup. Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada kematian. Faktor tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan tubuh yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama adalah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2007).

Frequency, Intensity, Time, Type (FITT) dalam aktivitas olahraga sangat menentukan terjadinya keseimbangan fungsi tubuh. Frequency artinya berapa kali melakukan aktivitas fisik atau olahraga perminggu. Intensity artinya berat ringannya melakukan olahraga yang diukur dengan kemampuan tubuh (kapasitas fisik). Time adalah lamanya melakukan aktivitas fisik atau olahraga. Type adalah


(23)

2

tipe aktivitas fisik atau olahraga yang dilakukan selama melakukan aktivitas. Cepat atau lambatnya proses penuaan akibat aktivitas fisik amat ditentukan oleh keempat faktor tersebut yaitu FITT (Nala, 2011; Pangkahila, 2011b; Sharkey, 2011).

Aktivitas fisik berlebih dapat mengakibatkan stres oksidatif karena dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 - 200 kali lipat sehingga dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan (Cooper, 2001).

Semakin berat aktivitas fisik yang dilakukan, semakin banyak pula oksigen yang diperlukan untuk metabolisme. Karena terjadi peningkatan metabolisme tubuh, peningkatan inflamasi dan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, sehingga terjadi peningkatan kebocoran elektron bebas oleh mitokondria, yang akan menjadi Reactive Oxygen Species atau ROS (Sauza, 2005).

ROS merupakan radikal bebas yang sangat berbahaya bagi tubuh. ROS seperti superoksida dan hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan pada DNA, protein, dan lemak. Radikal bebas yang banyak diproduksi saat pelatihan fisik berlebih adalah radikal superoksid (O2-), hydrogen peroksida (H2O2), dan

radikal hidroksil (OH∙) (Tanskanen et al., 2010). Umumnya 2-5 % dari oksigen yang dipakai dalam proses metabolisme akan menjadi ion superoksid, sehingga saat aktivitas fisik berat terjadi peningkatan produksi radikal bebas (Manna et al., 2006).


(24)

3

Salah satu penelitian pada testis tikus yang direnangkan dengan intensitas tinggi dan durasi lama menunjukkan tingginya kadar Malondyaldehide (MDA) dan Conjugated Dienes (CD) bersamaan dengan menurunnya antioksidan enzimatik seperti Glutathione (GSH), Superoksid Dismutase (SOD), Katalase, Gluthation-s-tranferase (GST) dan Peroksidase (Manna et al., 2006).

Seperti halnya organ lain, tulangpun akan mengalami proses penuaan atau yang biasa dikenal dengan sebutan osteoporosis. Osteoporosis atau keropos tulang adalah penyakit tulang dengan karakteristik massa tulang yang berkurang, terjadi kerusakan mikro-arsitektur jaringan tulang yang mempengaruhi kekuatan tulang dan meningkatkan resiko keropos tulang (National Osteoporosis Foundation, 2014). Meningkatnya resiko keropos tulang tersebut disertai dengan kecenderungan terjadinya fraktur, terutama femur proksimal, tulang belakang, dan pada tulang radius (Permana, 2009).

Salah satu faktor risiko dari osteoporosis adalah stres oksidatif, termasuk merokok, asupan alkohol, status anti oksidan yang rendah, defisiensi nutrisi, aktivitas olah raga yang berlebihan dan asupan kafein yang berlebihan. Stres oksidatif yang disebabkan oleh ROS meningkatkan rasio penurunan kepadatan tulang (Rao et.al, 2013).

ROS dihasilkan oleh mitokondria khususnya radikal hidroksil (OH∙),

selanjutnya produksi ROS akan mengaktivasi jalur regulasi proses inflamasi melalui mekanisme aktivasi ERK dan ERK selanjutnya akan mengaktivasi produksi Nuclear Factor kB (NF-kB) dan NF-kB akan merangsang produksi sitokin proinflamasi, seperti TNF-α dan IL-6. TNF-α dan IL-6 akan meningkatkan


(25)

4

osteoklastogenesis, menghambat apoptosis osteoklas dan menghambat aktivasi osteoblas (Vali et al., 2007).

Bukti epidemiologis pada manusia dan penelitian pada hewan menunjukkan adanya hubungan erat antara stres oksidatif dan patogenesis osteoporosis (Rao et.al,2013). Pada keadaan stres oksidatif, osteoklas mengalami proliferasi dan terjadi peningkatan profil diferensiasi (Lean et al., 2004). Stres oksidatif yang diinduksi H2O2 juga dapat menghambat diferensiasi osteoblast kelinci dan sel stroma sumsum tulang melalui aktivasi jalur ERK dan ERK-dependent NF- κβ (Bai et al., 2004).

Penelitian lain membuktikan adanya kaitan biokimiawi antara peningkatan stres oksidatif dan menurunnya bone mineral densities (BMD) pada pria dan wanita berusia tua (Basu et al., 2001). Suplementasi ekternal vitamin antioksidan terbukti memiliki efek memperbaiki profil BMD pada wanita pasca menopause (Morton et al., 2001).

Aktivitas fisik berat dan pengaruh lingkungan menyebabkan radikal bebas sulit dihindari, sehingga perlu usaha untuk meningkatkan antioksidan di dalam tubuh. Antioksidan dapat melindungi tubuh dari sejumlah penyakit dengan menghindarkan dari efek destruksif yang ditimbulkan radikal bebas. Konsumsi antoksidan dalam diet sehari-hari dapat menunda proses penuaan. Antioksidan dapat melindungi biomolekul terhadap stres oksidatif (Cooper, 2001).

Buah anggur (Vitis vinifera) adalah salah satu buah di Indonesia yang merupakan sumber antioksidan dengan kandungan polifenol dan antosianin yang cukup tinggi (Tarmizi, 2010). Pada dasarnya, polifenol dalam anggur dapat dibagi


(26)

5

menjadi 2 kelas, yakni flavonoid dan non flavonoid. Non flavonoid terdiri dari asam fenol dan resveratrol (Ivanova et al., 2010).

Di Indonesia, buah anggur banyak dikonsumsi karena rasanya yang manis dan segar serta memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Beberapa jenis anggur yang tumbuh subur di Indonesia antara lain anggur Bali, anggur Probolinggo, anggur Caroline dan anggur Prabu Bestari. Penelitian ini menggunakan buah anggur Bali, atau lebih sering disebut dengan anggur Buleleng karena banyak tumbuh di daerah tersebut dan merupakan jenis buah yang terkenal sebagai buah khas Buleleng (Tarmizi, 2010).

Kulit anggur kaya akan flavonoid. Telah diketahui secara umum bahwa flavonoid memiliki sifat antivirus, anti-alergi, antiplatelet, anti-inflamasi, antitumor dan aktivitas antioksidan dengan daya lebih tinggi daripada vitamin C (Tapas et al., 2008). Efek flavonoid terhadap ROS terjadi melalui dua mekanisme yaitu dengan meningkatkan antioksidan endogen dan menangkap radikal bebas atau menetralisir. Peningkatan antioksidan endogen oleh flavonoid dengan cara membantu aktivasi Nrf2 dalam memfosforilasi molekul tersebut sehingga ikatan Nrf2-Keap1 terlepas. Lepasnya ikatan ini merangsang Nrf2 menginduksi sistem transkripsi protein enzimatik antioksidan endogen seperti SOD, GSH, dan katalase (Hybertson et al., 2011; Surh, 2013; TRACD 2014).

Ekstrak biji anggur dikenal memiliki khasiat antioksidan yang kuat, terutama kandungan proanthocyanidins yang memiliki kekuatan antioksidan lebih besar jika dibandingkan dengan antioksidan lain seperti vitamin C, vitamin E dan


(27)

6

β-karoten dalam melindungi sel dari kerusakan DNA dan peroksidasi lipid akibat reaksi berantai radikal bebas (Pugliese et al., 2013).

Warna ungu pada anggur dihasilkan oleh pigmen antosianin. Antosianin merupakan antioksidan yang memiliki potensi tinggi sebagai scavenger radikal bebas dan bersifat protektif terhadap stres oksidatif. Selain itu antosianin mampu mencegah terjadinya peroksidasi lipid dalam tubuh (Thtmothe et al., 2007).

Selain itu, kandungan fenol pada buah anggur dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi radikal bebas pada oksidasi lipid (Tapas et al., 2008) sedangkan kandungan resveratrol pada buah anggur menurunkan sekresi TNF-α, sehingga IL-6 menurun (Baile et al., 2011). Penurunan sekresi TNF-α dan IL-6 menurunkan osteoklastogenesis, meningkatkan apoptosis osteoklas dan meningkatkan aktivasi osteoblas (Vali et al., 2007).

Hasil analisis anggur pada penelitian ini menunjukkan adanya kandungan flavonoid dan kadar total fenol, tetapi adanya kandungan resveratrol tidak dapat diketahui dan dilakukan oleh karena keterbatasan alat di laboratorium tersebut.

Manfaat buah anggur memang telah banyak diakui secara empiris oleh masyarakat. Akan tetapi, diperlukan pembuktian secara ilmiah tentang manfaat tanaman ini dalam mencegah kerusakan organ dalam tubuh, khususnya kerusakan tulang. Atas dasar hal tersebut diatas penelitian mengenai dampak pemberian ekstrak etanol buah anggur terhadap jumlah osteoklas, jumlah osteoblas dan densitas tulang pada tikus (Rattus norvegicus) yang diberikan aktivitas fisik berlebih dilakukan.


(28)

7

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah ekstrak etanol buah anggur dapat mencegah penurunan jumlah osteoblas pada tikus jantan dengan aktivitas fisik berlebih?

2. Apakah ekstrak etanol buah anggur dapat mencegah penurunan densitas tulang tikus jantan dengan aktivitas fisik berlebih?

3. Apakah ekstrak etanol buah anggur dapat mencegah peningkatan jumlah osteoklas tikus jantan dengan aktivitas fisik berlebih?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah:

Untuk membuktikan pemberian ekstrak etanol buah anggur yang diberikan secara oral mempengaruhi jumlah osteoklas, jumlah osteoblas dan densitas tulang femur tikus jantan yang diberikan aktivitas fisik berlebih.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Untuk membuktikan pemberian ekstrak etanol buah anggur dapat mencegah penurunan jumlah osteoblas pada tikus jantan dengan aktivitas fisik berlebih.


(29)

8

2. Untuk membuktikan pemberian ekstrak etanol buah anggur dapat mencegah penurunan densitas tulang tikus jantan dengan aktivitas fisik berlebih.

3. Untuk membuktikan pemberian ekstrak etanol buah anggur dapat mencegah peningkatan jumlah osteoklas tikus jantan dengan aktivitas fisik berlebih.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis

Menambah wawasan dan kontribusi bagi ilmu pengetahuan dan penelitian di dalam memahami pencegahan terjadinya keropos tulang akibat aktivitas fisik berlebih dan hubungannya dengan suplementasi ekstrak etanol buah anggur.

1.4.2 Praktis

1. Mengoptimalkan manfaat sumber daya alam, khususnya buah anggur untuk menjaga kesehatan masyarakat dalam mengurangi kejadian keropos tulang dengan konsumsi bahan alam yang murah dan mudah didapatkan. 2. Penelitian ini terbukti dapat mengurangi kejadian keropos tulang.

3. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat bahwa terdapat buah yang bermanfaat mencegah keropos tulang.


(30)

1

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dialami oleh semua manusia. Penuaan bukan hanya proses menjadi tua. Penuaan adalah apa yang membuat tua tidak sebaik baru dan ketika laju kegagalan meningkat bersamaan dengan peningkatan usia, orang menjadi sakit, lemah, dan kadang sekarat (Gavrilov, 2004).

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini tentunya banyak memberikan dampak positif bagi masyarakat. Ilmu yang sedang berkembang pesat saat ini adalah Ilmu Anti Aging Medicine (AAM). Penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Penuaan tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga penuaan dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003).

2.1.1 Definisi Penuaan

Definisi aging menurut American Academy of Anti-Aging Medicine (A4M) adalah perubahan fisik yang berhubungan dengan aging disebabkan oleh disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003).


(31)

2

Penuaan adalah suatu kumpulan gejala dari perubahan yang terus menerus, menyeluruh dan menetap. Proses penuaan terjadi pada molekul (DNA, protein, lemak), pada sel dan organ. Frekuensi penyakit yang meningkat pada usia tua seperti arthritis, osteoporosis, penyakit jantung, kanker, Alzheimer's Disease sering dikaitkan dengan terjadinya proses penuaan. Padahal pada kenyataannya tidak semua benar bahwa penyakit yang terjadi pada usia tua adalah merupakan proses penuaan (Goldman dan Klatz, 2007). Webster's New World Dictionary mendefinisikan penuaan sebagai proses menjadi tua atau menunjukkan tanda-tanda menjadi tua. Oleh karena itu kemudian dikenal dua macam usia, yaitu usia kronologis dan usia fisiologis atau biologis. Usia kronologis ialah usia sebenarnya sesuai dengan tahun kelahiran, sedang usia fisiologis atau biologis ialah usia sesuai dengan fungsi organ tubuh. Maka usia kronologis tidak selalu sama dengan usia fisiologis (Pangkahila, 2007).

2.1.2 Penyebab Proses Penuaan

Banyak faktor yang dapat menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit, dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya berbagai faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal ialah radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan. Karena berbagai faktor itulah terjadi proses penuaan, sehingga orang menjadi tua, sakit, dan akhirnya meninggal. Namun, kalau faktor penyebab itu dapat dihindari,


(32)

3

proses penuaan tentu dapat dicegah, diperlambat, bahkan mungkin dihambat, dan kualitas hidup dapat dipertahankan. Dengan kata lain usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang lebih baik. Dengan melihat berbagai faktor di atas, kita dapat menentukan faktor mana yang dapat dihindari atau diatasi agar proses penuaan dapat dicegah atau diperlambat (Pangkahila, 2007).

2.1.3 Teori Proses Penuaan

Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori wear and tear meliputi kerusakan DNA, glikosilasi, dan radikal bebas serta teori program meliputi terbatasnya replikasi sel, proses imun, dan teori neuroendokrin (Pangkahila, 2007).

Ada empat teori pokok dari penuaan (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu: 1. Teori Wear and Tear

Tubuh dan sel mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.

2. Teori Neuroendokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,


(33)

4

sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.

3. Teori Kontrol Genetik

Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental terentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita dapat hidup.

4. Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian.


(34)

5

Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, di mana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007).

2.1.4 Faktor yang Mempercepat Penuaan

Setelah mencapai usia dewasa, secara alamiah seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya justru terjadi penurunan karena proses penuaan. Pada umumnya manusia tidak pernah mempertanyakan mengapa kita menjadi tua, sakit, dan akhirnya meninggal. Orang hanya menganggap menjadi tua memang harus terjadi, sudah ditakdirkan, dan semua masalah yang muncul harus dialami. Bahkan, ada yang berpendapat usia setiap orang sudah ditentukan oleh Tuhan, sampai usia tertentu, yang tidak sama pada setiap orang. Namun ternyata ada beberapa faktor yang dapat mempercepat proses penuaan (Wibowo, 2003), yaitu :

1. Faktor lingkungan

a. Pencemaran lingkungan berupa bahan polutan dan bahan kimia yang merupakan hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga akan mempercepat proses penuaan.

b. Pencemaran lingkungan berupa suara bising. Dari beberapa penelitian yang ada, ternyata suara bising mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin dan dapat menyebabkan apoptosis pada berbagai jaringan tubuh.


(35)

6

c. Pemakaian obat-obatan dan jamu yang tidak terkontrol pemakaiannya dapat menurunkan hormon tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung melalui mekanisme umpan balik (hormonal feedback mechanism).

d. Sinar matahari secara langsung dapat mempercepat penuaan kulit dengan hilangnya elastisitas dan kerusakan pada kolagen kulit.

2. Faktor diet atau makanan

Dipengaruhi oleh jenis nutrisi, jumlahnya serta kualitas dari makanan tersebut hendaknya yang tidak menggunakan bahan pengawet, pewarna, dan perasa dari bahan kimia yang terlarang. Zat beracun yang terkandung dalam makanan tersebut, tentunya dapat menimbulkan kerusakan pada berbagai organ tubuh, yang paling utama adalah kerusakan pada organ hati.

3. Faktor genetik

Genetik seseorang ditentukan oleh genetik dari orang tuanya. Ternyata, faktor genetik dapat berubah jika terpapar oleh infeksi virus, radiasi serta racun yang terdapat pada makanan, minuman dan kulit yang dapat diserap oleh tubuh. 4. Faktor psikis

Stres juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya proses apoptosis pada berbagai organ atau jaringan tubuh.

5. Faktor organik

Yang merupakan faktor organik adalah rendahnya kebugaran/fitness, pola makan yang tidak sehat, penurunan Growth Hormone (GH) dan IGF-1, penurunan hormon testosteron, penurunan melatonin secara konstan setelah


(36)

7

memasuki usia 30 tahun yang dapat menyebabkan gangguan pada ritme harian (circadian clock) yang kemudian akan berpengaruh juga pada kulit dan rambut yang ditandai dengan berkurangnya pigmentasi serta terjadinya gangguan pola tidur, peningkatan prolaktin yang sejalan dengan perubahan pada emosi dan stres. Serta terjadi perubahan pada FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone).

Selain faktor tesebut di atas juga ada faktor pelatihan fisik berlebih (Overtraining) sebagai faktor yang mempercepat proses penuaan. Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 - 200 kali lipat. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan (Cooper,2001).

2.1.5 Upaya Menghambat Penuaan

Proses penuaan bukan datang dengan sendirinya tanpa sebab. Proses penuaan dapat dicegah dan dihambat jika kita dapat mengatasi faktor penyebabnya. Pada dasarnya upaya menghambat proses penuaan dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Menjaga kesehatan tubuh dan jiwa dengan gaya hidup sehat, yaitu meliputi: a. Berolahraga sesuai kaidah ilmiah.

Berolahraga seuai kaidah ilmiah yakni mengatur frequency, intensity, time dan type (FITT) latihan sesuai pedoman sebagai berikut (Pangkahila, 2013):


(37)

8

 Frekuensi latihan minimal 3 - 4 kali perminggu atau tidak lebih dari 300 menit perminggu dengan waktu istirahat tidak lebih dari 2 hari.

 Intensitas latihan harus cukup tinggi sehingga menaikkan denyut jantung sekitar 72%-87% dari denyut nadi maksimal dan tidak boleh melebihi denyut nadi maksimal (220-umur).

 Lama latihan inti minimal sekitar 30 menit sampai 60 menit dan setiap latihan terdiri dari tiga fase, yaitu fase peregangan dan pemanasan, fase latihan dan fase pendinginan. Lamanya latihan : 1) Fase peregangan dan pemanasan 15 menit ; 2) Fase Latihan 35 menit; 3) Fase pendinginan 10 menit.

 Tipe latihan sesuai dengan kondisi tubuh masing-masing individu. b. Makanan yang sehat dan cukup.

c. Rendah kalori, banyak sayur dan buah-buahan, cukup protein. d. Hindari dan atasi stres.

e. Hindari bahan yang bersifat racun.

f. Seperti merokok dan alkohol yang berlebihan, pestisida, bahan pengawet yang tidak sehat.

g. Adanya keseimbangan antara kesibukan dan relaksasi.

2. Kehidupan berkeluarga harus bahagia, termasuk dalam kehidupan seksual, hindari perilaku seksual yang tidak sehat.

3. Lakukanlah pekerjaan sebagai suatu kesenangan.

4. Hiduplah dalam lingkungan sosial yang sesuai dengan hati nurani. 5. Upayakan selalu berpikir positif dan optimis.


(38)

9

6. Jangan merasa sehat normal hanya karena tidak merasakan keluhan yang serius. 7. Jangan merasa sudah tua dan tidak berdaya

8. Jangan gunakan obat atau ramuan yang tidak punya dasar ilmiah yang jelas dan tanpa petunjuk tenaga ahli.

9. Lakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala yang diperlukan dan sesuai dengan kondisi masing-masing.

10. Gunakan obat dan suplemen yang diperlukan sesuai petunjuk ahli, untuk mengembalikan fungsi berbagai organ tubuh yang menurun dengan bertambahnya usia.

Upaya pertama sampai kedelapan sebenarnya upaya yang dapat dilakukan oleh setiap orang tanpa adanya intervensi pengobatan dari luar. Tetapi pada kenyataannya untuk melaksanakan upaya tersebut tidaklah mudah, bahkan sebagian justru sulit dan nyaris hampir tidak dapat dilakukan. Upaya kesembilan dan kesepuluh merupakan upaya intervensi yang memerlukan perlakuan atau pengobatan yang disarankan atau diberikan oleh tenaga ahli (Pangkahila, 2007).

2.1.6 Tanda Penuaan

Proses penuaan ditandai penurunan energi seluler yang menurunkan kemampuan sel untuk memperbaiki diri. Terjadi dua fenomena, yaitu penurunan fisiologik (kehilangan fungsi tubuh dan sistem organnya) dan peningkatan penyakit (Fowler, 2003). Menurut Pangkahila (2007), aging adalah suatu penyakit dengan karakteristik yang terbagi menjadi tiga fase yaitu :


(39)

10

1. Fase subklinik (usia 25-35 tahun)

Kebanyakan hormon mulai menurun : testosteron, GH, dan estrogen. Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh, seperti diet yang buruk, stres, polusi, paparan berlebihan radiasi ultraviolet dari matahari. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar.

Individu akan tampak dan merasa “normal” tanpa tanda dan gejala dari aging atau penyakit. Bahkan, pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal. Tetapi terkadang pada wanita usia muda sudah mulai tampak tanda gejala dari aging. Misalnya pengguna kontrasepsi hormonal.

2. Fase transisi (usia 35-45 tahun)

Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Kehilangan masa otot yang mengakibatkan kehilangan kekuatan dan energi serta komposisi lemak tubuh yang meninggi. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Pada tahap ini mulai muncul gejala klinis, seperti penurunan ketajaman penglihatan, pendengaran, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. Tergantung dari gaya hidup, radikal bebas merusak sel dengan cepat sehingga individu mulai merasa dan tampak tua. Radikal bebas mulai mempengaruhi ekspresi gen, yang menjadi penyebab dari banyak penyakit aging, termasuk kanker, arthritis, kehilangan daya ingat, penyakit arteri koronaria dan diabetes.


(40)

11

3. Fase Klinik (usia 45 tahun keatas)

Orang mengalami penurunan hormon yang berlanjut, termasuk DHEA (dehydroepiandrosterone), melatonin, GH, testosteron, estrogen, dan hormon tiroid. Terdapat juga kehilangan kemampuan penyerapan nutrisi, vitamin, dan mineral sehingga terjadi penurunan densitas tulang, kehilangan massa otot sekitar 1 kg setiap tiga tahun, peningkatan lemak tubuh dan berat badan. Di antara usia 40 tahun dan 70 tahun, seorang pria kemungkinan dapat kehilangan 20 pon ototnya, yang mengakibatkan ketidak mampuan untuk membakar 800-1.000 kalori perhari. Penyakit kronis menjadi sangat jelas terlihat, akibat sistem organ yang mengalami kegagalan. Ketidakmampuan menjadi faktor utama

untuk menikmati ”tahun emas” dan seringkali adanya ketidakmampuan untuk

melakukan aktivitas sederhana dalam kehidupan sehari-harinya. Prevalensi penyakit kronis akan meningkat secara dramatik sebagai akibat peningkatan usia.

2.1.7 Penuaan dan Osteoporosis

Para ahli gerontologi lebih sering menggunakan istilah senescence dalam proses penuaan dibandingkan dengan aging, karena aging memiliki makna tentang waktu yang diperlukan untuk terjadinya entropy biologik (deterioration). Penuaan yang merupakan sindrom perubahan yang bersifat mengganggu, progresif, universal dan irreversible termasuk perubahan pada tingkat molekul. Penyakit akibat penuaan yang bertambah dengan meningkatnya umur sering dibedakan dengan penuaan itu sendiri. Namun proses penuaan berbeda dengan penyakit penuaan. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya perubahan pada tingkat


(41)

12

seluler maupun molekur yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk terjadinya penyakit akibat usia lanjut (Nasution, 2015).

Inflamm-aging kurang lebih secara parsial dapat menjadi mekanisme dasar untuk menurunnya perkembangan bone loss dan kerusakan penuaan lainnya. (Hirose et al., 2003). Penyakit yang meningkatkan sifat inflamasi seperti atherosclerosis, Alzheimer's disease dan asma (Bruunsgaard and Pedersen, 2003). Banyak sitokin, termasuk IL-6, TNF-α, IL-1, dikeluarkan selama proses penuaan dan berperan langsung dalam patogenesis penyakit tersebut (Bruunsgaard, 2002). Semua sitokin tersebut bertindak sebagai stimulator aktivitas osteoklas. Penemuan ini menyimpulkan sebuah hubungan penyebab yang potensial antara inflamasi sistemik dan prevalensi osteoporosis yang berhubungan dengan penuaan. Lalu, peningkatan sinyal katabolik yang dikendalikan oleh inflamasi tidak diketahui oleh kemampuan diagnosa klinis penyakit inflamasi (Ginaldi et al., 2005), bisa saja untuk menginduksi apoptosis osteoblast (Ruobenoff, 2003), sebagaimana apopotosis pada sel otot, ini menjelaskan hubungan penuaan, osteoporosis dan sarkopenia (Nasution, 2015).

Osteoporosis, seperti kerusakan yang berhubungan dengan usia lainnya, mempunyai komponen genetik yang kuat dan tingkat densitas bone loss pada masa proses penuaan. Hal ini menjelaskan kemungkinan dan yang membedakan aktivitas sitokin masing-masing individu. Dukungan hipotesis ini telah ditunjukkan dengan polimorfisme IL-6 yang dapat menekan resiko osteoporosis pada wanita postmenopausal (Chen et al., 2002) Sejalan dengan itu, IL-1 dan reseptor antagonis IL-1 yaitu gen polimorfisme IL-1Ra berhubungan dengan


(42)

13

reduksi mineral tulang dan predisposisi wanita untuk osteoporosis pada tulang lumbar (Liu et al., 2005).

Disamping itu, juga penurunan hormon seks bergerak bersama kontribusi penuaan untuk patogenesis dari senile osteoporosis selama mekanisme mediasi imunologis. Diperkirakan bahwa efek estrogen pada tulang tidak hanya melakukan aksi sendiri secara langsung, tapi juga menghambat ekspresi gen IL-6. Kejadian ini mempunyai persamaan hubungan antara androgen dengan ekspresi gen IL-6 yang juga terjadi (Pfeilschifter et al., 2002). Penurunan fungsi ovarium berhubungan dengan penurunan produksi OPG dan peningkatan spontan dalam proinflamasi dan sitokin pro-osteoclastic seperti IL-6, TNF-α,dan IL-1 (De Martinis et al., 2005).

2.2 Pelatihan Fisik Berlebih

Pelatihan fisik berlebih atau Overtraining dapat didefinisikan sebagai peningkatan volume atau intensitas pelatihan yang menghasilkan penurunan kinerja jangka panjang atau bahkan ditandai oleh penurunan kinerja yang spesifik dari olahraga (Urhausen dan Kindermann, 2002).

Para pakar mendefinisikan overtraining sebagai suatu perubahan karakteristik fisik, fisiologis atau psikologis yang terkait dengan overtraining dan rangsangan yang mendahului atau mengikuti terjadinya sindrom overtraining saat ini (Brooks dan Carter, 2013).


(43)

14

Gambar 2.1 Definisi Overtraining (https://overtrainingsyndrome.wordpress.com/)

Overtraining merupakan masalah berulang dikarenakan ada risiko yang terus-menerus akibat adanya ketidakseimbangan antara pelatihan kompetisi dan pemulihan (Brooks dan Carter, 2013; Alves et al., 2006). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa 29% dari para atlet mengalami overtraining sepanjang karir mereka (Matos et al., 2011). Diperkirakan bahwa 60% dari semua atlet lari elite pria dan wanita yang terlibat dengan program pelatihan olahraga intensif mengalami overtraining syndrome (Kreher dan Schwartz, 2012). Peneliti membuktikan bahwa resiko mengalami overtraining lebih besar pada olahraga individual dibandingkan olahraga kelompok (Matos et al., 2011).

Tanda-tanda latihan berlebih adalah sebagai berikut (Pinel, 2009) :

 Psikis : kelelahan umum, konsentrasi menurun, apati, insomnia, mudah tersinggung, dan depresi.


(44)

15

 Penampilan (Performance) : penampilan menurun, pemulihan terlambat, dan tidak toleran terhadap pelatihan.

 Fisiologis : Peningkatan denyut nadi basal, peningkatan rasa nyeri, nyeri otot yang kronis, penurunan berat badan, mudah infeksi dan menurunnya nafsu makan.

Pelatihan fisik berlebih akan mempengaruhi fungsi organ tubuh mulai dari kardiovaskuler, hormon serta muskuloskeletal sehingga mempengaruhi fungsi untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu pelatihan berlebih menurunkan kadar testosteron dan menurunkan gairah seksual (Pangkahila, 2011a). Pemeriksaan secara mendalam dapat dilakukan pemeriksaan hormon dan radikal bebas (Pangkahila, 2011b).

Banyak penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik berlebih dapat mengakibatkan stres oksidatif. Salah satu penelitian pada testis tikus yang direnangkan dengan intensitas tinggi dan durasi lama menunjukkan tingginya kadar MDA dan conjugated dienes (CD) bersamaan dengan menurunnya antioksidan enzimatik seperti glutathione (GSH), superoksid dismutase (SOD), katalase, gluthation-s-tranferase (GST) dan peroksidase (Manna et al., 2006).

2.2.1 Patofisiologi pelatihan fisik berlebih

Terdapat beberapa hipotesis yang menjelaskan patofisiologi overtraining yang kemudian menyebabkan overtraining syndrome (OTS). Hipotesis ini antara lain hipotesis glikogen, central fatigue hypothesis, hipotesis glutamine, hipotesis stres oksidatif, hipotesis sistem saraf otonom, hipotesis hipotalamus dan hipotesis sitokin. Hipotesis glikogen menerangkan bahwa penurunan kadar glikogen pada


(45)

16

overtraining menyebabkan kelelahan dan penurunan performa atlet (Kreher dan Schwartz, 2012). Central fatigue hypothesis menerangkan bahwa peningkatan uptake triptofan pada otak akan merangsang peningkatan neurotransmitter serotonin (5-HT) dan merubah mood pada atlet yang overtraining (Budgett et al., 2010). Pada hipotesis glutamine, atlet yang mengalami overtraining akan mengalami penurunan kadar glutamine sehingga mengalami disfungsi sistem imun dan meningkatkan peluang penyakit infeksi (Hiscock and Pedersen, 2002). Pada overtraining akan terjadi peningkatan radikal bebas yang merupakan faktor perusak sel otot dan menyebabkan kelelahan, merupakan penjelasan hipotesis stres oksidatif (Tanskanen et al., 2010). Hipotesis sistem saraf otonom menerangkan bahwa overtraining dapat menimbulkan beberapa OTSs didomiasi oleh peran saraf parasimpatis (Halson dan Jeukendrup, 2004). Hipotesis hipotalamus menekankan pada disregulasi kontrol sekresi hormon-hormon pada hipotalamus dan menyebabkan gangguan endokrinologi (Angeli et al., 2004). Hipotesis sitokin menekankan pada peran respon peradangan dan sekresi sitokin proinflamasi pada sebagian besar OTSs (Smith, 2000).

2.2.2 Diagnosis dan biomarker pelatihan fisik berlebih

Di bidang kedokteran olahraga, beberapa marker panel pemeriksaan telah dijadikan standar tes skrining yang komprehensif untuk calon atlet meliputi fungsi ginjal, kalium, magnesium, dan glukosa, hitung darah lengkap, laju endap darah, C-reaktif protein, besi, creatine kinase, dan thyroid stimulating hormone (Petibois et al., 2002). Selain itu penanda biokimia telah dipelajari dalam berbagai populasi atlet untuk mendiagnosis overtraining. Tidak ada kadar tertentu atau sensitifitas


(46)

17

yang ditetapkan untuk creatine kinase, urea, atau iron (Urhausen dan Kindermann, 2002). Biomarker stres oksidatif juga telah ditemukan berkorelasi dengan status beban latihan (Margonis et al., 2007).

Marker hormonal menunjukkan beberapa hasil yang menjanjikan namun memiliki banyak variabel pengganggu seperti siklus menstruasi, status gizi (Meeusen et al., 2006). Kadar kortisol belum pernah diteliti antara atlet normal dan atlet dengan overtraining (Kreher dan Schwartz, 2012). Rasio testosteron terhadap kortisol juga telah dibuktikan dapat digunakan sebagai marker overtraining, dimana rasio ini akan menurun dengan bertambahnya intensitas overtraining (Halson dan Jeukendrup, 2004). Sebuah studi prospektif menemukan peningkatan yang signifikan secara klinis pada rasio kadar kortisol urin semalam : kortisol selama periode beban latihan yang tinggi pada atlet (Gouarne et al., 2005).

2.2.3 Pelatihan Fisik Berlebih dan Stres Oksidatif

Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 - 200 kali lipat. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan (Cooper, 2001).

Proses peroksidasi lipid terdiri atas tiga fase yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Gambar 2.2). Proses inisiasi adalah proses ketika atom hidrogen dikeluarkan dari molekul lipid. Beberapa senyawa dapat bereaksi dengan atom hidrogen membentuk radikal hidroksil (.OH), alkoxyl (RO), peroksil (ROO)


(47)

18

mungkin juga H2O. Membran lipid umumnya adalah fosfolipid tersusun atas

asam lemak tak jenuh, mudah terjadi peroksidasi karena dikeluarkannya grup methylen (-CH2) dari atom hidrogen yang mengandung hanya satu elektron,

sehingga terdapat atom karbon yang tidak berpasangan. Adanya ikatan ganda di dalam asam lemak melemahkan ikatan C-H pada atom karbon yang berdekatan dengan ikatan ganda, sehingga mempermudah terjadinya perpindahan atom hidrogen (Catala, 2006).

Reaksi inisiasi radikal hidroksil (.OH) dengan asam lemak tak jenuh menghasilkan radikal lipid yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen (O2)

membentuk radikal lipid peroksil. Radikal lipid peroksil mengambil hidrogen dari asam lemak yang berdekatan untuk membentuk lipid hydroperoxide (LOOH) serta radikal lipid yang kedua. Radikal alkoxyl maupun peroxyl memicu reaksi berantai peroksidasi lipid dengan mengeluarkan atom hidrogen (Liu et al., 2013).

Gambar 2.2 Proses Peroksidasi Lipid (Liu et al., 2013)

Peroksidasi lipid mengganggu fisiologi membran, menyebabkan gangguan pada aliran cairan dan permeabilitas, mengubah transport ion serta menghambat


(48)

19

reaksi metabolisme. Peroksidasi lipid merupakan penyebab utama kerusakan sel. Proses peroksidasi asam lemak terutama terjadi pada membran fosfolipid. Peroksidasi lipid mengubah psikokemikal lapisan membran lipid menyebabkan disfungsi sel yang signifikan. Berbagai produk dihasilkan akibat peroksidasi lipid seperti MDA, 4-hydroxy-2-noneal (HNE), 4-hydroxy-2-hexenal (4-HHE) (Halliwell dan Gutteridg, 2007; Wahjuni, 2012).

Peroksidasi lipid merupakan suatu proses yang rumit dan terjadi secara bertingkat. Peroksidasi lipid menyebabkan hilangnya asam lemak tidak jenuh sehingga secara sederhana prinsip pengukuran peroksidasi lipid adalah memeriksa hilangnya lemak. Hasil akhir peroksidasi lipid (terutama cytotoxic aldehydes) seperti MDA dan 4-hydroxynonenal dapat menyebabkan kerusakan pada protein dan DNA (Halliwell dan Gutteridg, 2007; Wahjuni, 2012).

Selain itu, pada aktivitas fisik berlebih terjadi peningkatan metabolisme tubuh, peningkatan inflamasi dan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, sehingga terjadi peningkatan kebocoran elektron bebas oleh mitokondria, yang akan menjadi ROS. Umumnya 2-5 % dari oksigen yang dipakai dalam proses metabolisme akan menjadi ion superoksid, sehingga saat aktivitas fisik berat terjadi peningkatan produksi radikal bebas (Sauza et al, 2005).

Aktivitas fisik berlebih dapat meningkatkan stres oksidatif karena terjadi peningkatan konsumsi O2 oleh aktivitas otot skeletal. Meskipun O2 sangat dibutuhkan ternyata juga bersifat toksik yang dapat memicu peningkatan ROS. Pada organ yang tidak mendapat O2 dan nutrisi yang cukup akan menimbulkan keadaan iskemik dan kerusakan mikrovaskular. Keadaan ini menyebabkan


(49)

20

Reperfusion Injury, yang memicu terjadinya kerusakan jaringan dan peningkatan Radikal Bebas (Miyata et al., 2011).

Gambar 2.3 Iskemia dan Reperfusion Injury (Levy, 2014)

Aktivitas fisik berlebih merangsang terjadinya leukositosis, peningkatan isoprostan dalam urine, protein carbonil (73%), catalase (96%), glutation peroxidase serta glutathione teroksidasi (25%). Dapat disimpulkan aktivitas fisik berlebih merangsang respon terhadap biomaker stres oksidatif (Margonis et al., 2007).

Pelatihan fisik yang berlebih diakibatkan oleh 1) tipe pelatihan yang tidak sesuai dengan kondisi tubuh; 2) intensitas pelatihan yang terlalu tinggi (lebih dari 87% dari denyut nadi maksimal); 3) durasi pelatihan yang terlalu panjang (lebih dari 60 menit pada setiap latihan); 4) frekuensi pelatihan yang terlalu sering (lebih dari 4 kali perminggu) (Hatfield, 2001).

Pelatihan fisik yang berlebih juga menyebabkan terjadinya penumpukan asam laktat dalam otot sehingga dapat menyebabkan stres fisik. Untuk itu


(50)

21

diperlukan masa pemulihan yaitu waktu yang dibutuhkan tubuh untuk kembali kekeadaan semula dari keadaan aktivitas pelatihan (Hatfield, 2001).

Pada latihan fisik berat berupa lari 8 km terjadi ketidakseimbangan antara prooksidan dan oksidan intraseluler yang dapat menimbulkan kerusakan hepatosit sehingga tejadi peningkatan plasma aspartat transaminase (AST/SGOT) empat kali lipat (Droge, 2002). Latihan fisik berat akut meningkatkan kadar malondialdehyde (MDA) yang sangat bermakna pada hati, darah, dan otot yang merupakan pertanda oxidative stres (Karanth dan Jeevaratnam, 2005).

2.2.4 Pelatihan Fisik Berlebih dan Osteoporosis

Pelatihan fisik merangsang respon terhadap biomaker stres oksidatif (Margonis et al., 2007). Stres oksidatif adalah keadaan dimana jumlah radikal bebas di dalam tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralkannya. Beberapa penelitian melaporkan adanya efek stres oksidatif terhadap diferensiasi dan fungsi osteoklas serta pengaruhnya terhadap peningkatan kehilangan massa tulang (Bai et al., 2004). Stres oksidatif dapat menghambat pertumbuhan tulang dengan cara menghambat diferensiasi osteoblas melalui extracellular signal-regulated kinase (ERK) dan ERK-dependent nuclear factor-kB signaling pathway (Bai et al., 2004; Shen et al., 2010) (Gambar 2.4).


(51)

22

Gambar 2.4 Stres Oksidatif Mengaktifkan Jalur NF-kB (Almeida, 2010)

Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan molekul yang sangat reaktif, mengandung molekul oksigen dan radikal bebas, termasuk hidroksil (OH) dan radikal superoksida (O2), hidrogen peroksida (H2O2), oksigen singlet, dan peroksida lemak. ROS dapat mengakibatkan stres oksidatif karena sifat radikal bebasnya menyebabkan kerusakan beberapa biomolekul, seperti DNA, protein, dan lipid (Bai et al.,2004).

ROS yang dihasilkan oleh mitokondria khususnya radikal hidroksil (OH∙),

selanjutnya produksi ROS akan mengaktivasi jalur regulasi proses inflamasi melalui mekanisme aktivasi ERK dan ERK selanjutnya akan mengaktivasi produksi Nuclear Factor kB (NF-kB) dan NF-kB akan merangsang produksi sitokin proinflamasi, seperti TNF-α dan IL-6. TNF-α dan IL-6 akan meningkatkan


(52)

23

osteoklastogenesis, menghambat apoptosis osteoklas dan menghambat aktivasi osteoblas (Vali et al., 2007).

A G I N G

Gambar 2.5 Peran ROS dalam Osteoporosis (Almeida, 2010 modified)

Penuaan tulang dikaitkan dengan meningkatnya stres oksidatif, oksidasi lipid, dan kepekaan terhadap glukokortikoid (Gambar 2.5). Peningkatan ROS menginduksi apoptosis osteoblas dan osteosit melalui aktivasi p66Shc dan juga merangsang aktivitas transkripsi FoxO. Aktivasi FoxO dapat menurunkan kadar -catenin yang merupakan faktor transkripsi T-Cell Factor (TCF) dan berperan pada proses osteoblastogenesis, sehingga aktivasi FoxO menghambat osteoblastogenesis. Oksidasi lipid melalui 4-HNE berkontribusi terhadap pembentukan ROS. Ekspresi lipoxygenase Alox15 kemudian meningkat sebagai respon peningkatan kadar ROS dan meningkatkan laju oksidasi lipid. Lipid


(53)

24

teroksidasi yang dihasilkan kemudian mengaktifkan PPAR , yang juga

menurunkan kadar -catenin. Aktivasi PPAR juga menyebabkan peningkatan

adipositas sumsum tulang. Peningkatan sensitivitas glukokortikoid osteoblas/osteosit seiring bertambahnya usia menyebabkan penurunan angiogenesis tulang, volume pembuluh darah, serta menurunkan kekuatan tulang. Glukokortikoid juga meningkatkan kadar ROS dalam tulang (Almedia, 2010).

2.3 Tulang

2.3.1 Struktur tulang

Struktur tulang terdiri dari atas sel, serat dan substansi dasar, namun komponen ekstraselnya mengapur menjadi substansi keras yang cocok untuk fungsi menyokong dan pelindung kerangka. Secara makroskopik, tulang dibedakan menjadi dua bentuk tulang yaitu tulang kompak (substansia kompakta) dan tulang spons (substansia spongiosa). Tulang kompak tampak sebagai massa utuh padat dengan ruang-ruang kecil yang hanya tampak dengan menggunakan mikroskop. Kedua bentuk tulang saling berhubungan tanpa batas jelas (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

Substansi interstisial tulang terdiri atas dua komponen utama yaitu matriks organik sebanyak 35% dan garam-garam anorganik sejumlah 65%. Matriks organik terdiri atas 90 % serat-serat kolagen yang terbenam dalam substansi dasar kaya proteoglikan, terutama kolagen tipe I. Bahan anorganik tulang terdiri atas endapan sejenis kalsium fosfat submikroskopik. Pada tulang yang aktif bertumbuh, terdapat empat jenis sel yaitu sel osteoprogenitor, osteoblas, osteosit


(54)

25

dan osteoklas. Sel osteoprogenitor paling aktif selama pertumbuhan tulang dan akan diaktifkan kembali semasa kehidupan dewasa saat pemulihan fraktur tulang dan bentuk cedera lainnya. Osteoblas adalah sel pembentuk tulang yang berkembang dan dewasa. Sel utama tulang dewasa adalah osteosit, yang terdapat dalam lacuna di dalam matriks yang mengapur. Osteoklas adalah sel yang memiliki peran dalam resorpsi tulang dalam proses remodeling tulang. Osteoklas menempati lekukan yang disebut lakuna Howship yang terjadi akibat kerja erosif osteoklas pada tulang dibawahnya (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

Sel osteoblas dan osteoklas berperan dalam pengaturan metabolisme tulang dan keduanya terlibat dalam perkembangan osteoporosis. Ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan resorpsi tulang adalah kunci dari patofisiologi dari penyakit tulang pada orang dewasa termasuk osteoporosis (Shen et al., 2010).

2.3.2 Proses pembentukan tulang

Kerangka manusia dewasa memiliki total 213 tulang yang memiliki berbagai fungsi, selain memberikan dukungan struktural untuk tubuh dan tempat melekatnya otot-otot, melindungi struktur organ vital dan membantu pemeliharaan homeostasis mineral dan keseimbangan asam-basa, berfungsi sebagai reservoir faktor pertumbuhan dan sitokin serta menyediakan lingkungan untuk hematopoesis dalam sumsum tulang. Setiap tulang selalu mengalami remodeling selama hidup untuk membantu beradaptasi dengan perubahan kekuatan biomekanik, serta perombakan tulang yang tua dan mengalami kerusakan mikro dan menggantinya dengan yang baru (Stranding, 2004).


(55)

26

Tulang memiliki beberapa fungsi penting sebagai tempat penyimpanan kalsium dan fosfor. Fungsi tersebut sangat penting untuk regulasi kalsium dan fosfor dalam darah yang dipengaruhi oleh asupan mineral dalam usus dan sekresi mineral dalam urin. Mekanisme homeostasis tulang diatur oleh hormon paratiroid (PTH), Calcitonin (CT) dan vitamin D (Lerner, 2006).

Gambar 2.6 Skema Remodeling Tulang (Subagyo, 2013)

Remodeling tulang adalah proses dimana tulang diperbarui untuk menjaga kekuatan tulang dan homeostasis mineral. Perombakan melibatkan penghapusan terus menerus tulang yang sudah tua, penggantian ini memiliki sintesis matriks protein yang baru, dan mineralisasi matriks selanjutnya untuk membentuk tulang baru. Proses remodeling tulang meresorbsi tulang yang lama dan membentuk tulang baru untuk mencegah akumulasi tulang dengan kerusakan mikro. Perombakan dimulai sebelum kelahiran dan berlanjut sampai kematian. Unit


(56)

27

remodeling tulang terdiri dari osteoklas dan osteoblas yang secara berurutan melaksanakan resorpsi tulang tua dan pembentukan tulang baru. Siklus remodeling terdiri dari empat fase berurutan yaitu aktivasi, resorpsi, pembalikan dan pembentukan (Gambar 2.4). Tempat perombakan dapat berkembang secara acak tetapi juga ditargetkan ke daerah-daerah yang memerlukan perbaikan tulang (Clarke, 2008).

Jaringan tulang tidaklah statik, tulang yang sehat memerlukan proses remodeling dan modeling secara kontinyu untuk mempertahankan fungsi penunjang dan sebagai regulator homeostasis mineral (Lerner, 2006).

2.3.3 Osteoblas

Osteoblas adalah sel pembentuk tulang dari tulang yang berkembang dan dewasa. Selama deposisi aktif dari matriks baru, mereka tersusun sebagai lapis epiteloid sel-sel kuboid atau kolumnar pada permukaan tulang. Inti osteoblas biasanya terletak pada ujung sel paling jauh dari permukaan tulang. Sitoplasmanya sangat basofilik dan sebuah kompleks Golgi tampak mencolok sebagai daerah lebih pucat antara inti dan dasar sel (Gambar 2.7). Pada mikrograph elektrik, osteoblas memiliki struktur yang diharapkan dari sel yang aktif menghasilkan protein. Retikulum endoplasmanya yang luas ditaburi ribosom dan banyak ribosom bebas terdapat dalam sitoplasma. Meskipun osteoblas terpolarisasi terhadap tulang dibawahnya, pembebasan produknya agaknya tidak terbatas pada kutub basal karena ada sel diantaranya yang berangsur-angsur diselubungi oleh sekretnya sendiri dan ditransformasi menjadi osteosit, terkurung dalam matriks tulang yang baru dibentuk. Selain mensekresi berbagai unsur


(57)

28

matriks seperti kolagen tipe I, proteoglikan, osteokalsin, osteonektin, dan osteopoetin, osteoblas juga menghasilkan faktor penumbuh yang memiliki efek autokrin dan parakrin penting pada pertumbuhan tulang. Mereka juga memiliki reseptor permukaan terhadap berbagai hormon, vitamin, dan sitokin yang mempengaruhi aktivitasnya (Kuehnel, 2003; Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

Gambar 2.7 Gambaran Histologis Osteoblas, Osteoklas dan Osteosit (http://www.siumed.edu/~dking2/ssb/remodel.htm)

2.3.4 Osteoklas

Seumur hidup tulang tetap mengalami remodeling intern dan pembaruan yang mencakup menghilangkan matriks tulang pada banyak tempat, diikuti penggantiannya berupa deposisi tulang baru. Dalam proses ini, agen resorpsi tulang adalah osteoklas, sel-sel besar sampai berdiameter 150 μm dan mengandung sampai 50 inti sel. Sel-sel ini menempati lekukan yang disebut


(58)

29

lakuna Howship, terjadi akibat kerja erosif osteoklas pada tulang dibawahnya (Gambar 2.5) (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

Osteoklas adalah sel multinukleus yang berperan dalam proses resorpsi tulang (Shen et al., 2010). Osteoklas merupakan satu-satunya sel yang dikenal mampu meresorbsi tulang. Osteoklas yang teraktivasi berasal dari sel-sel prekursor mononuklear dari monosit–makrofag. Sel prekursor monosit-makrofag mononuklear telah diidentifikasi dalam berbagai jaringan, tetapi sel prekursor monosit-makrofag mononuklear pada sumsum tulang diperkirakan memiliki osteoklas paling banyak (Clarke, 2008).

Osteoklas menunjukkan polaritas nyata, dengan intinya mengumpul dekat permukaan bebasnya yang licin, sedangkan permukaan dekat tulang menunjukkan garis-garis radial yang dulu ditafsirkan sebagai brush border. Tetapi mikrograf elektron menunjukkan bahwa mereka tidak begitu teratur dan terdiri atas lipatan-lipatan dalam dari membran yang membatasi sejumlah besar cabang mirip daun, dipisahkan oleh celah-celah sempit. Berbeda dengan brush border, yang merupakan kekhususan permukaan stabil, pada osteoklas sangat aktif dan terus mengubah konfigurasinya. Studi sinematografik merekam penjuluran dan penarikan kembali cabang-cabang bordernya dan perubahan bentuknya. Istilah deskriptif ruffled border kini banyak dipakai untuk membedakan kekhususan pada dasar osteoklas ini dari brush border pada permukaan lumen epitel absorptif (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

Receptor activator of NF-kB ligand (RANKL) dan Macrofag Colony Stimulating Factor (M-CSF) merupakan dua sitokin yang berperan dalam


(59)

30

pembentukan osteoklas. Kedua sitokin tersebut diproduksi oleh sel stromal pada sumsum tulang dan dalam membran osteoblas, serta osteoklastogenesis memerlukan keberadaan sel stromal dan osteoblas pada sumsum tulang. RANKL merupakan bagian dari keluarga TNF dan merupakan faktor penting dalam pembentukan osteoklas. M-CSF diperlukan untuk proliferasi, pertahanan dan diferensiasi dari prekursor osteoklas, untuk pertahanan osteoklas dan keperluan penataan sitoskeletal pada saat resorbsi tulang. Osteoprotegrin (OPG) merupakan protein yang mampu mengikat RANKL dengan afinitas yang tinggi untuk menghambat aksi dari reseptor RANK (Clarke, 2008).

2.3.5 Densitas tulang

Densitas tulang dipengaruhi oleh koordinasi aktivitas osteoblas dan osteoklas. Proses remodeling tulang ini tidak hanya untuk mempertahankan massa tulang, tetapi berfungsi juga untuk memperbaiki kerusakan mikro pada tulang, untuk mencegah terlalu banyak tulang yang tua dan untuk fungsi homeostasis mineral. Aktivitas osteoblas dan osteoklas dikontrol oleh berbagai macam hormon dan sitokin. Yang terpenting adalah hormon seks untuk menjaga massa tulang tetap seimbang dan jika kekurangan salah satu hormon seks baik estrogen maupun testosteron dapat menurunkan massa tulang dan meningkatkan resiko osteoporosis (Lerner, 2006).

Sifat mekanikal tulang sangat tergantung pada sifat material tulang tersebut. Pada tulang kortikal kekuatan tulangnya sangat tergantung pada kepadatan dan porositasnya. Semakin bertambahnya umur, tulang semakin keras karena mineralisasi sekunder semakin baik, tetapi juga tulang semakin getas, tidak


(60)

31

mudah menerima beban (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

Pada tulang trabekular, kekuatan tulang juga tergantung pada kepadatan tulang dan porositasnya. Penurunan densitas tulang trabekular sekitar 25%, sesuai dengan peningkatan umur 15-20 tahun dan penurunan kekuatan tulang sekitar 44%. Sifat mekanikal tulang trabekular ditentukan oleh mikroarsitekturnya, yaitu susunan trabekulasi pada tulang tersebut, termasuk jumlah, ketebalan, jarak dan interkoherensi antara satu trabekulasi dengan trabekula lainnya. Dengan bertambahnya umur, jumlah dan ketebalan trabekula akan menurun, jarak antar trabekula dengan trabekula lainnya bertambah jauh dan interkoneksi juga makin buruk karena banyaknya trabekula yang putus (Clarke, 2008; Roza dan Damron, 2014).

2.4 Osteoporosis

Menurut National Osteoporosis Foundation (2014), osteoporosis adalah penyakit tulang dengan karakteristik massa tulang yang rendah, terjadi kerusakan mikro-arsitektur jaringan tulang yang mempengaruhi kekuatan tulang dan meningkatkan risiko keropos tulang.

Osteoporosis adalah suatu keadaan yang menyebabkan tulang kehilangan massa tulang, mengubah mikroarsitektur jaringan tulang sampai melewati ambang batas sehingga tulang menjadi rapuh dan akibatnya tulang akan mudah patah. Osteoporosis ditandai dengan adanya massa tulang yang rendah yang memicu kerapuhan tulang dan meningkatkan kejadian fraktur tulang (Shen et al., 2010).


(61)

32

Definisi osteoporosis yang sering digunakan adalah definisi dari WHO dimana osteoporosis adalah suatu penyakit yang memiliki sifat berkurangnya massa tulang dan kelainan mikroarsitektur jaringan tulang, dengan akibat meningkatnya kerapuhan tulang dan risiko terjadinya fraktur tulang. Karakteristik osteoporosis ditandai dengan adanya penurunan kekuatan tulang. Kekuatan tulang ini adalah hasil integrasi antara mineralisasi, arsitektur tulang, bone turn over dan akumulasi kerusakan tulang. Osteoporosis identik dengan kehilangan massa tulang, yaitu kelainan tulang yang merujuk pada kelainan kekuatan tulang. Apabila kekuatan tulang ini menurun maka merupakan faktor predisposisi terjadinya fraktur (National Osteoporosis Foundation, 2014).

Massa tulang pada manusia dipengaruhi oleh faktor genetik dengan kontribusi dari nutrisi, keadaan endokrin, aktivitas fisik dan kondisi kesehatan saat masa pertumbuhan. Proses pembentukan tulang yang memelihara kesehatan tulang dapat dikategorikan sebagai program pencegahan, secara kontinyu mengganti tulang yang lama dan menggantikannya dengan tulang yang baru. Kehilangan massa tulang terjadi saat keseimbangan proses pembentukan tulang terganggu sehingga resorpsi tulang lebih banyak dari pembentukan tulang baru. Ketidakseimbangan ini biasanya terjadi pada orang lanjut usia dan pada wanita yang mengalami menopause. Kehilangan massa tulang dapat mengubah mikro-arsitek jaringan tulang dan meningkatkan resiko fraktur tulang (National Osteoporosis Foundation, 2014).


(62)

33

2.4.1 Penyebab Osteoporosis

Usia, jenis kelamin dan ras merupakan faktor penentu utama dari massa tulang dan resiko patah tulang. Osteoporosis dapat terjadi pada semua usia, namun hal ini lebih banyak terjadi pada orang lanjut usia. Selama masa anak-anak dan dewasa muda, pembentukan tulang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kerusakan tulang. Titik puncak massa tulang (peak bone mass) tercapai pada sekitar usia 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi tulang menjadi jauh lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan tulang. Penurunan massa tulang yang cepat akan menyebabkan kerusakan pada mikroarsitektur tulang khususnya pada tulang trabekular (National Osteoporosis Foundation, 2014).

Secara garis besar patofisiologi osteoporosis berawal dari adanya massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang. Massa puncak tulang yang rendah ini diduga berkaitan dengan faktor genetik, sedangkan faktor yang menyebabkan penurunan massa tulang adalah proses menua, menopause, faktor lain yaitu obat obatan, aktivitas fisik yang kurang serta gaya hidup tidak sehat. Akibat massa puncak tulang yang rendah disertai adanya penurunan massa tulang menyebabkan densitas tulang menurun yang merupakan faktor resiko terjadinya fraktur (National Osteoporosis Foundation, 2014).

2.4.2 Jenis-jenis osteoporosis

Osteoporosis dibagi dalam 2 bentuk, yaitu primer dan sekunder. Osteoporosis primer apabila penyebabnya berhubungan dengan usia (senile osteoporosis) atau penyebabnya tidak diketahui sama sekali (idiophatic


(1)

Tabel 2.1

Spesies Oksigen Reaktif dan Antioksidannya (Kaur and Kapoor,2001)

Spesies reaktif Antioksidan

O2 Oksigen singlet Vitamin A, ß karoten, vitamin E O2 - • Radikal bebas

superoksida

Superoksida Dismutase, ß-karoten, Vitamin E, Flavonoid

OH • Radikal bebas hidroksil Flavonoid, Albumin.

ROO• Radikal bebas peroksil Vitamin E, Vitamin C, Flavonoid

H2O2 Hidrogen Peroksida Katalase, Glutation Peroksidase, Flavonoid

LOOH Lipid peroksida Glutation peroksidase, Flavonoid.

Kandungan flavonoid pada anggur dapat meredam radikal bebas dalam tubuh melalui dua cara, yaitu meredam radikal bebas secara langsung dan mengaktivasi sintesis antioksidan endogen melalui jalur Nuclear

factor-E2-related factor 2 (Nrf2). Nrf2 merupakan faktor transkripsi yang terlibat dalam

ekspresi antioksidan endogen dan banyak protein lain yang terlibat dalam regulasi pembelahan sel dan apoptosis. Pada keadaan fisiologis, Nrf2 terikat pada

Kelch-like ECH-associated protein 1 (Keap1). Namun jika terdapat rangsangan stres

oksidatif atau radikal bebas, maka ikatan ini akan terlepas. Lepasnya ikatan ini mengaktifkan kerja Nrf2 yang merupakan faktor transkripsi untuk antioksidan endogen enzimatik seperti SOD, GSH, dan katalase (Hybertson et al., 2011; Surh, 2013).

Flavonoid yang banyak ditemukan dalam buah anggur seperti Quercetin,


(2)

eksogen yang didapat dari luar tubuh. Sebagai antioksidan, flavonoid ini dapat bekerja secara langsung meredam radikal bebas, dan bisa juga membantu aktivasi Nrf2 dengan cara memfosforilasi molekul Nrf2 sehingga Nrf2 menginduksi sistem transkripsi protein enzimatik antioksidan endogen seperti SOD, GSH, dan katalase (Hybertson et al., 2011; Surh, 2013; TRACD, 2014).

Gambar 2.9 Flavonoid dan Aktivasi Sintesis Antioksidan Endogen melalui Jalur Nrf2 (TRACD, 2014)

Fenol pada buah anggur dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi radikal bebas pada oksidasi lipid (Tapas et al., 2008).

Resveratrol menurunkan sekresi TNF-α, sehingga IL-6 menurun (Baile et

al., 2011). Penurunan sekresi TNF-α dan IL-6 menurunkan osteoklastogenesis,

meningkatkan apoptosis osteoklas dan meningkatkan aktivasi osteoblas (Vali et al., 2007).


(3)

2.6. Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)

Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) yang dipelihara. Tikus merupakan hewan laboratorium yang sering digunakan dalam berbagai macam penelitian karena telah diketahui sifat-sifatnya, mudah dipelihara, cepat berkembang biak, mudah ditangani, memiliki gen homolog dengan manusia, karakter anatomi dan fisiologi telah diketahui secara baik (Hubrecht dan Kirkwood, 2010).

Klasifikasi tikus Wistar (Russel et al., 2008): Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Family : Muridae Genus : Rattus


(4)

Gambar 2.10 Tikus Putih (Rattus norvegicus) (Kalsum et al., 2015)

2.6.1. Penggunaan Tikus

Percobaan ini menggunakan tikus Wistar (Rattus norvegicus) karena tikus jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Tikus jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan dapat hidup hingga usia 4 tahun.Ciri khas tikus galur Wistar yaitu kepala besar dan ekor pendek (Kusumawati, 2004).


(5)

Tabel 2.2

Data Biologi Tikus (Russel et al., 2008)

No. Kondisi Biologi Jumlah

1. Berat badan: -jantan 300-400 g

-betina 250-300 g

2. Lama hidup 2,5- 3 tahun

3. Temperatur tubuh 37,50 C

4. Kebutuhan: -air 8-11 ml/100g BB

-makanan 5g/100g BB

5. Pubertas 50-60 hari

6. Lama kehamilan 21-23 hari

7. Tekanan darah: -sistolik 84-184 mmHg

-diastolik 58-145 mmHg

8. Frekuensi: -jantung 330-480/menit

-respirasi 66-114/menit

9. Tidal Volume 0,6-1,25mm

Penggunaan tikus sebagai bahan percobaan lebih menguntungkan daripada mencit karena ukurannya yang lebih besar, serta tikus jantan lebih jarang berkelahi daripada mencit jantan. Sifat khas dari hewan percobaan tikus yaitu tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara umum, berat tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4 minggu


(6)

rata-rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram (Russel et al., 2008).

2.6.2. Pemberian makanan dan minuman

Bahan dasar makanan untuk tikus dapat berupa misalnya protein 20-25%, lemak 5%, karbohidrat 45-50%, serat kasar 5%, abu 4-5%, vitamin A 4000 IU/kg, vitamin D 1000 IU/kg, alfa tokoferol 30 mg/kg, asam linoleat 3 g/kg, tiamin 4 mg/kg, riboflavin 3 mg/kg, pantotenat 8 mg/kg, vitamin B1β 50 μg/kg, biotin 10 μg/kg, piridoksin 40μg/kg dan kolin 1000 mg/kg. Pemberian minum tikus ad

libitum (Ngatidjan, 2006).

2.6.3. Pemantauan keselamatan tikus

Tikus sebagai hewan coba harus diperhatikan pada saat penggunaan, yaitu kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah dipasang lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas. Selain itu, mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan pertukaran udara di dalam kandang harus baik. Setiap hari kandang dibersihkan dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih ketika merawat tikus, memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti berat badan turun, sukar bernapas ataupun mencret (Ngatidjan, 2006).


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR (VITIS VINIFERA L.) TERHADAP MOTILITAS DAN VIABILITAS SPERMATOZOA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS STRAIN WISTAR) JANTAN YANG DIBERI PAPARAN ASAP ROKOK

0 5 16

PENGARUH EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera) TERHADAP PERBAIKAN PERLEMAKAN HATI NON ALKOHOLIK PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar)

0 10 25

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis Vinifera) TERHADAP KERUSAKAN SEL OTAK ATEROSKLEROSIS PADA TIKUS PUTIH JANTAN ( Rattus Norvegicus Strain Wistar)

0 5 24

PENGARUH EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera) TERHADAP PENURUNAN RASIO LDL/HDL PLASMA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR YANG DIINDUKSI DIET TINGGI KOLESTERO

0 4 26

PENGARUH EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera) TERHADAP PENURUNAN KETEBALAN DINDING ARCUS AORTA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) ATEROSKLEROTIK

0 39 18

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera L.) TERHADAP PENURUNAN KADAR METHEMOGLOBIN TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIINDUKSI ALKOHOL

0 8 27

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL BUAH ANGGUR BALI (VITIS VINIFERA) MENGHAMBAT KERUSAKAN SEL β PANKREAS DAN PENINGKATAN KREATIN KINASE PADA TIKUS ALBINO (RATTUS NORVEGICUS) WISTAR YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH.

1 29 63

PEMBERIAN EKSTRAK KULIT POHON PINUS MARITIM PERANCIS (Pinus pinaster) MENCEGAH PENURUNAN SEL BETA PANKREAS DAN MENCEGAH PENINGKATAN GLUKOSA DARAH PUASA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN.

1 2 59

PEMBERIAN EKSTRAK KULIT POHON PINUS MARITIM PERANCIS (Pinus pinaster) MENCEGAH PENURUNAN SEL BETA PANKREAS DAN MENCEGAH PENINGKATAN GLUKOSA DARAH PUASA TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) JANTAN YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN.

0 0 59

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ANGGUR HITAM (Vitis vinifera) TERHADAP KADAR High Density Lipoprotein (HDL) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus ) JANTAN YANG DIINDUKSI HIPERKOLESTEROL - Repository UNRAM

0 0 8