Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Dalam penggunaannya dari acuan dua benda langit tersebut terdapat tiga jenis
penanggalan atau kalender yang dipakai oleh umat manusia. Pertama, solar system kalender syamsiah, yaitu sistem
penanggalan atau kalender berdasarkan peredaran Bumi mengelilingi Matahari. Kedua, lunar system kalender
kamariah, yaitu sistem penanggalan atau kalender berdasarkan peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Ketiga,
kalender lunisolar, yaitu sistem penanggalan atau kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari.
13
Kalender Masehi, Iran dan Jepang merupakan sistem kalender solar, sedangkan kalender Hijriah dan Jawa
merupakan sistem kalender lunar. Adapun kalender lunisolar seperti kalender Imlek, Saka, Buddha, dan
Yahudi.
14
Kalender Hijriah atau Kamariah inilah yang kemudian dibutuhkan dan dipakai oleh umat Islam untuk
menentukan penetuan waktu seperti hari-hari besar Islam, dan acuan dalam melaksanakan kewajiban ibadahnya.
Sistem kalender Hijriah ini didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi, sebagaimana firman Allah swt.
dalam Q.S. al-Baqarah ayat 189 :
رق لا
: 189
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “bulan sabit adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji. Dan
13
Rohmat, Ilmu Falak II Penentuan Awal Bulan Qomariyah dan Syamsiyah, Seksi Penerbitan Fakultas
Syari‟ah, Lampung, 2014, hlm. 1-2
14
Ibid
bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya, dan
bertaqwalah
kepada Allah
agar kamu
beruntung.
15
al-Baqarah: 189 Al-
Qur‟an di atas menjelaskan tentang hikmah bahwa bulan sabit hilal merupakan tanda bagi manusia
untuk mengetahui waktu penunaian setiap urusan keduniaan, sekaligus kompas dalam hal ibadah yaitu untuk
mengetahui waktu-waktu pelaksanaannya seperti ibadah puasa dan haji.
16
Demikian pula dijelaskan secara teologis bahwa perjalanan waktu di bumi ini ditandai dengan peredaran
benda-benda langit, terutama Bulan. Berdasarkan firman
Allah swt. dalam Q.S.Yunus ayat 5:
سنو
: 5
Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkanNya manzilah-
manzilah tempat-tempatbagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan waktu. Allah tidak menciptakan
15
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al- Qur‟an dan Terjemahnya,
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 29
16
As- Sayyid Mahmud Syukri Al Alusi, Ma Dalla „Alaihi Al-Qur‟an
Min Ma Ya‟dhadu Al Hai‟ah Al Jadidah Al Qawimah Al Burhan, Alih Bahasa, Kamran As‟ad Irsyadi, Al-Qur‟an dan Ilmu Astronomi, Cetakan I,
Pustaka Azzam, Jakarta, 2004, hlm. 61
yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada
orang-orang yang mengetahui.
17
Yunus : 5 Penentuan awal bulan Hijriah seringkali menimbulkan
polemik diantara kalangan umat Islam dikarenakan setiap golongan
mempunyai keyakinan
dan pemahaman
tersendiri dalam menentukan kapan masuk awal bulan Hijriah khususnya bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah
seringkali terdapat perbedaan dalam penentuannya. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat dalam memahami
dan mengaplikasikan hadis Rasul yang berbunyi:
َملَسَو ِْيَلَع ها ىلَص ِِلا َلاَق ُلْوُقَ ي َُْع ها َيِضَر َةَرْ يَرُ َِِْا ْنَع َناَبْعَش َةدِع اْوُلِمْكَأَف ْمُكْيَلَع َيُِغ ْنِإَف ِِتَيْؤُرِل اْوُرِطْفَاَو ِِتَيْؤُرِل اْوُمْوُص
َْ ِ َ َ .
ُ يِراَخُبلا ُاَوَر
َ
18
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Nabi saw. bersabda: Berpuasalah bila kalian melihat bulan,
dan berbukalah bila kalian melihat bulan, namun bila bulan itu tertutup atas kalian oleh awan,
maka sempernukanlah hitungan bulan Sya‟ban itu menjadi tiga puluh hari.
19
H.R. Bukhari. Berdasarkan hadis di atas inilah yang menjadi
pangkal persoalan dalam penentuan awal bulan Hijriah. Di mana berpangkal pada zahir hadis tersebut, para ulama
berbeda pendapat
dalam memahaminya
sehingga melahirkan perbedaan pendapat.
20
17
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al- Qur‟an dan Terjemahnya,
Diponegoro, Bandung, 2010, hlm. 208
18
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 2004, hlm 346. Hadits No 1909, Bab Puasa
19
Safuan Alfandi,Samudra Pilihan Hadits Shahih Bukhari, Sendang Ilmu, Solo, 2015, hlm. 162
20
Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2012, hlm. 91-92
Adanya perbedaan pendapat dalam penetapan awal bulan Hijriah khususnya bulan Ramadan, Syawal dan
Zulhijah disebabkan ada yang bersumber pada perbedaan metode serta perbedaan sistem penentuannya, ada pula
yang bersumber pada perbedaan mathla‟.
Dalam hal perbedaan metode pada garis besarnya terdapat dua macam metode penentuan awal bulan Hijriah.
Pertama, metode rukyat, adalah usaha melihat hilal dengan mata telanjang pada saat matahari terbenam pada tanggal
29 bulan Hijriah. Apabila hilal terlihat, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal satu
bulan baru, sedangkan apabila hilal tidak berhasil dilihat, maka tanggal satu bulan baru ditetapkan jatuh pada malam
hari berikutnya, bilangan hari dari bulan yang sedang berlangsung digenapkan menjadi 30 hari diistikmalkan.
Kedua, metode hisab, adalah penentuan awal bulan Hijriah yang didasarkan kepada peredaran Bulan dan Bumi.
21
Pada metode hisab terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan Kamariah. Di antaranya,
terdapat pendapat yang menyatakan bahwa awal bulan baru itu ditentukan hanya oleh terjadinya ijtimak,
22
sedangkan yang lain mendasarkan pada terjadinya ijtimak dan posisi hilal. Kelompok yang berpegang pada sistem
ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan
baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak
21
Rohmat, Imkan Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan QamariyahHijriyah, Cetakan Pertama, Pusat Penelitian dan Penerbitan
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2014, hlm. 44-46
22
Ijtima‟ adalah istilah dalam ilmu falak yang diambil dari bahasa Arab yang artinya berkumpul. Istilah lainnya adalah iqtiran yaitu merupakan
pertemuan atau berkumpulnya dua benda yang berjalan secara aktif, sedangkan dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal dengan sebutan
konjungsi yang diambil dari bahasa inggris conjungtion. Ijtima‟ merupakan
gambaran dimana matahari dan bulan berada dalam satu bujur astronomi yang menandai dimulainya bulan baru.
Lihat, Depag, pedoman perhitungan Awal bulan qamariyah dengan ilmu ukur bola, bagian proyek pembinaan
administrasi hukum dan Pengadilan Agama, Jakarta, 1983, hlm. 3
mempermasalahkan hilal dapat dirukyat atau tidak. Sedangkan kelompok yang berpegang pada terjadinya
ijtimak dan posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam setelah terjadinya ijtimak dan posisi
hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai.
23
Dalam perbedaan
sistem penentuan
dalam menetapkan awal bulan Hijriah ada dua sistem yang
berkembang dalam masyarakat, yaitu: pertama, sistem hisab, pada sistem hisab ini, ada ahli hisab yang dalam
menetapkan masuknya bulan baru berpedoman kepada
ijtima‟ qablal ghurub, wujudul hilal, dan imkanur rukyat. Kedua, sistem rukyat, pada sistem rukyat ini dalam
menetapkan tanggal satu bulan Hijriah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah, harus berdasarkan rukyat. Hasil
hisab menurut golongan ini merupakan alat bantu atau sarana untuk melakukan rukyat.
24
Maka rukyat harus didasarkan pada hasil hisab yang valid dan akurat
qath‟i. Hisab dan rukyat saling menguatkan.
25
Perbedaan dalam penetapan awal bulan Hijriah selain disebabkan karena adanya perbedaan metode dan adanya
sistem atau aliran dalam penentuannya, melainkan juga disebabkan karena adanya perbedaan
mathla‟. Perbedaan mathla‟ ini disebabkan karena ada yang berpedoman pada
mathla‟ approach global, mathla‟ approach parsial, dan ada yang berpedoman pada
mathla‟ wilayatul hukmi.
23
Jayusman, “Kajian Ilmu Falak Perbedaan Penentuan Awal Bulan Kamariah: Antara Khilafiah dan Sains” Al-Maslahah Jurnal Ilmu Syari‟ah,
Vol. 11, No. 1, edisi April 2015, hlm. 18
24
Said Jamhari, Faisal, dan Abdul Qadir Zaelani, Penentuan Awal Bulan Qamariyah antara Mazhab Hisab dan Rukyat dan Upaya
Penyatuannya, Cetakan Pertama, Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IAIN Raden Intan Lampung,
Bandar Lampung, 2015, hlm. 26-28
25
Jayusman, Ilmu Falak II: Fiqh Hisab Rukyah Penentuan Awal Bulan Kamariah,
Fakultas Syari‟ah IAIN Raden Intan Lampung, Bandar Lampung, 2016, hlm. 108
Mathla‟ approach global merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan bahwa tanggal satu bulan
Ramadan, Syawal, dan Zulhijah harus jatuh pada hari yang sama untuk seluruh penduduk bumi, sebagai salah satu
lambang kesatuan ummat Islam sedunia. Maksudnya bila ada orang yang berhasil melihat hilal, di wilayah manapun
dia melihatnya, maka hasil rukyatnya itu berlaku untuk seluruh penduduk bumi. Sedangkan
mathla‟ approach parsial merupakan pendekatan filosofis yang menyatakan
bahwa kesatuan umat Islam bukan hanya berdasarkan sama di dalam menetapkan awal bulan Hijriah untuk
seluruh permukaan planet Bumi, melainkan bisa diwujudkan dengan adanya rasa saling menghargai di
antara umat Islam. Maksudnya bila ada orang yang berhasil melihat hilal pada suatu wilayah, maka hasil
rukyatnya itu berlaku untuk wilayah ditetapkannya rukyat hilal dan juga wilayah yang berdekatan.
26
Adapun mathla‟ wilayatul hukmi menjadikan batasan
negara secara politik sebagai batasan dalam keberlakuan rukyat atau yang lebih dikenal dengan kesatuan dalam
wilayah hukum. Misalnya Indonesia, konsekuensinya apabila hilal terlihat dimanapun di wilayah Indonesia,
dianggap berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Penduduk melaksanakan puasa dan berhari raya secara serentak
berdasarkan ketetapan pemerintah.
27
Persoalan mathla‟ dalam penetapan awal bulan
Hijriah juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, khususnya di kalangan empat mazhab seperti
Mazhab Hanafi, Maliki, Han bali dan Syafi‟i.
Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali berpendapat bahwa perbedaan tempat terbit bulan ikhtilafu al-mathali
itu tidak menjadi soal atau tidak berlaku. Artinya, bila ada satu orang di sebuah negeri melihat hilal, maka semua
negeri Islam di dunia ini wajib berpuasa dengan dasar
26
Rohmat, 2014, Op.Cit., hlm. 56-58.
27
Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyat telaah syari‟ah,
sains dan teknologi, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 19
rukyat orang itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
“berpuasalah bila kalian melihat bulan, dan berbukalah bila kalian melihat bulan
”. Ini adalah pernyataan yang bersifat umum untuk seluruh umat Islam.
Siapa saja di antara mereka, dimana saja tempatnya, rukyatnya berlaku untuk mereka semua.
28
Adapun Mazhab Sy afi‟i berpendapat jika penduduk
suatu daerah melihat hilal, dan penduduk daerah lain sebagainya tidak melihatnya, bila dua daerah tersebut
berdekatan, maka hukumnya satu. Tetapi kalau munculnya berbeda, maka setiap daerah mempunyai hukum khusus.
29
Karena adanya perbedaan mathla ‟ bulan di antara jarak
yang jauh yang kemungkinan terjadi minimal 24 farsakh 1 farsakh kira-kira 5544 m = 133,056 km.
30
Bahkan Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini
ulama Syafi‟iah dalam kitabnya Mughniyl Muhtaaj Matan Minhaaj Ath-Thalibin
31
dan Muhammad ibn Muhammad Abi Hamid al-
ghazali ulama Syafi‟iah dalam kitabnya Al-Wajiz fi Fiqhi Madzhab al-Imam Asy-
Syafi‟i menyatakan bahwa apabila hilal terlihat pada suatu negeri
maka hukumnya hanya berlaku bagi negeri yang terdekat dari negeri terlihatnya hilal yaitu sejarak dibolehkannya
qashar shalat masafah al-qasr.
32
Namun Wahbah Al- Zuhaily menyatakan bahwa berdasarkan pendapat yang
sah ih, pandangan sebagian Syafi‟iah yang membedakan
jarak dekat dan jauh berdasarkan ukuran jarak qashar
28
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Alih Bahasa, Mahyuddin Syaf, Fikih Sunnah, Cetakan Pertama, Jilid 3, Al-
Ma‟arif, Bandung, 1978, hlm. 207
29
Muhammad Jawad Mughniyah, Al- Fiqh „Ala Al-Madzahib Al-
Khamsah, Alih Bahasa, Maskur A.B., Afif Muhammad dan Idrus Al-Kaff, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2011, hlm. 198
30
Wahbah Al-zuhaily, Al fiqhul Al islamy Wa Adillatuhu, Juz II, Dar Al- Fikr, Damaskus, 1996, hlm. 605
31
Syekh Syamsuddin Muhammad ibn Al-Khatib Asy-Syarbini, Mughniyl Muhtaaj Matan Minhaaj Ath-Thalibin, Jilid I, Dar Al-Fikr,
Beirut, hlm. 569-570
32
Muhammad Ibn Muhammad Abi Hamid Al-Ghazali, Al-Wajiz Fi Fiqhi Madzhab Al-Imam Asy-Syaf
i‟I, Dar Al-Fikr, Beirut, 2004, hlm. 84
shalat masafahal-qasr tidak bisa dijadikan dasar hukum.
33
Sayyid Sabiq kemudian menyatakan bahwa pendapat yang dipi
lih oleh golongan Syafi‟i ialah setiap wilayah memiliki rukyat masing-masing. Maka mereka tidak
diwajibkan berpuasa sebab rukyatul hilal selain dari wilayah mereka.
34
Berdasarkan perbedaan pendapat tentang tempat timbulnya Bulan
mathla‟ di kalangan empat mazhab tersebut, penulis mengambil judul
“Pendapat Empat Mazhab tentang
Mathla‟ dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah Perspektif Astronomi
” D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka permasalahan yang hendak dibahas
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana pendapat empat mazhab tentang mathla‟ dalam penentuan awal bulan Hijriah ?
2. Bagaimana pendapat empat mazhab tentang mathla‟
dalam perspektif astronomi?