Kalimantan Utara dan Kalimantan Barat dengan Malaysia Sabah dan Serawak adalah sejauh 2.004 kilometer
43
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang bertetangga yang sebelum diperkenalkannya konsep negara modern tidak mengenal batas-batas fisik maupun
batas-batas kultural. Semenjak era kolonialisme Eropa Barat kedua negara meiliki konsep sebagai negara modern yaitu Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan
Malaysia pada 31 Agustus 1957. Konsekuensi adalah terciptanya garis demarkasi antara kedua negara yang kemudian disebut sebagai perbatasan
.
44
D. Pengaturan Hukum Penetapan Perbatasan Menurut Hukum Internasional
. Berdasarkan hal ini, maka dalam penetuan titik patok perbatasan secara konseptual menggunakan
koordinat titik-titik batas, yang dilampiri sebuah peta ilustrasi umum dari garis batas yang disepakati. Karena sifat garis batas yang sangat penting, sebagai
penanda mulai dan berakhirnya hak dan kewajiban suatu negara, maka letak pastinya di lapangan perlu ditegaskan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
memasang tanda-tanda batas di sepanjang garis batas yang diperjanjikan.
Penetapan mengenai batas wilayah suatu negara antara masa lalu dengan perkembangan mutakhir di bidang hukum internasional telah mengalami
perubahan. Pada masa lalu, batas wilayah suatu negara banyak dipengaruhi oleh kegiatan kolonialisme dengan berbagai variannya, seperti okupasi, preskripsi,
cessi, akresi, penaklukan dan akuisisi.
43
Saru Arifin. Op.Cit. Hlm. 56.
44
Ludiro Madu. Op. Cit. Hlm. 139
Universitas Sumatera Utara
Pada zaman ini telah ada pedoman dari hukum internasional yang ditungkan dalam sumber-sumber hukum internasional. Sumber hukum
internasional adalah kumpulan peraturan dan prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai rujukan oleh ahli atau pakar hukum internasional saat akan
memberlakukan suatu ketentuan hukum internasional. Sumber hukum internasional sangat mempengaruhi argumentasi hukum yang akan dikemukakan
dalam suatu putusan hukum internasional
45
1. Perjanjian Internasional International Conventions
. Sumber Hukum Internasional menurut ketentuan Pasal 38 ayat 1 Statuta
Mahkamah Internasional terdiri dari :
Perjanjian internasional mengakibatkan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saling menyetujui, menimbulkan hak dan kewajiban dalam
bidang internasional. Kedudukan perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional sangat penting mengingat perjanjian internasional
lebih menjamin kepastian hukum karena dibuat secara tertulis. 2.
Kebiasaan International International Custom Tidak setiap kebiasaan internasional dapat menjadi sumber hukum, ada
dua syarat untuk dapat dikatakan menjadi sumber hukum, yaitu: harus terdapat suatu kenbiasaan yang bersifat umum unsur material dan
kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum unsur psikologis
46
45
”Sumber Hukum Internasional”. Sebagaimana dimuat dalam
.
https:www.facebook.compermalink.php?story_fbid=148918368633680id=147920788733438 yang diakses pada tanggal 18 februari 2015 pukul 20.15 WIB.
46
Rochimuddin. “Sumber Hukum Internasional”. Sebagaimana dimuat dalam http:pkndisma.blogspot.com201301sumber-hukum-internasional.html
yang diakses pada tanggal 18 februari 2015 pukul 20.23 WIB.
Universitas Sumatera Utara
3. Prinsip-prinsip Hukum Umum General Principles of Law yang diakui
oleh negara-negara beradab Adanya prinsip-prinsp hukum umum sebagai sumber hukum primer,
sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif, karena prinsip-prinsip hukum umum ini
melandasi semua hukum yang ada di dunia, baik hukum internasional maupun hukum nasional.
4. Keputusan PengadilanYurisprudensi Internasional judicial decisions
Keputusan-keputusan peradilan memberikan peranan yang cukup penting dalam membantu pembentukan norma-norma baru hukum internasional.
Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional dapat berupa keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum positif tetapi atas dasa prinsip-prinsip
keadilan dan kebenaran. 5.
Pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannyaDoktrin Theachings of the most highly qualified publicists
Pendapat para sarjana terkemuka, mengenai suatu masalah tertentu, meskipun bukan merupakan hukum positif, seringkali dikutip untuk
memperkuat pendapat tentang adanya atau kebenaran dari suatu norma hukum. Pendapat para sarjana akan lebih berpengaruh jika dikemukakan
oleh perkumpulan professional
47
Dalam perkembangan mutakhir, batas wilayah negara tersebut lebih ditentukan oleh sumber-sumber dan proses-proses hukum internasional seperti self
.
47
Rochimuddin. “Sumber Hukum Internasional”. Sebagaimana dimuat dalam http:pkndisma.blogspot.com201301sumber-hukum-internasional.html. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
determination, asas uti possidetis juris, dan perjanjian batas negara. Ketiga cara ini telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu cara dalam penentuan
wilayah bagi negara yang baru merdeka dari belenggu penjajah maupun yang baru berdiri melalui pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri
48
a. Self Determination
.
Self determination merupakan salah satu dari sumber hukum internasional karena sebagai salah satu prinsip-prinsip hukum umum yang telah diakui oleh
negara beradab yang dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk penentuan perbatasan suatu negara menurut hukum internasional. Pengertian hak untuk
menentukan nasib sendiri the rights of self determination dapat dijelaskan dalam 2 arti. Pertama dapat diartikan sebagai hak dari suatu bangsa dalam sebuah negara
untuk menentukan bentuk pemerintahannya sendiri. Hak demikian sudah diakui dalam hukum internasional, khususnya dalam deklarasi mengenai hak dan
kewajiban negara-negara yang dibuat oleh panitia hukum internasional pada tahun 1949 dan dimuat dalam pasal 1 yang menyebutkan: “Every state has the right to
independence and hence to exercise freely, without dictation by any other state, all its legal powers, including the choice of its own form of gevornment”.
Kedua, hak menentukan nasib sendiri dapat berarti sebagai hak dari sekelompok orang atau bangsa untuk mendirikan sendiri suatu negara yang
48
Saru Arifin. Op. Cit. Hlm. 60
Universitas Sumatera Utara
merdeka. Konsep self determination ini menjadi perhatian serius oleh PBB ketika pada tanggal 26 Juni 1945 Piagam PBB ditandatangani di SanFransisco
49
Hak penentuan nasib sendiri right of self determination oleh suatu bangsa pada prakteknya berawal dari Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis di
abad ke 18. Hak ini berkembang sejalan dengan perkembangan politik dunia, permasalahan etnis, dan pemberontakan dari etnis-etnis di Amerika dan Eropa
.
50
Pasal 1 ayat 2 Piagam PBB menyatakan: “To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self
determination of peoples, and to take other approppriate measures to strengthen .
Pada faktanya, selama Perang Dunia I, konsep penentuan nasib sendiri menjadi instrumen penting dalam kelahiran suatu individual nation-state yang saat itu
berjuang memisahkan diri dari Kerajaan Austro-Hungaria dan Kerajaan Utsmani. Meskipun demikian, hak penentuan nasib sendiri tidak pernah diakui sebagai
suatu hak dalam praktek hukum internasional sampai diadopsinya hak ini dalam Piagam PBB pasal 1 ayat 2 pada Juni 1945 dimana doktrin dari self
determination dikodifikasi atau diberlakukan sebagai hukum internasional positif. Meskipun Piagam PBB hanya sedikit memberikan pengaturan tentang
“self determination”, akan tetapi Piagam PBB telah memberikan beberapa doktrin mengenai hak penentuan nasib sendiri. Prinsip-prinsip mengenai penentuan nasib
sendiri dengan jelas disebutkan adalah pertama kali pada pasal 1 ayat 2 dan kemudian pasal 55 Piagam PBB.
49
Suryokusumo Sumaryo. 1997. Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional. Bandung: Penerbit Alumni. Hlm. 167.
50
G. J. Simpson. 1996. “The Diffusion of Sovereignty: Self Determination in the Post Colonial Age”. Stanford Journal of International Law 32. Hlm 255.
Universitas Sumatera Utara
universal peace” bahwa salah satu tujuan dari PBB adalah untuk “membangun hubungan baik antara bangsa-bangsa berdasarkan kehormatan untuk prinsip
kesamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat”. Pasal 55 Piagam PBB juga menyatakan: “With a view to the creation of conditions of stability and weel-
being which are necessary for peacefull and friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self determination of
peoples” bahwa yang mendorong PBB untuk meningkatkan standar kehidupan masyarakat dunia, menciptakan kondisi stabilitas dan hubungan damai serta
mencari solusi terhadap masalah kesehatan dan kebudayaan masyarakat dunia, serta penghormatan universal terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan
nasib sendiri oleh rakyat serta Hak Azasi Manusia. Pengaturan dari penentuan nasib sendiri dalam pasal 1 ayat 2 dan pasal
55 Piagam PBB kemudian dilengkapi oleh Bab XI tentang Deklarasi mengenai Wilayah-wilayah tidak Berpemerintahan Sendiri dan Bab XII tentang Sistem
Perwalian Internasional. Akan tetapi tidak satupun pasal dalam kedua bab ini memberikan penjelasan terperinci tentang self determination.
Piagam PBB merupakan dasar dari hak penentuan nasib sendiri. Piagam PBB yang pertama kali memasukkan ketentuan penentuan nasib sendiri ke dalam
hukum internasional positif. Dengan dimasukkannya prinsip self determination dalam pasal 1 ayat 2, maka pembentuk Piagam PBB mengidentifikasikan self
determination sebagai salah satu tujuan utama, atau raisons d’etre dari organisasi
Universitas Sumatera Utara
PBB
51
. Penentuan nasib sendiri dijalankan dalam konteks untuk menciptakan hubungan baik antar negara-negara dengan mengutamakan kesamaan hak setiap
bangsa di dunia. Piagam PBB dianggap berkontribusi menyumbangkan prinsip bahwa “kedamaian dunia” adalah tidak mungkin terwujud tanpa self
determination
52
b. Asas Uti Possidetis Juris
. Dalam konteks, praktisnya prinsip self determination sebagai dasar terbentuknya suatu negara dan penguasaan wilayahnya, telah dijadikan
dasar oleh Mahkamah Internasional dalam memutus beberapa kasus di negara- negara yang memperjuangkan kemerdekaan negaranya dan dalam hal penentuan
batas-batas negaranya.
Uti Possidetis Juris juga merupakan salah satu dari sumber hukum internasional karena sebagai salah satu prinsip-prinsip hukum umum yang telah
diakui oleh negara beradab yang dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk penentuan perbatasan suatu negara menurut hukum internasional. Uti
Possidetis Juris secara terminologi merupakan bahasa latin yang berarti “sebagai milik anda” as you possess. Terminologi ini secara historis berasal dari hukum
Romawi yang berarti bahwa wilayah dan kekayaan lainnya mengikuti pemilik asal pada akhir konflik antara negara baru dengan penguasa sebelumnya yang
51
Antonio Cassese. 1995. Self Determination of Peoples: A Legal Reappraisal. Cambridge University Press. Hlm. 38.
52
P. Thornberry. 1993. The Democratic or Internal Aspect of Self Determination. Martinus Nijhoff Publishers. Hlm. 108.
Universitas Sumatera Utara
disajikan dalam sebuah perjanjian
53
. Uti Possidetis Juris adalah prinsip dalam hukum internasional bahwa teritori dan properti lainnya tetap dengan pemiliknya
pada akhir konflik, kecuali disediakan oleh perjanjian, jika perjanjian tersebut tidak termasuk kondisi tentang kepemilikan properti dan wilayah diambil selama
perang, maka prinsip uti possidetis juris akan menang
54
Secara historis, dalam hukum Romawi prinsip ini diterapkan dalam kasus penaklukan wilayah seperti yang dilakukan oleh penguasa Jerman pada tahun
1871 atas Alsace Lorraine .
55
. Dalam sistem hukum Romawi prinsip ini digunakan untuk terminologi hukum perdata. Dalam konteksnya, terdapat dua perbedaan
terminologidari terjemahan Uti Possidetis Juris, secara etimologi antara possession dan ownership dalam hukum perdata. Possession mengandung arti
kepemilikan melalui prosedur yang baik tanpa melalui kekerasan dan kecurangan. Hakim Roma menerapkan Uti Possidetis yang terkenal dengan Ita Possidetis yang
dalam bahasa Inggris berarti “as you possess, so you may possess”, sebagai milik anda maka anda boleh memilikinya. Ketentuan ini tidak diterapkan dalam
pertanyaan owenership di depan pengadilan yang lebih menekankan pada bukti- bukti formal. Dengan demikian, possession menunjukkan kepada pengertian
kepemilikan yang tidak formal, sebagaimana dalam hukum perdata lebih bermakna penguasaan faktual
56
53
Helen Ghebrewebet. 2006. Identifying Units of Statehood and Determining International Boundaries: A Revised Look at the Doctrine of Uti Possidetis and the Principle of Self
Determination. Verlag Peter Lang.
.
54
”Uti Possidetis”. Sebagaimana dimuat dalam http:id.wikipedia.orgwikiUti_possidetis diakses pada 25 januari 2015 pukul 20.04 WIB.
55
Helen Ghebrewebet, Helen. Loc. Cit.
56
Joshua Castellino. 2005. International Law and Indogenous People. Martinus Nijhoff Publishers. Hlm. 99.
Universitas Sumatera Utara
Evolusi prinsip Uti Possidetis Juris ini dari hukum perdata ke hukum internasional dilakukan dengan dua tujuan. Pertama, hal ini dimaksudkan untuk
menegaskan klaim atas properti dalam suatu kedaulatan teritorial. Kedua, dimaksudkan untuk menyatakan barang milik possession yang secara faktual
bersifat sementara dalam hukum perdata menjadi berstatus permanen secara hukum dari kedaualatan hak milik pada suatu wilayah negara
57
Prinsip ini oleh ICJ juga ditegaskan berlaku bagi suatu negara bekas jajahan di luar kasus Burkina Faso v. Republic of Mali tanpa memperhatikan
status hukum dan politik entitas sisi perbatasan yang bersangkutan. Penggunaan prinsip ini menurut sebagian ahli hukum internasional seperti Paul R. Hensel
Michael E. Allison, akan lebih menciptakan stabilitas di perbatasan dibandingkan perbatasan negara-negara yang tidak diwarisi oleh penjajah. Alasannya adalah
bahwa para penguasa kolonial telah meletakkan dasar-dasar batas negara secara jelas dalam sebuah perjanjian, sehingga negara-negara yang baru merdeka dari
. Pada tahun 1986 prinsip ini oleh International Court of Justice ICJ
diterapkan dalam kasus Burkina Faso v. Republic of Mali. Dalam putusannya tersebut dinyatakan sebagai berikut:
“Uti Possidetis is a general principle, which is logically with the nomenon of obtaining independence, wherever it occurs. Its obvious purpose is to
prevent the independence and stability of new states being endangered by fratricidal struggles provoked by the changing of frontiers following the
withdrawal of the administering power”.
57
Joshua Castellino. Ibid. Hlm. 100.
Universitas Sumatera Utara
penguasa penjajah hanya akan meneruskan saja warisan perbatasan yang telah ditinggalkan oleh penjajah
58
Tujuan utama dari penggunaan prinsip ini adalah untuk mencegah terjadinya konflik-konflik yang didasarkan pada perebutan perbatasan oleh
negara-negara baru. Pada saat ini prinsip ini telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional
. Dalam sejarahnya, prinsip ini terbagi menjadi dua, yaitu uti possidetis juris
dan uti possidetis de facto. Brazil adalah satu-satunya negara yang tidak mau menerima prinsip yang pertama, tetapi ia lebih memilih prinsip yang kedua.
Prinsip yang kedua tersebut menegaskan, bahwa kepemilikan suatu wilayah lebih didasarkan pada okupasi secara fisik daripada mengikuti wilayah penguasa
kolonial. Brazil menggunakan doktrin ini untuk mempertahankan argumentasi kepemilikan wilayah perbatasan seluas 1810 km di hadapan negara-negara bekas
jajahan Spanyol, seperti Bolivia dan Peru. Meskipun prinsip ini mendasarkan batas-batas wilayah suatu negara pada batas-batas wilayah dari negara yang dulu
mendudukinya, namun dalam kenyataannya batas-batas wilayah suatu negara yang lama atau yang baru dapat saja berubah. Perubahan tersebut dapat terjadi
karena adanya putusan pengadilan yurisprudensi internasional yang memutuskan sengketa batas wilayah kedua negara atau adanya suatu perjanjian
perbatasan antarkedua negara tersebut.
59
58
Saru Arifin. Op. Cit. Hlm. 67.
59
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: PT. Refika Aditama. Hlm. 183.
. Oleh sebab itu, melalui penerapan prinsip ini maka tidak dimungkinkan lagi adanya klaim suatu wilayah yang didasarkan pada terra
nullis atay wilayah tak bertuan.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, pasal 62 ayat 2 Konvensi Wina 1969 mengenai perjanjian internasional menyatakan klausula rebus sic stantibus atau tidak dapat
diberlakukan terhadap perjanjian internasional yang mengatur mengenai perbatasan negara. Bunyi pasal 62 ayat 2 Konvensi Wina 1969 adalah sebagai
berikut: “A fundamental change of circumtances may no be invoked as a ground
for terminating or withdrawing from treaty: a. If the treaty establishes a boundary; or b. If the fundamental change is the result of a breach by the party
invoking it either of an abligation under the treaty or of any the international obligation owed to any party of the treaty”.
Pernyataan ini dipertegas lagi dalam ketentuan pasal 62 ayat 2 Konvensi Wina tahun 1986 tentang Hukum Perjanjian Antarnegara-negara dengan
Organisasi Internasional atau Antara Organisasi-organsisasi Internasional. Pasal 62 ayat 2 Konvensi Wina tahun 1986 berbunyi sebagai berikut:
“A fundamental change of circumtances may no be invoked as a ground for terminating or withdrawing from treaty between two or more states and one or
more international organizations if the treaty establishes a boundary”
60
. Sesuai dengan penjelasan diatas maka rezim hukum kebiasaan
internasional umum pun berlaku mengikat secara penuh terhadap Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa keseluruhan wilayah Republik Indonesia adalah meliputi
seluruh wilayah eks-koloni Belanda.
60
Malcolm N. Shaw. 1986. Title to Territory in Africa: Intrnational Legal Issue. Oxford: Clarendon Press. Hlm 358.
Universitas Sumatera Utara
c. Perjanjian Perbatasan
Perjanjian perbatasan termasuk sebagai perjanjian internasional yang telah dibuat atau disepakati oleh dua negara atau lebih yang saling berbatasan satu sama
lain yang dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk penentuan perbatasan suatu negara menurut hukum internasional. Batas-batas negara pada awalnya
terjadi berdasarkan histories yuridis, artinya perbatasan tersebut ditetapkan oleh para penguasa wilayah-wilayah tersebut pada masa dahulu, baik secara tertulis
maupun cara lainnya yang berlaku pada waktu itu, dan ketetapan tersebut dilanjutkan oleh pemerintahan atau penguasa kedua wilayah tersebut. Selain itu
terdapat perbatasan negara yng ditetapkan secara bersama oleh suatu pemerintahan yang ada, karena terdapat bagian-bagian perbatasan negara yang
tidak jelas posisinya atau adanya perkembangan baru di daerah tersebut. Dalam konteks perjanjian perbatasan, di dalam hukum internasional
dikenal dua macam perjanjian, yaitu personal treaties dan imopersonaldispositive treaties. Konsep ini kemudian diterapkan pada pergantian negara dalam hukum
intrenasional klasik, dengan ketentuan bahwa diartikan dengan perjanjian dispositive adalah perjanjian yang melibatkan tanah atau wilayah. Perjanjian
internasional yang membebani wilayah dengan status hukum, misalnya perjanjian pangkalan militer, perjanjian perbatasan dan lain-lain. Sedangkan personal
treaties atau juga perjanjian yang bersifat politis dapat berbentuk bilateral atau multilateral, misalnya perjanjian-perjanjian persektuan, netralitas, dan
penyelesaian perselisihan secara damai
61
61
Saru Arifin. Op. Cit. Hlm 70.
.
Universitas Sumatera Utara
Teori ini sudah ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan kenyataan dari praktik negara-negara yang timbul dari bekas wilayah-wilayah jajahan setelah
perang dunia kedua. Mengenai perjanjian dispositive, yakni traktat yang terkait dengan hak atas wilayah berlaku mengikuti wilayah, run with the land yaitu tidak
mengikuti perubahan kekuasaan atau kedaulatan terhadap wilayahnya. Secara yuridis dengan adanya ketentuan rebus sic stantibus atau
perubahan yang mendasar dari keadaan yang menguasai perjanjian dapat membuat perjanjian dispositive tidak berlaku. Dengan timbulnya negara baru dari
wilayah bekas jajahan bisa asaja menganggap bahwa perjanjian mengenai pangkalan militer asing tidak lagi berlaku, karena situasinya sekarang sudah
secara fundamental berubah. Namun demikian, telah ada suatu konsensus umum bahwa perjanjian
perbatasan sebagai suatu perjanjian dispositive tetap harus beralih dan diakui oleh negara pengganti. Bahkan perubahan keadaan yang mendasar tidak diperkenankan
untuk membatalkan perjanjian perbatasan, dan ketentuan ini dirumuskan dalam pasal 62 ayat 2 Konvensi Wina mengenai perjanjian. Ada dua alternatif teori
yang digunakan untuk menganalisis sikap negara-negara baru terhadap perjanjian- perjanjian internasional sehubungan dengan pergantian negara, yaitu:
1. Teori negatif, dimana semua perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat
negara yang digantikan tidak mengikat negara pengganti, teori ini juga disebut dengan clean the state principle
Universitas Sumatera Utara
2. Teori universal, dimana semua perjanjian internasional yang dibuat negara yang
digantikan beralih secara langsung mengikat negara pengganti
62
Cara lain untuk mengatur perpindahan perjanjian internasional pada negara-negara baru adalah dengan membuat inheritance agreement atau
devolution agreement. Menurut maknanya dapat diterjemahkan sebagai perjanjian peralihan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa dibuatnya perjanjian
peralihan ini, maka perjanjian multilateral yang berisfat law making treaty langsung mengikat negara baru
.
63
Perjanjian perbatasan antarnegara merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional yang tentu saja dalam pelaksanaannya mengikuti asas-asas dan
kaidah yang lazim dalam hukum internasional. Doktrin hukum internasional mengajarkan bahwa perjanjian tentang batas negara bersifat final sehingga tidak
dapat diubah, negara pihak tidak dapat menuntut perubahan garis batas setelah batas tersebut disepakati bersama. Doktrin yang berlaku bagi negara yang baru
merdeka, sesuai dengan hukum internasional adalah clean state dimana negara baru tidak memiliki keterikatan untuk mempertahankan perjanjian yang dibuat
pemerintah sebelumnya sehingga posisi negara baru vis a vis perjanjian tersebut sepenuhnya bebas menerima atau menolak eksistensi perjanjian. Berdasarkan
hukum perjanjian internasional hal tersebut wajar karena perjanjian hanya mengikat pihak yang membuatnya dan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
Pengecualian yang ada berkaitan dengan kepemilikan atas wilayah akibat terbentuknya negara baru ternyata terbentuknya negara baru tersebut tidak
.
62
Saru Arifin. Ibid. Hlm. 71.
63
Saru Arifin. Ibid. Hlm 71.
Universitas Sumatera Utara
berpengaruh terhadap perjanjian perbatasan yang telah dibuat oleh penguasa terdahulu, hal ini juga ditegaskan dalam konvensi Wina 1978 tentang suksesi
Negara
64
Berdasarkan kerangka teori tersebut, maka penetapan wilayah Indonesia mengikuti prinsip self determination dalam proklamasi kemerdekaannya, dan Uti
Possidetis dalam penetapan wilayah daratnya, yaitu mencakup seluruh wilayah bekas jajahan Belanda. Sementara dalam penetapan batas wilayah laut
menggunakan rezim UNCLOS 1982 .
65
.
64
Suryo Sakti Hadiwijoyo. Op. Cit. Hlm. 100.
65
Saru Arifin. Op. Cit. Hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN DARAT OLEH