Metode dan Sistem Penentuan Awal Bulan Hijriah

tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan Bulan yang mengarah ke Matahari. 73 Penegasan ini memang diperlukan sebab terkadang kita melihat di ufuk timur sebelum matahari terbit, rupanya seperti hilal, tetapi ini bukan hilal melainkan bulan usia hari terakhir, sebelum terjadi ijtimak. 74 Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa rukyat merupakan suatu kegiatan atau usaha untuk melihat hilal atau bulan sabit di langit ufuk sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal bulan baru khususnya menjelang bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah untuk menetapkan kapan awal bulan dimulai. 75 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rukyatul hilal merupakan pengawasan dengan mata terhadap adanya hilal pada akhir bulan Hijriah guna menentukan hari apakah jatuhnya tanggal satu bulan yang baru. 76 dilihat merupakan garis ufuk. Untuk memperoleh pandangan secara lepas, sebaiknya seseorang pengamat memilih lokasi di pinggir laut tanpa pulau atau gunung yang menghalangi pemandangannya. Semakin tinggi posisi seseorang, maka semakin luas pandangan yang tercakup, dan semakin jauh serta semakin rendah garis ufuk yang terlihat. Untuk itu, tempat yang paling ideal untuk melakukan pengamatan hilal adalah tempat yang tinggi, di pinggir laut lepas. Lihat Farid Ruskanda, 100 masalah hisab dan rukyat, telaah syari‟ah, sains dan teknologi,Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 22-23 73 Jayusman, Ilmu Falak II: Fiqh Hisab Rukyah Penentuan Awal Bulan Kamariah, Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2016, hlm. 26 74 Panitia seminar nasional sehari penetuan awal bulan qamariyah antara hisab dan rukyat, Op.Cit., hlm. 8 75 Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm 42 76 Suyuthi Ali, Ilmu Falak I, Jilid I, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 105 Al- Qur‟an juga menjelaskan tentang penciptaan dan hikmah ahillah jamak dari hilal. Yakni dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 189:                                ُ ةرقبلا : 189 َ Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji. Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung. 77 al-Baqarah : 189 Berdasarkan ayat di atas bahwasannya mengungkapkan mengenai pertanyaan para Sahabat kepada Nabi tentang penciptaan ahillah. Atas perintah Allah swt, kemudian Rasulullah menjawab bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi ibadah dan aktifitas manusia termasuk haji. Pertanyaan ini muncul karena hilal telah tampak oleh para Sahabat. 78 Apabila sesaat setelah Matahari terbenam hilal dapat dilihat maka, sejak Matahari terbenam sore itu sudah terjadi pergantian bulan Hijriah. Bila 77 Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al- Qur‟an dan Terjemahnya, Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 29 78 Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm 43. terlihatnya itu setelah Matahari terbenam pada hari ke-29 bulan Ramadan misalnya, maka sejak Matahari terbenam hari itu dinyatakan sudah tanggal satu bulan Syawal. 79 Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid mengenai batas awal dan akhir bulan Hijriah apabila hilal tidak dapat atau tidak berhasil dilihat. Menurut Ibnu Umar, apabila hilal tidak berhasil dilihat di awal Ramadan, maka hari itu disebut yaumul syak hari yang meragukan dan Ramadan harus jatuh pada hari berikutnya. Menurut Ib nu Suraij dari Syafi‟i, apabila hilal tidak terlihat boleh dengan itsbat ditetapkan. Sedangkan menurut jumhur ulama apabila hilal tidak berhasil dilihat maka disempurnakan sampai 30 hari diistikmalkan 80 Penentuan awal bulan Hijriah berdasarkan pada keberhasilan rukyatul hilal harus memenuhi syarat- syarat tertentu. Terdapat perbedaan dikalangan ulama tentang persyaratan tersebut. Hanafiah mensyaratkan penetapan awal bulan Ramadan dan Syawal yaitu dengan hasil rukyatul hilal satu kelompok besar jika kondisi cuaca atau langit cerah. Dan memadai kesaksian seorang yang adil pada kondisi berawan, berkabut dan sejenisnya. Adapun Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyat dari dua atau lebih orang yang adil. Dan mencukupi kesaksian satu orang yang adil pada kondisi hilal tidak terdapat keraguan untuk dapat terlihat. Memadai keberhasilan rukyat se orang yang adil menurut Syafi‟iah dan Hanabilah, walaupun pada kondisi terdapat penghalang menurut Syafi‟iah. Namun tidak 79 Panitia Seminar Nasional Sehari Penetuan Awal Bulan Qamariyah Antara Hisab dan Rukyat, Op.Cit., hlm 8-9 80 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Alih Bahasa, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Analisa Fiqih Para Mujtahid, Cetakan Pertama, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm. 637 memadai dalam kondisi tersebut menurut Hanabilah. Menurut kalangan Hanabilah dan Malikiah mensyaratkan keberhasilan rukyat dua orang yang adil pada rukyat awal Syawal untuk penentuan Idul Fitri. Dan diterimanya kesaksian rukyat perempuan menurut Hanafiah dan Hanabilah sedangkan menurut Malikiah dan Syafi‟iah tidak dapat diterima. 81 Pelaksanaan rukyatul hilal sebagai metode penentuan awal bulan Hijriah di Nusantara diyakini sudah dilaksanakan semenjak Islam masuk ke kepulauan Nusantara. Sebelum umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan hari raya Idul Fitri, setiap tanggal 29 Syakban dan 29 Ramadan umat Islam beramai-ramai pergi ke bukit- bukit atau pantai-pantai untuk bersama-sama menyaksikan hilal di ufuk barat saat Matahari terbenam. Jika hilal berhasil dirukyat, maka malam itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil dirukyat, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung diistikmalkan. Setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, pelaksanaan rukyat selain dilaksanakan oleh umat Islam, juga ada yang dikoordinir oleh pejabat-pejabat keagamaan di kerajaan yang bersangkutan. 82 Ditinjau dari sarana prasarana yang digunakan dalam melaksanakan rukyatul hilal, semula pelaksanaannya hanya dilakukan dengan mata telanjang, tanpa menggunakan alat bantu apapun. Setelah kebudayaan manusia makin maju, maka pelaksanaan rukyatpun secara berangsur-angsur menggunakan sarana prasarana yang menunjang. 81 Wahbah Al-Zuhaily, Al fiqhul Al islamy Wa Adillatuhu, Alih Bahasa, Masdar Helmy, Fiqih Shaum, I‟tikaf Dan Haji, Cetakan Pertama, CV. Pustaka Media Utama, Bandung, 2006. Hlm. 31-37 82 Jayusman, Op.Cit., hlm. 138-139 Sarana prasarana rukyat terus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 83 Pada awalnya dalam pelaksanaan rukyatul hilal orang hanya melihat atau mengarahkan pandangannya ke ufuk Barat. Dengan pengertian bahwa mengarahkan pandangannya ke ufuk Barat yang sedemikian luas. Hal ini sebagai akibat tidak atau kurang pengetahuan mereka dalam ilmu Falak atau astronomi. Setelah kedua ilmu tersebut mulai dikuasai dengan baik, pelaksanaan rukyatpun menjadi lebih baik dan terarah. Mereka yang melaksanakan rukyat selain dapat menfokuskan pandangan mereka ke posisi yang diduga tempat hilal berada, tapi mereka juga dapat memantau pergerakan hilal. Jika hilal berhasil dirukyat, maka gambarnya dapat didokumentasikan. Posisi dan waktunyapun dapat diperhitungkan dengan sangat akurat. 84 b. Metode Hisab Hisab menurut bahasa berasal dari lafaz Arab yaitu Hisaabun ُ ٌااَ ِح َ yaitu bentuk masdar dari kata kerja Hasiba ُ َ ِ َح َ yang artinya hitungan, yang apabila di hubungkan dengan suatu ilmu pengetahuan, maka hisab adalah ilmu Hitungan. 85 Hisab dalam bahasa Inggris dapat berarti calculation yang artinya perhitungan atau kalkulasi, dapat juga computation yang artinya perhitungan. 86 Sementara ilmu Hisab dalam bahasa Inggris berarti arithmetic 83 Ibid., hlm. 139-140 84 Ibid., hlm. 140 85 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, PP. Al-Munawwir, Yogyakarta, 1997, hlm. 261. 86 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cetakan XXX, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013, hlm. 94 dan 134 yang artinya adalah ilmu Hitung. 87 Sedangkan dalam bahasa Indonesia hisab berarti hitungan, perhitungan atau perkiraan. 88 Adapun yang di maksud hisab adalah menghitung perjalanan Matahari dan Bulan pada bola langit. Dengan hisab orang dapat mengetahui dan memperkirakan kapan awal dan akhir bulan Hijriah. 89 Dengan demikian. Dapat disimpulkan apabila ilmu Hisab dihubungkan dengan penetapan awal bulan Hijriah adalah merupakan suatu cara untuk mengetahui atau menetapkan awal bulan Hijriah dengan menggunakan perhitungan secara ilmu Falakastronomi atau ilmu pasti, sehingga dapat ditentukan secara eksak pasti letak hilal. Adapun hisab melandaskan pada firman Allah swt. al- Qur‟an Surat Yunus ayat 5. Ayat tersebut menyatakan bahwa tanda-tanda awal bulan yang berupa hilal bisa dilihat dengan mata rukyat dan juga bisa dihitung hisab berdasarkan rumusan keteraturan fase-fase bulan dan data-data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat. Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal. 90 Adapun menentukan awal bulan Hijriah dengan hisab yaitu apabila cuaca buruk, terhalang mendung atau berawan. Berdasarkan potongan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yaitu “idza ghumma „alaikum faqduru lahu” yang 87 Ibid., hlm. 37 88 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Cetakan Kedua, Jakarta, 1989, hlm. 310 89 Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab Dan Rukyat, Tela ah Syari‟ah, Sains dan Teknologi, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 29 90 Thomas Djamaluddin, Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Jakarta, 2011, hlm. 5 maknanya “jika awan menghalangi kalian, maka perkirakanlah ia”. 91 Selanjutnya, dikalangan ahli Hisab terdapat pula perbedaan dalam penentuan awal bulan Hijriah. Diantaranya, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak. Sedangkan yang lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal. Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyat atau tidak. Sedangkan kelompok yang berpegang pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak dan posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai. 92 Kelompok yang menyatakan bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak maupun kelompok yang menyatakan bahwa awal bulan baru itu ditentukan pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal. Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. 93 Di Indonesia masih ada kelompok yang belum menerima hisab sebagai salah satu cara menentukan awal bulan Hijriah. Alasan mereka adalah Rasulullah saw, tidak pernah memerintahkan menentukan awal bulan Hijriah dengan hisab dan tidak pula 91 Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 35 92 Jayusman, “Kajian Ilmu Falak Perbedaan Penentuan Awal Bulan Kamariah: Antara Khilafiah dan Sains” Al-Maslahah Jurnal Ilmu Syari‟ah, Vol. 11, No. 1, edisi April 2015, hlm. 18 93 Ibid mengerjakannya. Namun sebagian besar umat Islam di Indonesia sudah dapat menerima hisab sebagai salah satu cara menentukan awal bulan Hijriah. Akan tetapi, mereka masih berbeda pendapat mengenai syarat menggunakan hisab tersebut. 94 Secara garis besar terdapat dua jenis metode hisab yang dipergunakan dalam menentukan awal bulan Hijriah, yaitu hisab Urfi dan hisab Hakiki. 95 1 Hisab Urfi Hisab Urfi adalah metode perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata- rata bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional. 96 Hisab Urfi adalah perhitungan awal bulan yang didasarkan kepada rata-rata perjalanan Bulan mengelilingi Bumi dalam satu tahun 12 bulan 354 hari 8 jam 48,5 detik atau 354,3666666 hari dengan pembulatan 354 untuk tahun bashitah pendek dan 355 untuk tahun kabisat panjang. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan tetap setiap bulannya. Jumlah hari pada urutan bulan yang ganjil adalah 30 hari, sedang yang nomor urut genap berjumlah 29 hari, kecuali pada tahun kabisat, bulan Zulhijah berjumlah 30 hari. 97 Hisab Urfi dipergunakan untuk menentukan awal bulan Hijriah secara taksiran dalam rangka memudahkan pencarian data peredaran Bulan dan Matahari yang sebenarnya. 98 Dalam perhitungan secara Urfi bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan ganjil selamanya akan berumur 30 94 Panitia Seminar Nasional Sehari Penetuan Awal Bulan Qamariyah Antara Hisab dan Rukyat, Bunga Rampai Falakiah Penentuan Awal Bulan Qamariyah Antara Hisab dan Rukyat, Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2006, hlm. 4 95 Ibid., hlm. 46 96 Susiknan Azhari, 2007, Op.Cit., hlm. 3 97 Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Loc.Cit. 98 Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm.46-47. hari, padahal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu. 99 2 Hisab Hakiki Hisab Hakiki adalah metode hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Menurut metode ini umur tiap bulan tidaklah tetap dan juga tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hilal setiap awal bulan. Artinya bisa jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari. atau bahkan pula bergantian seperti menurut perhitungan hisab Urfi. 100 Pelaksanaan perhitungan hisab Hakiki didasarkan kepada data perjalanan bulan dan benda-benda langit yang sesungguhnya. Data tersebut telah tersedia baik dalam buku-buku klasik ataupun data almanak. 101 Dari data tersebut diolah secara matematik dengan bantuan ilmu ukur bola dengan memberikan koreksi-koreksi sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 102 Hisab Hakiki digunakan untuk keakuratan waktu dalam penentuan awal bulan Hijriah, khususnya terkait dengan bulan yang berkaitan dengan ibadah bagi umat Islam seperti bulan 99 Jayusman, 2016, Op.Cit., hlm. 261 100 Susiknan Azhari, 2008. Op.Cit., hlm.78 101 Almanak atau ephemiris adalah data yang memuat keterangan- keterangan yang telah diolah terlebih dahulu mengenai deklinasi dan kekasipan matahari, bulan, planet dan bintang-bintang, begitu juga perata waktu dan keterangan-keterangan lain. Beberapa Negara secara teratur menerbitkan setiap tahun almanak semacam itu. Salah satu penerbitan yang praktis dan berhubungan dengan bahasa yang dipergunakannya tidak menimbulkan kesukaran yang terlalu besar bagi pemakai-pemakai di Indonesia ialah The Nautical Almanac, disusun dengan kerja sama Royal Greenwich Observatory Inggris dan United States Naval Observatory Amerika. Lihat M. Sayuthi Ali, Ilmu Falak 1, Cetakan Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997. hlm. 77-78 102 Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 26 Ramadan, Syawal dan Zulhijah. Metode perhitungan penentuan awal bulan Hijriah dengan metode hisab Hakiki ini dinilai lebih sesuai dengan yang dimaksud oleh syara‟, sebab dalam prakteknya metode ini memperhitungkan kapan hilal akan muncul, oleh sebab itu metode hisab Hakiki lebih banyak diikuti. 103 Hisab Hakiki mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya ilmu dan teknologi. Indonesia setidaknya ada tiga generasi hisab Hakiki yang berkembang yaitu: 104 a Hisab Hakiki taqribi, yaitu hisab yang tingkat akurasi perhitungannya rendah. 105 Hisab ini menggunakan data-data tradisional dan berpangkal pada waktu ijtimak rata-rata. Interval rata-rata menurut metode ini selama 29 hari 12 menit 44 detik. Metode dan logaritma perhitungan waktu ijtimaknya sudah benar, akan tetapi koreksinya terlalu sederhana sehingga hasilnya kurang akurat. 106 b Hisab Hakiki tahqiqi, yaitu hisab yang tingkat akurasi perhitungannya sedang. 107 Metode hisab ini menghitung posisi Matahari, Bulan dan titik simpul orbit Bulan dengan orbit Matahari dalam metode koordinat ekliptika, kemudian menentukan kecepatan gerak Matahari dan Bulan pada orbitnya masing- masing. 108 103 Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 50 104 Wahyu widiana, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI. Jakarta, 2004, hlm. 7 105 Jayusman, 2015, Op.Cit., hlm. 22 106 Susiknan, 2007, Op.Cit., hlm. 31 107 Jayusman, Loc.Cit. 108 Susiknan, 2007, Loc.Cit. c Hisab Hakiki tadqiqi, yaitu hisab yang tingkat akurasi perhitungannya tinggi. 109 Metode hisab ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab Hakiki tahkiki, hanya saja cara koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan sains dan teknologi sehingga hasilnya lebih akurat. 110 Mengenai persoalan tentang hisab dan rukyat, Imam Taqiyyuddin as-Subki oleh Yusuf Qardlawi dinyatakan sebagai ulama Syafi‟iah yang telah mencapai derajat mujtahid menuturkan: “Apabila hisab menafikan kemungkinan rukyat dengan mata, maka wajib bagi hakim menolak kesaksian orang yang mengaku menyaksikan, “ia lalu berargumentasi ”karena hisab bersifat eksak sedangkan penyaksian dan berita bersifat dugaan. Dugaan tidak dapat membentuk yang eksak, apalagi mengalahkannya.” 111 Dalam diskusi-diskusi tentang hisab dan rukyat sering terlontar pernyataan bahwa rukyat bersifat qath‟i pasti, sedangkan hisab bersifat dzanni dugaan atau sebaliknya, hisab bersifat qath‟i sementara rukyat bersifat dzanni. Sifat qath‟i atau dzanni berkaitan dengan proses penetapan hukumnya. Dalam kaitan ini, lebih berkaitan dengan ijtihad. Baik hisab maupun rukyat semuanya adalah hasil ijtihad yang 109 Jayusman, Loc.Cit., 110 Susiknan, 2007, Loc.Cit., 111 Yusuf Qordlawi, Fiqh Puasa, Alih Bahasa, Ma‟ruf Abdul Jalil dkk., Era Intermedia, Solo, 2001, hlm. 49 hakikatnya bersifat dzanni, kebenaran hasil ijtihad relatif. Kebenaran mutlak hanya Allah yang tahu. Tetapi orang yang berijtihad dan orang-orang yang mengikutinya meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan dalil-dalil syariah dan bukti empirik yang diperoleh. 112 Hisab dan rukyat merupakan hasil ijtihad yang memungkinkan terjadinya keragaman dalam menentukan awal bulan Hijriah. Baik hisab maupun rukyat sama-sama berpotensi benar dan salah. Bulan dan Matahari yang dihisab dan dirukyat masing-masing memang satu. Hukum alam yang mengatur gerakannya juga satu. Akan tetapi interpretasi manusia atas hasil hisab bisa beragam. Lokasi dan keterbatasan rukyatul hilal juga tidak mungkin disamakan. 113 A. Mustadjib pakar ilmu Falak yang oleh sebagian orang dinilai sebagai senior di Indonesia, dinyatakan oleh Susiknan Azhari, beliau menuturkan: “Sebenarnya antara rukyat dan hisab mempunyai keunggulannya dan kelemahannya masing-masing. Rukyat adalah metode yang paling tua, sebagai metode ilmiah dan banyak manfaatnya, sedangkan hisab sebagai metode yang tepat dan akurat dalam menentukan awal bulan jika tertutup mendung. Dua-duanya bisa di pakai. Yaitu dihisab dulu 112 Thomas Djamaluddin, Hasil Hisab dan Rukyat Dapatkah Dipadukan, Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Jakarta, 2004, hlm. 238 113 Ibid., hlm. 240 kemudian dibuktikan dengan rukyat. Ini pas sekali”. 114 Pada prinsipnya hisab dan rukyat mempunyai kedudukan sejajar. Rukyat harus tetap digunakan karena itulah cara sederhana yang diajarkan Rasulullah saw. hisabpun dijamin eksistensinya, karena Allah swt. Menjamin peredaran Bulan dan Matahari dapat dihitung, sebagaimana dijelaskan dalam al- Qur‟an surat Yunus ayat 5. Penentuan awal bulan tidak terbatas hanya dengan rukyatul hilal. Akan tetapi melalui penggunaan hisab yang juga sederhana. Dengan menggunakan hisab manusia dapat menghitung posisi Bulan dan Matahari secara akurat, sehingga ketepatan hitungan sampai pada satuan detik dapat dicapai. 115 2. Perbedaan Aliran Penentuan Awal Bulan Hijriah Penentuan awal bulan Hijriah selain adanya perbedaan metode, juga adanya perbedaan aliran dalam penentuannya. Adapun berapa aliran yang berkembang di masyarakat, di antaranya yaitu: a. Aliran Hisab Urfi, yaitu aliran yang menyandarkan siklus rata-rata Bulan mengitari Bumi. Setiap bulan mempunyai jumlah hari yang tetap untuk bulan- bulan ganjil dengan jumlah hari 30 hari dan bulan- bulan genap dengan jumlah hari 29 hari kecuali bulan Zulhijah. 116 b. Aliran Rukyatul Hilal, yaitu aliran yang menyatakan pergantian bulan berdasarkan terlihatnya hilal oleh mata, baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan alat seperti teleskop. Jika hilal berhasil 114 Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 98 115 Ibid., hlm. 236 116 Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 52 dirukyat, maka malam itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil dirukyat, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung diistikmalkan. 117 c. Aliran Wujudul Hilal, yaitu aliran yang menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum Matahari terbenam dan pada saat terbenamnya Matahari hilal telah wujud di atas ufuk. Aliran ini juga berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian hilal. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. 118 d. Aliran yang berpedoman kepada Ijtima‟ Qoblal Ghurub, aliran ini menetapkan bahwa jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka malam harinya sudah dianggap bulan baru, sedangkan jika ijtimak terjadi setelah Matahari terbenam, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berjalan. Aliran ini sama sekali tidak mempersoalkan rukyat, juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk. 119 e. Aliran yang berpedoman kepada Ijtima‟ Qoblal Fajri, yaitu konsep bahwa hari dimulai sejak fajar. Menurut aliran ini, apabila ijtimak terjadi sebelum fajar dalam suatu negeri, maka sejak fajar itu adalah awal bulan baru, dan apabila ijtimak terjadi sesudah 117 Ibid., hlm. 53 118 Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal dengan wujudul hilal. Kata hilal pada kata wujudul hilal, dengan demikian bukanlah hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur, pembatasnya adalah ufuk. Jayusman, 2016, Op.Cit., hlm. 143-144 119 Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 27 fajar, maka hari itu adalah hari ke-30 bulan yang sedang berjalan, dan awal bulan baru bagi negeri tersebut adalah sejak fajar berikutnya. 120 f. Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal diatas ufuk hakiki, yaitu aliran yang menyatakan bahwa masuknya tanggal satu bulan Hijriah posisi hilal harus di ufuk hakiki. 121 Aliran ini berpendapat bahwa jika setelah terjadi ijtimak hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki pada saat tebenam Matahari, maka malamnya sudah dinilai bulan baru, sebaliknya jika pada saat terbenam Matahari hilal masih berada di bawah ufuk hakiki, maka malam itu belum dinilai sebagai bulan baru 122 g. Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal diatas ufuk mar‟i, yaitu aliran yang operasional kerjanya sama sebagaimana aliran yang berpedoman kepada ufuk hakiki. Hanya saja aliran ini setelah diperoleh nilai ketinggian hilal dan ufuk hakiki kemudian ditambah koreksi-koreksi terhadap nilai ketinggian itu. 123 h. Imkanur Rukyat, yaitu aliran yang menetapkan awal bulan dengan konsep hilal mungkin dilihat. Konsep ini untuk memadukan perbedaan antara ahli hisab dan ahli rukyat. 124 Untuk itu maka harus ditentukan batas ketinggian hilal yang mungkin dapat dilihat. Batas ketinggian hilal yang mungkin dilihat para ahli hisab berbeda pendapat, diantaranya ada yang berpendapat tinggi hilal 12 ◦, 7◦, 6◦, 4◦, dan bahkan di Indonesia menetapkan 2 ◦. 125 120 Ibid., hlm. 39 121 Ufuk hakiki adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau. Lihat. Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 55 122 Ibid 123 Ibid., hlm. 56 124 Ibid. 125 Majelis Tarjih PP Muhammadiyyah, Penggunaan Hisab dalam Penetapan Bulan Hijriyah, Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat

C. Konsep Mathla’ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah

Permulaan awal bulan Hijriah sering menjadi persoalan dan perselisihan di kalangan umat Islam yang tidak hanya terjadi di negara kita, tetapi juga di kebanyakan negara Islam lainnya. Adanya perbedaan pendapat mengenai kapan tanggal satu bulan Hijriah, khususnya pada bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah selain bersumber pada perbedaan metode dan perbedaan sistem penentuannya, juga dapat terjadi disebabkan adanya perbedaan m athla‟. Mathla‟ ٌ َلْطَم secara bahasa ialah berasal dari lafaz bahasa Arab yang berarti waktu atau tempat terbit, kata kerjanya ُ َ َلَ - ُ َلْطَي َ yaitu terbit, muncul, keluar. 126 Kemudian lafadz َ َلَ ini dapat dibentuk menjadi ُ ْ ِلْطَم َ dengan huruf lam yang di kasrah, dan ٌ َلْطَم dengan huruf lam yang di fathah yang memiliki makna yang berbeda. Kata yang pertama bermakna tempat terbit, sedangkan kata kedua bermakna waktu terbit. 127 Sementara itu dalam istilah falak, mathla‟ ialah batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya hilal atau dengan kata lain mathla‟ adalah batas geografis keberlakuan rukyat. 128 Perbedaan pendapat mengenai mathla‟ ini dapat mengakibatkan perdebatan dalam memulai puasa dan berhari raya. Kasus seperti ini banyak terjadi jika di Saudi Arabia telah dikabarkan berhasil melakukan rukyat. Maka di Indonesia akan terpengaruh dengan informasi hasil rukyat tersebut. 129 Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI. Jakarta, 2004 hlm. 27 126 Ahmad Warson Munawwir, Op.Cit., hlm. 921 127 Armen Halim Naro, 2014, “Konsep Rukyat dan Mathla‟ dalam Pandangan Fiqh”, https:googleweblight.com?lite_url=https:lovelyjoonote.wordpress.com . Diakses Sabtu, 15 Oktober 2016 Pukul 11:30 WIB. 128 Susiknan Azhari, 2008, Op.Cit., hlm. 139 129 Susiknan, 2007, Op.Cit., hlm. 10 Secara garis besar perbedaan mathla‟ dalam penetapan awal bulan Hijriah disebabkan karena ada yang berpedoman pada mathla‟ approach global, mathla‟ approach parsial, dan ada yang berpedoman pada mathla‟ wilayatul hukmi. Mathla‟ approach global merupakan batas geografis keberlakuan rukyat dengan menggunakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa tanggal satu bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh penduduk bumi, sebagai salah satu lambang kesatuan umat Islam sedunia. Maksudnya bila ada orang yang berhasil melihat hilal, di wilayah manapun dia melihatnya, maka hasil rukyatnya itu berlaku untuk seluruh penduduk bumi. 130 Pemahaman mengenai mathla‟ approach global yaitu dengan argumentasi bahwa hadis tentang hisab rukyat bahwasannya lafadz ِتَيْؤُرِل اْوُرِطْفَاَو ِِتَيْؤُرِل اْوُمْوُص ”berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal”. Khitab sasaran yang dituju adalah seluruh umat Muslim, maka apabila salah seorang mereka menyaksikan hilal pada tempat manapun, itu berarti rukyat bagi semua umat Muslim di muka Bumi. 131 Tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. 132 Dasarnya, karena hadis Nabi ini tidak memberikan batasan keberlakuan rukyatul hilal itu. Jadi, mestinya berlaku untuk seluruh dunia. 133 Salah seorang penggagas konsep mathla‟ approach global atau sering disebut dengan istilah mathla‟ global ialah Hasbi ash-Shiddieqy, T.M. Kajiannya tentang mathla‟ global terlihat bahwa beliau adalah seorang yang cinta pada persatuan. Beliau melihat perbedaan ijtihad tentang masalah mathla‟ ini telah menjadi penyebab kaum muslimin 130 Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 56-58. 131 Sayyid sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa, Mahyuddin Syaf, Fikih Sunnah, Cetakan Pertama, Jilid 3, Al- Ma‟arif, Bandung, 1978, hlm 172 132 Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2007, hlm. 86 133 Thomas Djamaluddin, Op.Cit., hlm. 244 terpecah-pecah. Perbedaan mathla‟ bagi beliau lebih banyak disebabkan karena sengketa politik. 134 Kajian Hasbi ash-Shiddieqy, T.M. tentang mathla‟ global terlihat bahwa dalam hadis-hadis tentang memulai puasa, beliau menafsirkan lafaz اْوُمْوُصَتَا dan اْوُرِطْفُ تَا khitabnya ditujukan kepada kaum Muslim secara keseluruhan. Permulaan dan berakhirnya puasa didasarkan pada kenampakan hilal pada salah satu tempat di muka Bumi. 135 Sedangkan mathla‟ approach parsial merupakan batas geografis keberlakuan rukyat dengan menggunakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa kesatuan umat Islam bukan hanya berdasarkan sama di dalam menetapkan awal bulan Hijriah untuk seluruh permukaan planet bumi, melainkan bisa diwujudkan dengan adanya rasa saling menghargai di antara umat Islam. Maksudnya bila ada orang yang berhasil melihat hilal pada suatu wilayah, maka hasil rukyatnya itu hanya berlaku untuk wilayah ditetapkannya rukyat hilal dan juga wilayah yang berdekatan. 136 Pemahaman mengenai mathla‟ approach parsial yaitu dengan mendasarkan argumentasinya pada hadis yang diriwayatkan oleh Kuraib: 137 ٍرْ ُح ُنْب يِلَع اََ دَح : ٍرَفْعَ ُنْب ُ ْيِعاَْ ِإ اََ دَح : ُنْب ُدمَُُ اََ دَح َةَلَمْرَح َِِْأ : ٌ ْيَرُك ِ َرَ بْ َأ : ََِإ ُْتَثَعَ ب ِثِراَْْا َتِْب ِ ْ َفْلا مُأ نَأ ِماللاِب َةَيِواَعُم . َلاَق : َماللا ُتْمِدَقَ ف . اَهَ تَ اَح ُتْيَ َقَ ف . ِهُتْساَو ِماللاِب اَنَأَو َناَ َمَر ُل َ ِ يَلَع . ِةَعْمُْاا َةَلْ يَل َلَ ِْْا اَْ يَأَرَ ف . ُتْمِدَق َُُ 134 Susiknan Azhari, 2008, Op.Cit., hlm. 75-76 135 Mukhlis Makruf, Pemikiran Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqi dalam Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan, Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Ekonomi Islam Universitas IslamNegeri Walisongo, Semarang, 2013, Diakses dari http:www.distrodoc.comthesisHasbi+ash+Shiddieqi , Pada tanggal 19 Maret 2017. Pukul 08:07 WIB 136 Ibid 137 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid I, Dar Al-Fath, Kairo, 1990, hlm. 307