PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL BUAH ANGGUR BALI (VITIS VINIFERA) MENGHAMBAT KERUSAKAN SEL β PANKREAS DAN PENINGKATAN KREATIN KINASE PADA TIKUS ALBINO (RATTUS NORVEGICUS) WISTAR YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH.

(1)

TESIS

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL BUAH ANGGUR

BALI (

VITIS VINIFERA

)MENGHAMBAT

KERUSAKAN SEL β PANKREAS DAN

PENINGKATAN KREATIN KINASE PADA TIKUS

(

RATTUS NORVEGICUS

) WISTAR YANG DIINDUKSI

PELATIHAN FISIK BERLEBIH

BOEDI PRIHATINI YENNIASTUTI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

i

TESIS

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL BUAH ANGGUR

BALI (

VITIS VINIFERA

)

MENGHAMBAT

KERUSAKAN SEL β PANKREAS DAN

PENINGKATAN KREATIN KINASE PADA TIKUS

(

RATTUS NORVEGICUS

) WISTAR YANG DIINDUKSI

PELATIHAN FISIK BERLEBIH

BOEDI PRIHATINI YENNIASTUTI NIM. 1390761008

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL BUAH ANGGUR

BALI (

VITIS VINIFERA

) MENGHAMBAT

KERUSAKAN SEL β PANKREAS DAN

PENINGKATAN KREATIN KINASE PADA TIKUS

(

RATTUS NORVEGICUS

) WISTAR YANG DIINDUKSI

PELATIHAN FISIK BERLEBIH

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

BOEDI PRIHATINI YENNIASTUTI NIM. 1390761008

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

Lembar Pengesahan


(4)

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 15 Januari 2016

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.DR.dr.J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And. Prof. DR.dr Wimpi I Pangkahila Sp And FAACS

NIP. 194402011964091001 NIP. 194612131971071001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr.dr.Gde Ngurah Indraguna Pinatih,M.Sc,Sp.GK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)

NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001

Tesis Ini Telah Diuji Pada Tanggal : 15 Januari 2016


(5)

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana No : 106/UN14.4/HK/2016,Tanggal : 4 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis adalah:

Ketua : Prof. Dr..dr.J.Alex Pangkahila,.,M.SC., Sp.And.

Anggota : 1. Prof. Dr..dr Wimpie I. Pangkahila, Sp. And., FAACS

2.Prof. dr. N. Agus Bagiada, Sp.BIOK

3.Prof. dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK

4.dr. Ni Nengah Dwi Fatmawati, Sp.MK,Phd.

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA

: dr. Boedi Prihatini Yenniastoeti

NIM : 1390761008


(6)

PROGRAM STUDI : ILMU BIOMEDIK

JUDUL TESIS :

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL

BUAH ANGGUR BALI ( VITIS VINIFERA) MENGHAMBAT

KERUSAKAN SEL β PANKREAS DAN PENINGKATAN KREATIN

KINASE

PADA TIKUS ( RATTUS NORVEGICUS) WISTAR

YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila dikemudian hari terbukit terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 17 Desember 2015

(dr. Boedi P Yenniastoeti)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankan penulis memanjatkan puji syukur yang

sedalam-dalamnya kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Tulisan ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang telah dijalankan oleh penulis untuk memperoleh gelar Magister pada program Magister Studi Ilmu Kedokteran Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik,


(7)

Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. KEMD. dan Prof. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)., sebagai Direktur Program Pascasarjana atas kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana.

Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.Sp.And. selaku pembimbing utama yang dengan penuh perhatian dan kesabaran memberikan petunjuk, dorongan, pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan

tesis ini.

Terima kasih sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And. FAACS. selaku pembimbing II yang sudah memberikan inspirasi penulis untuk mengikuti program pendidikan Anti Aging Medicine, meluangkan waktu dan dengan sabar serta teliti memberikan arahan, masukan, pengetahuan serta bimbingan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada para penguji tesis ini, yaitu Prof. Dr. I Gusti Made Aman, Sp.FK., Prof.dr. N. Agus Bagiada, Sp. Biok. dan dr. Ni Nengah Dwi Fatmawati, Sp. MK, PhD. yang yang telah dengan sabar memberikan masukan, saran, sanggahan, bimbingan dan koreksi sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Terima kasih sebesar besarnya kepada Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT. MKes. yang telah memberikan dukungan moril selama penulis menjalani program pendidikan sampai selesai.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Ananda Ferbian Milas Siswanto, SKH atas bantuannya yang tak terkira sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Ilmu

Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine, Program Pascasarjana

Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama masa pendidikan yang sangat bermanfaat untuk masa depan penulis. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada seluruh staf biomedik bapak Eddy Suantara,


(8)

Geg Wahyu , Geg Ami dan Geg Enni yang selalu membesarkan hati penulis selama studi, serta kepada semua teman-teman selama perkuliahan, terutama dr. Liza Suzanna Bonora dan dr. Eveline Margo, yang telah memberikan semangat, bantuan moril dan materil serta perhatian kepada penulis sepanjang menempuh pendidikan dan menyelesaikan penulisan tesis.

Akhirnya penulis juga sampaikan terima kasih kepada Ananda tercinta Astari Ekaningtyas atas dukungan, pengertian, pengorbanan dan kesabaran yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan tesis ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada mendiang ayah dan ibu yang telah membesarkan dan mengasuh penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segenap kritik, saran dan masukan sangat diharapkan. Semoga apa yang tertulis dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa, senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

Denpasar, Desember 2015

Penulis ABSTRAK

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL BUAH ANGGUR BALI (VITIS VINIFERA)MENGHAMBAT KERUSAKAN SEL β PANKREAS DAN PENINGKATAN KREATIN KINASE PADA TIKUS ALBINO (RATTUS

NORVEGICUS) WISTAR YANG DIINDUKSI PELATIHAN FISIK BERLEBIH.

Pelatihan fisik berlebih adalah volume latihan yang terlalu banyak, intensitas

pelatihan yang terlalu tinggi, durasi pelatihan yang terlalu panjang. Peningkatan

penggunaan oksigen menyebabkan terjadinya peningkatan kebocoran elektron

dari mitokondria yang akan menjadi Reactive Oxygen Species yang dapat merusak

sel β pankreas. Antioksidan dapat menghambat kerusakan oksidasi pada suatu molekul target. Buah anggur Bali merupakan sumber antioksidan dengan kandungan polifenol dan antosianin yang cukup tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa pemberian ekstrak ethanol buah anggur dapat

menghambat kerusakan sel β pankreas dan peningkatan kadar kreatin kinase pada


(9)

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan completely randomized posttest only control group design yang menggunakan 36

ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan, dewasa (berumur 2,5-3 bulan), yang

terbagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing berjumlah 18 ekor tikus, satu kelompok sebagai kelompok kontrol yang diberikan pelatihan fisik berlebih (P0) dan kelompok lainnya adalah kelompok perlakuan yang diberi pelatihan berlebih dan ekstrak ethanol buah anggur bali dengan dosis 25g/kgBB (P1).

Hasilnya adalah rerata jumlah sel β pankreas pada kelompok kontrol (P0)

setelah perlakuan (post test) 30,00±3,56, sedangkan pada kelompok perlakuan (P1) adalah 43,63±7,74. Pada kedua kelompok ini sesudah perlakuan memiliki

rerata jumlah sel β pankreas yang berbeda bermakna (p<0,001). Kadar kreatin kinase (CK) kelompok kontrol (P0) sesudah perlakuan (post-test) adalah 289,56±18,82 mU/mL, sedangkan pada kelompok perlakuan (P1) adalah 243,56±19,30 mU/mL. Pada kedua kelompok ini sesudah diberikan perlakuan

memiliki rerata kadar kreatin kinase (CK) yang berbeda bermakna (p<0,001).

Dari penelitian ini disimpulkan pemberian ekstrak ethanol buah anggur bali

(vitis Vinifera) dapat menghambat kerusakan sel β pankreas dan peningkatan

kadar kreatin kinase pada tikus wistar yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.

Kata kunci : ekstrak ethanol buah anggur, sel β pankreas, kreatin kinase, pelatihan fisik berlebih.

ABSTRACT

ETHANOL EXTRACT OF BALINESE GRAPES ( Vitis Vinifera) INHIBITS THE DAMAGE OF BETHA CELL PANCREAS THE INCREASE OF KREATIN KINASE ON WISTAR RAT (Rattus Norvegicus ) INDUCED BY

OVERTRAINING

Overtraining is an exercise that is high-volume, high intensity, and long

duration or high frequency. The heavier physical activities, the more oxygen needed for metabolism. An increase in oxygen usage causes an increase in electron leakage in a mythochodria. Thus, it will become Reactive Oxygen Species or ROS. Antioxidant inhibits an oxidative damage in a target molecule. One of the sources of antioxidant is grapes, which has high polyphenol and antocyanin. The purpose of this study was to prove that ethanol extract of

Balinese grapes (vitis vinifera) up inhibits β cell pancreas damage and increases

creatine kinase on male albino rat induced by overtraining.

This study was an experimental research using completely randomized posttest only control group design that used 36 white male albino rat (Rattus norvergicus), aged 2.5-3 months which were divided into two groups with 18 populations in each group. One group was as a control group in which the rat were


(10)

overtrained (P0) and administered with 25g/kgBB dosage of ethanol extract of Balinese grapes (P1).

The result of this study showed the average amount of β pancreas cell in

overtraining group (P0) that was administered aquabidest after being over trained (post-test) was 30.00±3.56; on the other hand, the group which was over trained and administered 25g/kgBB (P1) dosage of ethanol extract of Balinese grapes, the

average amount of β pancreas cell was 43,63±7,74. Both groups had significant difference in the average amount of β pancreas cell < 0. 001. The average level of

creatin kinase (ck) in groups with overtraining (P0) after being over trained (posttest) and administered aquabidest was 289,56±18,82mU/mL; on the other hand, the group that was overtrained and administered with 25g/kgBB dosage of (P1) ethanol extract of Balinese grapes, the CK was 243,56±19,30mU/mL. Both groups was also significantly difference in cratine kinase (CK) (p<0,001).

The conclusion of this study was the administration of ethanol extract of

Balinese grapes inhibited the damage on β pancreas cell and increased the level

of creatine kinase on wistar rat that were induced with overtraining.

Keywords: ethanol extract of grapes, β pancreas cell, creatine kinase, overtraining.

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ... i

PRASYARAT GELAR ……. ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ……… ... iv

PENETAPAN PANITIA PENGUJI …… ... v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ………... vi

UCAPAN TERIMA KASIH …… ... vii

ABSTRAK . ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR SINGKATAN ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1


(11)

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan umum …….. ... 5

1.3.2 Tujuan khusus ….. ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Keilmuan ……. ... 5

1.4.2 Praktis ……. ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 7

2.1 Proses Penuaan ... 7

2.1.1 Teori proses penuaan (Aging) ... 7

2.1.2 Tanda-tanda penuaan ... 9

2.2 Radikal Bebas ... 11

2.2.1 Definisi radikal bebas ... 11

2.2.2 Sifat-sifat radikal bebas ... 13

2.2.3 Tahapan terbentuknya radikal bebas ... 15

2.2.4 Peranan radikal bebas dalam penuaan... 16

2.3 Stres Oksidatif ... 17

2.3.1 Keadaan yang menimbulkan stress oksidatif ... 17

2.3.2 Peroksidasi lipid ... 18

2.4 Antioksidan ... 19

2.4.1 Definisi antioksidan ... 19

2.4.2 Jenis-jenis antioksidan ... 20

2.5 Pelatihan Fisik ... 22

2.6 Pelatihan Fisik Berlebih ... 23

2.6.1 Pembentukan ROS pada pelatihan fisik berlebih … . 24 2.6.1 Patofisiologi pelatihan fisik berlebih …. ... 29

2.6.2 Diagnosa dan biomarker pelatihan fisik berlebih ... .. 29

2.7 Dampak Pelatihan Fisik Berlebih pada Pankreas ... 30

2.8 Dampak Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Otot ... 33

2.9 Anggur Bali ( Vitis vinifera ) ... 36


(12)

2.9.2 Kandungan buah anggur bali ... 38

2.9.2.1 Flavonoid ... 39

2.9.2.2 Asam Fenol ... ... 41

2.9.2.3 Resveratrol/Stilbene ... ... 42

2.9.3 Manfaat buah anggur bali ... 42

2.10 Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus) ... ... 43

2.10.1 Penggunaan tikus (Rattus norvegicus) ... 43

2.10.2 Pemberian makanan dan minuman ... ... 44

2.10.3 Pemantauan keselamatan tikus ... ... 44

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 46

3.1 Kerangka Berpikir ... 46

3.2 Konsep Penelitian ... 48

3.3 Hipotesis Penelitian ... 49

BAB IV METODE PENELITIAN ... 50

4.1 Rancangan Penelitian ... 50

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

4.3 Populasi dan Sampel ... 51

4.3.1 Populasi ... 51

4.3.2 Kriteria sampel ... 51

4.3.3 Besaran sampel... 52

4.3.4 Teknik pengambilan sampel ... 53

4.4 Variabel ... 53

4.4.1 Hubungan antar variabel ... 54

4.4.2 Definisi operasional variabel ... 54


(13)

4.5.1 Bahan penelitian... 55

4.5.2 Hewan percobaan ... ... 56

4.6 Instrumen Penelitian ... 56

4.7 Prosedur Penelitian ... 57

4.7.1. Pemilihan dan pemeliharaan hewan uji... ... 57

4.7.2 Prosedur perlakuan ... ... 57

4.7.3. Prosedur pembuatan preparat histopatologi .. ... 58

4.7.4. Prosedur pewarnaan .. ... 59

4.7.5. Pemeriksaan kadar Creatine kinase ... 61

4.8 Analisa Data ... ... 63

4.9. Alur Penelitian ... 64

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 65

5.1 Hasil Penelitian ... 65

5.1.1 Analisis deskriptif ... 65

5.1.2 Uji normalitas data ... 68

5.1.3 Uji homogenitas data antar kelompok ... 5.1.4 Uji komparabilitas jumlah sel β pankreas setelah 69 perlakuan ... 5.1.5 Uji komparabilitas data kadar Creatine Kinase (CK) 70 setelah perlakuan ... 71

5.2 Pembahasan ... 73

5.2.1 Subjek penelitian... 73

5.2.2 Distribusi dan homogenitas data ... 73

5.2.3 Pengaruh pemberian ekstrak ethanol anggur bali ... 74


(14)

6.1 Simpulan ... 80 DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN ... 89


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Spesies oksigen reaktif dan antioksidannya ... 21

2.2 Rata-rata jumlah sel-β Pankreas Mencit Dalam Pulau Langerhans …….. ... 33

2.3 Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Etanol Anggur Bali ….. ... 38

2.4 Data Biologis Tikus ... 44

4.1 Standar Pengenceran Pemeriksaan Kadar Kreatin Kinase…… ... 61

4.2 Bahan Colorimetri Reaction Mix ,,,,, ... 62

5.1 Hasil Analisis Deskriptif Data Jumlah Sel β Pankreas ... 67

5.2 Hasil Analisis Deskriptif Data Kadar Creatine Kinase (CK) ... 67

5.3 Hasil Uji Normalitas Data Jumlah Sel Β Pankreas Antar Kelompok 5.4 Hasil Uji Normalitas Data Kadar Creatine Kinase (CK) Antar 68 Kelompok ... 5.5 Hasil Uji Homogenitas Data Jumlah Sel Β Pankreas Antar 68 Kelompok ... 5.6 Hasil Uji Homogenitas Data Kadar Creatine Kinase (CK) Antar 69 Kelompok ... 69

5.7 Rerata Jumlah Sel Β Pankreas Antar Kelompok ...

5.8 Rerata Kadar Creatine Kinase (CK) Antar Kelompok sesudah diberikan

perlakuan……….

70

71

DAFTAR GAMBAR


(16)

2.1 Sumber ROS dan Efek yang Ditimbulkan bagi Tubuh………….… 13

2.2 Jalur Xanthine Oxidase Pembentukan Radikal Bebas ……….…… 25

2.3 Vascular ischaemia and reperfusion injury ….. ……… 26

2.4 Aktivasi-Adaptasi seluler terhadap ROS pada overtraining..... ... 28

2.5 Mekanisme terjadinya diabetes melitus tipe I yang teraktivasi oleh ROS intraseluler ….. ... 31

2.6 Patofisiologi Kerusakan Sel Akibat Overtraining .. ... 34

2.7 Struktur Flavonoid ... ... 50

3.1 Konsep Penelitian ... 48

4.1 Rancangan Penelitian ... 50

4.2 Hubungan antar variabel ... ... 54

4.3 Alur Penelitian ... 64

5.1 Histopatologi Pankreas Tikus Kelompok P0 ... 66

5.2 Histopatologi Pankreas Tikus Kelompok P1 ... 66

5.3 Perbandingan Jumlah Sel beta Pankreas antar Kelompok ... 71

5.4 Perbandingan Kadar Creatine Kinase (CK) antar Kelompok ... 72

DAFTAR SINGKATAN

AAM : Anti Aging Medicine


(17)

ADP : Adenosin Diphospat

ATP : Adenosin Triphospat

AST : Aspartat Transaminase

CD : Conjugated Dienes

CK : Creatine Kinase

DCs : Dendritic Cells

DTH : Delayed Type Hypersensitivity

FITT : Frequency Intensity Type Time

GSH : Gluthathione

GST : Gluthathione-s-Transferase


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Keterangan Laik Etik ... 89

2. Hasil Analisis Fitokimia ... 90

3. Analisis Deskriptif ... 91

4. Analisis Normalitas ... 92

5. Analisis Homogenitas ... 93

6. Analisis Komparasi ... 94


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perkembangan ilmu Anti-Aging Medicine telah membawa harapan baru untuk

memperpanjang umur manusia dengan memperlambat proses penuaan dan menjaga

fungsi tubuh tetap optimal. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh para dokter

klinisi maupun peneliti untuk mengidentifikasi dan menghambat penyebab-penyebab

penuaan. Diharapkan proses penuaan dapat dicegah, diperlambat atau bahkan

dikembalikan dengan upaya-upaya menghambat faktor penyebab terjadinya penuaan

tersebut, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.

Aktivitas fisik merupakan salah satu cara untuk menghambat penuaan.

Aktivitas fisik yang kurang maupun berlebihan akan menyebabkan pengeluaran

hormon yang tidak seimbang sehingga menyebabkan kerusakan sel (Pangkahila,

2011).

Penelitian menunjukkan dengan olahraga teratur akan menurunkan risiko

kematian tiga kali lebih rendah dibandingkan orang yang tidak melakukan olahraga

(Nedley, 2009). Sebaliknya bila olahraga yang dilakukan berlebihan akan

menimbulkan efek yang buruk juga. Hal ini sering terjadi terutama pada atlet yang

berkompetisi. Penelitian pada 387 atlet yang meninggal mendadak saat berkompetisi


(20)

2

menunjukkan bahwa penyebab kematian terbanyak karena hipertrofi kardiomiopati

yang mungkin disebabkan oleh karena pelatihan fisik berlebih (Maron, 2003).

Banyak penelitian menunjukkan bahwa pelatihan fisik berlebih dapat

mengakibatkan stres oksidatif. Hal ini karena aktivitas fisik berlebih dapat

meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 - 200 kali lipat. Umumnya 2-5 % dari

oksigen yang dipakai dalam proses metabolisme akan menjadi ion superoksid,

sehingga saat aktivitas fisik berat terjadi peningkatan produksi radikal bebas yang

akan memicu terjadinya stres oksidatif dan dapat merusak semua sel di dalam tubuh

termasuk sel-sel pankreas dan sel otot skeletal (Sauza et al., 2005).

Kadar enzim creatine kinase dalam serum merupakan penanda atau marker

yang potensial untuk mengetahui status fungsional jaringan otot. Peningkatan enzim

creatine kinase dalam serum menggambarkan indeks nekrosis seluler dan kerusakan

jaringan otot pada keadaan cedera akut maupun kronis. Perubahan kadar enzim otot

dan isoenzimnya juga dapat ditemukan pada subyek normal dan pada atlet setelah

pelatihan berat. Enzim creatine kinase (CK) merupakan enzim khas yang terdapat

dalam otot (Brancaccio et al., 2007).

Teori radikal bebas mengenai proses penuaan menjelaskan bahwa radikal bebas

merusak sel-sel tubuh manusia (Goldman dan Klatz, 2003). Bila pembentukan

radikal bebas di dalam tubuh terjadi secara berlebihan akan terjadi kerusakan

oksidatif yang berujung pada kerusakan berbagai makromolekul dalam sel yang

berperan dalam pathogenesis penyakit degeneratif (Winarsi, 2007). Reaksi


(21)

3

membran sel yang mengakibatkan munculnya berbagai kondisi patologis (Woolf et

al., 2005). Akibat akhir dari reaksi peroksidasi lipid tersebut yaitu terputusnya rantai

asam lemak menjadi berbagai senyawa yang bersifat toksik terhadap sel, antara lain

berbagai aldehida seperti malondialdehid (MDA) dan bermacam-macam hidrokarbon

(Ayala et al., 2014).

Salah satu antioksidan golongan flavonoid adalah antosianin. Antosianin

termasuk golongan flavonoid yang merupakan antioksidan non enzimatik atau

antioksidan pemutus rantai (Winarsi, 2007). Sedangkan kulit anggur kaya akan

flavonoid (Young et al., 2000).

Antosianin merupakan antioksidan yang memiliki potensi tinggi sebagai

scavenger radikal bebas dan bersifat protektif terhadap stres oksidatif. Selain itu

antosianin mampu menghambat terjadinya peroksidasi lipid dalam tubuh (Cao et al.,

2001). Ekstrak biji anggur dikenal memiliki khasiat antioksidan yang kuat, terutama

kandungan proanthocyanidins yang memiliki kekuatan antioksidan lebih besar jika

dibandingkan dengan antioksidan lain seperti vitamin C, vitamin E dan β-karoten

dalam melindungi sel dari kerusakan DNA dan peroksidasi lipid akibat reaksi

berantai radikal bebas (Pugliese et al., 2013).

Hasil analisis fitokimia Ekstrak Ethanol Buah Anggur Bali di Unit Layanan

Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana menunjukkan

bahwa ekstrak ethanol buah anggur Bali mengandung flavonoid sebanyak 183,77

mg/100gQE, dengan total fenol sebesar 6.25%b/bGAE, kandungan antosianin sebesar


(22)

4

bahwa ekstrak ethanol buah anggur memiliki kapasitas antioksidan sebesar 487,98

ppm GAEAC dengan Inhibition Capacity 50% (IC50%) sebesar 1,72 mg/ml.

( Lampiran 2. Hasil analisis Fitokimia)

Atas dasar hal tersebut peneliti ingin membuktikan bahwa ekstrak ethanol

buah anggur Bali mempunyai efek proteksi terhadap kerusakan sel β pankreas dan sel

otot skeletal pada tikus (Rattus Norvegicus) karena stress oksidatif yang diakibatkan

pelatihan fisik berlebih. Peningkatan kadar creatine kinase dalam serum merupakan

indikator kerusakan otot skeletal. Penelitian ini tidak dapat dilakukan pada manusia

karena pemeriksaan histopatologis memerlukan biopsi pankreas.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan

permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah ekstrak ethanol buah anggur bali yang diberikan secara oral dapat

menghambat kerusakan sel β pankreas pada tikus (Rattus Norvegicus) jantan

yang diinduksi pelatihan fisik berlebih?

2. Apakah ekstrak ethanol buah anggur bali yang diberikan secara oral dapat

menghambat peningkatan creatine kinase pada tikus (Rattus Norvegicus)


(23)

5

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Untuk membuktikan efek proteksi dari ekstrak ethanol buah anggur Bali

terhadap stres oksidatif yang diinduksi pelatihan fisik berlebih dimana hal tersebut

dapat menimbulkan kerusakan sel β pankreas dan otot skletal.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk membuktikan bahwa ekstrak ethanol buah anggur bali yang diberikan

secara oral dapat menghambat kerusakan sel β pankreas pada tikus putih galur

wistar jantan yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.

2. Untuk membuktikan bahwa ekstrak ethanol buah anggur bali yang diberikan

secara oral dapat menghambat peningkatan creatine kinase pada tikus putih

galur wistar jantan yang diinduksi pelatihan fisik berlebih.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Keilmuan

Menambah wawasan dan kontribusi bagi ilmu pengetahuan dan penelitian

selanjutnya tentang ekstrak ethanol buah anggur sebagai sumber antioksidan yang

mempunyai efek proteksi terhadap stress oksidatif yang diinduksi pelatihan fisik

berlebih dimana hal tersebut dapat menimbulkan kerusakan sel β pankreas dan otot


(24)

6

1.4.2 Praktis

Bila manfaat antioksidan ekstrak ethanol buah anggur Bali dapat dibuktikan,

maka bisa dipergunakan sebagai alternatif fitofarmaka dalam menangani penyakit

penyakit tertentu yang berkaitan dengan stres oksidatif.

Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan pertimbangan

pada pelatihan fisik bagi atlit yang berkompetisi, masyarakat pengguna pusat latihan

fisik dan kebugaran, serta pusat pembentukan tubuh agar tidak berlebihan dalam


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

2.1.1 Teori proses penuaan (Aging)

Ilmu kedokteran semakin hari semakin berkembang begitu cepatnya,

sehingga memunculkan ilmu baru dalam hal ini ialah Anti-Aging Medicine (AAM)

dengan membawa konsep baru dalam dunia kedokteran yaitu bahwa “Penuaan

diperlakukan sebagai penyakit sehingga dapat dicegah atau diobati bahkan

dikembalikan ke keadaan semula “sehingga usia harapan hidup dapat menjadi

lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan berfungsi seperti

pada usia yang lebih muda; maka penampilan dan kualitas Klatz, 2003;

Pangkahila, 2007). Fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap

optimal dengan mencegah proses penuaan , sehingga organ tubuh dapat hidupnya

lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007).

Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan

fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan

dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan

dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lebih lambat

tergantung kesehatan masing-masing individu (Pangkahila, 2007).

Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti Aging Medicine)

adalah kelemahan dan kegagalan fisik dan mental yang berhubungan dengan

aging yang normal disebabkan karena disfungsi fisiologik (Goldman dan Klatz,

2003).


(26)

8

Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan

tetapi pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

teori wear dan tear dan teori program. Teori wear dan tear meliputi kerusakan

DNA, glycosilation (glikosilasi), proses imun, dan neuroendocrine theory

(Pangkahila, 2007).

Menurut Goldman dan Klatz (2003) ada 4 teori pokok dari aging, yaitu:

1. Teori “wear dan tear

Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan

disalahgunakan (overuse dan abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal,

kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan

lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena

sinar ultraviolet, dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak

terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.

2. Teori Neuroendokrin

Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.

Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,

yaitu sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros

dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya.

Usia yang makin bertambah mengakibatkan tubuh memproduksi hormon dalam

jumlah makin sedikit , akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.

3. Teori Kontrol Genetik

Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita


(27)

9

mental tertentu. Penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita

menjadi tua dan berapa lama kita hidup.

4. Teori Radikal Bebas

Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi

akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas

sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan.

Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik

elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas baru oleh

karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal

bebas baru tersebut akan merusak molekul lain sehingga menimbulkan akumulasi

kerusakan molekul dan berakibat terjadinya kerusakan sel, bahkan kematian sel.

Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA,

lemak, dan protein. Semakin bertambahnya usia akan menyebabkan akumulasi

kerusakan sel akibat radikal bebas sehingga akan mengganggu metabolisme sel,

juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian.

Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang

menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan

menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana

mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama

oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2003).

2.1.2 Tanda-tanda penuaan

Proses penuaan dimulai dengan menurunnya bahkan terhentinya fungsi


(28)

10

gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dibagi dua bagian, yaitu:

1. Tanda fisik, seperti massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut,

daya ingat berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun

dan sakit tulang.

2. Tanda psikis antara lain menurunnya gairah hidup, sulit tidur, mudah cemas,

mudah tersinggung, dan merasa tidak berarti lagi.

Akan tetapi proses penuaan tidak terjadi begitu saja dengan langsung

menampakkan perubahan fisik dan psikis seperti di atas.

Menurut Pangkahila (2007), proses penuaan berlangsung melalui tiga tahap

sebagai berikut:

1) Tahap subklinik (usia 25-35 tahun):

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun, yaitu

hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen. Pembentukan radikal

bebas yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh. Kerusakan

ini biasanya tidak tampak dari luar. Pada tahap ini orang merasa dan tampak

normal, tidak mengalami gejala dan tanda penuaan. Umumnya rentang usia ini

dianggap usia muda dan normal, walaupun pada tahap ini banyak perempuan usia

muda pengguna kontrasepsi mengalami sex disorder.

2) Tahap transisi (usia 35-45 tahun):

Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Massa otot

berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun. Akibatnya, tenaga dan

kekuatan terasa hilang, sedang komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini


(29)

11

darah dan obesitas. Pada tahap ini gejala mulai muncul, yaitu penglihatan dan

pendengaran menurun, rambut putih mulai tumbuh, elastisitas dan pigmentasi

kulit menurun, dorongan dan bangkitan seksual menurun. Pada tahap ini orang

merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua. Kerusakan ekspresi genetik oleh

radikal bebas mulai tampak dan dapat mengakibatkan penyakit, seperti kanker,

arthritis (radang sendi), berkurangnya memori, penyakit jantung koroner, dan

diabetes.

3) Tahap Klinik (usia 45 tahun ke atas):

Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut, yang meliputi DHEA

(dehydroepidanrosterone), melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen, dan

juga hormon tiroid. Densitas tulang dan massa otot mulai menurun, tetapi lemak

tubuh dan berat badan meningkat. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem

organ tubuh mulai mengalami kegagalan. Disfungsi seksual merupakan keluhan

yang penting dan mengganggu keharmonisan banyak pasangan.

Melihat ketiga tahap ini, ternyata proses penuaan tidak selalu harus

dinyatakan dengan gejala atau keluhan. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang

tidak mengalami gejala atau keluhan bukan berarti tidak mengalami proses

penuaan. Sebagai pegangan untuk mengatasi proses penuaan, kita jangan

menunggu sampai muncul gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila, 2007).

2.2 Radikal Bebas

2.2.1 Definisi radikal bebas

Secara biokimia, proses pelepasan elektron dari suatu senyawa disebut


(30)

12

dapat menerima atau menarik elektron disebut oksidan. Oksidan dapat

mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel

yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, maupun komponen struktural

Sering kali pengertian oksidan dan radikal bebas dianggap sama karena

keduanya memiliki kemiripan sifat. Kedua jenis senyawa ini memiliki aktivitas

yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama tetapi dengan proses yang

berbeda (Winarsi, 2007). Walaupun ada kemiripan dalam sifatnya namun dari

sudut kimia keduanya harus dibedakan. Oksidan dalam pengertian ilmu kimia

adalah senyawa penerima elektron (electron acceptor), yaitu senyawa yang dapat

menarik elektron. Sebaliknya radikal bebas adalah atom molekul (kumpulan

atom) yang memiliki elektron yang tidak berpasangan atau unpaired electron.

Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan adalah kecenderungannya untuk

menarik elektron. Itulah sebabnya, radikal bebas digolongkan dalam oksidan.

Namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas (Suryohudoyo, 2000)

Oksidan yang dapat merusak sel berasal dari berbagai sumber yaitu :

1. Yang berasal dari tubuh sendiri, yaitu senyawa yang berasal dari proses

fisiologis, namun oleh karena suatu sebab terdapat dalam jumlah banyak

2. Yang berasal dari proses peradangan.

3. Yang berasal dari luar tubuh seperti polutan, obat-obatan

Yang dimaksud dengan radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul

yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital

luarnya. Radikal bebas lebih berbahaya dibandingkan dengan senyawa oksidan


(31)

13

2.2.2 Sifat-sifat radikal bebas

Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu :

1. Reaktivitas tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron.

2. Mengubah suatu melokul menjadi suatu radikal bebas baru.

Berkaitan dengan tingginya reaktivitas senyawa radikal bebas

mengakibatkan molekul lain diubah menjadi senyawa radikal bebas baru. Radikal

bebas baru tersebut bila bertemu molekul lain akan membentuk radikal bebas baru

lagi yang berkurang reaktivitasnya. Hal tersebut terjadi berulangkali sehingga

Gambar 2.1Sumber Reactive Oxygen Species (ROS) dan Efek yang Ditimbulkan bagi Tubuh (Li, 2013)

ROS dikeluarkan sebagai hasil dari metabolism aerobic dalam mitochondria dan aktivasi dari xanthin oxidase, jenis sel dalam sistim kekebalan tubuh dapat menyebabkan produksi ROS. Levels ROS yang cukup diperlukan untuk mempertahankan kapasitas buffering allostatic redox (ABC), yang akanmeningkatkan kebugaran fisik.


(32)

14

akan terjadi reaksi berantai (chain reaction). Diantara senyawa oksigen

reaktif, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena

reaktivitasnya sangat tinggi.

Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk

memepertahankan integritas sel yaitu :

1. Asam lemak, khususnya asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen

penting fosfolipid penyusun membran sel.

2. DNA, yang merupakan pembawa genetik sel.

3. Protein, yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor,

antibodi, sitoskeleton.

Dari ketiga molekul target tersebut yang paling rentan terhadap serangan

radikal bebas adalah asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas di dalam tubuh

dapat merusak asam lemak tak jenuh ganda pada membran sel sehingga membran

sel menjadi rapuh, akhirnya terjadi kerusakan membran sel. Senyawa oksigen

reaktif ini juga mampu merusak membran sel pembuluh darah, sehingga terjadi

kerusakan dinding pembuluh darah dan dapat berakibat meningkatkan

pengendapan kolesterol dan menimbulkan aterosklerosis.

Jaringan lipid yang dirusak oleh senyawa radikal bebas akan membentuk

peroksida dan senyawa lain yang bersifat toksik, dimana peroksida ini dapat

merusak basa DNA dan mengacaukan sistim info genetika, yang dapat berlanjut

pada pembentukan sel kanker selain juga memicu munculnya penyakit


(33)

15

2.2.3 Tahapan terbentuknya radikal bebas

Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui 3

tahapan reaksi (Winarsi, 2007) yaitu:

1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas.

Misal:

2 2 ---. Fe +++ + OH - + • OH 2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal.

3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau

penangkap radikal, sehingga potensi propagasi rendah.

Reduksi oksigen memerlukan pengalihan empat elektron (elektron transfer).

Pengalihan ini tidak dapat sekaligus tetapi dalam empat tahapan, yang setiap

tahapan hanya melibatkan pengalihan satu elektron. Oleh karena oksigen hanya

dapat menerima satu elektron pada setiap tahap maka terjadi dua hal yaitu :

1. Kurangnya reaktif oksigen

2. Terjadinya senyawa senyawa oksigen reaktif seperti O • ( ion peroksida),

H O ( hydrogen peroksida ) , • OOH ( radikal peroksil)

Reaksi–reaksi di bawah ini merupakan pengalihan satu elektron senyawa-

senyawa oksigen. Pembentukan senyawa oksigen reaktif tersebut secara singkat

dapat sebagai berikut :

+ e- --- O - • ( ion peroksida)

+ e- + H+ ---• OOH (radikal peroksil)

+ 2e- + 2 H + --- H O (hydrogen peroksida)

+ 3 e- + 3H + --- • OH + H O (radikal hidroksil)

Fe ++ + H O

2

2 2

2 O O O O 2 2

2 2 2

2 2


(34)

16

+ 4 e- + 4H+ ---2 H O

Dari reaksi–reaksi diatas terlihat bahwa ion superoksida, radikal peroksil,

hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil terjadi karena pengalihan elektron yang

kurang sempurna pada saat terjadi reduksi oksigen.

2.2.4 Peranan radikal bebas dalam proses penuaan

Saat usia muda terdapat keseimbangan antara radikal bebas dan pertahanan

antioksidan, seiring dengan pertambahan usia keseimbangan terganggu, oleh

karena berkurangnya cadangan antioksidan dan produksi berlebih dari radikal

bebas (Saxena dan Lal, 2006). Senyawa oksigen reaktif diproduksi terus menerus

di dalam organisme aerobik sebagai hasil dari metabolisme energi normal. Target

utama radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein, serta

unsur DNA termasuk karbohidrat. Dari ketiga hal diatas yang paling rentan adalah

asam lemak tak jenuh. Senyawa radikal bebas dalam tubuh dapat merusak asam

lemak tak jenuh ganda pada membran sel, yang mengakibatnya sel menjadi rapuh

(Pasupathi, 2009).

Ketidakseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa radikal bebas

akan mengakibatkan kerusakan stres oksidatif (Arief, 2010). Pada keadaan inilah

perusakan tubuh terjadi oleh radikal bebas. Senyawa radikal mengoksidasi dan

menyerang komponen lipid membran, senyawa ini merusak tiga jenis senyawa

yang penting untuk mempertahankan integritas sel seperti asam lemak tak jenuh

yang menyusun membran sel (fosfolipid), DNA (perangkat genetik) dan protein

(enzim, reseptor, antibodi) (Fouad, 2007). 2 O 2


(35)

17

Radikal bebas yang bereaksi dengan komponen biologis dalam tubuh akan

menghasilkan senyawa teroksidasi. Banyaknya senyawa teroksidasi dapat

digunakan sebagai indeks karakteristik stress oksidatif. Belleville-Nabet

melaporkan molekul DNA yang teroksidasi akan menyebabkan penuaan (aging)

dan kanker. Jika yang teroksidasi protein baik berupa enzim yang terinaktivasi

atau protein yang terpolarisasi, akan terjadi inflamasi (Winarsi, 2007)

2.3. Stres Oksidatif

2.3.1 Keadaan yang menimbulkan stres oksidatif

Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang

dari yang diperlukan untuk meredam efek buruk radikal bebas sehingga dapat

merusak membran sel, protein dan DNA. Stres oksidatif yang terjadi dalam waktu

yang berkepanjangan akan berakibat penumpukan hasil kerusakan oksidatif di

dalam sel, sehingga sel /jaringan kehilangan fungsinya dan mati. Penumpukan

hasil kerusakan tadi akan bertambah dengan bertambahnya umur hal ini

merupakan penyebab utama proses penuaaan (Bagiada, 2001).

Prinsip dasar teori ini adalah hilangnya fungsi jaringan/ tubuh pada proses

penuaan disebabkan oleh bertambah dan menumpuknya secara irreversible

molekul molekul hasil perusakan oksidatif oleh radikal bebas.

Radikal bebas terbentuk sebagai hasil metabolisme aerobik normal, namun

dapat juga diproduksi dalam jumlah banyak pada keadaan patofisiologis . Salah

satunya adalah aktivitas fisik yang berat atau berlebih dapat meningkatkan stress


(36)

18

Senyawa oksigen reaktif dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stress

maupun tidak. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses

pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi

stres, pembentukan senyawa reaktif lebih tinggi di bandingkan pemusnahannya.

Oksigen tereduksi akan membentuk radikal superoksida, hidrogen peroksida dan

hidroksil. Apabila kondisi keseimbangan antara jumlah antioksidan dan senyawa

radikal bebas tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan kerusakan oksidatif

(oxidative stress). Stress oksidatif di definisikan sebagai suatu keadaan dimana

tingkat oksigen reaktif yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen

(Arief, 2010). Pada keadaan inilah terjadi perusakan dalam tubuh oleh radikal

bebas.

2.3.2 Peroksidasi lipid

Peroksidasi lipid merupakan proses yang bersifat kompleks akibat reaksi

asam lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran sel dengan senyawa

oksigen reaktif (SOR). Peroksidasi lipid yang diperantarai SOR mempunyai tiga

komponen utama reaksi, yaitu reaksi inisiasi, propagasi, dan terminasi.

Membran lipid umumnya adalah fosfolipid tersusun atas asam lemak tak

jenuh, mudah terjadi peroksidasi karena dikeluarkannya grup methylen (-CH )

dari atom hidrogen yang mengandung hanya satu elektron, sehingga terdapat

atom karbon yang tidak berpasangan. Adanya ikatan ganda di dalam asam lemak

melemahkan ikatan C-H pada atom karbon yang berdekatan dengan ikatan ganda,

sehingga mempermudah terjadinya perpindahan atom hidrogen.


(37)

19

Reaksi inisiasi radikal hidroksil (.OH) dengan asam lemak tak jenuh

menghasilkan radikal lipid yang dapat bereaksi dengan molekul oksigen (O )

membentuk radikal lipid peroksil. Radikal lipid peroksil mengambil hidrogen dari

asam lemak yang berdekatan untuk membentuk lipid hydroperoxide (LOOH)

serta radikal lipid yang kedua. Radikal alkoxyl maupun peroxyl memicu reaksi

berantai peroksidasi lipid dengan mengeluarkan atom hidrogen (Catala, 2006).

Peroksidasi lipid mengganggu fisiologi membran, menyebabkan gangguan

pada aliran cairan dan permiabilitas, mengubah transport ion serta menghambat

reaksi metabolisme. Peroksidasi lipid merupakan penyebab utama kerusakan sel.

Proses peroksidasi asam lemak terutama terjadi pada membran fosfolipid.

Berbagai produk dihasilkan akibat peroksidasi lipid seperti MDA, 4-hydroxy-2-

nonenal (HNE), 4-hydroxy-2-hexenal (4-HHE) dapat menyebabkan kerusakan

pada protein dan DNA (Halliwell dan Gutteridge, 2007).

2.4 Antioksidan

2.4.1 Definisi antioksidan

Dalam pengertian kimia senyawa antioksidan adalah senyawa pemberi

elektron (elektron donor). Namun dalam arti biologis, pengertian antioksidan lebih

luas, yaitu merupakan senyawa–senyawa yang dapat meredam dampak negatif

oksidan (radikal bebas), termasuk enzim dan protein pengikat logam (Pangkahila,

2007)


(38)

20

2.4.2 Jenis-jenis antioksidan

Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu :

1. Antioksidan enzymatis / antioksidan primer / antioksidan endogenus / chain-

breaking-antioxidant misalnya : enzim superoksida dismutase (SOD),

katalase, dan glutation peroksidase.

2. Antioksidan non – enzimatis dibagi 2 kelompok lagi yaitu

a. Antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, qinon,

dan bilirubin.

b. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat

logam, protein pengikat heme.

Antioksidan enzimatis dan non enzimatis tersebut bekerja sama memerangi

aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stres oksidatif dapat dihambat

oleh kerja antioksidan dalam tubuh.

Berdasarkan mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan, antioksidan

dapat dibagi menjadi 2 golongan ( Kaur dan Kapoor, 2001) yaitu:

1. Antioksidan pencegah (preventive antioksidan)

Pada dasarnya tujuan antioksidan jenis ini mencegah terjadinya radikal

hidroksil, yaitu radikal yang paling berbahaya. Untuk membentuk radikal

hidroksil diperlukan tiga komponen, yaitu logam transisi Fe atau Cu, H O dan

O •, agar reaksi Fenton (Fe ++ (Cu+) ) + H O  Fe +++ ( Cu ++ ) + OH - + •OH

2 2

2 2 2

tidak terjadi, maka harus dicegah keberadaan ion Fe2+ atau Cu+ bebas .

Diperlukan peran beberapa protein penting, yaitu :


(39)

21

b. Untuk Cu : seruplasmin atau albumin

Penimbunan O •- dicegah oleh enzim superoksida dismutase (SOD) yaitu

dengan mengkatalisa reaksi dismutasi O • - :

2O • - + 2H ---H O + O

Penimbunan H O dicegah melalui aktivitas dua enzim yaitu :

a. Katalase, yang mengkatalisis reaksi dismutase H O

2H O --- 2 H O + O

b. Peroksidase, yang mengkatalisis reaksi sebagai berikut:

2 2 ---

2. Antioksidan pemutus rantai (chain breaking antioksidan)

Dalam kelompok antioksidan ini termasuk vitamin E, caroten, flavonoid,

quinon bersifat lipofilik, sehingga dapat berperan pada membran sel untuk

mencegah peroksidasi lipid. Sebaliknya vitamin C, glutation dan sistein bersifat

hidrofilik dan berperan dalam sitosol.

Tabel 2.1

Spesies oksigen reaktif dan antioksidannya

Spesies reaktif Antioksidan

Oksigen singlet Vitamin A, ß karoten, vitamin E

Radikal bebas Superoksida Dismutase, ß-karoten,

superoksida Vitamin E, Flavonoid

Radikal bebas hidroksil Flavonoid, Albumin.

Radikal bebas peroksil Vitamin E, Vitamin C, Flavonoid

Hidrogen Peroksida Katalase, Glutation Peroksidase,

Flavonoid

Lipid peroksida Glutation peroksidase, Flavonoid.

2

2

2

2 2 2

2 2

2 2

2

2 2 2 2

2

R + H O RO + H O

O O 2

2 - •

OH •

ROO•

2 2

LOOH H O


(40)

22

2.5. Pelatihan Fisik

Apabila dilakukan dengan takaran yang benar, pelatihan fisik dapat

meningkatkan kebugaran fisik (Sharkey, 2011). Selain itu, olah raga dengan

intensitas rendah dapat meminimalkan produksi radikal bebas yang berlebihan

serta meningkatkan jumlah antioksidan endogen (Cooper, 2001). Aktivitas fisik

seperti olahraga meningkatkan pengeluaran energi, dengan memperhatikan

frekuensi (3-4x seminggu), intensitas (72-87%) dari denyut jantung maksimal

(220-umur), serta tipe olahraga (15 menit pemanasan, 30-60 menit kombinasi

latihan aerobik dan otot, 10 menit pendinginan).Tujuan dari prinsip FITT

(Frequency, Intensity, Type, Time) adalah untuk mencapai efek pelatihan.

Frekuensi olahraga yang ideal adalah 3-5 kali/minggu, dengan intensitas denyut

nadi saat olahraga 75% (220-umur), waktu olahraga kurang dari 300

menit/minggu, serta jenis olahraga seperti berenang, sepeda statis (Pangkahila,

2007).

Aktivitas fisik dibagi menjadi 2 yaitu aerobik yang menghasilkan 38 molekul

ATP per molekul glukosa dan anaerobik yang menghasilkan 2 molekul ATP.

Sumber energi untuk aktivitas fisik aerobik berasal dari pembakaran karbohidrat,

lemak dan protein yang menghasilkan Adenosine Triphosphate (ATP). Saat

kontraksi otot, tambahan ATP didapatkan dari pemindahan fosfat berenergi tinggi

dari kreatinin fosfat ke ADP, fosfolirasi oksidatif, dan proses glikolisis

(Sherwood, 2007). Sumber energi untuk aktivitas fisik anaerobik berasal dari


(41)

23

oksigen, serta menghasilkan asam laktat yang dapat menimbulkan nyeri otot

dengan stres fisik (Hernawati, 2009).

Secara teori, aktivitas fisik sedang dapat menangkal efek proses penuaan

akibat penurunan sistem imun. Aktivitas fisik sedang terbukti dapat ditoleransi

dengan baik oleh individu lanjut usia. Pada individu berusia lanjut aktivitas fisik

sedang menunjukan penurunan stimulasi proliferasi limfosit. Aktivitas fisik yang

teratur dan tepat dapat mempertahankan kebugaran fisik. (Pangkahila, 2007).

2.6 Pelatihan Fisik Berlebih

Pelatihan fisik ferlebih atau Overtraining dapat didefinisikan sebagai

peningkatan volume atau intensitas pelatihan yang menghasilkan penurunan

kinerja jangka panjang atau bahkan ditandai oleh penurunan kinerja yang spesifik

dari olahraga (Urhausen dan Kindermann, 2002).

Para pakar mendefinisikkan overtraining sebagai suatu perubahan

karakteristik fisik, fisiologis atau psikologis yang terkait dengan overtraining dan

rangsangan yang mendahului atau mengikuti terjadinya sindrom overtraining saat

ini (Brooks dan Carter, 2013). Hingga saat ini, belum terdapat pertanda/marker

overtraining spesifik yang dapat digunakan sebagai pedoman pasti untuk

mendefinisikan overtraining (Lac dan Maso, 2004).

Overtraining merupakan masalah berulang dikarenakan ada risiko yang

terus-menerus akibat adanya ketidakseimbangan antara pelatihan kompetisi dan

pemulihan (Brooks dan Carter, 2013). Dilaporkan bahwa 6 % pelari jarak jauh,

21% perenang dan lebih dari 50% pemain sepak bola Australia telah mengalami


(42)

24

menyebutkan bahwa 29% dari para atlet mengalami overtraining sepanjang karir

mereka (Matos et al., 2011). Diperkirakan bahwa 60% dari semua atlet lari elite

pria dan wanita yang terlibat dengan program pelatihan olahraga intensif

mengalami overtraining syndrome (Kreher and Schwartz, 2012). Peneliti

membuktikan bahwa resiko mengalami overtraining lebih besar pada olahraga

individual dibandingkan olahraga kelompok (Matos et al., 2011).

2.6.1 Pembentukan ROS pada saat pelatihan fisik

Mitokondria sering disebut sebagai sumber utama penghasil ROS di

jaringan. Berdasarkan penelitian sebelumnya sekitar 2% dari total oksigen yang

dikonsumsi oleh mitokondria diubah menjadi H2O2 dan lainnya ROS.

Konsumsi oksigen sangat meningkat selama latihan. Banyak peneliti

berasumsi bahwa mitokondria sebagai sumber utama pembentukan ROS, dan

sejauh mana peningkatan ROS mungkin berhubungan dengan konsumsi oksigen

oleh mitokondria (Winarsi, 2007). Ketika Davies dan Hochstein (1982)

menemukan bukti langsung untuk pertama kali bahwa pelatihan fisik menginduksi

pembentukan ROS, mereka juga menyatakan bahwa mitokondria sebagai sumber

utama pembentukan ROS. Hipotesis ini dibuktikan oleh data berikutnya, Davies

dan Hochstein (1982) mengidentifikasi adanya dua radikal bebas yaitu dua bentuk

semistabilized ubisemiquinone mitokondria. Mereka menemukan bahwa

konsentrasi radikal bebas jelas lebih tinggi pada hewan yang dilakukan pelatihan

fisik dari pada hewan kontrol. Studi sinyal EPR lain juga mendukung pentingnya


(43)

25

Pelatihan fisik berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen sampai 100 -

200 kali lipat. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan

radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot.

Proses tersebut disebut peroksidasi lipid, dan menyebabkan sel menjadi lebih

mudah mengalami proses penuaan (Cooper, 2001)

Sumber lain pembentuk ROS selama pelatihan , terutama pelatihan fisik

berlebih adalah xantin oksidase (XO). Pelatihan berlebih dapat mengakibatkan

iskemia atau hipoksia di daerah tertentu dari tubuh. ATP akan dikonversi ke

adenosin difosfat, monofosfat adenosin, inosin, dan akhirnya hipoksantin

(Chevion et al., 2003).

Gambar 2.2 Jalur Xanthine Oksidase Pembentukan Radikal Bebas pada Pelatihan Fisik (Chevion et al., 2003)

Dalam kondisi fisiologis normal, xanthine dehidrogenase adalah bentuk


(44)

26

atau lebih lanjut oksidasi xanthine menjadi asam urat dengan menggunakan

NAD + sebagai akseptor elektron. Pada kondisi iskhemia, xanthine dehidrogenase

dikonversi ke XO oleh oksidasi sulfhidril. Sebaliknya pada kondisi reperfusi,

terjadi pembentukan anion superoksida dan H2O2 .

Gambar 2.3. Vascular ischaemia and reperfusion injury (Holger dan Charles, 2004)

XO telah dianggap bertanggung jawab atas produksi ROS dan kerusakan

jaringan selama atau setelah latihan intensif, dan penghambatan XO oleh

allopurinol atau oxypurinol dapat mengurangi produksi ROS.

Ryan dkk. (2011) melakukan pengukuran XO, tingkat H2O2, peroksidasi

lipid, aktivitas enzim antioksidan, dan fungsi otot rangka pada tikus tua dengan


(45)

27

pemberian allopurinol, mereka menemukan bahwa pemberian allupurinol dapat

mencegah peningkatan aktivitas katalase dan CuZnSOD, mengurangi stres

oksidatif dan meningkatkan fungsi otot rangka yang dirangsang secara elektrik

supaya terjadi kontraksi isometrik. Pada kebanyakan kasus pada hewan lain, juga

telah terbukti efek positif dari allopurinol atau oxypurinol dalam menghambat XO

sehingga terjadi hambatan terhadap pembentukan ROS. Latihan dapat

menyebabkan peningkatan aktivitas XO darah pada tikus, dan pemberian

allopurinol dapat mencegah oksidasi pada pelatihan yang berlebih. Selanjutnya,

allopurinol juga telah terbukti menurunkan stres oksidatif dan memperbaiki

morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung kongestif. Beberapa peneliti telah

menyatakan bahwa XO mungkin memainkan peran yang lebih penting dalam

menghasilkan ROS daripada mitokondria . Namun, hasil dari Capecchi dkk.

(1988) telah menunjukkan bahwa allopurinol tidak berpengaruh pada

pembentukan anion superoksida atau pelepasan enzim dari neutrofil. Pada

penelitian yang lebih baru juga mendukung peran penting dari XO dalam

menghasilkan ROS selama latihan intensif.

Gomez-Cabrera dkk. (2005) meneliti efek dari allopurinol pada

penghambatan produksi ROS dan aktivasi faktor nuklir kappaB (NFkB) pada

tikus yang diberi pelatihan berlebih. Mereka menemukan bahwa olahraga tidak

menghasilkan glutathione oksidasi lebih banyak pada tikus kontrol dibandingkan

dengan tikus yang diberikan dengan allopurinol sebelum latihan. Namun,

pemberian allopurinol juga bisa meniadakan aktivasi NFkB akibat pelatihan,


(46)

28

pertahanan sel (superoxide dismutase) dan adaptasi untuk berolahraga. Artinya,

pada saat yang sama allopurinol mengurangi stres oksidatif XO-, juga berguna

mencegah adaptasi seluler pada pelatihan berlebih pada tikus.

Gambar 2.4 Jalur Aktivasi Adaptasi Seluler terhadap ROS yang dihasilkan selama Overtraining (Gomez-Cabrera et al., 2005)

Selain pada mitokondria dan XO, dicurigai adanya mekanisme lain yang

menerangkan produksi ROS selama dan setelah latihan. Ketika kerusakan

jaringan telah terjadi, beberapa sel dalam sistem kekebalan tubuh (termasuk

makrofag / monosit, eosinohpils dan neutrofil) juga dapat menghasilkan jumlah

besar ROS. Misalnya, beredarnya neutrofil telah dilaporkan untuk menghasilkan


(47)

29

berlebih. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan mekanisme

pembentukan ROS saat pelatihan, walaupun pada saat ini kita masih fokus bahwa

sumber ROS terdapat di mitokondria dan XO.

Pada aktifitas fisik berlebih terjadi peningkatan metabolisme tubuh,

peningkatan inflamasi dan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang

berkontraksi, sehingga terjadi peningkatan kebocoran elektron bebas oleh

mitokondria, yang akan menjadi SOR (Sauza et al., 2005).

Pada organ yang tidak mendapat O2 dan nutrisi yang cukup akan

menimbulkan keadaan iskemik dan kerusakan mikrovaskular. Keadaan ini disebut

dengan Reperfusion Injury, yang memicu terjadinya kerusakan jaringan dan

peningkatan Radikal Bebas.

2.6.2 Diagnosa dan biomarker pelatihan fisik berlebih

Di bidang kedokteran olahraga, beberapa marker panel pemeriksaan telah

dijadikan standar tes skrining yang komprehensif untuk calon atlet meliputi

fungsi ginjal, kalium, magnesium, dan glukosa, hitung darah lengkap, laju endap

darah, C-reaktif protein, besi, creatine kinase, dan thyroid stimulating hormone

(Petibois et al., 2002). Selain itu penanda biokimia telah dipelajari dalam

berbagai populasi atlet untuk mendiagnosis overtraining. Tidak ada kadar tertentu

atau sensitifitas yang ditetapkan untuk creatine kinase, urea, atau iron (Urhausen

dan Kindermann, 2002). Biomarker stres oksidatif juga telah terbukti berkorelasi

dengan status beban latihan (Margonis et al., 2007).

Marker hormonal menunjukkan beberapa hasil yang menjanjikan namun


(48)

30

(Meeusen et al., 2006). Kadar kortisol belum pernah diteliti antara atlet normal

dan atlet dengan overtraining (Kreher dan Schwartz, 2012). Rasio testosteron

terhadap kortisol juga telah dibuktikan dapat digunakan sebagai marker

overtraining, dimana rasio ini akan menurun dengan bertambahnya intensitas

overtraining (Halson dan Jeukendrup, 2004). Sebuah studi prospektif ditemukan

peningkatan yang signifikan pada kadar kortisol urin semalam selama periode

beban latihan yang tinggi pada atlet. (Gouarne et al., 2005).

2.7 Dampak Pelatihan Fisik Berlebih Terhadap Pankreas

Beban kerja berlebih dapat meningkatkan konsumsi oksigen 100-200 kali

lipat dibandingkan kondisi istirahat. Peningkatan penggunaan oksigen terutama

oleh otot-otot yang berkontraksi, menyebabkan terjadinya peningkatan kebocoran

elektron dari mitokondria yang memproduksi ROS atau Reactive Oxygen Species

(Clarkson and Thomson, 2000). Pelatihan Fisik berlebih akan mengaktifkan

kondisi hipoksia relatif yang terjadi di dalam organ hati, ginjal, dan usus

disebabkan redistribusi aliran darah ke otot yang bekerja. Keadaan ini akan

menyebabkan aktivasi xantine oksidase dengan reduksi satu elektron oksigen

sehingga akan meningkatkan pembentukan radikal superoksida (Ji, 2000). Selain

itu beban kerja berlebih dapat merangsang respon biomarker stress oksidatif

(Murray et al., 2000).

Stres oksidatif ini dapat merusak semua sel di dalam tubuh termasuk sel-sel

pankreas. Studi laboratorium menyatakan bahwa peningkatan stres oksidatif

sistemik dapat menurunkan konsentrasi insulin (Hoeldtke et al., 2003). Hal ini


(49)

31

dendritik (DCs) pada region islet pankreas dan menstimulasi sel DTH (delayed

type hypersensitivity) untuk merusak sel β pankreas. Makrofag dan DCs sebagai faktor primer terjadinya diabetes melitus tipe I yang teraktivasi oleh ROS

intraseluler (Delmastro dan Piganelli, 2011).

Gambar 2.5 Mekanisme terjadinya diabetes melitus tipe I yang teraktivasi oleh ROS intraseluler (Delmastro and Piganelli, 2011).

Sebaliknya kondisi pra-overtraining adalah penurunan kinerja jangka

pendek yang diikuti pemulihan lengkap dalam beberapa hari atau bahkan terjadi

peningkatan kinerja fisik (supercompensation) (Gleeson, 2002). Hal ini yang

mendasari banyak pelatih menegaskan bahwa perlu untuk menginduksi keadaan


(50)

32

Sebagai contoh nyata stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan sel-β

pankreas adalah cara kerja aloksan. Aloksan yang banyak digunakan oleh peneliti

sebagai agen spesifik penyebab diabetes melitus tipe I, bekerja dengan

menginduksi pembentukan ROS yang merusak sel β pankreas (Mesa et al., 2011).

Sel β pankreas menjadi sasaran utama stress oksidatif yang disebabkan oleh

radikal bebas karena rendahnya antioksidan endogen dalam jaringan islet pankreas

(Azavedo-Martins et al., 2003).

Penelitian sebelumnya dengan menggunakan 36 ekor tikus jantan yang sehat

dapat diamati hilangnya granula-granula sitoplasma pada sel beta pankreas

kelompok tikus yang diberi perlakuan aktivitas fisik maksimal dengan periode

pemulihan selama 48 jam dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.

Tahapan awal dari nekrosis dapat teramati pada kelompok ini, yaitu inti sel

nampak mengalami piknosis, pecahnya sejumlah inti sel β (karyoreksis) dan

berakhir pada kematian sel (nekrosis). Begitu pula pada kelompok sampel dengan

perlakuan overtraining yang lebih intensif, dimana teramati beberapa sel yang

telah mengalami nekrosis dan beberapa debris sel. Batas antar sel β dengan sel

lainnya disekitar pulau Langerhans tidak nampak jelas. Banyak sel yang

mengalami piknosis teramati pada kelompok ini (Siswanto et al., 2015). Hasil

penelitian kuantitatif terhadap jumlah sel β pankreas menunjukkan bahwa ada

perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan


(51)

33

Tabel 2.2.

Rata-rata jumlah sel-β Pankreas Tikus dalam Pulau Langerhans

2.8. Dampak Pelatihan Fisik Berlebihterhadap Otot

Reactive oxygen species (ROS) yang banyak dihasilkan selama overtraining

telah banyak dibuktikan terlibat dalam kerusakan jaringan, termasuk jaringan otot

(Kang et al., 2009). Senyawa reaktif ini termasuk anion superoksida, hidrogen

peroksida dan radikal hidroksil. ROS dapat menyebabkan cedera sel, seperti

peroksidasi lipid, inaktivasi enzim intraseluler, perubahan status redoks dan

kerusakan DNA (Halliwell dan Gutteridge, 2007) . Namun sel memiliki sistem

pertahanan enzimatik untuk mengurangi risiko cedera oksidatif, yaitu superoxide

dismutase, glutation peroksidase dan katalase (Yaegaki et al., 2008). Peningkatan

produksi ROS terjadi selama latihan fisik dan menyebabkan kerusakan oksidatif

pada otot, hati, darah dan jaringan lain (Margonis et al., 2007). Pelatihan fisik

yang berlebih telah dibuktikan sangat berperan terhadap peningkatan konsumsi

oksigen dalam otot rangka (Santalla et al., 2009), peningkatan peroksidasi lipid,

dan inhibisi enzim mitokondria seperti citrate synthase dan malate dehydrogenase


(52)

34

Gambar 2.6. Patofisiologi Kerusakan Sel Akibat Overtraining

(Dong et al., 2011)

Kadar enzim otot skletal dalam serum merupakan penanda atau marker yang

potensial untuk mengetahui status fungsional jaringan otot dan kadar ini dapat

bervariasi pada kondisi patologis dan fisiologis. Peningkatan enzim ini dalam

serum dapat menggambarkan indeks nekrosis seluler dan kerusakan jaringan otot

pada keadaan cedera akut maupun kronis. Namun perubahan kadar enzim otot dan

isoenzimnya juga dapat ditemukan pada subyek normal dan pada atlet setelah

pelatihan berat karena kadar enzim otot dalam darah dipengaruhi oleh aktivitas

fisik (Brancaccio et al., 2007). Enzim creatine kinase (CK) merupakan enzim

khas yang terdapat dalam otot, aktivitas CK yang diukur dari biopsi otot

menunjukkan kadar yang berbeda sebelum dan sesudah pelatihan (Simmons et al.,

2003). Penelitian juga membuktikan bahwa terjadi perubahan kadar CK serum

pada atlet yang diberikan intensitas dan frekuensi pelatihan yang berbeda


(53)

35

Kadar CK serum dapat meningkat akibat kerusakan jaringan otot sebagai

konsekuensi dari pelatihan dengan frekuensi yang lama dan intensitas yang tinggi.

Hal ini mungkin akibat dari proses metabolisme dan penyebab mekanik. Proses

metabolisme yang mendasari kerusakan otot akibat overtraining adalah penurunan

resistensi membran yang diikuti dengan peningkatan ion kalsium bebas

intraseluler, yang menginduksi aktivasi kalium channel. Mekanisme lain yang

menyebabkan kerusakan jaringan lokal otot adalah degenerasi sarcomer Z-disk.

CK merupakan indikator nekrosis otot baik akibat proses metabolisme ataupun

mekanik, yang akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya beban

aktivitas fisik (Brancaccio et al., 2007).

Studi CK dalam kedokteran olahraga memungkinkan untuk mendapatkan

informasi tentang keadaan otot. Tingginya kadar CK serum pada subyek yang

tampak sehat dapat berkorelasi dengan status pelatihan fisik yang dijalankan.

Namun, jika level CK tetap tinggi pada saat istirahat, kemungkinan merupakan

tanda dari penyakit otot subklinis, seperti profound fatigue (Angeli et al., 2004)

Cratine Kinase (CK) merupakan protein dimer globular yang terdiri dari

dua subunit dengan massa molekul 43 kDa. CK merupakan buffer seluler terhadap

keseimbangan ATP dan ADP dengan mengkatalisis pertukaran reversibel ikatan

fosfat berenergi tinggi antara phosphocreatine dan ADP yang dihasilkan selama

kontraksi. Terdapat lima isoform dari CK, tiga diantaranya berada dalam

sitoplasma (CK-MM, CK-MB dan CK-BB) dan dua sisanya berada dalam

mitokondria (non-sarcomeric dan sarcomeric). Kadar isoenzim CK memberikan


(54)

36

yang spesifik. Di dalam tubuh, CK-MM ditemukan di beberapa domain dari

myofibril dimana konsumsi ATP tinggi dan merupakan penanda penyakit otot.

Kadar CK-MB akan meningkat pada infark miokard akut, dan CK-BB meningkat

pada kerusakan jaringan otak. Kadar CK mitokondria meningkat pada kasus

mitochondrial myopathies (Ruiz-Gines et al., 2006)

CK-MM secara khusus terikat pada myofibril M-Line sarkomer, struktur

kompleks yang mengandung setidaknya 28 protein yang berbeda. Terdapat sekitar

5-10% dari total CK-MM pada myofibril M-Line (Hornemann et al., 2003).

Keberadaan CK-MM menunjukkan bahwa M-line memiliki peran struktural dan

enzimatik untuk meregenerasi ATP di daerah yang mengkonsumsi energi tinggi,

sehingga memberikan myosin dengan ATP yang cukup untuk bekerja bahkan

pada kondisi overtraining. Oleh karena itu, kadar CK yang tinggi dalam serum

menunjukkan adanya kerusakan yang timbul pada sarcomer baik akibat olahraga

berat atau kondisi patologi otot lainnya (Hornemann et al., 2000)

2.9 Anggur Bali (Vitis vinifera)

2.9.1. Karakteristik tanaman anggur bali

Pohon anggur merupakan semak yang tumbuh memanjat dan memiliki

keistimewaan ranting-rantingnya yang mampu mengeluarkan buah yang lebat dan

lezat (Wongsodipuro, 2010). Karena keistimewaan ini, anggur dibudidayakan

sebagai tanaman penghasil buah (Nurcahyo, 2010). Di Indonesia terdapat dua

jenis spesies anggur yang umum dibudidayakan dan bisa dikonsumsi, yakni Vitis

vinifera dan Vitis labrusca. Kedua jenis anggur ini memiliki karakter yang


(55)

37

Buah anggur berbentuk bulat. Buah yang matang kulitnya berwarna ungu

kehitaman dan mengandung tepung atau lilin yang tebal. Daging buahnya

berwarna putih dengan rasa manis. Setiap buah berisi 2-3 biji yang ukurannya

cukup besar, berbentuk lonjong, dan berwarna coklat muda. Setiap 100 buah

mempunyai bobot 535 g. Umur panennya antara 105-110 hari setelah pangkas

(Yusuf, 2009).

Karakteristik tanaman anggur lainnya antara lain batang yang berbentuk

tegak, silindris, berkayu dan coklat kehijauan. Daunnya tunggal, lonjong,

berseling, tepi bergigi, berambut, panjang 10-16 cm, lebar 5-8 cm, bertangkai

panjang dengan panjang 10 cm dan berwarna hijau (Nurcahyo, 2010).

Klasifikasi ilmiah dari anggur adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2013) :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Vitales

Famili : Vitaceae

Genus : Vitis

Species : V. vinifera

Nama Binomial : Vitis vinifera

2.9.2. Kandungan kimia buah anggur bali

Buah anggur memiliki banyak sekali kandungan nutrisi seperti vitamin,


(56)

38

buah anggur yang memiliki nilai manfaat paling tinggi adalah polifenol karena

aktivitas biologisnya. Pada dasarnya, polifenol dalam anggur dapat dibagi menjadi

2 kelas, yakni flavonoid dan non flavonoid. Non flavonoid terdiri dari asam fenol

dan resveratrol (Ivanova et al., 2010). Hasil analisis laboratorium menunjukkan

bahwa ekstrak etanol buah anggur bali mengandung total fenol, flavonoid,

antosianin dan beta karoten seperti ditunjukkan pada tabel 2.3.

Tabel 2.3

Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Etanol Anggur Bali Pada Konsentrasi 80%

No Analisis Hasil Satuan

1 Total Fenol 6,25 % b/b GAE

2 Flavonoid 183,77 mg/100gQE

3 Antosianin 635,7 mg/kg

4 Beta Karoten 593,2 µg/kg

5 Kapasitas Antioksidan 487,98 ppm GAEAC

6 IC 50% 1,72 mg/ml

Keterangan : QE = Quercetin Equivalent

GAEAC = Gallic Acid Equivalent Antioxidant Capacity

2.9.2.1 Flavonoid

Flavonoid merupakan suatu antoksidan golongan phenol yang banyak

ditemukan di sayuran, buah-buahan, kulit pohon, akar, bunga, teh dan wine. Ada

empat golongan utama flavonoid yaitu Flavon, Flavanones, Catechins,


(57)

39

beberapa penyakit bersama dengan vitamin, antioksidan dan enzim, untuk

pertahanan antioksidan total dalam tubuh (Nijveldt et al,. 2001)

Gambar 2.7Struktur Flavonoid

(http://www.solvobiotech.com/science-letter/effects-of-flavonoids-on-p- glycoprotein-activity)

Sebuah penelitian oleh Dr Van Acker di Belanda menunjukan bahwa

flavonoid dapat menggantikan vitamin E sebagai pemecah rantai anti-oksidan

didalam membran hati. Konstribusi flavonoid untuk sistem pertahanan

antioksidan sangat besar mengingat total asupan harian flavonoid dapat berkisar

50-800 mg, konsumsi ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata asupan harian

diet antioksidan lain seperti vitamin C (70 mg), vitamin E (7-10) atau keratenoid

(2-3 mg). Asupan Flavonoid tergantung pada asupan buah–buahan, sayuran dan

minuman tertentu seperti red wine, teh, bir (Buhler dan Miranda, 2000). Potensi

terpenting yang dimiliki oleh hampir setiap kelompok flavonoid adalah kapasitas

mereka sebagai antioksidan untuk membantu tubuh melawan oksigen reaktif.


(1)

di buah beri, anggur, dan buah lainnya yang berwarna merah keunguan (Spormann et al., 2008).

Flavonoid bisa mencegah kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dengan beberapa cara. Salah satunya adalah memusnahkan radikal bebas secara langsung. Flavonoid dioksidasi oleh radikal, menghasilkan radikal yang lebih stabil dan kurang reaktif. Flavonoid menstabilkan senyawa oksigen reaktif dengan bereaksi dengan susunan reaktif dari radikal tersebut (Nijveidt et al., 2001).

Flavonoid (OH) + R• > flavonoid(O•) + RH

Beberapa flavonoid tertentu dapat mengurangi aktivasi komplemen, sehingga menurunkan adesi sel inflamasi ke endothelium, menyebabkan berkurangnya respon inflamasi. Hal penting lain dari flavonoid adalah mengurangi pelepasan dari peroksidase, yang menghambat produksi reactive oxygen species oleh neutrofil dengan interfering dengan aktivasi α1-antitripsin. Efek lain yang juga menarik dari flavonoid adalah menghambat metabolisme arachnoid acid. Hal tersebut memberikan efek anti inflamasi dan anti trombotik pada flavonoid. Pelepasan aracnoid acid merupakan awal penting untuk terjadi untuk terjadinya respon inflamasi secara umum (Chi et al., 2001).

Flavonoid bertindak sebagi penangkal yang baik untuk radikal hidroksil dan superoksida sehingga membran lipid terlindungi (Tapas et al., 2008). Flavonoid umumnya memiliki struktur yang terdiri dari dua cincin aromatik (A dan B) yang terikat dengan tiga karbon dan biasanya dalam bentuk heterosiklik teroksigenasi. Variasi struktur flavonoid ini terjadi karena hidroksilasi, metilasi, isoprenilasi, dimerisasi dan glikosilasi (Tapas et al., 2008). Flavonoid pada anggur


(2)

terbagi menjadi beberapa subkelas, yaitu flavonol (quercetin, kaempferol, myricetin), flavanol (proanthocyanidin, flavan-3-ols, catechin, epicatechin, epigallocatechin, epicatechin 3-O-gallate,) flavon (rutin), anthocyanidin (cyanidin, malvidin), flavanon (hesperitin), dan isoflavon (Ivanova et al., 2010).

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kadar proanthocyanidin berkisar antara 48,7 – 73,3 mg/ 100 gram anggur merah, dan 3426,5 –3638,1 mg/100 gram biji anggur (Gu et al., 2004). Proanthocyanidin merupakan oligomer atau polimer dari flavan-3-ol yang terhubung melalui ikatan tipe-B tunggal, atau ikatan tipe-A rangkap ganda. Proanthocyanidin yang hanya mengandung epicatechin disebut dengan procyanidin, yang mengandung epiafzelechin disebut propelargonidin, sedangkan yang mengandung epigallocatechin disebut dengan prodelphinidin. Di alam, propelargonidin dan prodelphinidin lebih jarang ditemukan dibandingkan procyanidin (Gu et al., 2004).

2.9.2.2 Asam Fenol

Senyawa fenol adalah metabolit sekunder tumbuhan yang berasal dari suatu jalur biosintesa dengan prekursor dari jalur sikimat dan/atau asetat-malonat. Fungsi metabolit ini adalah untuk melindungi tumbuhan dari serangan stres biologis dan lingkungan. Oleh karena itu, senyawa ini disintesa untuk merespon serangan patogen seperti jamur atau bakteri. Fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer karena mampu menghentikan reaksi radikal bebas pada oksidasi lipid (Tapas et al., 2008).


(3)

Resveratrol (3,5,4’-trihydroxystilbene) adalah senyawa polifenol (stilbene) yang ditemukan terutama pada kulit anggur (Burns et al., 2002). Resveratrol ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada pohon anggur dalam tanaman, akar, biji dan tangkai bunga. Kandungan tertinggi terdapat pada kulit buah anggur. Kandungan resveratrol dalam kulit anggur yang segar berkisar 50-100 mikrogram per gram dan pada red wine berkisar 0,6 - 0,8 mikrogram per milliliter (Howes, 2006).

2.9.3. Manfaat buah anggur bali

Telah diketahui secara luas bahwa buah anggur mengandung berbagai macam zat gizi dan antioksidan yang berguna bagi kesehatan. Berbagai kandungan vitamin, mineral, dan antioksidan dalam anggur memiliki banyak sekali khasiat (Wiryanta, 2008).

Anggur memiliki kandungan vitamin A, B1, B2, B6 dan C. Selain itu, buah anggur juga memiliki kandungan flavonoid. Semakin hitam warna anggur maka semakin banyak kandungan atau konsentrasi flavonoid di dalamnya (Ivanova et al., 2010). Karena itu anggur Bali yang memiliki warna ungu kehitaman mengadung flavonoid yang tinggi.

2.10. Hewan Coba Tikus (Rattus norvegicus)

Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus norvegicus) yang dipelihara. Tikus merupakan hewan laboraorium yang sering digunakan dalam berbagai macam penelitian karena telah diketahui sifat-sifatnya, mudah dipelihara, cepat berkembang biak, mudah ditangani, memiliki gen homolog dengan manusia,


(4)

karakter anatomi dan fisiologi telah diketahui secara baik (Hubrecht dan Kirkwood, 2010).

Klasifikasi tikus Wistar (Russel et al., 2008): Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus 2.10.1. Penggunaan tikus (Rattus norvegicus)

Pada percobaan ini menggunakan tikus (Rattus norvegicus) karena tikus jenis ini mudah dipelihara dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Tikus jenis ini panjangnya dapat mencapai 40 cm, berat antara 140-500 gram, dan dapat hidup hingga usia 4 tahun (Kusumawati, 2004). Ciri khas tikus galur Wistar yaitu kepala besar dan ekor pendek.

Sifat khas dari hewan percobaan tikus yaitu tidak mempunyai kantung empedu dan tidak mudah muntah. Secara umum, berat tikus laboratorium lebih ringan daripada tikus liar. Saat berumur 4 minggu rata-rata memiliki berat 35-40 gram, dan saat dewasa 200-250 gram (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988)


(5)

Tabel 2.4

Data Biologi Tikus (Russel et al., 2008)

No. Kondisi Biologi Jumlah

1. Berat badan: -jantan 300-400 g

-betina 250-300 g

2. Lama hidup 2,5- 3 tahun

3. Temperatur tubuh 37,50 C

4. Kebutuhan: -air 8-11 ml/100g BB

-makanan 5g/100g BB

5. Pubertas 50-60 hari

6. Lama kehamilan 21-23 hari

7. Tekanan darah: -sistolik 84-184 mmHg

-diastolik 58-145 mmHg

8. Frekuensi: -jantung 330-480/menit

-respirasi 66-114/menit

9. Tidal Volume 0,6-1,25mm

2.10.2. Pemberian makanan dan minuman

Bahan dasar makanan untuk tikus dapat berupa misalnya protein 20-25%, lemak 5%, karbohidrat 45-50%, serat kasar 5%, abu 4-5%, vitamin A 4000 IU/kg, vitamin D 1000 IU/kg, alfa tokoferol 30 mg/kg, asam linoleat 3 g/kg, tiamin 4 mg/kg, riboflavin 3 mg/kg, pantotenat 8 mg/kg, vitamin B12 50 μg/kg, biotin 10 μg/kg, piridoksin 40μg/kg dan kolin 1000 mg/kg (Ngatidjan, 2006). Pemberian minum tikus ad libitum.

2.10.3. Pemantauan keselamatan tikus

Tikus sebagai hewan coba harus diperhatikan pada saat penggunaan, yaitu kandang tikus harus kuat, tidak mudah rusak, mudah dibersihkan, mudah dipasang lagi, tahan terhadap gigitan tikus, sehingga hewan tidak mudah lepas. Selain itu, mudah dibersihkan dan hewan tampak jelas dari luar. Alas tempat tidur menggunakan sekam yang mudah menyerap air. Suhu, kelembaban dan


(6)

pertukaran udara di dalam kandang harus baik (Ngatidjan, 2006). Setiap hari kandang dibersihkan dan alas tidur diganti, tangan perawat harus selalu bersih ketika merawat tikus, memperhatikan bila muncul gejala sakit seperti berat badan turun, sukar bernapas ataupun mencret.


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR (VITIS VINIFERA L.) TERHADAP MOTILITAS DAN VIABILITAS SPERMATOZOA TIKUS PUTIH (RATTUS NORVEGICUS STRAIN WISTAR) JANTAN YANG DIBERI PAPARAN ASAP ROKOK

0 5 16

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis Vinifera) TERHADAP KERUSAKAN SEL OTAK ATEROSKLEROSIS PADA TIKUS PUTIH JANTAN ( Rattus Norvegicus Strain Wistar)

0 5 24

PENGARUH EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera) TERHADAP PENURUNAN RASIO LDL/HDL PLASMA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR YANG DIINDUKSI DIET TINGGI KOLESTERO

0 4 26

PENGARUH EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera) TERHADAP PERBAIKAN HISTOLOGIS SEL BETA PANKREAS TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) STRAIN WISTAR MODEL DIABETIKUM

0 6 26

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera L.) TERHADAP PENURUNAN KADAR METHEMOGLOBIN TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIINDUKSI ALKOHOL

0 8 27

EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera L.) TERHADAP KADAR SGOT DAN SGPT PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIINDUKSI ALKOHOL SUBAKUT

1 7 28

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (vitis vinifera) TERHADAP PENURUNAN JUMLAH SEL MESANGEAL PADA TIKUS PUTIH (rattus novergicus strain wistar) MODEL DIABETIK

0 4 5

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BIJI ANGGUR MERAH (Vitis vinifera L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI SEL HEPAR TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus novergicus strain wistar) YANG DIINDUKSI ALKOHOL

0 3 26

PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL ANGGUR (Vitis vinifera) MENCEGAH PENURUNAN OSTEOBLAS DAN DENSITAS TULANG SERTA MENCEGAH PENINGKATAN OSTEOKLAS PADA TIKUS (Rattus norvegicus) JANTAN DENGAN AKTIVITAS FISIK BERLEBIH.

0 1 85

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ANGGUR HITAM (Vitis vinifera) TERHADAP KADAR High Density Lipoprotein (HDL) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus ) JANTAN YANG DIINDUKSI HIPERKOLESTEROL - Repository UNRAM

0 0 8