Metode dan Sistem Penentuan Awal Bulan Hijriah
tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra
bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan Bulan yang mengarah ke Matahari.
73
Penegasan ini memang diperlukan sebab terkadang kita melihat di
ufuk timur sebelum matahari terbit, rupanya seperti hilal, tetapi ini bukan hilal melainkan bulan usia hari
terakhir, sebelum terjadi ijtimak.
74
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa rukyat merupakan suatu kegiatan atau usaha untuk melihat
hilal atau bulan sabit di langit ufuk sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal
bulan baru khususnya menjelang bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah untuk menetapkan kapan awal
bulan dimulai.
75
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rukyatul hilal merupakan pengawasan dengan mata
terhadap adanya hilal pada akhir bulan Hijriah guna menentukan hari apakah jatuhnya tanggal satu bulan
yang baru.
76
dilihat merupakan garis ufuk. Untuk memperoleh pandangan secara lepas, sebaiknya seseorang pengamat memilih lokasi di pinggir laut tanpa pulau
atau gunung yang menghalangi pemandangannya. Semakin tinggi posisi seseorang, maka semakin luas pandangan yang tercakup, dan semakin jauh
serta semakin rendah garis ufuk yang terlihat. Untuk itu, tempat yang paling ideal untuk melakukan pengamatan hilal adalah tempat yang tinggi, di
pinggir laut lepas. Lihat Farid Ruskanda, 100 masalah hisab dan rukyat,
telaah syari‟ah, sains dan teknologi,Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 22-23
73
Jayusman, Ilmu Falak II: Fiqh Hisab Rukyah Penentuan Awal Bulan Kamariah,
Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2016, hlm. 26
74
Panitia seminar nasional sehari penetuan awal bulan qamariyah antara hisab dan rukyat, Op.Cit., hlm. 8
75
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm 42
76
Suyuthi Ali, Ilmu Falak I, Jilid I, Cetakan Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 105
Al- Qur‟an juga menjelaskan tentang penciptaan
dan hikmah ahillah jamak dari hilal. Yakni dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 189:
ُ ةرقبلا
:
189
َ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji. Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan
orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya, dan
bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
77
al-Baqarah : 189 Berdasarkan
ayat di
atas bahwasannya
mengungkapkan mengenai pertanyaan para Sahabat kepada Nabi tentang penciptaan ahillah. Atas
perintah Allah swt, kemudian Rasulullah menjawab bahwa ahillah atau hilal itu sebagai kalender bagi
ibadah dan aktifitas manusia termasuk haji. Pertanyaan ini muncul karena hilal telah tampak oleh
para Sahabat.
78
Apabila sesaat setelah Matahari terbenam hilal dapat dilihat maka, sejak Matahari terbenam sore itu
sudah terjadi pergantian bulan Hijriah. Bila
77
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al- Qur‟an dan Terjemahnya,
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 29
78
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm 43.
terlihatnya itu setelah Matahari terbenam pada hari ke-29 bulan Ramadan misalnya, maka sejak Matahari
terbenam hari itu dinyatakan sudah tanggal satu bulan Syawal.
79
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid mengenai batas awal dan akhir bulan
Hijriah apabila hilal tidak dapat atau tidak berhasil dilihat. Menurut Ibnu Umar, apabila hilal tidak
berhasil dilihat di awal Ramadan, maka hari itu disebut yaumul syak hari yang meragukan dan
Ramadan harus jatuh pada hari berikutnya. Menurut Ib
nu Suraij dari Syafi‟i, apabila hilal tidak terlihat boleh dengan itsbat ditetapkan. Sedangkan menurut
jumhur ulama apabila hilal tidak berhasil dilihat maka
disempurnakan sampai
30 hari
diistikmalkan
80
Penentuan awal bulan Hijriah berdasarkan pada keberhasilan rukyatul hilal harus memenuhi syarat-
syarat tertentu. Terdapat perbedaan dikalangan ulama tentang persyaratan tersebut. Hanafiah mensyaratkan
penetapan awal bulan Ramadan dan Syawal yaitu dengan hasil rukyatul hilal satu kelompok besar jika
kondisi cuaca atau langit cerah. Dan memadai kesaksian seorang yang adil pada kondisi berawan,
berkabut
dan sejenisnya.
Adapun Malikiah
mensyaratkan keberhasilan rukyat dari dua atau lebih orang yang adil. Dan mencukupi kesaksian satu
orang yang adil pada kondisi hilal tidak terdapat keraguan untuk dapat terlihat. Memadai keberhasilan
rukyat se
orang yang adil menurut Syafi‟iah dan Hanabilah,
walaupun pada
kondisi terdapat
penghalang menurut Syafi‟iah. Namun tidak
79
Panitia Seminar Nasional Sehari Penetuan Awal Bulan Qamariyah Antara Hisab dan Rukyat, Op.Cit., hlm 8-9
80
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Alih Bahasa, Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, Analisa Fiqih Para
Mujtahid, Cetakan Pertama, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm. 637
memadai dalam kondisi tersebut menurut Hanabilah. Menurut
kalangan Hanabilah
dan Malikiah
mensyaratkan keberhasilan rukyat dua orang yang adil pada rukyat awal Syawal untuk penentuan Idul
Fitri. Dan diterimanya kesaksian rukyat perempuan menurut Hanafiah dan Hanabilah sedangkan menurut
Malikiah dan Syafi‟iah tidak dapat diterima.
81
Pelaksanaan rukyatul hilal sebagai metode penentuan awal bulan Hijriah di Nusantara diyakini
sudah dilaksanakan semenjak Islam masuk ke kepulauan
Nusantara. Sebelum
umat Islam
melaksanakan ibadah puasa Ramadan dan hari raya Idul Fitri, setiap tanggal 29 Syakban dan 29
Ramadan umat Islam beramai-ramai pergi ke bukit- bukit atau pantai-pantai untuk bersama-sama
menyaksikan hilal di ufuk barat saat Matahari terbenam. Jika hilal berhasil dirukyat, maka malam
itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil dirukyat, maka
malam itu dan keesokan harinya merupakan tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung diistikmalkan.
Setelah
berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam Nusantara, pelaksanaan rukyat selain dilaksanakan
oleh umat Islam, juga ada yang dikoordinir oleh pejabat-pejabat
keagamaan di
kerajaan yang
bersangkutan.
82
Ditinjau dari sarana prasarana yang digunakan dalam
melaksanakan rukyatul
hilal, semula
pelaksanaannya hanya dilakukan dengan mata telanjang, tanpa menggunakan alat bantu apapun.
Setelah kebudayaan manusia makin maju, maka pelaksanaan rukyatpun secara berangsur-angsur
menggunakan sarana prasarana yang menunjang.
81
Wahbah Al-Zuhaily, Al fiqhul Al islamy Wa Adillatuhu, Alih Bahasa, Masdar Helmy,
Fiqih Shaum, I‟tikaf Dan Haji, Cetakan Pertama, CV. Pustaka Media Utama, Bandung, 2006. Hlm. 31-37
82
Jayusman, Op.Cit., hlm. 138-139
Sarana prasarana rukyat terus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
83
Pada awalnya dalam pelaksanaan rukyatul hilal orang
hanya melihat
atau mengarahkan
pandangannya ke ufuk Barat. Dengan pengertian bahwa mengarahkan pandangannya ke ufuk Barat
yang sedemikian luas. Hal ini sebagai akibat tidak atau kurang pengetahuan mereka dalam ilmu Falak
atau astronomi. Setelah kedua ilmu tersebut mulai dikuasai dengan baik, pelaksanaan rukyatpun
menjadi lebih baik dan terarah. Mereka yang melaksanakan rukyat selain dapat menfokuskan
pandangan mereka ke posisi yang diduga tempat hilal berada, tapi mereka juga dapat memantau pergerakan
hilal. Jika hilal berhasil dirukyat, maka gambarnya dapat didokumentasikan. Posisi dan waktunyapun
dapat diperhitungkan dengan sangat akurat.
84
b. Metode Hisab
Hisab menurut bahasa berasal dari lafaz Arab yaitu Hisaabun
ُ ٌااَ ِح
َ yaitu bentuk masdar dari kata
kerja Hasiba ُ
َ ِ َح َ
yang artinya hitungan, yang apabila
di hubungkan
dengan suatu
ilmu pengetahuan, maka hisab adalah ilmu Hitungan.
85
Hisab dalam bahasa Inggris dapat berarti calculation yang artinya perhitungan atau kalkulasi, dapat juga
computation yang artinya perhitungan.
86
Sementara ilmu Hisab dalam bahasa Inggris berarti arithmetic
83
Ibid., hlm. 139-140
84
Ibid., hlm. 140
85
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, PP. Al-Munawwir, Yogyakarta, 1997, hlm. 261.
86
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cetakan XXX, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013, hlm. 94 dan 134
yang artinya adalah ilmu Hitung.
87
Sedangkan dalam bahasa Indonesia hisab berarti hitungan, perhitungan
atau perkiraan.
88
Adapun yang di maksud hisab adalah menghitung perjalanan Matahari dan Bulan
pada bola langit. Dengan hisab orang dapat mengetahui dan memperkirakan kapan awal dan
akhir bulan Hijriah.
89
Dengan demikian. Dapat disimpulkan apabila ilmu Hisab dihubungkan dengan penetapan awal
bulan Hijriah adalah merupakan suatu cara untuk mengetahui atau menetapkan awal bulan Hijriah
dengan menggunakan perhitungan secara ilmu Falakastronomi atau ilmu pasti, sehingga dapat
ditentukan secara eksak pasti letak hilal.
Adapun hisab melandaskan pada firman Allah swt. al-
Qur‟an Surat Yunus ayat 5. Ayat tersebut menyatakan bahwa tanda-tanda awal bulan yang
berupa hilal bisa dilihat dengan mata rukyat dan juga bisa dihitung hisab berdasarkan rumusan
keteraturan fase-fase bulan dan data-data rukyat sebelumnya tentang kemungkinan hilal bisa dirukyat.
Data kemungkinan hilal bisa dirukyat itu yang dikenal sebagai kriteria imkanur rukyat atau
visibilitas hilal.
90
Adapun menentukan awal bulan Hijriah dengan hisab yaitu apabila cuaca buruk, terhalang mendung
atau berawan. Berdasarkan potongan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yaitu
“idza ghumma „alaikum faqduru lahu” yang
87
Ibid., hlm. 37
88
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka,
Cetakan Kedua, Jakarta, 1989, hlm. 310
89
Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab Dan Rukyat, Tela ah Syari‟ah,
Sains dan Teknologi, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 29
90
Thomas Djamaluddin, Astronomi Memberi Solusi Penyatuan Ummat, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Jakarta, 2011, hlm. 5
maknanya “jika awan menghalangi kalian, maka perkirakanlah ia”.
91
Selanjutnya, dikalangan ahli Hisab terdapat pula perbedaan dalam penentuan awal bulan Hijriah.
Diantaranya, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh
terjadinya ijtimak. Sedangkan yang lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal. Kelompok
yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka
sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak
mempermasalahkan hilal dapat dirukyat atau tidak. Sedangkan
kelompok yang
berpegang pada
terjadinya ijtimak dan posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya
ijtimak dan posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan
bulan baru dimulai.
92
Kelompok yang menyatakan bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak
maupun kelompok yang menyatakan bahwa awal bulan baru itu ditentukan pada terjadinya ijtimak dan
posisi hilal. Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari
terbenam.
Namun keduanya
berbeda dalam
menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk.
93
Di Indonesia masih ada kelompok yang belum menerima hisab sebagai salah satu cara menentukan
awal bulan Hijriah. Alasan mereka adalah Rasulullah saw, tidak pernah memerintahkan menentukan awal
bulan Hijriah dengan hisab dan tidak pula
91
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 35
92
Jayusman, “Kajian Ilmu Falak Perbedaan Penentuan Awal Bulan Kamariah: Antara Khilafiah dan Sains” Al-Maslahah Jurnal Ilmu Syari‟ah,
Vol. 11, No. 1, edisi April 2015, hlm. 18
93
Ibid
mengerjakannya. Namun sebagian besar umat Islam di Indonesia sudah dapat menerima hisab sebagai
salah satu cara menentukan awal bulan Hijriah. Akan tetapi, mereka masih berbeda pendapat mengenai
syarat menggunakan hisab tersebut.
94
Secara garis besar terdapat dua jenis metode hisab yang dipergunakan dalam menentukan awal
bulan Hijriah, yaitu hisab Urfi dan hisab Hakiki.
95
1 Hisab Urfi
Hisab Urfi adalah metode perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-
rata bulan mengelilingi Bumi dan ditetapkan secara konvensional.
96
Hisab Urfi
adalah perhitungan awal bulan yang didasarkan kepada
rata-rata perjalanan Bulan mengelilingi Bumi dalam satu tahun 12 bulan 354 hari 8 jam 48,5
detik atau 354,3666666 hari dengan pembulatan 354 untuk tahun bashitah pendek dan 355
untuk tahun kabisat panjang. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan tetap
setiap bulannya. Jumlah hari pada urutan bulan yang ganjil adalah 30 hari, sedang yang nomor
urut genap berjumlah 29 hari, kecuali pada tahun kabisat, bulan Zulhijah berjumlah 30 hari.
97
Hisab Urfi dipergunakan untuk menentukan awal bulan Hijriah secara taksiran dalam rangka
memudahkan pencarian data peredaran Bulan dan Matahari yang sebenarnya.
98
Dalam perhitungan secara Urfi bulan Ramadan sebagai bulan
kesembilan ganjil selamanya akan berumur 30
94
Panitia Seminar Nasional Sehari Penetuan Awal Bulan Qamariyah Antara Hisab dan Rukyat, Bunga Rampai Falakiah Penentuan Awal Bulan
Qamariyah Antara Hisab dan Rukyat, Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2006, hlm. 4
95
Ibid., hlm. 46
96
Susiknan Azhari, 2007, Op.Cit., hlm. 3
97
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Loc.Cit.
98
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm.46-47.
hari, padahal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.
99
2 Hisab Hakiki
Hisab Hakiki adalah metode hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang
sebenarnya. Menurut metode ini umur tiap bulan tidaklah tetap dan juga tidak beraturan,
melainkan tergantung posisi hilal setiap awal bulan. Artinya bisa jadi dua bulan berturut-turut
umurnya 29 hari atau 30 hari. atau bahkan pula bergantian seperti menurut perhitungan hisab
Urfi.
100
Pelaksanaan perhitungan
hisab Hakiki
didasarkan kepada data perjalanan bulan dan benda-benda langit yang sesungguhnya. Data
tersebut telah tersedia baik dalam buku-buku klasik ataupun data almanak.
101
Dari data tersebut diolah secara matematik dengan bantuan ilmu
ukur bola dengan memberikan koreksi-koreksi sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah.
102
Hisab Hakiki digunakan untuk keakuratan waktu dalam penentuan awal bulan Hijriah,
khususnya terkait dengan bulan yang berkaitan dengan ibadah bagi umat Islam seperti bulan
99
Jayusman, 2016, Op.Cit., hlm. 261
100
Susiknan Azhari, 2008. Op.Cit., hlm.78
101
Almanak atau ephemiris adalah data yang memuat keterangan- keterangan yang telah diolah terlebih dahulu mengenai deklinasi dan
kekasipan matahari, bulan, planet dan bintang-bintang, begitu juga perata waktu dan keterangan-keterangan lain. Beberapa Negara secara teratur
menerbitkan setiap tahun almanak semacam itu. Salah satu penerbitan yang praktis dan berhubungan dengan bahasa yang dipergunakannya tidak
menimbulkan kesukaran yang terlalu besar bagi pemakai-pemakai di Indonesia ialah The Nautical Almanac, disusun dengan kerja sama Royal
Greenwich Observatory Inggris dan United States Naval Observatory Amerika. Lihat M. Sayuthi Ali, Ilmu Falak 1, Cetakan Pertama, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1997. hlm. 77-78
102
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 26
Ramadan, Syawal
dan Zulhijah.
Metode perhitungan penentuan awal bulan Hijriah dengan
metode hisab Hakiki ini dinilai lebih sesuai dengan yang dimaksud oleh syara‟, sebab dalam
prakteknya metode ini memperhitungkan kapan hilal akan muncul, oleh sebab itu metode hisab
Hakiki lebih banyak diikuti.
103
Hisab Hakiki mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya ilmu dan
teknologi. Indonesia setidaknya ada tiga generasi hisab Hakiki yang berkembang yaitu:
104
a Hisab Hakiki taqribi, yaitu hisab yang tingkat
akurasi perhitungannya rendah.
105
Hisab ini menggunakan
data-data tradisional
dan berpangkal pada waktu ijtimak rata-rata.
Interval rata-rata menurut metode ini selama 29 hari 12 menit 44 detik. Metode dan
logaritma perhitungan waktu ijtimaknya sudah benar, akan tetapi koreksinya terlalu
sederhana sehingga hasilnya kurang akurat.
106
b Hisab Hakiki tahqiqi, yaitu hisab yang tingkat
akurasi perhitungannya sedang.
107
Metode hisab ini menghitung posisi Matahari, Bulan
dan titik simpul orbit Bulan dengan orbit Matahari dalam metode koordinat ekliptika,
kemudian menentukan kecepatan gerak Matahari dan Bulan pada orbitnya masing-
masing.
108
103
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 50
104
Wahyu widiana, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, Puslitbang Kehidupan
Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI. Jakarta, 2004, hlm. 7
105
Jayusman, 2015, Op.Cit., hlm. 22
106
Susiknan, 2007, Op.Cit., hlm. 31
107
Jayusman, Loc.Cit.
108
Susiknan, 2007, Loc.Cit.
c Hisab Hakiki tadqiqi, yaitu hisab yang tingkat
akurasi perhitungannya tinggi.
109
Metode hisab ini menggunakan hasil penelitian
terakhir dan menggunakan matematika yang telah
dikembangkan. Metodenya
sama dengan metode hisab Hakiki tahkiki, hanya
saja cara koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan sains dan teknologi sehingga
hasilnya lebih akurat.
110
Mengenai persoalan tentang hisab dan rukyat, Imam
Taqiyyuddin as-Subki
oleh Yusuf
Qardlawi dinyatakan sebagai ulama Syafi‟iah yang
telah mencapai
derajat mujtahid
menuturkan: “Apabila hisab menafikan kemungkinan
rukyat dengan mata, maka wajib bagi hakim menolak kesaksian orang yang
mengaku menyaksikan,
“ia lalu
berargumentasi ”karena hisab bersifat eksak sedangkan penyaksian dan berita
bersifat dugaan. Dugaan tidak dapat membentuk
yang eksak,
apalagi mengalahkannya.”
111
Dalam diskusi-diskusi tentang hisab dan rukyat sering terlontar pernyataan bahwa rukyat
bersifat qath‟i pasti, sedangkan hisab bersifat
dzanni dugaan atau sebaliknya, hisab bersifat qath‟i sementara rukyat bersifat dzanni. Sifat
qath‟i atau dzanni berkaitan dengan proses penetapan hukumnya. Dalam kaitan ini, lebih
berkaitan dengan ijtihad. Baik hisab maupun rukyat semuanya adalah hasil ijtihad yang
109
Jayusman, Loc.Cit.,
110
Susiknan, 2007, Loc.Cit.,
111
Yusuf Qordlawi, Fiqh Puasa, Alih Bahasa, Ma‟ruf Abdul Jalil dkk.,
Era Intermedia, Solo, 2001, hlm. 49
hakikatnya bersifat dzanni, kebenaran hasil ijtihad relatif. Kebenaran mutlak hanya Allah
yang tahu. Tetapi orang yang berijtihad dan orang-orang
yang mengikutinya
meyakini kebenaran suatu keputusan ijtihad itu berdasarkan
dalil-dalil syariah dan bukti empirik yang diperoleh.
112
Hisab dan rukyat merupakan hasil ijtihad yang memungkinkan terjadinya keragaman
dalam menentukan awal bulan Hijriah. Baik hisab maupun rukyat sama-sama berpotensi benar
dan salah. Bulan dan Matahari yang dihisab dan dirukyat masing-masing memang satu. Hukum
alam yang mengatur gerakannya juga satu. Akan tetapi interpretasi manusia atas hasil hisab bisa
beragam. Lokasi dan keterbatasan rukyatul hilal juga tidak mungkin disamakan.
113
A. Mustadjib pakar ilmu Falak yang oleh sebagian orang dinilai sebagai senior di
Indonesia, dinyatakan oleh Susiknan Azhari, beliau menuturkan:
“Sebenarnya antara rukyat dan hisab mempunyai
keunggulannya dan
kelemahannya masing-masing. Rukyat adalah metode yang paling tua, sebagai
metode ilmiah dan banyak manfaatnya, sedangkan hisab sebagai metode yang
tepat dan akurat dalam menentukan awal bulan jika tertutup mendung. Dua-duanya
bisa di pakai. Yaitu dihisab dulu
112
Thomas Djamaluddin, Hasil Hisab dan Rukyat Dapatkah Dipadukan, Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat
Beragama, Puslitbang Kehidupan Beragama, Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, Jakarta, 2004, hlm. 238
113
Ibid., hlm. 240
kemudian dibuktikan dengan rukyat. Ini pas sekali”.
114
Pada prinsipnya hisab dan rukyat mempunyai kedudukan sejajar. Rukyat harus tetap digunakan
karena itulah cara sederhana yang diajarkan Rasulullah saw. hisabpun dijamin eksistensinya,
karena Allah swt. Menjamin peredaran Bulan dan Matahari dapat dihitung, sebagaimana dijelaskan
dalam al-
Qur‟an surat Yunus ayat 5. Penentuan awal bulan tidak terbatas hanya dengan rukyatul
hilal. Akan tetapi melalui penggunaan hisab yang juga sederhana. Dengan menggunakan hisab
manusia dapat menghitung posisi Bulan dan Matahari secara akurat, sehingga ketepatan
hitungan sampai pada satuan detik dapat dicapai.
115
2. Perbedaan Aliran Penentuan Awal Bulan Hijriah
Penentuan awal bulan Hijriah selain adanya perbedaan metode, juga adanya perbedaan aliran dalam
penentuannya. Adapun berapa aliran yang berkembang di masyarakat, di antaranya yaitu:
a.
Aliran Hisab Urfi, yaitu aliran yang menyandarkan siklus rata-rata Bulan mengitari Bumi. Setiap bulan
mempunyai jumlah hari yang tetap untuk bulan- bulan ganjil dengan jumlah hari 30 hari dan bulan-
bulan genap dengan jumlah hari 29 hari kecuali bulan Zulhijah.
116
b. Aliran Rukyatul Hilal, yaitu aliran yang menyatakan
pergantian bulan berdasarkan terlihatnya hilal oleh mata, baik dengan mata telanjang maupun dengan
bantuan alat seperti teleskop. Jika hilal berhasil
114
Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di Tengah Perbedaan, Cetakan Pertama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, hlm. 98
115
Ibid., hlm. 236
116
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 52
dirukyat, maka malam itu adalah malam tanggal satu dari bulan yang baru. Namun bila hilal tidak berhasil
dirukyat, maka malam itu dan keesokan harinya merupakan
tanggal 30
bulan yang
sedang berlangsung diistikmalkan.
117
c. Aliran Wujudul Hilal, yaitu aliran yang menyatakan
bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum Matahari terbenam dan pada
saat terbenamnya Matahari hilal telah wujud di atas ufuk. Aliran ini juga berpatokan pada posisi hilal
sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian hilal. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda
masuknya awal bulan.
118
d. Aliran yang berpedoman kepada Ijtima‟ Qoblal
Ghurub, aliran ini menetapkan bahwa jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka malam
harinya sudah dianggap bulan baru, sedangkan jika ijtimak terjadi setelah Matahari terbenam, maka
malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berjalan. Aliran ini
sama sekali tidak mempersoalkan rukyat, juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk.
119
e. Aliran yang berpedoman kepada Ijtima‟ Qoblal
Fajri, yaitu konsep bahwa hari dimulai sejak fajar. Menurut aliran ini, apabila ijtimak terjadi sebelum
fajar dalam suatu negeri, maka sejak fajar itu adalah awal bulan baru, dan apabila ijtimak terjadi sesudah
117
Ibid., hlm. 53
118
Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari
lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal dengan wujudul hilal. Kata hilal pada kata wujudul hilal,
dengan demikian bukanlah hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni
bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh
Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur, pembatasnya adalah ufuk. Jayusman, 2016, Op.Cit., hlm. 143-144
119
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Op.Cit., hlm. 27
fajar, maka hari itu adalah hari ke-30 bulan yang sedang berjalan, dan awal bulan baru bagi negeri
tersebut adalah sejak fajar berikutnya.
120
f. Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal diatas
ufuk hakiki, yaitu aliran yang menyatakan bahwa masuknya tanggal satu bulan Hijriah posisi hilal
harus di ufuk hakiki.
121
Aliran ini berpendapat bahwa jika setelah terjadi ijtimak hilal sudah wujud di atas
ufuk hakiki pada saat tebenam Matahari, maka malamnya sudah dinilai bulan baru, sebaliknya jika
pada saat terbenam Matahari hilal masih berada di bawah ufuk hakiki, maka malam itu belum dinilai
sebagai bulan baru
122
g. Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal diatas
ufuk mar‟i, yaitu aliran yang operasional kerjanya sama sebagaimana aliran yang berpedoman kepada
ufuk hakiki. Hanya saja aliran ini setelah diperoleh nilai ketinggian hilal dan ufuk hakiki kemudian
ditambah koreksi-koreksi terhadap nilai ketinggian itu.
123
h. Imkanur Rukyat, yaitu aliran yang menetapkan awal
bulan dengan konsep hilal mungkin dilihat. Konsep ini untuk memadukan perbedaan antara ahli hisab
dan ahli rukyat.
124
Untuk itu maka harus ditentukan batas ketinggian hilal yang mungkin dapat dilihat.
Batas ketinggian hilal yang mungkin dilihat para ahli hisab berbeda pendapat, diantaranya ada yang
berpendapat tinggi hilal 12 ◦, 7◦, 6◦, 4◦, dan bahkan di
Indonesia menetapkan 2 ◦.
125
120
Ibid., hlm. 39
121
Ufuk hakiki adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau. Lihat. Rohmat, 2014, Op.Cit.,
hlm. 55
122
Ibid
123
Ibid., hlm. 56
124
Ibid.
125
Majelis Tarjih PP Muhammadiyyah, Penggunaan Hisab dalam Penetapan Bulan Hijriyah, Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat